Salah satu program yang sudah disebut presiden terpilih, Joko Widodo adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kini muncul pandangan yang mengingatkan agar KIS disinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Terutama dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengingatkan bahwa sejak 1 Januari 2014 lalu pemerintah sudah mentransformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sistem jaminan kesehatan ini merupakan amanat Undang-Undang.
Karena itu, sistem kesehatan yang hendak diperkenalkan pemerintahan baru, termasuk KIS, seharusnya mengikuti aturan yang sudah ada. Untuk mengatasi itu sebenarnya pemerintah dan DPR bisa saja menyusun Undang-Undang baru. Tetapi opsi ini membutuhkan waktu lama. Penataan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menghabiskan sumber daya dan dana yang besar. Perjuangan masyarakat mendorong BPJS sudah sangat panjang.
“Kalau KIS mau diterbitkan menggunakan UU baru, bakal makan waktu lama dan bertentangan dengan peraturan yang ada (UU SJSN dan BPJS,-red),” kata Hasbullah dalam acara diskusi dan peluncuran buku di Jakarta, Selasa (26/8).
Tim pemenangan Jokowi-JK, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan KIS tidak bertentangan dengan UU SJSN dan BPJS. KIS hanya nama kartu yang akan digunakan untuk pelaksanaanprogram jaminan sosial sebagaimana amanat UU SJSN yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan badan penyelenggara KIS tetap BPJS.
Menurut Rieke, KIS bertujuan mengoreksi pelaksanaan jaminan sosial yang digelar pemerintahan saat ini. “KIS tidak hanya berfungsi untuk mengakses program Jaminan Kesehatan, tapi program jaminan sosial lainnya sebagaimana amanat UU SJSN. KIS mengoreksi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan pemerintahan saat ini,” ujar anggota Komisi IX itu.
Rieke menyebut pemerintahan Jokowi-JK akan segera menuntaskan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan yang harus beroperasi pada 1 Juli 2015. BPJS Ketenagakerjaan akan menggelar program Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan kerja dan Jaminan Kematian. Targetnya, peraturan itu selesai Desember 2014, setelah itu enam bulan selanjutnya akan dilakukan sosialisasi masif. “Peraturan turunan BPJS Ketenagakerjaan harus bisa diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK,” tegasnya.
Praktisi Jaminan Sosial dan Asuransi Jiwa, Odang Muchtar, berharap KIS dapat menambah fasilitas kesehatan tingkat pertama secara meluas dan berkualitas. Untuk mewujudkannya diharapkan pemerintahan Jokowi-JK meningkatkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN. “Kami harap Presiden bisa meningkatkan anggaran kesehatan,” tukasnya.
Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati, mengingatkan ada 7 juta masyarakat di luar Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari 12 Provinsi dan 139 Kabupaten/Kota. Saat ini mereka ditanggung lewat APBD. Endang mengusulkan agar kelompok masyarakat itu dimasukkan ke dalam KIS. Sehingga Pemda didorong untuk fokus pada penyediaan pelayanan kesehatan peserta agar lebih baik.
Selain itu ada sekitar 2 juta masyarakat penyandang masalah sosial yang belum tercakup Jaminan Kesehatan. Sehingga mereka kerap mengalami kesulitan ketika sakit. Sri Endang mencatat per 22 Agustus 2014 jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 126 juta orang. Padahal, peta jalan menargetkan jumlah peserta sampai Desember tahun ini 121,6 juta orang.Walau melampaui taget capaian kepesertaan, Endang mengatakan kondisi itu belum menjamin kestabilan BPJS Kesehatan.
Dari jumlah itu sebanyak 6 juta orang merupakan peserta bukan penerima upah atau mandiri. Biasanya, mereka mendaftar ketika sakit dan dirawat di Rumah Sakit (RS). Kemudian membayar iuran awal untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Oleh karenanya untuk menjaga kestabilan BPJS Kesehatan, Endang berharap agar peserta yang bertambah berasal dari kelompok pekerja penerima upah. “Itu masalah yang kami hadapi. Buntutnya keuangan BPJS, pembiayaan kapitasi dan INA-CBGs,” ucapnya.
Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Indra Munaswar, menekankan agar KIS tidak keluar dari ketentuan UU SJSN dan BPJS. “Kalau tidak patuhi peraturan itu maka Presiden yang baru nanti akan kami desak untuk turun,” paparnya.
Indra mengusulkan agar Permenkes No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan segera direvisi. Sebab, regulasi itu berdampak pada banyak pihak. Salah satunya, peserta tidak mendapat pelayanan yang baik.
Mantan Dirut PT Askes, Gede Subawa, mencatat ada benturan antara tenaga kesehatan dan pasien karena sistem INA-CBGs. Penyebabnya, komponen ongkos tenaga medis di RS tidak jelas. Sebab di setiap RS menerapkan standar yang berbeda.
Gede mengusulkan agar INA-CBGs dievaluasi karena sistem ini masih membuka peluang bagi RS tipe tertentu mengeruk keuntungan besar. Mereka tidak melayani peserta sebagaimana mestinya tapi malah merujuk ke RS yang tipenya lebih tinggi. “Usulan saya, harus ada satu tim khusus mengkaji INA-CBGs, karena itu akar masalah juga,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengingatkan bahwa sejak 1 Januari 2014 lalu pemerintah sudah mentransformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sistem jaminan kesehatan ini merupakan amanat Undang-Undang.
Karena itu, sistem kesehatan yang hendak diperkenalkan pemerintahan baru, termasuk KIS, seharusnya mengikuti aturan yang sudah ada. Untuk mengatasi itu sebenarnya pemerintah dan DPR bisa saja menyusun Undang-Undang baru. Tetapi opsi ini membutuhkan waktu lama. Penataan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menghabiskan sumber daya dan dana yang besar. Perjuangan masyarakat mendorong BPJS sudah sangat panjang.
“Kalau KIS mau diterbitkan menggunakan UU baru, bakal makan waktu lama dan bertentangan dengan peraturan yang ada (UU SJSN dan BPJS,-red),” kata Hasbullah dalam acara diskusi dan peluncuran buku di Jakarta, Selasa (26/8).
Tim pemenangan Jokowi-JK, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan KIS tidak bertentangan dengan UU SJSN dan BPJS. KIS hanya nama kartu yang akan digunakan untuk pelaksanaanprogram jaminan sosial sebagaimana amanat UU SJSN yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan badan penyelenggara KIS tetap BPJS.
Menurut Rieke, KIS bertujuan mengoreksi pelaksanaan jaminan sosial yang digelar pemerintahan saat ini. “KIS tidak hanya berfungsi untuk mengakses program Jaminan Kesehatan, tapi program jaminan sosial lainnya sebagaimana amanat UU SJSN. KIS mengoreksi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan pemerintahan saat ini,” ujar anggota Komisi IX itu.
Rieke menyebut pemerintahan Jokowi-JK akan segera menuntaskan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan yang harus beroperasi pada 1 Juli 2015. BPJS Ketenagakerjaan akan menggelar program Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan kerja dan Jaminan Kematian. Targetnya, peraturan itu selesai Desember 2014, setelah itu enam bulan selanjutnya akan dilakukan sosialisasi masif. “Peraturan turunan BPJS Ketenagakerjaan harus bisa diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK,” tegasnya.
Praktisi Jaminan Sosial dan Asuransi Jiwa, Odang Muchtar, berharap KIS dapat menambah fasilitas kesehatan tingkat pertama secara meluas dan berkualitas. Untuk mewujudkannya diharapkan pemerintahan Jokowi-JK meningkatkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN. “Kami harap Presiden bisa meningkatkan anggaran kesehatan,” tukasnya.
Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati, mengingatkan ada 7 juta masyarakat di luar Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang berasal dari 12 Provinsi dan 139 Kabupaten/Kota. Saat ini mereka ditanggung lewat APBD. Endang mengusulkan agar kelompok masyarakat itu dimasukkan ke dalam KIS. Sehingga Pemda didorong untuk fokus pada penyediaan pelayanan kesehatan peserta agar lebih baik.
Selain itu ada sekitar 2 juta masyarakat penyandang masalah sosial yang belum tercakup Jaminan Kesehatan. Sehingga mereka kerap mengalami kesulitan ketika sakit. Sri Endang mencatat per 22 Agustus 2014 jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 126 juta orang. Padahal, peta jalan menargetkan jumlah peserta sampai Desember tahun ini 121,6 juta orang.Walau melampaui taget capaian kepesertaan, Endang mengatakan kondisi itu belum menjamin kestabilan BPJS Kesehatan.
Dari jumlah itu sebanyak 6 juta orang merupakan peserta bukan penerima upah atau mandiri. Biasanya, mereka mendaftar ketika sakit dan dirawat di Rumah Sakit (RS). Kemudian membayar iuran awal untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Oleh karenanya untuk menjaga kestabilan BPJS Kesehatan, Endang berharap agar peserta yang bertambah berasal dari kelompok pekerja penerima upah. “Itu masalah yang kami hadapi. Buntutnya keuangan BPJS, pembiayaan kapitasi dan INA-CBGs,” ucapnya.
Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Indra Munaswar, menekankan agar KIS tidak keluar dari ketentuan UU SJSN dan BPJS. “Kalau tidak patuhi peraturan itu maka Presiden yang baru nanti akan kami desak untuk turun,” paparnya.
Indra mengusulkan agar Permenkes No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan segera direvisi. Sebab, regulasi itu berdampak pada banyak pihak. Salah satunya, peserta tidak mendapat pelayanan yang baik.
Mantan Dirut PT Askes, Gede Subawa, mencatat ada benturan antara tenaga kesehatan dan pasien karena sistem INA-CBGs. Penyebabnya, komponen ongkos tenaga medis di RS tidak jelas. Sebab di setiap RS menerapkan standar yang berbeda.
Gede mengusulkan agar INA-CBGs dievaluasi karena sistem ini masih membuka peluang bagi RS tipe tertentu mengeruk keuntungan besar. Mereka tidak melayani peserta sebagaimana mestinya tapi malah merujuk ke RS yang tipenya lebih tinggi. “Usulan saya, harus ada satu tim khusus mengkaji INA-CBGs, karena itu akar masalah juga,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment