Wednesday, December 25, 2013

Populasi Meningkat, Lansia Jepang Urus Pemakaman Sendiri



Setsuko Imamura memesan makam dan memilih baju pemakaman sendiri.

Kaisar Jepang, Akihito, mengejutkan publik bulan lalu ketika tiba-tiba mengumumkan rencana pemakamannya. Padahal, Akihito masih hidup dan dalam keadaan sehat.

News Corporated Australia, Minggu 23 Desember 2013, melansir pernyataan Akihito yang menyebut dia ingin jasadnya dikremasi ketika meninggal dunia nanti. Dia juga ingin abunya ditempatkan di monumen makam yang berukuran lebih kecil ketimbang pendahulunya.

Istana juga mengumumkan, sang istri Michiko ingin diperlakukan sama ketika mangkat, dan ditaruh berdampingan dengan abu sang suami. Abu mereka akan ditempatkan bersama di kompleks kerajaan di bagian barat Tokyo. Usia Akihito kini 80 tahun, sedangkan Ratu Michiko 79 tahun.

Pengumuman cara perlakuan terhadap jasad Kaisar dan Ratu Jepang ini mendobrak kebiasaan Istana yang selama 400 tahun memilih untuk dimakamkan. Menurut seorang pejabat, alasan Akihito memilih untuk dikremasi, karena dia ingin mengurangi biaya, tempat, dan beban warga.

Pengungkapan rencana pasangan kerajaan itu juga menunjukkan sebuah fenomena baru yang akan dirasakan oleh semua lansia Jepang dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Saat itu, diprediksi satu dari tiga warga Jepang merupakan kaum lansia, sehingga demografi penduduk akan berubah.

Minimnya kaum muda di Jepang dikhawatirkan membuat tak semua lansia di Jepang akan terurusi ketika meninggal nanti. Kebanyakan dari para lansia dicemaskan akan meninggal sendiri tanpa ada yang mengurus.

Oleh sebab itu, para lansia di negeri itu berupaya menyelesaikan semua urusan mereka sendiri sebelum meninggal.

Pesan makam sendiri

Cerita Kaisar Akihito hanya satu contoh. Tengok pula pengakuan Setsuko Imamura, mantan instruktur busana kimono yang bulan ini memasuki usia 79 tahun. Dia mengaku telah menyiapkan semua untuk menyambut kematiannya.

Setahun setelah suaminya meninggal akibat kanker pada 2010, Imamura menjual rumahnya di pusat Jepang, Hamamatsu. Dia kemudian pindah ke rumah panti jompo di bagian barat Tokyo, dekat rumah keponakannya.

Dia telah memilah-milah harta kekayaannya, menuliskan surat warisan, dan memilih kimono favoritnya untuk momen pemakaman. Semua itu telah dia siapkan dan disimpan di sebuah kotak khusus.

Imamura tidak menginginkan sebuah prosesi pemakaman yang mewah. Ia kini berupaya memesan sebuah makam dengan harga 300 ribu yen atau Rp35 juta. Dengan cara seperti ini, kelak jasad Imamura tidak akan diabaikan, dan keluarganya dapat menaruh bunga di atas makamnya.

“Kami memang tidak memiliki anak, sehingga sepakat untuk tidak meninggalkan apa pun. Begitulah cara saya ingin mengakhiri hidup ini. Saya tidak ingin menyusahkan orang lain ketika meninggal,” ujar Imamura.

Hasil survei nasional tahun 2011 yang dilakukan oleh sosiolog dari Universitas Kristen Ibaraki, Kenji Mori, menunjukkan bahwa 60 persen warga Jepang memiliki lokasi pemakaman yang akan diurus oleh kerabatnya. Sementara itu, sisanya yang 40 persen merasa khawatir pemakamannya akan menyusahkan keluarga dan tetangga mereka.

Semakin tingginya kaum lansia yang telah merencanakan kematian mereka, memicu menjamurnya bisnis di bidang ini. Menurut Mori, sebagian besar perusahaan yang terlibat di bidang kematian selalu mengutamakan keinginan orang yang akan meninggal ketimbang kepentingan keluarga atau nenek moyangnya.

Salah satu pengelola bisnis ini, Masahiko Muraki, mengaku kebutuhan terhadap usaha di bidang kematian akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun mendatang. Muraki mengelola bisnis pemakaman indoor bernama Nichiryoku. Dia mendirikan Kuil Daitokuin yang dilengkapi teknologi tinggi.

“Warga pada akhirnya mulai menyadari masih banyak yang perlu dilakukan saat mereka meninggal. Proses yang mereka lalui tidak hanya pemakaman dan memesan kuburan. Di sini lah peran kami masuk, yaitu untuk memutuskan proses yang terkait akhir hidup seseorang,” ujar Muraki. (dunia.news.viva.co.id)

No comments:

Post a Comment