Friday, April 5, 2013

Program Santunan Kematian: Perlindungan Sosial dan Kebijakan Berbasis Kultural


Oleh Indra Setia Bakti
Alumnus Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia

Bagai siang dan malam, hidup dan mati adalah suatu kenyataan. Kematian merupakan keniscayaan bagi setiap insan. Selama ini kita mengenal pepatah, ‘gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’. Lalu pertanyaannya kalau manusia yang mati kira-kira meninggalkan apa? Jawabannya yaitu pertama, kalau manusia mati meninggalkan duka. Kedua, meskipun kematian adalah sebuah kepastian, tutup usia seseorang tidak dapat dipastikan waktunya. Oleh karena itu, bila manusia mati ia berpotensi meninggalkan risiko bagi orang lain, yaitu adanya beban biaya kematian yang harus ditanggung oleh keluarga yang ditinggalkan.
John Vail dalam bukunya yang berjudul ‘Insecure Times’ menyatakan bahwa masyarakat hidup dalam masa yang tidak aman. Dengan adanya jaminan perlindungan, manusia dapat mencapai rasa aman yang merupakan salah satu kebutuhan dasar dan hak asasi manusia.
Jika melihat kepada jumlah penduduk Indonesia, pada tahun 2010 sudah mencapai 237.641.326 jiwa (Badan Pusat Statistik Indonesia). Fakta di lapangan menunjukkan jumlah masyarakat Indonesia yang hidup tanpa perlindungan sosial masih cukup tinggi, yaitu diperkirakan sebesar 57% dari keseluruhan jumlah penduduk. Tambahan pula, baru sekitar 20.000.000 rakyat Indonesia yang terlindungi dengan jaminan sosial lengkap, masih banyak lagi yang hidup tanpa jaminan sosial, terutama dari risiko kematian.
Risiko kematian sesungguhnya dapat diminimalisir, dan negara (dalam hal ini pemerintah) dapat berperan penting dalam mengurangi risiko tersebut agar beban hidup rakyat menjadi lebih ringan. Bagi bangsa Indonesia sendiri, sila kelima Pancasila menjadi gambaran ideal cita-cita bernegara, kemudian didukung dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menetapkan beberapa jaminan bagi masyarakat dalam rangka mencapai kondisi kesejahteraan. Misalnya dalam pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat….”. Konstitusi ini selanjutnya perlu didukung dan diimplementasikan melalui sejumlah kebijakan sosial.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberi ruang kepada pemerintahan di tingkat lokal untuk memberikan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat konstituennya. Pemerintah Kota Depok menerapkan kewenangan tersebut melalui Program Santunan Kematian, sebagai salah satu pilihan kebijakan sosial, dan telah menjadi pelopor program tersebut di Indonesia. Program ini memberikan santunan sebesar Rp.2.000.000,- kepada ahli waris penduduk yang meninggal dunia.
Kebijakan sosial memfokuskan perhatian pada penyediaan sumberdaya sosial. Pemerintah Kota Depok menyisihkan sebagian dari anggaran untuk kepentingan sosial. Dana santunan pada dasarnya merupakan dana masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme pajak, lalu didistribusikan kembali kepada masyarakat melalui Program Santunan Kematian.
Menurut pandangan James Midgley, ada tiga elemen yang menjadi pusat perhatian dalam upaya peningkatan kesejahteraan, yakni penanganan permasalahan sosial, pemenuhan kebutuhan, dan peningkatan kesempatan. Bila merujuk pada Teori Kebutuhan Maslow, Pemerintah Kota Depok sedikit atau banyak tengah berupaya memenuhi kebutuhan akan rasa aman (yakni kebutuhan jenjang kedua setelah kebutuhan fisik) bagi setiap individu, melalui mekanisme perlindungan sosial yang mereka terapkan. Dengan adanya Program Santunan Kematian, penduduk (terutama sekali kelas ekonomi bawah) secara psikologis akan merasa lebih aman karena ketika meninggal dunia pemerintah telah menjamin tanggungan biaya prosesi kematian mereka.
Masih berbicara mengenai masalah kebutuhan, Program Santunan Kematian merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan masyarakat. Lalu pertanyaaannya siapa yang mendefinisikan prosesi kematian menjadi sebuah kebutuhan sosial? Bila merujuk pada klasifikasi Bradshaw, kebutuhan sosial yang dijadikan patokan dalam merumuskan Program Santunan Kematian secara teoritis berangkat dari konsep kebutuhan komparatif (comparative needs), yang merupakan perpaduan antara kebutuhan normatif (normative needs) dan kebutuhan yang dirasakan (felt needs). Kebutuhan normatif merupakan kebutuhan yang ditafsirkan oleh birokrasi negara. Dalam hal ini, tujuan pemerintahan adalah mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan kebutuhan dasar dan memberi keadilan dengan melaksanakan fungsi distribusi.
Selain itu, perumusan Program Santunan Kematian memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat sebagaimana pemaparan dari pihak Pemerintah Kota Depok, yakni dengan melihat adanya kebutuhan masyarakat terhadap dana santunan kematian, antara lain kebutuhan untuk pemakaman seperti kain kaffan, ongkos pemakam, hutang biaya rumah sakit, dan sebagainya serta kebutuhan pasca pemakaman seperti kebutuhan untuk tahlilan.
Perumusan Program Santunan Kematian berangkat dari kebutuhan yang muncul ketika terjadi kematian seseorang dan kemudian diikuti oleh prosesi-prosesi kultural pasca kematian yang keseluruhannya membutuhkan biaya. Hal ini kemudian ditangkap oleh Pemerintah Kota Depok sebagai sebuah kebutuhan sosial. Melalui keterlibatan Pemerintah Kota Depok dalam mengambil alih beban risiko almarhum/almarhumah dari pihak keluarga yang bersangkutan, maka konsep perlindungan sosial pun terwujud.
Menurut Spicker, bila hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting memahami bagaimana masyarakat hidup dan bagaimana kebijakan akan mengubah kondisi mereka. Pemerintah Kota Depok telah berupaya ke arah tersebut, yakni dengan mempelajari satu sisi kehidupan masyarakat di Kota Depok dalam menghadapi masalah kematian. Melalui kajian sosial yang ada, Pemerintah Kota Depok memahami bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai kultural dalam melaksanakan prosesi kematian, dan hal ini perlu dihargai. Permasalahannya adalah bahwa kegiatan semacam ini menelan biaya sehingga membebani pihak ahli waris. Melalui pemahaman tersebut, Pemerintah Kota Depok menawarkan sebuah bentuk kepedulian yang diimplementasikan dalam bentuk kebijakan perlindungan sosial. Tujuannya adalah dalam rangka mengubah kondisi masyarakat untuk keluar dari kesulitan karena beban biaya prosesi kematian, dengan tetap berfokus kepada masyarakat yang kurang mampu. (*)

No comments:

Post a Comment