Friday, August 23, 2013

Dari Samosir dengan Bingkai Kerja Keras dan Spirit Tulus Hati



* SATU


Matahari tidak pernah lelah memancarkan sinarnya. Sang Pencipta telah menentukan “takdirnya”. Matahari selalu memberi, diminta ataupun tidak diminta. Dengan memberi, ia sendiri tak pernah merasa kehilangan. Dengan memberi, ia justru mengokohkan eksistensinya sebagai pemasok energi terbesar sepanjang sejarah manusia. Dengan memberikan sinarnya, matahari melayani kebutuhan alam raya akan energi.
Andrias Harefa, Penulis Buku “Berguru pada Matahari, 1998

Dia adalah sosok kepala daerah (bupati) yang tidak pernah bercita-cita akan menjadi bupati. Dia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sangat setia mengabdi pada negeri sekalipun sekali waktu pangkatnya pernah mentok di IIId dan jabatannya berputar-putar di eselon yang sama. Dia berusaha arif menyikapi setiap episode perjalanan hidup anak manusia. Dia berupaya tulusa hati menerima setiap suratan tangan. “Hidup ini mengalir seperti air,” ujarnya suatu waktu.
Kendati mengalir bagai air, bukan berarti dia hanya pasif menunggu nasib mengikuti aliran air yang entah bermuara di mana. Dia tetap aktif belajar dari rona kehidupan alam semesta sehingga tidak hanyut oleh pusaran arus air mengalir yang bisa bermuara di tempat pembuangan limbah atau tempat-tempat kotor yang lain. Masa kecilnya yang amat dekat dengan kehidupan gereja menjadikannya demikian kuat dalam mengarungi air kehidupan yang terus mengalir tanpa kita tahu di mana bakal berhenti.
Sosok yang satu ini termasuk sosok yang cerdas dan selalu belajar di setiap jengkal waktu. Kendati sibuk oleh aktivitas karir PNS misalkan, tahun 2002, dia masih menyempatkan diri menimba ilmu manajemen pada program pascasarjana di Universitas Sumatera Utara (USU) dan baru tuntas tahun 2012. Kecerdasannya sebagai putera asli Samosir telah melahirkan visi Kabupaten Samosir (2005-2010), yakni “Terwujudnya Samosir sebagai kabupaten pariwisata yang indah, damai, dan berbudaya dengan agrobisnis berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang lebih sejahtera”.
Tidak sebatas cerdas secara intelektual, dia juga cerdas secara sosial dan spiritual. Dia termasuk kepala daerah yang mampu mengakrabi kehidupan berbasis akar sosial-kultural lokal dan nuansa spiritual wilayah yang mayoritas penduduknya penganut agama Kristen itu. Dia berusaha senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat –baik dalam suka maupun duka. Tak segan-segan, bersama masyarakat adat, dia larut dalam tarian tradisional adat Batak Samosir. Keakrabannya itu tidak terlepas dari gaya kepemimpinannya yang jauh dari kesan formal dan prosedural.
Begitulah sosok Mangindar Simbolon yang dalam rentang sekitar delapan tahun belakangan memimpin Kabupaten Samosir (2005-2010, 2010-2015).
Ketika kami kali pertama berjumpa Mangindar, terlihat benar betapa pemimpin daerah yang satu ini jauh dari kesan angker dan ribet dengan protokoler. Dia demikian menyatu dan cair pada lingkungan yang baru dimasukinya. Sapa akrab cepat muncul dari sosok yang sepanjang karirnya sebagai PNS berputar-putar di wilayah Sumater Utara ini. Bahkan, dalam satu kesempatan, kami yang belum terlalu mengenal sosoknya sempat sedikit kesulitan lantaran sang bupati berbalut pakaian yang tak berbeda dengan warga masyarakat kebanyakan. Tak ada emblem kebesaran bupati melekat di kantong kanan kemeja. Benar-benar sederhana bersahaja.
Tentu bukanlah hal mudah berlaku sederhana ketika seseorang berada di puncak karir sebagai orang nomor satu Kabupaten Samosir. Berkat kesederhanaannya itulah, dia kini menjadi panutan bagi 3.802 PNS di jajaran Pemerintah Kabupaten Samosir dan ‘bapak’ bagi 145.119 jiwa rakyat Samosir. Sebagai pemimpin daerah, dia mampu memposisikan dirinya sebagai pamong ngemong, bukan pangreh yang selalu sok kuasa. Saat berkomunikasi dengan rakyatnya, dia berusaha menempatkan diri pada posisi siapa yang tengah dihadapinya. Gaya bahasanya sederhana, intonasinya terjaga namun tetap mengguratkan ketegasan sikap seorang pemimpin.
Merunut perjalanan hidup seorang Mangindar Simbolon yang lahir 21 Juni 1957 ini cukuplah kaya dengan warna kehidupan yang lekat paduan etos kerja keras dengan spirit tulus hati dari sosok-sosok yang amat dekat sedari kecil. Ibunya yang petani pekerja keras penuh perhitungan berpadu dengan ayahnya yang guru agama yang lekat dengan sikap tindak religius sebagai gembala Tuhan Yang Maha Kasih. Katanya, sedari kanak-kanak dia sangat lekat dengan nilai kerja keras dan memberi manfaat serta mengalir bagai air mengikuti takdir.   
   
A.   Anak Sulung yang Rajin Membantu Orang Tua
Mangindar Simbolon lahir sebagai sulung dari delapan orang bersaudara anak pasangan M.W. Simbolon (Guru agama, Pengurus Gereja) dan T. boru Malau (petani pekerja keras). Dari pasangan ini lahir delapan anak masing-masing Ir. Mangindar Simbolon, MM (Bupati Samosir 2005-2010 & 2010-2015); Siti Simbolon (lulusan IKIP, Guru SMP sembari mengabdi sebagai pengurus gereja di Cilangkap, Jakarta Timur); Alfared D. Simbolon (Sarjana Kehutanan, PNS pada Dinas Kehutanan Samarinda, Kaltim); Resty Simbolon (sekolah agama tidak sampai lulus, Ibu Rumah Tangga di Bengkulu); Montiana Simbolon (lulusan IKIP, Guru SMA di Balige); Teksin Oberia Simbolon (Kepala Sekolah SMP di Rianiate, Kabupaten Samosir); Lastuana Simbolon (Guru/Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir); dan Jogar Simbolon (kader Partai Hanura yang kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Samosir).
Bersama tujuh adik-adiknya, Mangindar menghabiskan masa kecil di Desa Hutanamora, Kecamatan Pangururan, yang dulu di masa awal kemerdekaan masuk dalam wilayah Kenagarian Rianiate. Di masa lalu Kenagarian Rianiate lebih populer daripada nama Desa Hutanamora dan Kecamatan Pangururan. Masa kecil yang penuh keakraban dan kerja keras di ladang dan sawah milik keluarga.
Di masa kanak-kanak, Mangindar tampaknnya bukan tipe anak yang lekat dengan kenakalan anak-anak. Dia termasuk anak yang penurut, tidak neko-neko, tidak terlalu banyak permintaan dan taat pada orang tua.
Sebagai anak seorang guru agama yang juga pengurus gereja, dia lebih awal mengenal lembaga pendidikan. Sebelum masuk SD Negeri 1 Rianiate tahun 1965, dia sudah kerap mengikuti ayahnya yang mengajar Sekolah Minggu di gereja. Kebetulan rumah tempat tinggal keluarga M.W. Simbolon berdekatan dengan gereja.
Jauh sebelum masuk sekolah dasar, M.W. Simbolon memberi landasan spiritual pada Mangindar kecil melalui keaktifan mengikuti Sekolah Minggu. Sejak dini Mangindar menerima pengajaran nilai-nilai rohani yang biasanya sangat mempengaruhi kehidupan anak manusia di masa-masa berikutnya. Peletakan pondasi rohani yang cukup dini ternyata kurang seiring dengan masa Mangindar memasuki dunia sekolah formal. Dia masuk ke SD Negeri 1 Rianiate pada usia lebih dari tujuh tahun lantaran badannya relatif kecil. Tak mengapa sedikit terlambat, dia jadi jauh lebih matang dibandingkan teman-temannya sekelas dan berhasil menjadi pemuncak (juara).
“Saya masuk sekolah sudah lebih dari tujuh tahun karena waktu kecil badan saya juga termasuk kecil. Mungkin pernah pula sakit-sakitan. Gara-gara badan kecil, jadi cenderung agak lama masuk sekolahnya. Barangkali karena sudah terbiasa di Sekolah Minggu dan usia relatif lebih matang, saya waktu itu termasuk mudah belajar di sekolah. Saya masih ingat waktu itu, walau secara formal tidak disebutkan juara kelas, tapi mulai kelas satu itu saya dianggap pemuncak. Jadi bisa cepat belajar lah,” ujar Mangindar sembari menambahkan bahwa satu kelas di SDN 1 Rianiate dijejali sekitar 30 murid.
Namun, Mangindar tidak secara tiba-tiba menjadi pemuncak. Pada mula masuk sekolah, dia lebih banyak diam. Dia kurang berani memulai sesuatu untuk proaktif. Tentang masa-masa awal sekolah, dia berkisah:
“Saya melihat dulu, menunggu, terlebih dulu belajar dari keadaan. Ya, mungkin itu tipe saya. Di awal masa sekolah SD itu, secara visual, guru melihat saya tidak terlalu menonjol. Di tahun kedua, kelas dua, tiga, dan seterusnya, guru sudah tahu kemampuan saya yang sesungguhnya. Ada pengalaman-pengalaman yang waktu itu bagi saya sebenarnya mendebarkan sekaligus juga ada tantangan. Waktu duduk di kelas dua atau kelas tiga, saya dipanggil oleh Pak Malau, guru kelas lima atau kelas empat yang tengah mengajar aljabar. Beliau marah-marah pada muridnya karena kurang mampu mencerna apa yang diajarkan. Saya kemudian disuruh mengajar di kelas empat atau kelas lima tersebut. ‘Coba dulu kamu ajari, bodoh-bodoh ini orang’. Saya sempat bingung juga, baru kelas dua kok disuruh mengajar kelas lima. Tapi saya punya logika-logika yang sudah dipelajari di kelas dua waktu itu. Ternyata beberapa soal aljabar itu bisa saya pecahkan. Saya masih sempat dengar Pak Malau marah-marah, ‘eh ini Mangindar baru kelas dua bisa mengerjakan, kalian kok nggak tahu’. Sebenarnya saya malu juga. Ini sesuatu yang mendebarkan, tantangan, karena saya dianggap melebihi murid-murid yang lain. Ada pertimbangan guru seperti itu ya. Bagi saya itu malah menjadi beban sekaligus dorongan untuk belajar lebih serius. Ini pengalaman tak terlupakan di SD dulu.”
Di sela-sela senggang masa sekolah, Mangindar tidak banyak menghabiskan waktunya untuk bermain-main dengan teman-teman sebaya. Dia lebih banyak membantu orang-tuanya di ladang dan sawah milik keluarga. Kadang mencangkul lahan yang hendak ditanami, kadang pula memberi makan atau memandikan kerbau. Juga membantu pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga ibunya. Sampai-sampai, Mangindar kecil sudah pintar memasak kuliner tradisional Batak Samosir. Dia memang agak berbeda dibandingkan kebanyakan anak seumurannya yang lebih banyak mengisi waktu luang buat bermain-main.
“Di sela-sela aktivitas sekolah di SD itu saya lebih condong sering membantu orang tua di ladang, di sawah, dan di rumah. Saya pintar masak lho dulu. Karena saya selalu memperhatikan setiap apa yang dikerjakan oleh orang lain. Pelan-pelan belajar, menyimak setiap hal yang dilakukan oleh orang lain. Tidak sulit bagi saya untuk mengikuti. Bisa masak, pekerjaan di ladang, macul itu saya kerjakan. Itu barangkali yang membuat diri saya berbeda persepsinya soal masa kanak-kanak. Misalkan pulang sekolah, makan siang, siang-sorenya ke ladang membantu orang tua. Saya senang dan menikmati semua aktivitas itu. Sambil membantu orang tua di ladang dan di sawah, saya merefleksi pelajaran di sekolah. Saya ulang dalam pikiran, saya mengingat-ingat kembali. Tidak bawa buku, saya bisa mengatur konsentrasi. Saya ingat-ingat apa yang disampaikan guru di kelas. Orang melihat saya seperti tidak pernah belajar serius. Formal kelihatannya tidak belajar. Tapi. kok ujian selalu bisa,” papar Mangindar mengenang masa kecil yang akrab dengan dunia tani dan ladang. Dia termasuk anak yang tidak terlalu terpaku belajar di belakang meja. Dia mampu belajar pada berbagai kondisi dan situasi. Sebuah kemampuan yang sangat menguntungkan baginya.
Itulah sebabnya pula, kendati larut di dunia tani dan ladang, sebenarnya masa kecil Mangindar tidak lantas jauh dari dunia anak-anak yang lekat dengan dunia main-main. Tanah warisan keluarga Simbolon lumayan luas, ada sedikit sawah untuk padi dan ladang buat tanam ubi. Memang tidak sampai puluhan hektar. Tanah warisan sang kakek yang termasuk keturunan raja-raja di Samosir. Dari dunia ladang dan sawah, dia justru mampu menikmati masa main-main yang mewarnai dunia kanak-kanak. Berkat dunia ladang dan sawah, dia mampu meramu aktivitas belajar pada alam dan permainan di balik kegiatan bertani dan berladang. Bisa membantu orang tua, memahami pekerjaan-pekerjaan lain dan pelajaran sekolah pun tidak ketinggalan. Sebuah aktivitas yang sungguh menyenangkan buat dinikmati. Buah dari sesuatu yang terpaksa harus diikuti.
Mangindar menikmati betul aktivitas bekerja, belajar sekaligus bermain. Dia menceritakan:
“Barangkali itu keunikan tersendiri masa kanak-kanak saya. Saya menikmati aktivitas bekerja sambil belajar sejak kecil. Tidak ada unsur keterpaksaan. Umumnya sepulang sekolah, kadang juga sebelum berangkat ke sekolah. Saya masuk sekolah jam 07.30. Pada masa tanam sekitar bulan November-Desember, petani masanya membajak sawah dengan kerbau. Tugas saya menarik atau mengarahkan kerbaunya di depan. Karena badan saya kecil, tak mungkin memegang bajaknya. Fisik jadi terlatih di udara pagi yang begitu dingin. Kaki kerbau tendang air, kena badan saya, sudah dingin lapar lagi. Kadang ada pekerjaan yang rasanya tanggung padahal saya harus buru-buru ke sekolah. Kadang nggak sempat mandi, hanya cuci kaki yang penuh lumpur, jadi tidak bersih betul. Pada masa itu, musim tanam di daerah kami hanya sekali setahun, karena belum ada irigasi. Sore hari saya, kadang-kadang bersama adik-adik, ke ladang membantu ibu saya yang memang petani pekerja keras. Ikut  menanam kacang dan ubi. Itu yang umum di ladang kami. Mungkin zaman telah berubah sekarang, anak-anak cuma diarahkan ke sekolah.
Lalu di mana saya bisa bermain? Di masa saya kecil dulu, banyak orang Batak yang menugaskan anak-anaknya untuk ngangon kerbau. Saya sih tidak terlalu berpengalaman, karena kerbau milik orang tua tidak banyak lagi, hanya 3-4 ekor. Di tempat penggembalaan ternak itu, teman-teman cerita lebih susah lagi, panas terik kering kerontang, harus jagain kerbau. Kerbau kami dulu sudah pakai tali. Hanya sekali-sekali memandikann kerbau. Di saat masa membajak sawah, sore hari saya bermain-main menarik kerbau yang kotor ke sungai terdekat untuk dimandikan.
Permainan yang digandrungi teman-teman sebaya saya waktu itu tidak banyak. Kebanyakan dari teman saya menyukai sepak bola. Bola yang dipakai bukan bola yang asli. Ada bola palstik atau jeruk bali. Yang banyak sih bola plastik. Tapi terus terang saya tidak punya banyak waktu untuk bermain bola. Karena banyak membantu orang tua, terutama ibu yang petani. Sedangkan ayah saya yang bekerja sebagai guru, hanya sekali-sekali ikut ke ladang.”

B.   SMP yang Mengubah Alam Pikir
Landasan spiritual yang kuat dari ayah dan etos kerja keras dari ibu membuat Mangindar cukup matang memasuki bangku SMP. Selepas SD Negeri 1 Rianiate tahun 1970, dia melanjutkan ke SMP Negeri 1 Pangururan. Berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumah tempat tinggal di Desa Hutanamora. Saban hari, dia pergi-pulang sekolah naik sepeda, sesekali waktu saja dia berjalan kaki ke sekolah.
Di bangku SMP, Mangindar merasa mengalami banyak perubahan yang memotivasi dirinya untuk belajar lebih giat lagi. Karena, katanya, banyak ilmu-ilmu dasar yang diperolehnya yang kemudian membekas dalam benaknya sampai sekarang. Misalkan pelajaran Geografi. Dari ilmu ini, dia memperoleh pengetahuan tentang atol, karang yang berbentuk cincin. Juga ilmu-ilmu dasar lain yang ternyata sangat bermanfaat sebagai modal dan bekal buat menapaki bangku sekolah berikutnya.
Selain ilmu dasar, perubahan di bangku SMP yang mampu mendorong dirinya adalah penataan dan manajemen siswa yang lebih formal. Arti kata, sudah ada apresiasi resmi juara kelas dan juara umum sekolah. Sejak kelas satu, tiap kali terima rapor, sudah diumumkan siapa yang tampil sebagai juara kelas dan juara umum sekolah. Di kelas satu Mangindar berhasil tampil sebagai juara kelas. Kemudian di kelas dua dan kelas tiga dia menyabet prestasi juara umum.
Sebagai sosok siswa beprestasi, Mangindar pun didaulat menjadi ketua kelas saat di bangku kelas dua. Sebenarnya, di kelas satu dia sudah diarahkan menjadi ketua kelas tapi dia menampik. “Waktu itu ada kecenderungan bahwa siswa yang agak pintar diarahkan jadi ketua kelas. Tapi saya menyadari, badan saya kecil, dan teman-teman saya berbadan besar. Jadi kurang pede. Di kelas dua, saya tidak bisa mengelak. Semua teman di kelas dan guru mendorong saya untuk jadi ketua kelas. Saya lakoni dengan tantangan juga. Sebagai ketua kelas, kan kita harus menjadi teladan, yang terbaik, dan mampu mengurus hal-hal di luar pelajaran. Sepanjang hidup saya, pendidikan yang paling nikmat itu SMP,” ujar lelaki yang kini dikaruniai empat orang anak ini.
Benar memang, ketua kelas tak hanya berkutat dengan urusan pelajaran formal bagi teman-temannya. Bahkan, ketua kelas harus tampil di depan manakala ada duka menimpa salah seorang siswa. Misalkan ketika temannya yang bernama Harapan Naibaho ditinggal meninggal ibunya (marga Malau). Sebagaimana tradisi ritual kematian suku Batak (Samosir), relasi dan kerabat yang datang wajib memberikan sepatah kata duka pada tuan rumah yang tengah dirundung nestapa ditinggal orang terkasih. 
Ketika melayat keluarga Harapan Naibaho, Mangindari harus menyampaikan kata sambutan mewakili kawan-kawan sekolah. Padahal, seumur-umur dia belum pernah berbicara di depan publik. Di ritual kematian, tidak hanya datang teman sekolah Harapan Naibaho, banyak pula kerabat dan orang tua tetangga sahibul musibah. Bagi Mangindar yang baru gedhe, tentu bukal hal gampang berbicara di hadapan banyak orang.
Setelah beberapa kerabat dan tokoh masyarakat setempat menyampaikan sepatah kata dukacita, dengan penuh rasa tanggung jawab, Mangindar pun berbicara singkat namun sarat makna. “Saya sampaikan antara lain bahwa kodrat manusia itu akan mati, hanya berbeda waktu, dan seterusnya. Saya kutip beberapa ayat tentang kematian dari Alkitab yang pernah saya pelajari. Saya sudah bisa ngomong begitu waktu itu. Saya tidak berbicara adat, karena saya belum paham soal adat kematian. Banyak orang yang memeluk dan menepuk-nepuk bahu saya ‘wah ini anak siapa kok pinter’. Saat mau pulang, kawan-kawan juga menyalami, ‘wah bagus pak ketua, semua orang tua memuji’. Dan, inilah salah satu pengalaman yang kemudian menjadi modal pengalaman di forum-forum serupa berikutnya. Berangkat dari keterpaksaan sebagai ketua kelas, saya semakin percaya diri tampil di muka umum, apalagi saya berpredikat sebagai juara umum terus,” kata Mangindar mengenang peristiwa yang membuat dirinya tersipu-sipu dalam rasa bangga.
Di SMP pula, Mangindar sudah menggantungkan cita-cita. Dia bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Siantar. Ihwal cita-citanya mengkristal pada kelanjutan pendidikan di STM selulus SMP, dia bertutur:
“Sejak kelas dua SMP, saya bercita-cita melanjutkan ke STM. Karena sudah tahu kondisi petani itu seperti apa, saya merasa teknk mesin itu banyak mengubah kehidupan dunia. Ketika saya masih di SD dan juga di SMP ada pendeta kami di kecamatan kadang-kadang datang ke gereja kami. Lantaran ayah saya juga pengurus gereja, kadang pendeta datang ke rumah kami makan bersama. Tanpa sadar pendeta menilai saya. Pendeta ini menilai dialog saya dengan ayah saya, ‘wah berbakat juga anak ini, nanti tamat SMP masuk STM saja di Siantar ya’. Dulu di sana ada STM HKBP. Itu STM-nya gereja juga, yayasan, tapi berkualitas. Waktu itu yang saya tangkap ceritanya adalah siapa yang juara di STM itu akan diberi besasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, ke Jerman. Itu yang terngiang di kepala saya, wah saya harus ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan teknik setelah selesai dari STM.”
Cita-cita tinggal cita-cita. Teman Mangindar yang juga ingin melanjutkan ke STM di Siantar, Junimaha Sinaga, tidak diizinkan oleh orangtuanya untuk menggapai cita-cita di Siantar. Padahal, Mangindar sudah merancang rencana untuk bersama-sama melanjutkan sekolah ke STM HKBP tersebut. Tak pelak, M.W. Simbolon --ayah Mangindar-- pun tidak memberi izin. M.W. Simbolon merasa was-was melepas anak sulungnya ke Siantar yang di masa itu terasa amat jauh dari Pangururan. Apalagi di sana harus indekos walau ada asrama yang disediakan oleh yayasan.

C.   Memasuki SMA dengan Jiwa Kecewa
Mengindar benar-benar kecewa saat lulus SMP Negeri 1 Pangururan tahun 1973 tidak diizinkan melanjutkan ke STM HKBP di Siantar. Ayahnya tidak rela melepas Mangindar merantau ke Siantar mengejar mimpi menjadi yang terbaik di STM HKBP agar dapat meraih beasiswa buat melanjutkan kuliah di Jerman. Akibat ketiadaan izin ayahnya, dia hanya punya satu pilihan melanjutkan sekolah, yakni mendaftarkan ke SMA Negeri Pangururan –satu-satunya SMA negeri di Pangurusan ketika itu. Bersyukur, dia mulus-mulus saja diterima di SMA kebanggaan warga Samosir terebut.
Pendek cerita, dengan hati dan jiwa kecewa, Mangindar memasuki bangku SMA Negeri Pangururan di tahun ajaran 1974. Dia melampiasakan kekecewaanya dengan bermalas-malasan berlajar di kelas satu. Hasilnya, beberapa nilai merah mewarnai rapornya pada caturwulan I kelas satu SMA. “Saya kecewa benar, kecewa berat. Saya kehilangan semangat bersekolah. Karena sudah ada jiwa berontak di masa remaja, saya protes dengan sengaja mengacuhkan semua pelajaran sekolah. Hasilnya, pada caturwulan I dan II ada nilai merah di rapor saya. Ah ngapain sekolah di sini, nggak sesuai dengan cita-cita. Beberapa guru dan orang tua berusaha membesarkan hati saya, pada caturwulan III tidak ada lagi nilai merah. Mungkin krisis sudah terlewati, tidak akan pindah, tetap di SMA itu. Kembali potensi aslinya. Waktu kenaikan kelas, saya juara lagi, juara kelas,” kenang Mangindar.
Dengan predikat juara kelas, Mangindar naik ke kelas dua SMA Negeri Pangururan. Krisis dan protes terhadap rasa kecewa telah berlalu. Dia sangat bersyukur, krisis akibat rasa kecewa tidak berkepanjangan. Kesadaran dirinya demikian kuat untuk melawan energi negatif dari rasa kecewa. Dia bersyukur pada Tuhan yang memberikan multitalenta kepada dirinya. Bersyukur pula dia memiliki orang tua (ayah) yang senantiasa persuasif dalam mendekati anak-anaknya ketika ditimpa krisis spirit. Pun bersyukur guru-guru di SMA Negeri Pangururan yang menyentil mental juara yang ada dalam dirinya.
Pada dasarnya muncul kesadaran diri untuk keluar dari krisis akibat kekecewaan tak dapat melanjutkan ke STM HKBP. Kata Mengindar lebih lanjut:
“Rapor caturwulan I banyak nilai merah, caturwulan II juga masih ada beberapa nilai merah. Melihat keadaan ini tumbuh kesadaran sendiri. Orang tua pun tidak marah, beliau tidak pernah melakukan pendekatan dengan kemarahan, lebih suka ke pendekatan psikologis. Orang tua berusaha memulihkan saya. ‘Ya sudahlah, cita-cita itu kan tidak selalu harus tercapai, banyak cara dan jalur lain yang bisa ditempuh’. Orang tua, terutama ayah saya, berusaha membesarkan hati yang tengah kecewa. Saya juga berproses. Guru-guru di SMA Negeri Panguruan pun relatif masih baru, rata-rata sarjana tamatan IKIP, masih muda-muda. Mereka menyentil juga, ‘kau ini di SMP juara umum kok begini hasil rapormu’. Saya diam sejenak, kemudian saya kasih tahu bahwa sebenarnya saya tidak berniat melanjutkan sekolah di SMA. Akhirnya guru-guru ikut memulihkan mental saya, ‘jalur menuju sukses itu kan tidak harus jalur itu saja, boleh juga jalur yang ini, potensimu besar’. Berbagai dorongan orang-orang terkasih itu, mental juara saya cepat pulih.”
Bersyukur Mangindar dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti dan memahami potensi –baik intelektual, mental maupun spiritual. Terutama ayahnya yang berprofesi sebagai guru agama dan pengurus gereja. Dari ayah tercinta dia memperoleh pondasi spiritual yang cukup kuat. Ayahnya tidak sekadar mengajari ayat-ayat suci yang terasa tidak membumi. Ayahnya mengajari melalui suri tauladan tindakan nyata dan seremoni-seremoni di gereja yang benar-benar dirasakan oleh jemaat.                     
“Memang gaya pengajaran ayah saya tidak bersifat dogmatis, lebih ke aplikasi tapi berbasis dogma agama. Itu yang selalu ditekankan. Kalau sedang khutbah, yang mendengar langsung tergerak dan tertarik. Persuasinya bagus dan selalu mengukur ke kehidupan sehari-hari. Walaupun beliau mengulas berbagai hal dengan dogma agama, beliau selalu kembali mengaitkan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Beliau jarang marah, jarang menggurui, tapi sekali ngomong ada filosofi yang disampaikan. Itu sudah saya tangkap,” jelas Mangindar yang senantiasa tersentuh oleh omongan ayahnya yang sarat makna dan pesan moral.
Berkat makna dan pesan moral yang menghunjam dalam benaknya secara terus-menerus, mental spiritual Mangindar semakin kuat dan kian tahan terpaan krisis. Dan dia pun selalu mengambil hikmah di balik segala sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Hikmah terbesar di balik kegagalannya melanjutkan ke STM adalah terbitnya peraturan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menegaskan bahwa lulusan STM tidak boleh melanjutkan ke perguruan tinggi pada pertengahan tahun 1975. Ditambah lagi, pada pertengahan 1976, dia terpilih sebagai Juara Pelajar Teladan II tingkat Kabupaten Tapanuli Utara serta memperoleh undangan masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).

D.   Harmoni Kerja Keras dan Spirit Tulus Hati
Tidak hanya sebatas kata-kata bermakna filosofis dan pesan moral yang diajarkan ayahnya, M.W. Simbolon. Satu pondasi yang juga menguatkan mentalitas dan spiritualitas seorang Mangindar. Dalam keseharian diri ayahnya mengalir nilai-nilai kearifan anak manusia. Di antaranya nilai bahwa setiap manusia wajib menjunjung dan mengembangkan sikap mengasihi dan memberi pada sesama manusia.   
“Prinsip memberi yang ada pada diri ayah saya agak bertentangan dengan prinsip ibu saya yang pekerja keras, agak cerewet, dan sedikit pelit. Bukan pelit sebenarnya, tapi hemat. Hemat sekali, sampai terkadang dianggap pelit. Bapak saya agak bertentangan, kalau ada tamu orang lain, apa yang ada di rumah harus dikasih atau dihidangkan. Ada kepuasan batin ayah saya, bila siapa saja yang datang ke rumah bisa merasa puas. Sementara ibu penuh perhitungan dan rasional. Ibu saya bekerja di ladang, sawah, beternak, semuanya dikerjakan. Wajar saja bila ibu saya sangat perhitungan, menghemat pengeluaran. Keduanya sering bertentangan prinsip walaupun bapak saya selalu berusaha beradaptasi. Selalu keluar kata-kata beliau yang menyejukkan. Akhirnya hati ibu saya lumer juga,” papar Mangindar Simbolon.
Dalam diri M.W. Simbolon juga mengalir nilai tanggung jawab, teliti dan cermat. Berkat nilai-nilai tersebut, M.W. Simbolon cukup lama dipercaya sebagai bendahara gereja. Bahkan, ketika dirinya menjadi pemimpin jemaat ternyata diminta tetap sebagai bendahara. Padahal, dari sisi organisasi modern, perangkapan jabatan seperti tidak boleh terjadi.
Terang Mangindar, “Di urusan gereja, bapak saya cukup lama dipercaya jadi bendahara. Yang saya salut, dia teliti dan cermat soal uang. Dia sangat terbuka, akuntabel istilah sekarang. Pembukuannya detil sekali. Beliau bilang ini uang gereja, tidak boleh diselipkan, tidak boleh sampai salah hitung. Lebih baik uang pribadi kita yang keliru perhitungan atau berkurang. Kalau uang gereja nggak boleh. Ini satu ajaran tentang tanggung jawab. Di sana namanya panatua gereja, melekat sekali namanya. Beliau juga punya jabatan lain, yakni bendahara dan  pimpinan jemaat. Sebagai pemimpin jemaat, mestinya tidak boleh merangkap jadi bendahara. Itu teori organisasi kan. Tapi semua jemaat di sana mengatakan belum ada yang bisa mengganti. Merangkaplah dulu yang sebenarnya salah secara organisasi. Saya bilang juga, waktu itu saya sudah bekerja, ayah kan pimpinan jemaat kok masih merangkap bendahara. Diterangkan lah panjang lebar ke saya. Ooo begitu, apa nggak ada yang bisa dikader jadi bendahara? ‘Memang ada tapi tidak semudah itu, karena banyak jemaat gereja yang trauma kalau pengurus tidak fair soal uang’. Itu bumerang di sana. Itu satu ajaran lagi dari beliau, bahwa urusan ibadah ini nggak boleh main-main, jangan coba-coba menyeleweng. Dulu kan banyak uang logam, coin, banyak tuh di rumah saya. Minggu pagi-pagi beliau menghitung dan mencatat, dikumpulkanlah pecahan yang sama. Tiap minggu beliau bikin laporan ke umat. Banyak yang percaya. Semasa ayah saya jadi bendahara, pembangunan gereja cukup gencar dan lancar. Banyak dana mengucur dari para perantau.”
Begitulah Mangindar benar-benar bersyukur, ayahnya yang penuh tanggung jawab dan mengasihi sesama (dalam arti murah hati memberi) berpadu dengan ibunya yang pekerja keras dan hemat. Sepintas sosok kedua orang tua Mangindar tidak bisa menyatu. Ternyata, di mata Mangindar, keduanya berpadu harmonis dan melahirkan sosok Mangindar yang cerdas, hemat kata, penuh keteladanan, dan terbuka. Sosok yang mampu menjadi pelita bagi masyarakat Samosir yang relatif tertinggal dibandingkan masyarakat daerah lain di Propinsi Sumatera Utara. ***

No comments:

Post a Comment