Setsuko Imamura memesan makam dan
memilih baju pemakaman sendiri.
Kaisar Jepang, Akihito, mengejutkan publik bulan lalu ketika tiba-tiba mengumumkan rencana pemakamannya. Padahal, Akihito masih hidup dan dalam keadaan sehat.
News
Corporated Australia, Minggu 23 Desember 2013, melansir pernyataan Akihito yang
menyebut dia ingin jasadnya dikremasi ketika meninggal dunia nanti. Dia juga
ingin abunya ditempatkan di monumen makam yang berukuran lebih kecil ketimbang
pendahulunya.
Istana juga
mengumumkan, sang istri Michiko ingin diperlakukan sama ketika mangkat, dan
ditaruh berdampingan dengan abu sang suami. Abu mereka akan ditempatkan bersama
di kompleks kerajaan di bagian barat Tokyo. Usia Akihito kini 80 tahun,
sedangkan Ratu Michiko 79 tahun.
Pengumuman
cara perlakuan terhadap jasad Kaisar dan Ratu Jepang ini mendobrak kebiasaan
Istana yang selama 400 tahun memilih untuk dimakamkan. Menurut seorang pejabat,
alasan Akihito memilih untuk dikremasi, karena dia ingin mengurangi biaya,
tempat, dan beban warga.
Pengungkapan
rencana pasangan kerajaan itu juga menunjukkan sebuah fenomena baru yang akan
dirasakan oleh semua lansia Jepang dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Saat
itu, diprediksi satu dari tiga warga Jepang merupakan kaum lansia, sehingga
demografi penduduk akan berubah.
Minimnya
kaum muda di Jepang dikhawatirkan membuat tak semua lansia di Jepang akan
terurusi ketika meninggal nanti. Kebanyakan dari para lansia dicemaskan akan
meninggal sendiri tanpa ada yang mengurus.
Oleh sebab
itu, para lansia di negeri itu berupaya menyelesaikan semua urusan mereka
sendiri sebelum meninggal.
Pesan makam sendiri
Cerita
Kaisar Akihito hanya satu contoh. Tengok pula pengakuan Setsuko Imamura, mantan
instruktur busana kimono yang bulan ini memasuki usia 79 tahun. Dia mengaku
telah menyiapkan semua untuk menyambut kematiannya.
Setahun
setelah suaminya meninggal akibat kanker pada 2010, Imamura menjual rumahnya di
pusat Jepang, Hamamatsu. Dia kemudian pindah ke rumah panti jompo di bagian
barat Tokyo, dekat rumah keponakannya.
Dia telah
memilah-milah harta kekayaannya, menuliskan surat warisan, dan memilih kimono
favoritnya untuk momen pemakaman. Semua itu telah dia siapkan dan disimpan di
sebuah kotak khusus.
Imamura
tidak menginginkan sebuah prosesi pemakaman yang mewah. Ia kini berupaya
memesan sebuah makam dengan harga 300 ribu yen atau Rp35 juta. Dengan cara
seperti ini, kelak jasad Imamura tidak akan diabaikan, dan keluarganya dapat
menaruh bunga di atas makamnya.
“Kami
memang tidak memiliki anak, sehingga sepakat untuk tidak meninggalkan apa pun.
Begitulah cara saya ingin mengakhiri hidup ini. Saya tidak ingin menyusahkan
orang lain ketika meninggal,” ujar Imamura.
Hasil
survei nasional tahun 2011 yang dilakukan oleh sosiolog dari Universitas
Kristen Ibaraki, Kenji Mori, menunjukkan bahwa 60 persen warga Jepang memiliki
lokasi pemakaman yang akan diurus oleh kerabatnya. Sementara itu, sisanya yang
40 persen merasa khawatir pemakamannya akan menyusahkan keluarga dan tetangga
mereka.
Semakin
tingginya kaum lansia yang telah merencanakan kematian mereka, memicu
menjamurnya bisnis di bidang ini. Menurut Mori, sebagian besar perusahaan yang
terlibat di bidang kematian selalu mengutamakan keinginan orang yang akan
meninggal ketimbang kepentingan keluarga atau nenek moyangnya.
Salah satu
pengelola bisnis ini, Masahiko Muraki, mengaku kebutuhan terhadap usaha di
bidang kematian akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun mendatang. Muraki
mengelola bisnis pemakaman indoor bernama Nichiryoku. Dia mendirikan Kuil
Daitokuin yang dilengkapi teknologi tinggi.
“Warga pada
akhirnya mulai menyadari masih banyak yang perlu dilakukan saat mereka
meninggal. Proses yang mereka lalui tidak hanya pemakaman dan memesan kuburan.
Di sini lah peran kami masuk, yaitu untuk memutuskan proses yang terkait akhir
hidup seseorang,” ujar Muraki. (dunia.news.viva.co.id)
No comments:
Post a Comment