Janji politik pasangan Wali Kota Depok Nur Mahmudi
Ismail-Idris Abdul Shomad untuk memberi santunan kematian bagi warga Kota Depok
yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) sudah dimulai bahkan sejak 2009.
Namun, harapan ahli waris untuk menerima uang Rp2
juta saat itu harus berbelit-belit dan memakan waktu lama karena proses
pencairannya dilakukan sebuah perusahaan jasa asuransi.
Karena proses memakan waktu lama, sejak 2011,
proses pencairannya pun mulai gampang setelah Pemkot Depok mengalihkannya dan
ditangani langsung Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) Kota Depok.
Namun, tidak semua warga kota ini dapat menerima
santunan bila ada keluarganya yang meninggal. Persyaratannya pun bertambah dan
pelaksanaan diutamakan bagi keluarga miskin dengan memiliki kartu jaminan
kesehatan daerah (Jamkesda).
Meski demikian, tidak berarti dalam pelaksanaan
semua berjalan lancar. Ratusan ahli waris kembali mengeluhkan lamanya proses
pencairan dana asuransi kematian itu. Lama pencairan dana santunan kematian ini
dibenarkan Kepala Disnakersos Kota Depok, Abdul Haris.
Dia mengatakan, lamanya pencairan dana santunan
karena pihaknya belum menenderkan program tersebut karena masih melakukan
evaluasi terkait rujukan yang akan digunakan. “Disnakersos belum melelang
program santunan kematian karena masih mengkaji landasan hukum yang akan
digunakan,” ujar Abdul Haris, Selasa (26/2/2013).
Disnakersos masih terus bekerja dan mengkaji
seluruh peraturan baru. Pihaknya tidak lagi menggunakan pijakan yang lama
karena banyak lahir keputusan baru dan itu yang harus dikaji serta dipelajari
agar tidak salah dalam pelaksanaan.
Menurut Haris, dia belum bisa memastikan apakah
masih menggunakan jasa asuransi atau tidak. Namun, program Pemkot Depok
tersebut tetap akan dilelang kepada pihak ketiga. “Kami harapkan para ahli
waris tetap bersabar, menunggu proses pencairannya dapat dilakukan pihak
swasta,” ia menjelaskan.
Lambatnya pencairan dana santunan kematian juga
dikeluhkan Mia Aksan Noor (55). Dia mengatakan lambannya pencairan dana itu
menyengsarakan pihak keluarga ahli waris. Ahli waris terpaksa meminjam uang
untuk biaya pemakaman. Ini karena ketentuan baru saat ini, penerima santunan
hanya warga miskin dengan memiliki kartu Jamkesda.
“Kami harus pinjam uang untuk pemakaman suami
karena memang nggak ada uang. Saya sudah pasrah kalau memang harus menjual
harta lain untuk lunasi utang. Mau bagaimana lagi, sudah tiga bulan saya
ajukan, sampai sekarang tidak kunjung cair,” keluh janda empat anak ini.
Dia menambahkan, sejumlah ahli waris yang
mengajukan santunan kematian ke Disnaskersos Kota Depok berencana mengadukan
hal tersebut ke DPRD Kota Depok. Mereka ingin mempertanyakan kejelasan
pencairan santunan tersebut. Mia menuturkan, sebagai warga dengan penghasilan
rendah, ia sangat mengharapkan dana tersebut.
“Kalau ada uang nggak masalah, saya kan janda dan
tidak kerja. Saya hanya jualan kue, jadi bingung bagaimana mau bayar utang
kemarin. Menunggu santunan kematian juga nggak bisa dicairkan,” ujarnya.
Terkait rencana Disnakersos yang akan menenderkan
program pencairan dana santunan kematian itu, anggota Komisi A DPRD Kota Depok,
Rahmin Siahaan menegaskan, program sosial itu tidak dibenarkan untuk
ditenderkan kepada pihak swasta. “Kalau hal itu tetap dilakukan, kesulitan
pencairan dana santunan akan terulang kembali seperti tahun 2009,” tuturnya.
Dia menegaskan, bila Disnakersos Kota Depok tetap
melelang program tersebut, pihaknya akan memanggil Kepala Disnakersos Abdul
Haris untuk mempertanggungjawabkannya. “Jangan coba-coba mempersulit rakyat
kecil, kalau pihak swasta mengelolanya maka kami akan mencoret anggaran
tersebut,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan anggota Badan Anggaran
DPRD Kota Depok, Edi Sitorus. Dia mengingatkan agar program santunan kematian
tidak dimasukkan ke dalam kriteria yang ada dalam Keppres No 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang dan Jasa. “Santunan kematian tidak termasuk ke dalam
barang dan jasa karena program tersebut diambil dari biaya bantuan sosial,”
katanya.
Dia mengungkapkan, Pemkot Depok pernah berbuat
kesalahan pada 2009 ketika santunan kematian diasuransikan pada pihak swasta.
APBD digunakan untuk membiayai premi masyarakat. Padahal, namanya bantuan
sosial tidak boleh dikenakan premi. Apalagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penghasilan (PPh).
“Itu sudah menyalahi Keputusan Menteri Keuangan
tentang Keuangan Daerah. Selama ini warga miskin sering menerima dana tidak
secara utuh,” tuturnya.
Sumber: Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment