Menyusul penetapan premi bagi Penerima Bantuan
Iuran (PBI) dalam Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) sebesar Rp15.500 per
bulan dan telah disosialisasikan dalam rapat koordinasi Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Masyarakat pada har Rabu (20/3/2013), mengundang pertanyaan di
kalangan publik: cukupkah Rp15.500 bagi layanan kesehatan yang berkualitas dan
aman bagi peserta Jamkesmas? Pertanyaan tersebut bergulir di kalangan
masyarakat, pemangku kepentingan serta pemerhati masalah kebijakan kesehatan di
Indonesia.
Tak terkecuali perhatian dari para peneliti Pusat
Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas
Kedokteran UGM untuk melakukan analisis penghitungan pembiayaan. Mereka adalah
dr. Zainal Muttaqien, dr.Firdaus Hafidz, dr.Rizki Tsalathita dan Febtiana Tia
Pika.
Dokter Zainal Muttaqien, salah satu peneliti,
menyatakan pada prinsip, kebijakan tersebut penting untuk tetap memenuhi
ketentuan pelayanan kesehatan dalam era BPJS Kesehatan kedepan. “Pelayanan
kesehatan mestinya tetap bermutu, aman bagi pasien, efektif dalam tindakan,
kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta dengan biaya yang efisien,” katanya
di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (25/3/2013).
Hasil olah data Jamkesmas tahun 2009 – 2011 oleh
Pusat KPMAK Fakultas Kedokteran UGM memperlihatkan meski program Jamkesmas
sangat bermanfaat untuk masyarakat miskin, akan tetapi utilisasi penggunaan
program Jamkesmas selama ini tergolong rendah. Rendahnya utilisasi ini
dikarenakan kendala akses ke pelayanan kesehatan, persepsi tentang sakit di
mana masih terdapat peserta Jamkesmas yang lebih memilih melakukan pengobatan
sendiri (alternatif).
Juga persepsi masyarakat terhadap rendahnya mutu
pelayanan puskesmas di mana masih banyak puskesmas tanpa dokter, peralatan yang
tidak lengkap, pengobatan yang dilakukan hanya ala kadarnya dan waktu tunggu
yang lama. “Selain itu pengetahuan peserta terbatas tentang prosedur dan
manfaat Jamkesmas menjadi salah satu penyebab rendahnya utilisasi Rawat Jalan
Tingkat Pertama (RJTP) program Jamkesmas,”terangnya.
Sedangkan simulasi berdasar data penggunan
Jamkesmas tahun 2009 – 2012, menunjukkan prediksi biaya dengan mempertimbangkan
kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 30% tahun 2012 dan Prediksi biaya dengan
mempertimbangkan kenaikan rerata tarif INA-CBG sebesar 30% tahun 2012 dan premi
sebesar 7000 rupiah per orang per bulan, maka penetapan premi oleh Pemerintah
sebesar Rp. 15.500 sebenanya sangat cukup untuk menjalankan program PBI dengan
menaikkan kapitasi bagi pelayanan primer dan kenaikan INA-DRG sebesar 30%. “Ini
berarti bisa menambahkan kesejahteraan bagi dokter umum yang selama ini
mengeluhkan rendahnya kesejahteraan yang didapatkan,” imbuh Muttaqien.
Untuk itu, KPMAK FK UGM memberikan rekomendasi guna
meningkatkan utilisasi pengguna PBI ke depan, maka BPJS Kesehatan harus
meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik, terutama pada pelayanan primer,
sehingga bisa mengurangi peserta mendatangi RS, karena akan berakibat
membengkaknya biaya. Kementerian Kesehatan dan PT. Askes harus segera
berkoordinasi lebih intensif dan fokus untuk perpindahaan Program Jamkeskas Ke PBI
di era BPJS Kesehatan. Banyak persoalan yang harus diselesaikan terkait
perpindahan ini. Terutama terkait pengelolaan kepesertaan.
Agar premi Rp. 15.500 yang tersedia cukup, PT.
Askes juga harus segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait pelibatan
daerah dalam program PBI. Karena selama ini, Jamkesmas bisa melaksanakan
program Jamkesmas daerah dengan melibatkan pemerintah daerah.
Muttaqien mengakui kebijakan ini tentu tidak
memberikan kepuasan pada semua pihak. Para dokter tentu akan memepertanyakan
keputusan premi ini lebih tajam, karena masih berbeda dengan harapan mereka
selama ini. “Namun, untuk program awal, maka seluruh kelompok masyarakat harus
mengawal program ini agar dapat tercapai secara efektif, aman, sesuai kebutuhan
pasien, serta efisien,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment