Sunday, August 25, 2013

Merajut Masa Depan sebagai Pegawai Negeri



* TIGA


Sebagian besar keunggulan disebabkan oleh sikap dan kebiasaan positif.
William Paley, Pimpinan Columbia Broadcasting

BANYAK sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi bermimpi untuk cepat-cepat memperoleh status Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebuah mimpi, karena persaingan untuk berebut kursi CPNS/PNS amat ketat. Bahkan, tidak sedikit dari mereka rela mengikuti beberapa kali tes saban kali dibuka formasi PNS. Rela menganggur bertahun-tahun demi gengsi status PNS yang prospektif dan terjamin di masa pensiun.
Tidaklah demikian Mangindar Simbolon. Dia adalah sedikit dari sarjana yang belum resmi diwisuda sudah bertatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).  Sebuah nasib yang sebenarnya tidak direncanakan oleh seorang Mangindar. “Pak, saya nggak ada niat bekerja di Sumut. Di sana kan tidak ada hutan lagi,” ucap Mangindar saat dosennya di IPB, Bedyaman Tambunan, memintanya untuk mendampingi (menjadi staf) Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Sumatera Utara Hisar Purba.
Beberapa saat setelah lulus dari Fakultas Kehutanan IPB pada Mei 1981, Mangindar menemui Bedyaman Tambunan untuk mencari informasi lowongan kerja di perusahaan-perusahaan HPH yang beroperasi di Kalimantan. Selama masa perkuliahannya di IPB, dia banyak dilibatkan oleh Bedyaman dalam kegiatan survai hutan di Bumi Borneo. Tapi, bukan info lowongan kerja di Kalimantan yang dia peroleh. Justru dia diminta Bedyaman agar segera ke Medan menjumpai Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara yang kala itu membutuhkan sarjana kehutanan yang baru lulus dan berkualitas.   
Lantaran kedekatan dan kegigihan Bedyaman, Mangindar akhirnya tak mampu mengelak. Dia kemudian berangkat ke Medan. “Ini lain Simbolon, dia orang hebat. Bantulah dia, supaya jadi bakal menteri,” ujar Bedyawan sebagaimana ditirukan oleh Mangindar kepada tim Indomedia. Mangindar mencoba bertahan pada niatnya untuk tetap dapat bekerja di Kalimantan. “Ok, kamu pulang dulu ke kampung halaman sekarang. Terserah, mau atau tidak, tolong bawa surat saya ini ke Pak Hisar Purba,” pinta Bedyaman terus berusaha membujuk.
Singkat kisah, Mangindar pun pulang kampung di Desa Hutanamora, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Sebagaimana memenuhi pesan Bedyaman, sebelum ke kampung halaman, dia terlebih dulu mampir ke Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara di Medan buat menyerahkan surat Bedyaman ke Kepala Dinas Hisar Purba. Tanpa diduga-duga, sambutan dan harapan Hisar Purba pada Mangindar begitu besar. Hisar Purba mempersilakannya pulang kampung namun sebelum kembali ke Bogor nanti harus mampir lagi di Medan.
Hisar Purba bernar-benar berharap banyak pada Mangindar yang telah direferensikan oleh Bedyaman Tambunan. Sebab itu, selama Mangindar berada di kampung halaman (Samosir), Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara itu mengirim surat pengajuan pegawai baru ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Kehutanan Departemen Pertanian. Dan Surat Keputusan mengenai status kepegawaian Mangindar pun langsung pasti. Terhitung mulai tanggal 7 Juni 1981 dia bertatus pegawai harian pada Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dari sinilah, Mangindar baru paham kata-kata “pakai perjalanan” mengandung pengertian perjalanan dinas.
Lanjut Hisar Purba, “Kamu nanti wisuda ke Bogor, ambil buku dan pakaian. Tapi sekarang kamu kerja dulu di sini. Soal pakaian gampang, nanti beli saja di sini.” Akhirnya, pada hari itu pula Mangindar mulai bekerja sebagai pegawai harian di Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Sumatera Utara.

A.   Memulai dari Tapak Staf Dinas Kehutanan
Kendati sudah berstatus pegawai harian Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Hisar Purba tidak lantas mengikat erat kehadiran Mangindar di kantor. Mangindar masih diberi kebebasan untuk urusan yang berkaitan dengan formalitas wisuda sarjana yang harus dijalaninya di Bogor. Dia pun tak menyia-nyiakan keluangan yang diberikan oleh kepala dinas.
Walau sudah lulus secara akademik, Mangindar tetap ingin mengikuti wisuda bersama ratusan sarjana yang baru lulus dari IPB. Minimal, ada proses resmi yang disaksikan oleh banyak sahabat dan kerabat yang menggambarkan dirinya adalah sarjana dengan toga kebesaran berlabel IPB. Di sela-sela aktivitasnya sebagai pegawai harian Dinas Kehutanan Sumatera Utara, pada akhir Agustus 1981, Mangindar balik ke Bogor dengan mengajak ayahnya untuk mengikuti acara wisuda sebagai Sarjana Kehutanan.
Selepas acara wisuda, Mangindar balik ke Medan dan ayahnya pulang ke Desa Hutanamora, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Dia kembali ‘mendampingi’ Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba. Memang belum ada kursi untuk posisi dirinya. Namun, dia amat dekat dengan Hisar Purba. Bahkan, dalam keseharian kerja, dia seperti ajudan seorang kepala dinas. Ke mana saja kepala dinas bertugas atau turun ke lapangan, Mangindar harus ada di sampingnya.
“Saya dianggap ajudan Pak Hisar. Beliau ini maniak kerja, sayang hubungan dengan isterinya kurang harmonis. Kalau perlu usai jam kerja di kantor, dilanjutkan dengan kerja di hotel. Modelnya begitu, kerja, makan, kerja lagi, terus begitu. Saya ikuti, saya ambil sisi positifnya, menimba ilmu yang beliau tularkan,” tutur Mangindar Simbolon menyibak memorinya di awal masa kerja di Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara.
Mangindar mengikuti ritme dan irama kerja Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba. Dia memang termasuk orang yang sangat mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru dimasukinya. Prinsipnya dalam bergaul sederhana saja, bak pepatah air orang disauk, ranting orang dipatah dan adat orang diturut. Arti kata, dia orang yang mudah menyesuaikan dirinya di dalam lingkungan yang baru saja diikutinya. Sejak masa kuliah, dia sudah terapkan prinsip pergaulan semacam ini. “Tak lama saya berada di Bogor, saya sudah bisa berbahasa Sunda dan bergaul akrab dengan kawan-kawan di Kota Bogor yang mayoritas penduduknya orang Sunda,” kenang Mangindar.
Mangindar amat setia mendampingi Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba. Dia berusaha menikmati pekerjaannya sebagai ‘ajudan’ kepala dinas. Tiada usaha yang tak membuahkan hasil. Tiada kerja keras tanpa ada apresiasi. Melihat kesetiaan Mangindar pada pekerjaannya, Hisar Purba tidak ingin semata-mata memanfaatkan intelektualitas muda seorang Mangindar yang baru keluar dari kawah candradimuka Kampus Dramaga. Hisar tidak segan-segan pula memberikan apresiasi. Wujudnya, dia memperjuangkan peningkatan status kepegawaian Mangindar dari sekadar pegawai harian. Berkat perjuangan Hisar Purba yang kuat, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1982, dia sudah menyandang status Calon PNS (CPNS) di Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Sebuah status yang tak terbayangkan sebelumnya. Sebuah status yang memberinya nilai tambah di mata orang-orang terdekat di kampung halaman. 
Tak berapa dari status CPNS, sekitar tahun 1983 Mangindar diangkat menjadi PNS golongan IIIa sebagai Staf Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara di Medan. Status staf ini disandangnya sampai akhir 1983.
Melihat sosok Mangindar yang potensial, memasuki tahun 1984, dia dipromosikan menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sub Dinas Pembinaan Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara di Medan. Golongan kepegawaiannya juga beranjak ke IIIb.

B.   Mengayuh Biduk Rumah Tangga
Tahun 1984, umur Mangindar memasuki 27 tahun. Umur yang cukup matang untuk berumah-tangga. Apalagi kedua orang-tuanya juga sedikit mendesak agar segera merajut mahligai rumah tangga. Di sela-sela kesibukannya bekerja di Dinas Kehutanan Sumatera Utara, dia pun terus berusaha mencalon calon isteri.
Mangindar berusaha bergaul luas. Dalam pergaulan –baik di kantor maupun di luar kantor-- dia berusaha menghargai semua orang, setiap agama, dan setiap suku. Menjunjung tinggi prinsip saling menghargai. “Terus terang saya belajar dalam hal hubungan seorang lelaki dan perempuan waktu di Jawa.  Selama saya di sana, karena lingkungannya seperti itu, hampir tidak ada waktu pacaran. Ya tadi karena saya terbiasa sekolah belajar serius, di rumah juga bekerja membantu orang tua di ladang. Saya memang menikmati itu semua. Dulu masa-masa saya SMP dan SMA, banyak teman yang sudah pacaran, saya bukan termasuk yang seperti itu,” jelas Mangindar.
Di masa kuliah di Bogor, Jawa Barat, sebetulnya Mangindar sudah mengenal prosesi pacaran sebagai proses bagaimana menjajaki, belajar, dan saling menghargai. Katanya, “Prinsip saya, di mana pun kita berada harus mempelajari lingkungan yang ada di situ, termasuk budaya. Begitu ada di Jawa Barat, di komunitas Sunda, saya berusaha belajar bahasa dan budaya Sunda, bergaul dengan cara-cara Sunda. Saya cukup berhasil di situ karena saya cepat belajar bahasa Sunda dan kawan-kawan bisa menerima. Dan saya juga berkawan, kalau dikatakan pacaran bisa lah, dengan putri Sunda di Bogor itu. Namun demikian saya punya prinsip, untuk menikah itu urusan lain. Itu urusan sakral karena ada pertimbangan agama dan budaya. Itu sangat pribadi. Saya agak kampungan dalam hal itu. Tapi saya yakin itulah yang terbaik.”  
Seperti apa kriteria calon isteri dan urusan pernikahan yang agak kampungan itu, Mangindar bertutur:
“Saya akan mencari calon isteri yang bisa memahami budaya dan agama keluarga saya. Itu sudah menjadi pakem. Sebab itu, selama bergaul di Bogor, saya tidak pernah larut. Saya jaga pada batas-batasnya. Bergaul sekadar menambah nuansa. Itulah batasnya. Tidak pernah kelewatan. Kita tidak pernah tahu siapa dan di mana jodoh. Saya belajar dari saudara-saudara yang Islam bahwa jodoh, lahir, dan mati kita nggak tahu kapan dan di mana.
Ada prinsip saya yang agak kampungan di mata banyak orang. Walaupun sesama Suku Batak, kami ini ada sub-subsuku Batak. Sama-sama Toba, ada subwilayah Samosir, ada karakter yang berbeda. Ada Toba, ada Balige, ada Silindung di Tarutung. Ada pula Humbang yang sampai sekarang diakui ada perbedaan karakter. Samosir itu dianggap karakter yang rendah hati. Mungkin karena pengaruh ekonominya yang juga rendah, tapi ahli adat semua. Saya pegang kuat prinsip adat ini. Itu dekat dengan Humbang, ekonominya juga agak belakangan, lebih rendah hati, lebih jujur, dan lebih polos. Dibandingkan dengan Toba yang lebih duluan maju, mereka ini gaya keakuannya lebih tinggi, ngomongnya juga lebih kasar. Silindung yang ibukota kabupaten dulu, lebih dulu masuk agama dan pendidikan, mereka merasa lebih ambtenar, tidak mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap lebih rendah.
Bagi saya pemahaman seperti itu perlu, karena dalam diri orang tua saya masih melekat budaya lokal Samosir. Dari dulu saya mencari calon mertua yang memahami hal ini, kalau bisa dari lingkungan pegawai negeri karena orang tua saya juga pegawai negeri. Yang kedua, kalau bisa berasal dari Samosir karena ada kebiasaan-kebiasaan dan karakter-karakter yang berbeda tadi.  Supaya lebih bisa menghargai orang tua saya. Mungkin ini agak kampungan, namun bisa meminimalisir konflik. Itulah yang menjadi pakem saya.”
Ketika bergaul di Bogor, selama masa kuliah, Mangindar tidak terlalu menemui kendala. Karena, boleh jadi, dia belum terlalu serius melangkah mencari jodoh. Dan, gaya pergaulan di Kota Hujan itu tidak terlampau banyak yang menjurus pada ritual perjodohan. Ya bergaul sekadar bergaul, membaur sesama anak muda. Misalkan bila seorang pemuda mengajak seorang pemudi menonton film bioskop maka ajakan ini hanyalah media bergaul, bukan sesuatu bahwa si pemuda langsung mengajak berhubungan ke arah yang lebih serius. Dan pola pergaulan semacam ini yang Mangindar terapkan selama sekitar empat tahun hidup di Bogor.
Ketika mulai bekerja di Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara di Medan, Mangindar masih membawa pola atau gaya pergaulan seperti di Bogor. Padahal, kata peribahasa, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Pola pergaulan sesama anak muda –terkhusus pergaulan yang mengarah ke jenjang yang lebih serius—di Bogor jelas berbeda dengan di Medan. Apa yang dianggap biasa-biasa saja di Bogor bisa jadi sebagai sesuatu yang amat serius di tempat lain. Bahkan, yang di anggap sebagai sesuatu yang biasa dapat saja dinilai sebagai sesuatu yang demikian serius oleh sesama warga Batak di Medan.
Suatu waktu Mangindar seolah terantuk batu. Ceritanya, salah seorang staf (perempuan) Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara mengajaknya menonton film bioskop. Galibnya pergaulan di Bogor dulu, dia tidak menampik ajakan tersebut. Katanya, “Waktu itu ada stafnya Pak Hisar Purba mengajak nonton film, ‘Bang, Bang, ayo nonton dong’. Saya ayo saja. Eh ternyata, setelah nonton di bioskop itu langsung jadi berita ‘wuih Simbolon itu sudah nonton dengan si Anu, begini begini’. Wah kacau ini, saya kemudian klarifikasi. Bagi saya nonton itu belum serius. Dia ngajak nonton, kebetulan ada gaji, ya saya yang bayar, tidak apa-apa kan. Rupanya di Medan berbeda, misalkan kita ajak nonton film, berarti itu sudah pacaran, sudah ikatan. Saya agak terbentur beberapa kali di Medan. Tanpa sadar saya membawa gaya Bogor di Medan. Saya terlanjur memahami pergaulan di Jawa yang nggak terlalu banyak ikatan.”
Selain berusaha memperluas pergaulan dengan suasana dan nilai-nilai Medan yang membentur-bentur, Mangindar juga menghadapi kenyataan adanya desakan keluarga. Sebagai seorang berpredikat sarjana dan sudah punya pekerjaan tetap, banyak orang tua di kampung halaman yang ingin menjadikannya menantu. Tapi sekali lagi, dia cukup erat memegang pakem dalam mencari jodoh atau isteri. “Sarjana di tahun 1970-an atau 1980-an itu kan agak beda. Apalagi di Sumatera. ‘Ooh itu insinyur’. Itu fakta. Jadi wajar saja dari sisi kekeluargaan yang masih memungkinkan pernikahan menginginkan saya menjadi menantunya. Oo itu banyak masalah. Tapi, saya dari dulu punya kriteria yang ketiga, minimal calon isteri saya pernah kuliah, supaya dia tahu budaya perguruan tinggi itu seperti apa. Saya anggap di kuliah itulah proses kedewasaan intelektual seseorang dimulai. Itu prinsip. Tidak perlu sarjana, tapi pernah kuliah. Dan, ternyata tidak mudah, memadukan tiga kriteria tersebut: Samosir, lingkungan pegawai negeri dan pernah kuliah,” kenang Mangindar.
Hampir lima tahun bekerja di Medan, Mangindar belum pula menemukan wanita yang memenuhi tiga kriteria tersebut. Di tengah keluarga yang makin mendesak lantaran umur terus merambat, dia teringat pada seorang wanita bernama Roma Arta Sitinjak yang diperkenalkan oleh kawan-kawannya dalam satu pertemuan di Medan tahun 1983. Saat itu Roma kuliah di salah satu perguruan tinggi di Ibukota Propinsi Sumatera Utara tersebut. Tapi, dia berpikir apakah Roma berasal dari lingkungan PNS dan memahami kultur Samosir. Belum lagi persoalan apakah Roma cukup klop dengan kepribadiannya.  
Tentang Roma Arta Sitinjak yang kemudian dinikahinya tahun 1985, Mangindar berkisah:
“Mungkin asal dan latar belakang keluarga sudah sesuai, karena ayahnya Roma pegawai negeri juga dan berasal dari Samosir. Tapi, ada pribadi-pribadi yang menurut saya belum tentu sesuai. Prosesnya pun berjalan lama, kenal, lama tidak berhubungan alias putus, nyambung lagi. Dulu di Medan saya memiliki semacam kawan-kawan yang umumnya berusia di atas saya tapi statusnya masih mahasiswa. Mereka lama-lama kuliah, ada yang 12 tahun baru selesai di akuntansi. Mereka yang mengajari saya pacaran gaya Medan. Tapi kemudian mereka bingung, ‘kamu sudah kerja, anak paling besar, siapa yang kau seriusi’. Saya bilang nggak ada. Bahkan, saya bilang kalian saja duluan. ‘Ah kami kan tidak jelas masa depan’, begitu alasan mereka.
Ada yang tidak menguntungkan bagi mereka dengan membawa saya dalam pergaulan di Medan. Kami berempat dalam satu grup. Satu di antaranya sekarang deputi di sekretaris kabinet, satu sudah pensiun dari BPKP, dan terus Nainggolan di Bandung yang juga sudah pensiun. Yang tidak menguntungkan bagi mereka, saya kan paling muda dan saya sarjana yang sudah pegawai. Setiap ada pacar mereka yang sudah hampir serius, begitu saya bergabung dengan mereka, eh bubar lagi. Itu tadi, pola pikir di Medan. Condong mau beralih ke saya sementara saya nggak suka. Sampai mereka komentar ‘jangan bawa Mangindar, susah ini’. Saya jadi semakin banyak kenalan. Semakin memahami pola pikir pergaulan di Medan. Semakin banyak belajar, bisa jaga diri. Itulah pengalaman yang panjang. Jodoh itu, akhirnya kembali kepada Roma Arta Sitinjak yang sekarang jadi isteri. Setelah saya timbang-timbang, ya itulah yang maksimal. Tidak ada manusia yang sempurna.”
Pilihan jatuh ke wanita bernama Roma Arta Sitinjak. Terlebih lagi, di tahun 1984 itu, kedua orang tua Mangindar terus mendesak agar dirinya segera menikah. Kedua orang-tuanya merasa Mangindar pada usia 27 tahun dan telah bekerja sudah saatnya berumah-tangga. Dan Mangindar juga sebagai anak sulung yang sudah semestinya menikah lebih dulu. Setelah melalui pembicaraan serius, Keluarga Mangindar dan Keluarga Roma Arta Sitinjak kemudian sepakat menentukan hari pernikahan. Tanggal 9 Juli 1985, Mangindar menikahi Roma Arta Sitinjak di Tarutung, ibukota Kabupaten Toba Samosir. “Kami menikah tanggal 9 Juli  1985 di Tarutung, tempat mertua. Bagi orang Batak, yang ideal pesta pernikahan itu di tempat perempuan. Saya anak pertama, kebetulan isteri juga anak pertama dari delapan bersaudara. Banyak persamaan, jumlah saudara berdelapan, tiga laki-laki dan lima perempuan, hanya urutannya yang agak berbeda,” ujar Mangindar.
Usai ritual pernikahan di Tarutung, Mangindar memboyong isterinya untuk bersama tinggal di Medan. Karena, di tahun 1985 itu, dia diangkat menjadi Kepala Seksi Reboisasi pada Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara yang dijalaninya sampai tahun 1989. Ditambah lagi waktu itu Roma memang belum selesai kuliah di Medan. Dan dalam perjalanan bahtera rumah tangganya, Mangindar tidak meminta isterinya menyelesaikan kuliah. Isterinya cukup fokus mengurus rumah tangga dan anak pertama (Rindo M.W. Simbolon) yang lahir pada Agustus 1986.
Karir Mangindar di Dinas Kehutanan pun relatif bagus. Selain sebagai Kepala Seksi Reboisasi, tahun 1986 Mangindar memperoleh amanah menjadi Pemimpin Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara. Pembangunan Tahura memakan waktu sekitar tiga tahun (selesai 1989). Rentang waktu 1987-1989, walau berstatus kepala seksi di Medan, Mangindar lebih banyak berada di Tanah Karo, untuk mengawasi langsung jalannya pembangunan Tahura Bukit Barisan sampai tuntas. Dia pun tak sempat mendampingi isterinya saat melahirkan anak kedua, Marco Simbolon, tahun 1989.

Cukup lama Mangindar bertugas di Dinas Kehutanan Sumatera Utara di Medan. Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Hisar Purba memang tidak mengizinkannya tour of duty ke daerah-daerah dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara. Baru tahun 1990, dia memperoleh izin keluar dari Medan karena diangkat menjadi Kepala Cabang Dinas Kehutanan VII Tapanuli Utara di Tarutung. Jabatan ini diembannya sampai tahun 1993 dan menerima kenaikan pangkat dari IIIc ke IIId.
“Lama saya bertugas di propinsi, Pak Purba tidak memberi izin pindah. Baru 1990 saya pindah ke Tarutung, tempat mertua. Itu pun setelah ada jabatan yang pas buat pangkat IIId. Bersyukur, di sini isteri saya melahirkan anak ketiga, Andre Nicolas Simbolon,” jelas Mangindar.
Memasuki Mei tahun 1993, Mangindar dimutasi sebagai Kepala Cabang Dinas Kehutanan XII Toba Samosir di Pangururan, yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Samosir. Di sini dia hanya menjalani mutasi horizontal, pangkanya juga masih tetap IIId. Dia tidak memperoleh kenaikan pangkat reguler yang biasa terjadi dalam tempo 3-4 tahun sekali.  Namun Bupati Tapanuli Utara keberatan melepas Mangindar Simbolon bertugas ke Pangururan. Ihwal ini, Mangindar bertutur:
“Waktu mau pindah ke cabang dinas baru di Pangururan itu, Bupati Tapanuli Utara keberatan, ‘ngapain pindah ke sana Pak Simbolon, sama-sama cabang kok, status sama, kok mau pindah ke kampung’. Saya agak sedikit kaget juga. Ternyata waktu itu Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara yang orang Sunda, Pak Nang Zainal Abidin, orangnya bagus, kebetulan sama-sama dari Bogor, punya rencana khusus buat saya. Beliau katakan ‘kamu mesti dua kali menjadi pimpinan daerah sebelum ditarik menjadi staf inti di propinsi’. Itu rencananya. Nah, waktu itu Bupati Tapanuli Utara tidak tahu kampung saya di situ, Pangururan. Setelah soal ini saya jelaskan, beliau bilang ‘wah masa alasannya begitu Pak Simbolon. Kalau kamu pindah ke daerah lain yang lebih besar kotanya, malam ini juga saya antar, masa sudah di Tarutung kok ke Pangururan yang kotanya lebih kecil dibandingkan Tarutung’. Begitu kira-kira alasan keberatan Bupati Tapanuli Utara. Saya berusaha berpikir positif saja karena sudah dijelaskan oleh Kepala Dinas Propinsi Pak Nang soal latar belakang pengangkatan saya di Pangururan. Kemudian saya membantu menjelaskan ke Bupati Tapanuli Utara. ‘Nggak apa-apa lah Pak, sudah telanjur SK-nya diteken Pak Gubernur’. ‘Ah yang benar, suruh kepala dinasnya ke sini’. Lalu kepala dinas datang menjelaskan ke Bupati Tapanuli Utara. Akhirnya beliau rela melepas saya. Dan saya dilantik di Pangururan.”
Sekitar enam tahun Mangindar bertugas di Pangururan, 1993-1999. Wilayah kerjanya cukup luas, tidak mengikuti wilayah administrasi pemerintahan. Walaupun berada di Kabupaten Tapanuli Utara, wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan XII juga mencakup wilayah Karo, Simalungun dan Dairi –wilayah-wilayah yang ada daerah aliran Sungai Toba.
Manusia boleh berencana, Tuhanlah yang menentukan. Mangindar batal pindah menjadi staf inti Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara lantaran Nang Zainal Abidin tidak lagi menjabat Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Pangkat Mangindar pun serasa mentok, selama delapan tahun hanya bertengger di IIId.
Memang bukan perkara gampang promosi jabatan ke propinsi. Jabatan kepala subdinas di propinsi berada di eselon 3 sedangkan kepala cabang dinas hanya eselon 4. Repotnya, Sumut seolah identik dengan “Semua Urusan Ujung-ujungnya Duit”. Jangan pernah berharap urusan akan beres kalau tidak diembel-embeli dengan duit. Nurani Mangindar tak ingin dikotori oleh langkah-langkah yang amat dekat dengan suap dan penyalah-gunaan jabatan semacam itu.
“Malas saya, berlawanan dengan prinsip saya. Akhirnya saya jadi korban, lama di cabang dinas, delapan tahun berada di golongan IIId, tidak bisa naik ke IVa. Karena, salah satu persyaratan untuk naik dari IIId ke IVa adalah eselon 3b. Saya pasrah saja. Justru orang lain komentar ‘Pak Simbolon bekerja pinter, di mana-mana pinter, tapi pangkatnya terbengkalai, jabatan gak bisa naik’. Ya saya bilang, setiap orang nggak sama nasibnya, nggak apa-apa lah. Saya legowo saja. Dalam kondisi demikian, akhirnya isteri bertanya juga karena rerumpian di Dharma Wanita mempertanyakan soal pangkat dan jabatan saya yang mentok. Lalu saya jelaskan secara gamblang. Isteri saya memaklumi,” ungkap Mangindar panjang-lebar.

C.   Berkah Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah
Hidup bagai putaran roda pedati, kadang di bawah, di saat lain berada di atas. Angin reformasi yang berhembus kencang di tahun 1998 tampaknya mampu memutar roda pedati di Kabupaten Tapanuli Utara. Salah satu poin penting reformasi ketika itu adalah tuntutan otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang terus menguat. Sejumlah daerah kabupaten yang memiliki wilayah yang dirasa terlampau luas mendorong aspirasi pemekaran. Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara (Taput) yang saat itu terdiri dari 27 Kecamatan dan 971 Desa pun memanfaatkan momentum ini. Pemerintah Kabupaten Taput merasakan betapa luas wilayah yang harus dikelola. Sampai-sampai, ada wilayah desa yang harus dijangkau dalam waktu tempuh lebih dari satu hari. Pertumbuhan pembangunan pun melambat.
Setelah melalui berbagai proses dan tahapan, DPR merespon dengan menyetujui Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 Maret 1999 di Medan. Hal ini seiring dengan bergulirnya reformasi di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pemerintahan dan politik, yang kemudian melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerahnya dalam bentuk pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru.
Otonomi daerah dan kelahiran kabupaten baru (Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir) menjadi berkah tersendiri bagi seorang Mangindar Simbolon yang selama delapan tahun mandek di pangkat IIId. Benarkah demikian berkah?
Berkat otonomi daerah, jelas Mangindar Simbolon, status jabatan kepala dinas-dinas di kabupaten naik ke eselon 3a, bukan lagi eselon 4 seperti kepala cabang dinas. Dia tidak perlu repot-repot memburu jabatan kepala subdinas dengan uang agar pangkatnya naik dari IIId ke IVa. Dan, jalan untuk meraih jabatan Kepala Dinas Kehutanan di Kabupaten (baru) Toba Samosir terbentang cukup lebar. Dia mengenal baik Sahala Tampubolon, mantan Sekda Kabupaten Tapanuli Utara yang diangkat menjadi Bupati Toba Samosir.
Waktu itu, sekitar pertengahan 1999, Sahala Tampubolon menemui Mangindar dan mengatakan, “Eh Pak Simbolon, dengar-dengar kamu mau pindah?”
“Ya, tapi nggak jadi, ke Bengkulu, ke Jambi, dan ke propinsi batal semua. Susah prosesnya,” jawab Mangindar.
“Tapi, tujuannya mencari promosi jabatan kan. Supaya bisa naik pangkat sebenarnya. Oo ...begini lho saya baru pulang dari Jakarta, kita kabupaten baru ini ternyata dinas kehutanan sudah masuk otonomi daerah, jadi eselon 3, berbarengan dengan berlakunya UU Pemerintahan Daerah. Jadi belum sempat dibuat organisasinya. Kalau kamu mau ngapain jauh-jauh ke tempat lain, tapi kamu yang menyusun organisasinya ya, saya nggak ngerti. Nanti saya bantu mengurus ke gubernur supaya diteken struktur organisasinya, agar kamu bisa di situ,” terang Sahala Tampubolon.
Mangindar lalu berpikir-pikir. Dia berkonsultasi dengan isteri dan kawan-kawannya. Isteri dan kawan-kawan juga mendukung. Kemudian dia merespon usulan Sahala Tampubolon untuk membuat struktur organisasi Dinas Kehutanan Kabupaten Toba Samosir. Dia mendesain struktur organisasi dan konsep surat keputusan (SK) gubernur tentang organisasi dinas kehutanan tingkat II kabupaten.
Sesuai dengan apa yang telah dijanjikan, selanjutnya Sahala Tampubolon membawa desain dan konsep surat keputusan gubernur terebut ke Gubernur Sumatera Utara. Sekitar Agustus 1999, Gubernur Sumatera Utara menyetujui dan meneken desain dan surat keputusan pembentukan dinas kehutanan Kabupaten Toba Samosir. Namun, persetujuan itu tidak bersamaan dengan pengangkatan kepala dinas. Baru pada akhir November 1999 keluar SK pengangkatan Mangindar sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Toba Samosir. Dan, tanggal 13 Desember 1999 dia dilantik menjadi Kepala Dinas Kehutanan Daerah Tingkat II Kabupaten Tobasa merangkap Kepala Cabang Dinas XII Tobasa itu. “Sampai tahun 2002 saya merangkap kedua jabatan tersebut,” katanya sembari menambahkan dia mengakhiri Cabang Dinas XII Tobasa di Pangururan yang ditutup pada tahun 2002.
Mangindar bersyukur bisa pecah telor kepangkatannya. Berkat reformasi yang melahirkan otonomi daerah dan pemekaran bilayah, jalan kenaikan pangkatnya dari IIId ke IVa terbuka lebar. Dengan bersyukur, Tuhan akan terus menambah berkah dan karunia pada umat-Nya. Setelah UU Pemerintahan resmi berlaku dan dibuat aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP), rupanya jabatan kepala dinas kabupaten/kota termasuk eselon 2, bukan lagi 3a. Hal ini jelas semakin mempercepat dan melapangkan jalan buat mengejar ketertinggalan pangkat yang mandek selama delapan tahun.
Mangindar Simbolon merasakan berkah otonomi daerah dan pemekaran wilayah sebagai jalan lapang kenaikan pangkat ke IVa. “Begitu ada peraturan baru, pangkat saya cepat naik ke IVa, IVb dan seterusnya sampai IVe saat pensiun pada 21 Juni 2013. Itulah kadang-kadang yang nggak saya duga, pulih lagi pangkat saya, sampai IVe,” kata Mangindar dengan mata berbinar. Ketika berada di IVd, dia mengundurkan diri sementara karena mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Samosir periode 2005-2010. Dan, keberuntungan menaunginya, dia terpilih menjadi Bupati Samosir 2005-2010 dan terpilih kembali pada periode 2010-2015. Meski aktif sebagai Bupati, kepangkatannya tetap bisa naik secara reguler dan dia mencapai pangkat IVe saat pensiun pada 21 Juni 2013.  

D.   Meresapi Nilai-nilai Agama dan Filosofi Air
Kesabaran dan kepasrahan Mangindar Simbolon pada nasib kemandekan pangkat IIId selama delapan tahun tidak terlepas dari nilai-nilai agama dan filosofi air yang dipegangnya sejak masa kecil.
“Nilai agama itu penting. Tidak ada agama yang mengajarkan hal yang tidak baik. Apalagi di kami, kasihilah temanmu seperti dirimu sendiri. Itu saya coba terapkan dalam perjalanan hidup. Nilai-nilai itu sudah terinternalisasi sejak dulu dan sangat membantu. Saat ada tantangan, godaan segala macam, itulah modal kami untuk menghadapinya. Kalau nggak ada itu, wah susah juga saya,” kata Mangindar. Dia termasuk tipe orang yang pandai menyesuaikan diri pada situasi dan lingkungan yang harus dimasukinya. Prinsipnya, boleh kita masuk ke sarang penyamun, tapi jangan jadi penyamun. Bukan masuk sarang penyamun lalu ikut-ikutan menjadi penyamun.
Dia menceritakan satu pengalaman di masa perkuliahan di Bogor pada 1977-1980. Suatu kali dia diajak teman-temannya pelesiran ke kawasan Puncak, Bogor, yang dikenal dengan kehidupan esek-eseknya. Dia tidak menolak namun tetap berusaha menjaga diri agar tidak larut dalam kehidupan esek-esek yang banyak berdampak negatif. Dia berkisah, “Dulu kawan-kawan, masih muda dulu, mengajak jalan-jalan ke Puncak. Tidak ada salahnya kan, ambil-ambil, ambil, ya kita ambil, lalu mengobrol. Saya ada sedikit jiwa peneliti, ingin mempelajari riwayat hidup seseorang. Pernah saya pelajari kenapa cewek-cewek itu sampai terjun ke situ. Saya nggak sampai terjerumus. Sampai cewek itu bingung, ‘Bang kok dibayar kan gak main’. Saya katakan, nggak apa-apa, kan waktumu habis buat menemani ngobrol.”
Dalam bahasa yang sedikit berbeda Mangindar mengatakan dirinya berusaha meresapi filosofi air. Filosofi air mengalir yang tahu di mana dan kapan berhenti. Bukan air yang mengalir liar, mengalir ke tempat pembuangan limbah atau ke septic tank. Dia ingin mengalir secara terkendali dan memberi manfaat pada banyak orang.
Filosofi air memang kaya akan nilai-nilai kehidupan. Selain mempunyai sifat mengalir, air juga mempunyai sifat menguap. Naik ke atas dan bertemu, berkumpul lalu bersatu dengan uap air yang berasal dari berbagai tempat, lantas dari pertalian ikatan ini akhirnya terbentuklah awan. Gumpalan awan ini kemudian bertemu dengan gumpalan-gumpalan lainnya sehingga semakin berat dan turunlah hujan yang menyejukkan. Pesan moralnya, begitu pangkat dan kualitas hidup kita bisa lebih baik dan di atas orang lain, kita bisa bersatu padu dengan orang-orang yang sama-sama diberikan derajat lebih untuk kemudian berusaha semaksimal mungkin menyejahterakan banyak orang.
Lalu, air mempunyai sifat membersihkan. Jelas, bahwa tidak semua air bisa membersihkan, air yang bisa membersihkan tentunya harus air yang bersih pula. Hikmahnya, hendaklah kita menjadi pribadi yang bisa mempengaruhi orang lain untuk berada di jalan yang baik, benar dan bersih, dan untuk itu tentunya kita harus membersihkan diri sendiri terlebih dulu.
Selanjutnya, air mempunyai sifat halus dan lembut namun tegas. Air bisa datang dalam jumlah yang sangat besar, bisa juga seketika hilang tanpa jejak. Mangindar lebih percaya kalau materi di muka bumi ini yang paling lembut sepertinya air, setiap kita sentuh ia sangat halus, saking halusnya kita tidak bisa mengukur seberapa tebal ukuran inti air. Namun, kendati air terlihat dan terasa begitu tenang, lembut dan menyejukkan, manakala ia “bertindak atas perintah Tuhan” untuk memberikan peringatan kepada umat manusia maka efeknya sangat dahsyat mampu meluluhlantahkan dunia lebih dari sebuah bom atom. Pelajarannya, kita harus menjadi pribadi yang lemah lembut, santun, menenteramkan, tapi tidak loyo dan tidak lembek. Tenang tapi tetap punya ketegasan yang tidak bisa disepelekan dan direndahkan.
Berikutnya, kehadiran air selalu dibutuhkan dan dirindukan oleh siapa saja. Mudah-mudahan dengan berkaca pada peran air, kita bisa berusaha menjadi manusia yang setiap kehadirannya selalu dibutuhkan dan sangat dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Sehingga, kita tidak menjadi terbuang dan terkubur di dalam limbah sejarah.
Lantas, bahwa air berubah bentuk tapi tidak berubah sifat. Ketika air berada di dalam bak mandi dan bentuknya menyesuaikan bak mandi, maka ia tetaplah air, air dengan segala ciri khas, sifat dan karakternya. Begitu pun manakala air dipindahkan ke dalam sebuah drum, ia tetaplah air yang masih dengan segala ciri khas, sifat dan karakternya. Ia tidak berubah menjadi minyak ataupun yang lainnya. Pesan moralnya, di mana saja kita berada hendaklah kita tetap mempunyai kepribadian yang kuat, keimanan yang teguh, yang tidak mudah terpengaruh oleh perubahan kondisi dan lingkungan.
Dan, bahwa air tidak bisa dibelah, selalu mengalah tapi tidak pernah kalah. Coba perhatikan saat air di kolam atau di mana saja, dengan cara apapun ia dibelah tetap ia akan bersatu kembali. Dengan satu hentakan pukulan keras mungkin air tersebut tercerai-berai menciprat ke segala arah. Tapi, ia akan tetap kembali bersatu lagi. Hikmahnya, apalagi kalau bukan semangat persatuan dan persaudaraan. Air sangat mudah berbaur dengan sesama air, sudah selayaknya kita juga bisa berbaur dan bersatu-padu antar-sesama manusia terlebih lagi di satu bangsa yang sama.
Mangindar meresapi betul filosofi air dalam kehidupan. Bahkan, sampai saat dia kini memimpin Kabupaten Samosir, dia tetap menjalani kehidupan a la air. Dia ingin bermanfaat bagi rakyat, menyatukan rakyat dan bersikap lembut namun tetap tegas. ***

No comments:

Post a Comment