"BPJS belum diposisikan sebagai
badan hukum publik."
Persiapan
pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan terus bergulir. Dari sekian banyak
peraturan pelaksana yang dibutuhkan agar BPJS Kesehatan berjalan, salah satunya
RPP Pengelolaan Aset Dan Liabilitas BPJSKesehatan Dan Dana Jaminan Sosial
Kesehatan. Rancangan peraturan yang sering disebut RPP Alma itu pada intinya
mengatur sejumlah hal. Mulai dari pengelolaan aset, dana cadangan untuk
membayar klaim peserta, biaya operasional BPJS, investasi dan laporan.
Menurut
Guru Besar Fakultas Kesehatan MasyarakatUI, Hasbullah Thabrany, secara umum RPP
Alma harus dibenahi.Iamenilai RPP Alma masih memandang BPJS seperti perusahaan
atau BUMN. Misalnya, ada ketentuan yang memisahkan aset BPJS dengan dana
Jaminan Sosial (Jamsos). Padahaldalam konsep badan hukum publik, kedua hal itu
tidak perlu dipisahkan karena aset BPJS dan dana Jamsos milik peserta. Jika
pemisahan itu dipertahankan, Hasbullah khawatir manfaat yang diterima peserta
nantinya tidak maksimal. Sebab, pemisahan itu berpotensi memunculkan pandangan
yang menganggap aset BPJS harus lebih besar daripada dana Jamsos.
Hasbullah
juga melihat pemisahan tersebut disinggung UU BPJS, oleh karenanya ke depan UU
itu penting direvisi. Pemisahan aset BPJS dan dana Jamsos bagi Hasbullah ikut
mempengaruhi penentuan biaya operasional atau imbal jasa yang diperoleh BPJS.
Untuk menghitung berapa besarannya, PT Askes dan Jamsostek harus menjabarkan
secara transparan berapa ongkos operasional yang selama ini digunakan.
Mengingat PT Askes dan Jamsostek bakal beralih menjadi BPJS maka hasil
pemaparan itu dipakai sebagai bahan evaluasi guna menentukan berapa ongkos
operasional yang pantas diterima BPJS.
Biaya
operasional itu diharapkan tidak hanya digunakan untuk membiayai kegiatan rutin
yang digelar BPJS seperti upah jajaran komisaris, direksi dan pekerja. Lebih
jauh lagi Hasbullah merasa biaya penelitian untuk BPJS harus tercakup dalam
biaya operasional. Sehingga ke depan ongkos penelitian yang diperlukan dalam
rangka mendorong BPJS lebih berkualitas tidak perlu menunggu dana dari lembaga
donor. Tentu saja beragam biaya operasional yang dibutuhkan harus dibuka kepada
publik berapa besarannya karena BPJS adalah badan hukum publik.
Selain itu,
Hasbullah melihat RPP Alma memposisikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai
lembaga yang mengawasi keuangan BPJS. Menurutnya hal itu tidak tepat karena
BPJS diawasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Walau kedua lembaga itu
sama fungsinya sebagai pengawas namun punya perbedaan mendasar. Yaitu OJK
ditujukan untuk mengawasi industri jasa keuangan. Mengingat “jasa” sifatnya
bukan pungutan wajib maka berbeda dengan BPJS yang memungut iuran wajib
pesertanya. “Jadi BPJS tidak perlu diawasi OJK,” katanya dalam diskusi di
kantor Elkape Jakarta, Kamis (22/8).
Merujuk
peran penting itu Hasbullah menekankan DJSN perlu diperkuat baik secara
kelembagaan dan personilnya. Ia menyarankan agar DJSN sekuat OJK karena dana
yang bakal dikelola BPJS jumlahnya diperkirakan lebih dari seribu triliun
rupiah. Selain DJSN, BPJS juga diawasi Dewan Pengawas, tapi menurutnya DPR
perlu dilibatkan karena mekanisme pengawasannya cenderung terbuka untuk publik.
Terkait
pemantauan dan evaluasi, Hasbullah melihat RPP Alma masih mengutamakan peran
Menteri. Misalnya, ada ketentuan yang memberi kewenangan Menteri untuk
mengkoordinir rapat evaluasi. Padahal, mengacu pasal 39 ayat (3) UU BPJS, DJSN
posisinya sebagai pengawas eksternal. Sehingga DJSN melakukan monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan program Jamsos. Begitu juga dengan penentuan anggaran,
ketimbang menteri Hasbullah lebih sepakat hal itu menjadi ranah DJSN. “Sudah
jelas dalam UU, DJSN melakukan kebijakan umum dan pengawasan untuk BPJS,”
ucapnya.
Soal
investasi, Hasbullah menegaskan sangat penting memperhatikan aspek solvabilitas
dan likuiditas dan itu dapat dihitung secara matematis. Oleh karenanya, ia
berpendapat 80 persen investasi BPJS lebih layak berbentuk obligasi. Ia juga
berpandangan keuangan BPJS akan bersinggungan dengan UU Perpajakan, mengingat
BPJS bentuknya badan hukum publik maka peraturan perundang-undangan terkait
pajak perlu disesuaikan dengan BPJS.
Misalnya,
pajak hasil investasi BPJS dikenakan ketika peserta menerima uang yang
dikelola. Sehingga dalam penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan, pajak dikenakan
saat peserta mencairkan uang Jaminan Hari Tua. Sedangkan pengenaan pajak itu
menurut Hasbullah ditujukan mendorong peserta BPJS untuk tetap menyimpan
uangnya di BPJS. Untuk pajak badan, Hasbullah berpendapat tidak dikenakan
kepada BPJS.
Terkait
laporan keuangan, Hasbullah melihat RPP Alma bentukan Kemenkeu itu menganggap
BPJS seperti lembaga keuangan. Misalnya, BPJS perlu memberikan laporan kepada
OJK dalam rangka pengawasan. Menurutnya, BPJS terutama Kesehatan, bukan
melaksanakan bisnis jasa keuangan. Sebab dalam BPJS tidak ada proses yang
diputuskan direksi atau pemilik yang tujuannya memupuk laba. Jika ada
penyalahgunaan wewenang atau aturan yang dilanggar, BPK dan KPK dapat turun
tangan.
Mestinya,
Hasbullah menandaskan, susunan laporan BPJS itu berkaitan dengan
penyelenggaraan jaminan kesehatan dan sosial. Seperti, berapa jumlah pasien
yang dirawat dan jenis penyakit apa yang banyak menimpa pasien. Menurutnya hal
itu yang diamanatkan UU SJSN dan BPJS, yaitu perlindungan kesehatan dan sosial.
RPP Alma hanya mengamanatkan agar laporan BPJS dipampang dalam website.
Mengingat BPJS merupakan badan hukum publik, cara itu tidak tepat. Harusnya,
laporan disampaikan secara aktif dan menjamah sampai ke tempat tinggal
masyarakat. Contohnya, selain website, laporan itu dipampang di kecamatan dan
kelurahan.
Pada
kesempatan yang sama mantan Dirut PT Askes danKetua Tim SJSN 2001-2004,
Sulastomo, menekankan BPJS harus memegang prinsip kehati-hatian dalam mengelola
keuangan. Baik pelayanan kesehatan atau investasi. Sekalipun dibolehkan untuk
berinvestasi, BPJS perlu memperhatikan likuiditas. Sehingga mampu memiliki dana
cadangan untuk membayar klaim. Jika dana yang ada tidak cukup membayar klaim,
pemerintah harus menanggungnya. Selain itu ada pilihan lain yaitu menaikan
besaran iuran BPJS.
Selaras
dengan itu Sulastomo menyarankan agar peraturan tentang iuran BPJS dijadikan
dalam satu regulasi. Sehingga, calon peserta dapat memperkirakan apakah mereka
dapat membayar iuran atau tidak. Terkait Surplus, Sulastomo melihat RPP Alma
mengatur agar menjadi aset BPJS. Sebagaimana Hasbullah, Sulastomo mengingatkan
bahwa hal itu akan bersinggungan dengan peraturan terkait perpajakan. “Harus
tegas dinyatakan dalam perpajakan, bahwa BPJS tidak dipungut pajak,” ucapnya.
Sementara
Ketua DJSN, Chazali Husni Situmorang, mengatakan lembaga yang dipimpinnya sudah
menerbitkan dan melayangkan RPP Alma ke berbagai kementerian. Namun, Kemenkeu
lebih aktif menyikapi RPP Alma dan merancang kembali. Namun, yang terpenting
bagaimana mengelaborasi pasal-pasal dalam RPP Alma agar selaras dengan UU BPJS.
Sekalipun ada yang terlewat diatur dalam UU BPJS, namun perlu dibentuk aturan,
maka hal itu memungkinkan asal tidak menabrak regulasi lain. Tapi, jika
terdapat inkonsistensi dalam RPP Alma, sesegera mungkin diubah karena peraturan
itu harus diterbitkan sebelum akhir tahun ini.
“Prinsipnya,
kalau didasarkan niat baik tanpa ego sektoral dan lembaga, maka tidak sulit RPP
Alma dirumuskan,” tutur Chazali.
Tak
ketinggalan Chazali mengingatkan, untuk likuiditas, lebih ditekankan kepada
BPJS Kesehatan. Sedangkan investasi lebih bersinggungan dengan BPJS
Ketenagakerjaan. Pasalnya, BPJS Kesehatan harus mengelola dengan benar dana
yang ada untuk membayar klaim peserta dan meningkatkan pelayanan kesehatan.
Sementara BPJS Ketenagakerjaan, membutuhkan investasi untuk membayar manfaat
peserta. “Aksesibilitas peserta harus diperhitungkan, jadi mana jangka pendek
dan panjang,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment