Tuesday, August 20, 2013

Lingkungan dan Tata Ruang Laut





“Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu, keaneka-ragaman dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.”

Pasal 6.2 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)



Tinta emas prestasi Indonesia dalam even kelautan dunia tertoreh pada tanggal 11-14 Mei 2009. Ketika, negara kita Indonesia dipercaya menjadi pelopor dan tempat pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) 2009. Konferensi WOC pertama yang diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, itu mengusung tema Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change (Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kelautan dan Peran Kelautan Terhadap Perubahan Iklim).

WOC yang pertama ini bertujuan untuk menegaskan mengenai betapa pentingnya perlindungan laut. Bahwa laut harus dijaga kelestariannya agar bisa menahan dampak negatif dari perubahan iklim yang kini sedang melanda dunia. Laut juga merupakan ”hutan biru” atau biasa disebut blue green, yang mampu menyerap karbon. Karbon menjadi salah satu penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dan sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim dunia.

Acara WOC yang berlangsung di Kompleks Grand Kawanua Convention Center (GKCC), Manado, itu dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ikut mendampingi Presiden SBY dalam pembukaan tersebut, antara lain adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu) Freddy Numberi serta Menteri Luar Negeri (waktu itu) Hasan Wirayuda.

Forum WOC itu sendiri dihadiri oleh sekitar 4.000 orang yang datang dari 121 negara di dunia. Sejumlah Kepala Negara, Menteri-Menteri dan Pejabat-Pejabat Tinggi dari banyak negara di dunia, juga hadir dalam acara WOC di Manado itu. Ada pula utusan-utusan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Selama empat hari (11-14 Mei 2009), mereka semua berdebat, berdiskusi, bertukar pikiran dan akhirnya sama-sama bersepakat bahwa laut harus dijaga dan dilindungi. Laut tidak boleh dicemari. Kesepakatan itu kemudian dinyatakan dalam ”Deklarasi Kelautan Manado” atau ”Manado Ocean Declaration”.

Penyelenggaraan WOC 2009 dan Deklarasi Kelautan Manado itu sudah dikoordinasikan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara WOC itu sendiri ditutup pada tanggal 14 Mei 2009. Pada malam penutupan WOC, dimeriahkan dengan pesta kembang api. Pertunjukan kembang api dilakukan setelah acara makan malam Presiden SBY dan Ibu Negara Ny. Ani Yudhoyono, bersama-sama dengan para peserta WOC. Letupan kembang api begitu meriah. Gemerlap cahaya apinya yang berwarna-warni menghiasi langit malam Manado.

Masih di Manado, keesokan harinya tanggal 15 Mei 2009, dilanjutkan dengan pertemuan 6 negara Inisiatif Segitiga Karang atau Coral Triangle Initiative (CTI). Enam negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Di wilayah 6 negara yang berada di kawasan barat daya Samudera Pasifik itulah terdapat sebagian besar karang dunia. Negara Australia dan Amerika Serikat juga ikut mendorong kesuksesan CTI itu.

Dalam pertemuan puncak atau CTI Summit 2009 di Manado tersebut, para Kepala Negara dari keenam negara CTI bersepakat untuk mendukung “Deklarasi Kelautan Manado” yang dihasilkan dalam WOC 2009. Enam negara CTI juga sama-sama bertekad meningkatkan perlindungan terhadap segenap sumber daya laut dan pantai di wilayah negara masing-masing. Sumber daya laut itu, antara lain berupa karang, ikan dan aneka biota di dalam lautan. Juga flora (tumbuhan-tumbuhan) dan fauna (binatang) laut yang lainnya.

Bersamaan dengan acara WOC 2009 dan CTI Summit 2009 (11-15 Mei 2009) di Manado, diselenggarakan pula Simposium Internasional mengenai Kebijakan serta Ilmu dan Pengetahuan Kelautan. Sekitar 400 paper atau makalah dan presentasi dilakukan dalam forum simposium yang diikuti oleh 1.500 orang peserta itu. Selama acara WOC 2009 dan CTI Summit 2009 juga dimeriahkan oleh Pameran Internasional tentang Industri serta Ilmu dan Teknologi Kelautan.

Sebagai salah satu wakil Indonesia, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) ikut serta dalam simposium dan pameran itu. Produk-produk hasil rekayasa teknologi bidang kelautan, seperti Kapal Riset Baruna Jaya, Tsunami Early Warning System (TEWS), Kapal Angkut Ikan Hidup Kerapu dan Pipa Apung untuk media alir mineral di industri minyak dan gas, dipamerkan oleh BPPT. Selama pameran, stand BPPT banyak dikunjungi orang, mulai dari murid-murid sekolah, pelajar, mahasiswa, peneliti, pejabat daerah dan masyarakat umum. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan (waktu itu) Freddy Numberi secara khusus berkunjung ke stand pameran BPPT. Selain melihat-lihat pameran BPPT, Menteri Freddy Numberi juga membicarakan kemungkinan kerjasama dalam bidang eksplorasi potensi kelautan dan perikanan nasional dengan menggunakan teknologi yang dimiliki BPPT.

Konferensi kelautan dunia (WOC) 2009 yang pertama memang sudah selesai. Pertemuan CT Summit 2009 pun telah rampung. Begitu pula dengan Simposium dan pameran internasional di bidang kelautan. Salah satu hasilnya, nama Manado dikenal luas oleh dunia internasional. Artinya, Manado yang selama ini juga dikenal memiliki kawasan wisata Bunaken itu, diharapkan mampu menjadi daerah tujuan wisata yang baru di Indonesia, selain Bali.

WOC hanyalah sebuah peretas bahwa kita memiliki sumber daya kelautan yang potensial dan posisi geografis yang amat strategis yang layak dijadikan sebagai satu kekuatan atau modal pembangunan ekonomi. Kenyataan posisi silang Indonesia yang sangat strategis dapat dilihat delapan aspek. Pertama, aspek geografis, wilayah Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Kedua, aspek demografi, penduduk Indonesia terletak di antara penduduk jarang di selatan (Australia) dan penduduk padat di utara (Republik Rakyat China [RRC] dan Jepang). Ketiga, aspek ideologi, ideologi Indonesia (Pancasila) diapit oleh ideologi liberalisme di selatan (Asutralia dan Selandia Baru) dan komunisme di utara (RRC, Vietnam dan Korea Utara). Keempat, aspek politik, demokrasi Pancasila terletak di antara demokrasi liberal di selatan dan demokrasi rakyat (diktator proletariat) di utara. Kelima, aspek ekonomi, ekonomi Indonesia berada di antara ekonomi kapitalis di selatan dan sosialis di utara. Keenam, aspek sosial, masyarakat Indonesia terletak di antara masyarakat indivualistik di selatan dan masyarakat sosialistik di utara. Ketujuh, aspek kultural, budaya Indonesia berada di antara budaya Barat di selatan dan budaya Timur di utara. Dan kedelapan, aspek pertahanan keamanan (hankam), geopolitik dan geostrategi Indonesia terletak di antara wawasan kekuatan maritim di selatan dan wawasan kekuatan kontinental di utara.

Letak geografis Indonesia dengan delapan aspek yang amat strategis tersebut dapat dijadikan kekuatan pembangunan perekonomian. Misalkan keberadaan  Selat Malaka yang juga sebagai lewatan jalur perdagangan internasional dapat mendorong Indonesia untuk bisa meningkatkan kehidupan ekonomi, khususnya sektor perdagangan. Kemudian potensi sumber daya bahari yang belum dikelola secara maksimal.  

Setelah lebih dari tiga dasawarsa membangun secara terencana, ekonomi di bidang kelautan (ekonomi kelautan) sampai kini masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) serta tidak menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan nasional. Bila melihat kontribusi setiap sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang pertumbuhannya relatif lambat maka dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi kelautan masih memprihatinkan. Ekonomi kelautan yang terdiri dari pelayaran (transportasi laut), perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, bangunan kelautan, industri dan jasa kelautan, sangat potensial dikembangkan di masa depan. Bagaimana sebenarnya persoalan dan potensi ekonomi kelautan kita? Berikut gambaran singkat persoalan dan potensi ekonomi kelautan tersebut:

Pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri pelayaran merupakan infrastruktur dan tulang punggung (backbone) kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, industri pelayaran nasional saat ini dalam kondisi terpuruk. Kontribusi sektor industri pelayaran terhadap PDB baru sekitar 1,64%. Selain itu, sebesar 95,21% muatan angkutan laut asing dan 46,8% muatan angkutan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal-kapal berbendera asing. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus membayar ongkos muatan ke kapal asing triliunan rupiah dan menghasilkan defisit pada transaksi berjalan. Ditinjau dari segi daya saing, pangsa muatan armada kapal nasional sudah mulai berkembang sedangkan untuk internasional masih memiliki ketergantungan pada armada asing.

Hal demikian merupakan pertanda bahwa kemampuan daya saing perusahaan pelayaran nasional berkembang lambat sementara kepemilikan kapal perusahaan pelayaran nasional relatif kecil. Sebagian besar perusahaan pelayaran nasional itu bertindak sebagai agen dari perusahaan asing. Mayoritas pelayaran nasional menjadi feeder dari Pelabuhan Singapura. Bahkan, Indonesia seperti dijadikan hinterland (kawasan belakang) Singapura. Keputusan melaksanakan asas cabotage guna mengembangkan industri pelayaran dalam negeri masih perlu diperkuat secara signifikan karena diperlukan instrumen pendukung seperti dukungan lembaga keuangan, peningkatan keselamatan pelayaran, peningkatan kualitas sistem pelabuhan dan industri kelautan (galangan kapal, mesin kapal, dan sebagainya). Unsur penting yang menggerakkan sektor pelayaran adalah tersedianya SDM yang handal. Saat ini daya saing SDM pelayaran, baik pelaut maupun SDM industri pelayaran, masih relatif rendah. Guna memecahkan masalah tersebut maka diperlukan dukungan kebijakan yang mampu membangun sinergi antara kalangan industri pelayaran, pendidikan dan pelatihan serta instrumen pendukungnya.

Perkembangan terakhir menggambarkan bahwa dampak positif dikeluarkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang ditindak-lanjuti dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 2005 tentang Pengangkutan Barang dalam Negeri dan Penyusunan Roadmap Pelaksanaan Asas Cabotage yang kemudian jiwa dan substansinya telah dimasukkan ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran diharapkan mampu mendorong pertumbuhan potensi industri pelayaran nasional.

Perikanan. Potensi industri perikanan Indonesia sangat besar dan sepatutnya Indonesia menjadi negara industri perikanan terbesar di Asia atau bahkan dunia. Ironisnya, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih belum signifikan, yakni 2,75% di tahun 2008 dan 3,12% di tahun 2009. Lalu, ekspor produk perikanan pun cuma US$2,4 miliar (2009). Armada kapal ikan bermotor yang mampu mencapai ZEEI pun masih amat sedikit dan pertambahan kapal ikan masih sangat kurang berarti dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga merangsek melakukan illegal fishing di wilayah perairan yang berada dalam kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia. Pertambahan kawasan budidaya perikanan, khususnya budidaya laut, masih sangat kurang. Demikian pula halnya kawasan-kawasan industri pengolahan ikan yang belum terbangun secara baik serta prasarana dan sarana perikanan belum berfungsi secara maksimal dalam mendukung pembangunan perikanan nasional. Beberapa hal tersebut terjadi sebagai akibat dari berbagai peraturan dan insentif yang kurang mendukung sehingga para investor (termasuk perbankan) merasa enggan melirik laut sebagai sumber kemakmuran bangsa. Keadaan ini berdampak pada kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan masih terus hidup dalam belitan kemiskinan, kumuh, tertinggal dan nyaris tidak berpendidikan.

Kendati Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penangkap ikan terbesar di dunia, kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat masih sangat kecil. Interaksi antarpelaku industri belum menguntungkan untuk negara maupun rakyat. Industri perikanan masih lemah dan fragmental, belum terintegrasi secara horizontal (antarwilayah dan dengan sektor komplementer) dan belum terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir, produksi, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun mancanegara). Permasalahan lain seperti pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing juga masih cukup besar, baik di ZEE maupun di perairan kepulauan dan laut teritorial. Begitu juga praktik perikanan yang merusak lingkungan. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan daerah terpencil (remote areas) lainnya mengindikasikan kurangnya kesungguhan bangsa Indonesia untuk menjadikan laut sebagai bagian dari hari depan bangsa.

Salah satu aspek penting bagi pengembangan sumber daya perikanan adalah bioteknologi kelautan. Saat ini pengembangan industri bioteknologi, khususnya obat-obatan, kosmetik dan pangan, telah mampu mengangkat perekonomian dunia. Beberapa contoh perusahaan obat dunia yang bergerak di bidang bahan alam perairan untuk aplikasi di industri obat dan kosmetik antara lain Bayer A.G., Merck, Wyeth, Eli Lilly, Albany Molecular, Advanced Life Science, PharmaMar, CeryLid, Kosan Bioscience, Galileo Pharmaceuticals, Novartis, Rhone Poulence, Avalon Pharmaceuticals, Pfizer, AstraZeneca, Genentech, Roche, Glaxo Smith Kline, Sanovi Aventis, Amgen, Biogen Idec, Yamanouchi, Solvay Healthcare, dan Procter & Gamble. Perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan berbagai organisme perairan (seperti rumput laut, sponge, koral, molusca, dan enchinodermata) sebagai bahan baku, baik pada tataran pengembangan maupun komersialisasi. Data kuantitatif hasil pengembangan sumber daya hayati tercatat sebagai berikut:
  • Data dari Wyeth Research menunjukkan bahwa dari 520 obat baru yang dikembangkan sekitar tahun 1983-1994, 39% merupakan produk alam atau turunannya, termasuk produk alam perairan.
  • Sekitar 60%-89% dari antibiotik dan antikanker dihasilkan dari produk alam, termasuk produk alam perairan.
  • Dari penjualan global produk farmasi sebesar US$300 miliar per tahun, sekitar US$75 miliar sampai US$150 berasal dari sumber daya hayati atau sumber daya genetik, termasuk sumber daya hayati perairan.
  • Penjualan produk personal care dan kosmetik pada tahun 1997 mencapai US$55 miliar, kontribusi bahan alam (termasuk bahan alam perairan) mencapai US$2,8 miliar.
Data tersebut membuktikan bahwa pengembangan sumber daya hayati secara komersial dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan ekonomi. Seharusnya kenyataan ini menjadi pemantik bagi Indonesia untuk berkiprah lebih intensif dan nyata dalam pemanfaatan sumber daya hayati perairan secara berkelanjutan dalam rangka memperkuat pembangunan ekonomi.

Mengingat pengembangan industri bioteknologi di Indonesia masih dalam tataran yang sangat terbatas, maka perlu dilakukan percontohan terpadu pengembangan sumber daya hayati perairan untuk mendukung industri bioteknologi khususnya farmasi dan kosmetik. Pengembangan terpadu yang dimaksud mesti melibatkan pihak terkait seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai penghasil teknologi, masyarakat pesisir/nelayan sebagai pembudidaya dan konservator, pihak swasta sebagai agen yang akan mengkomersialisasikan produk yang dikembangkan, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan) sebagai fasilitator dan inisiator. Melalui kolaborasi semua pihak terkait diharapkan pengembangan nyata dari sumberdaya hayati perairan dapat dilaksanakan dan diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan ekonomi masyarakat tanpa harus mengorbankan kelestarian sumberdaya hayati yang ada.

Selain itu pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati laut dapat menghasilkan produk maupun proses yang bernilai tinggi melalui pengembangan industri bioteknologi. Secara garis besar industri bioteknologi kelautan yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati perairan adalah produksi bahan alami dari laut, pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan lautan, pengendalian biofouling, dan perbaikan sistem akuakultur.

Organisme laut yang meliputi mikroba dan phytoplankton, blue green algae (cyanobacteria), green algae, brown algae, sponges, coelenterates, bryozoans, mollusca, tunicates, dan echinoderms merupakan sumber bahan aktif dan bahan kimia yang sangat potensial. Dari biota laut tersebut dapat dihasilkan berbagai bahan alami yang bermanfaat antara lain untuk industri farmasi (seperti antitumor, antikanker, antibiotik dan anti-inflammatory), bidang pertanian (fungisida, pestisida, growth stimulator), industri kosmetik dan makanan (seperti zat pewarna alami dan biopolisakarida). Selanjutnya dari biota laut juga dapat dihasilkan protein serta bahan diet sebagai sumber makanan sehat (asam lemak tak jenuh omega-3, vitamin, asam amino, dan berbagai jenis gula rendah kalori).

Hal-hal yang perlu memperoleh perhatian dalam pengembangan industri produk alam laut antara lain: konsentrasi yang sangat rendah walaupun dihasilkan bioreaktor terkendali pada kondisi yang optimal, ketergantungan pada faktor musim yang sulit dikendalikan (khususnya untuk bahan alami yang diekstrak langsung dari organisme laut). Masalah pertama dapat diatasi dengan penerapan teknologi rekayasa genetika. Untuk yang kedua dapat diatasi dengan mempelajari dan meneliti berbagai faktor yang berkaitan dengan produksi bahan alami seperti musim, siklus hidup, fase reproduksi, jenis makanan, faktor fisika dan kimia, lokasi geografis, kedalaman serta asosiasi dengan simbion. Untuk mengendalikan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi bahan alami dari laut perlu dikembangkan teknik kultur sel dan jaringan tanaman, khususnya untuk produksi eicosanoid dari makroalga Laminaria Setchelli, Porphyra perforata, Gracilariopsis lemaneiformi.

Potensi lestari sumberdaya perikanan diperkirakan memiliki nilai ekonomi sekitar US$76 miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk potensi peningkatan nilai tambah melalui industri bioteknologi kelautan maupun industri pengolahannya. Apabila diasumsikan nilai tambah produksi perikanan melalui bioteknologi kelautan sebesar nilai yang diperoleh Amerika pada tahun 1994, maka potensi ekonomi perikanan akan mencapai angka US$82 miliar per tahun.

Sumberdaya perikanan yang terdapat di wilayah Indonesia terdiri dari perikanan tangkap, budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton yang terdiri dari ikan pelagis besar (975.050 ton), ikan pelagis kecil (3.235.500 ton), ikan demersal (1.786.350 ton) dan cumi-cumi (28.250 ton). Dari potensi tersebut sampai pada tahun 1998 baru dimanfaatkan sekitar 58,5%. Dengan begitu masih terdapat sekitar 41% potensi yang belum termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton.

Di samping potensi ikan laut, potensi lainnya yang dapat dioptimalkan adalah budidaya, baik budidaya pantai maupun budidaya laut. Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 hektar yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 hektar (Ditjen Perikanan, 1998). Bila kita mampu mengusahakan tambak seluas 300.000 hektar dengan target 2 ton per hektar per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar 0,6 juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$5 per kilogram) maka akan diperoleh devisa sebesar US$3 miliar per tahun.

Dari seluruh potensi produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35% yang sudah direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstraksi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), rumput laut, mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Padahal, kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki potensi keaneka-ragaman hayati laut yang jauh lebih rendah, pada tahun 1994 mereka sudah mampu meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar US$14 miliar (Bank Dunia dan Sida, 1995).

Selain sumberdaya perikanan tadi, kita masih memiliki potensi sumberdaya alam non-ikan dan lingkungan laut. Indonesia yang terletak di daerah ekuator dengan luas daratan mencapai 2 juta kilometer persegi dan luas lautan 6 juta kilometer persegi memanjang sejauh 6.000 kilometer dari Benua Asia sampai relung Pasifik dan merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang terpadat serta keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia dikenal sebagai daerah mega biodiversity yang memiliki banyak spesies endemik.

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di bentangan wilayah Indonesia terdiri dari sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources), sumber daya tidak dapat dipulihkan (unrenewable resouces), dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya alam kelautan yang dapat dipulihkan antara lain berbagai jenis tumbuhan, hewan, ikan, dan udang. Sedangkan sumberdaya alam kelautan yang tidak dapat dipulihkan di antaranya bahan galian/tambang, minyak bumi dan gas. Dan yang termasuk jasa-jasa lingkungan antara lain pariwisata dan rekreasi, transportasi, pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, serta konservasi alam.

Sumber daya hutan mangrove. Indonesia memiliki hutan mangrove yang amat luas. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub-tropis (FAO, 2007). Hutan mangrove Indonesia memiliki penyebaran di pesisir/pantai pulau-pulau besar, terutama pantai timur Sumatera, pantai Kalimantan, dan pantai Papua. Ekosistem mangrove di Indonesia termasuk memiliki keragaman jenis tertinggi di dunia. Seluruhnya tercatat 89 jenis, terdiri dari 35 jenis tanaman, 5 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis lain-lain. Sebagian besar mangrove Indonesia termasuk jenis api-api (Avicenna sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem (Sonneritia sp). Jenis-jenis ini banyak berfungsi menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah endapan.

Sayangnya, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta hektar sedangkan pada tahun 1993 berkurang menjadi 3,7 juta hektar, di mana sekitar 1,3 juta hektar sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (Onrizal, 2002). Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3% (4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta hektar pada tahun 1993) atau 1% per tahun. Data Wetlands International sebagaimana yang diungkapkan Pakar Toksikologi dari Puslitbang Oceanologi LIPI Drs. Pramudji, M.Sc. dalam orasi pengukuhan Profesor Riset-nya 9 Desember 2010 lalu, memperlihatkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 tinggal tersisa sekitar 1,5 juta hektar.

Pada tahun 1999/2000, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Kementerian Kehutanan menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia mencapai 9,2 juta hektar namun 5,3 juta hektar di antaranya atau sekitar 57,6% dalam kondisi rusak. Yang dalam kondisi rusak tadi, sebagian besar (sekitar 69,8% atau 3,7 juta hektar) terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2% atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove melalui pembangunan plot-plot percontohan penanaman mangrove yang sudah dilaksanakan oleh Ditjen RLPS sampai tahun 2001 baru sekitar 21.130 hektar.

Dalam penelitiannya, Pramudji membagi tingkat kerusakan mangrove ke dalam tiga kategori, yakni masih baik, sebagian rusak dan rusak berat. Kondisi terparah terdapat di pantai utara Nangroe Aceh Darussalam, Teluk Lampung, Tanjung Pasir (Tangerang), Delta Mahakam (Kaltim), Lombok Barat dan Teluk Saleh (NTB). Secara umum, kerusakan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor antrogenik, faktor alami dan faktor biologis. Penyebab terbesar adalah faktor antrogenik di mana manusia menjadi pelaku utama perusakan. Eksploitasi hutan mangrove yang tidak terencana, adanya penebangan liar, pembukaan lahan mangrove untuk areal pertambakan, pertanian, penggaraman dan pemukiman, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap manfaat mangrove (termasuk juga persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan mangrove) sudah merupakan contoh konkrit bahwa manusialah sesungguhnya yang punya andil besar merusak ekosistem mangrove.

Konflik pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya degradasi baik fisik maupun kualitas. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang serius banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambak-tambak beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Sedangkan faktor alam yang menyebabkan rusaknya mangrove antara lain banjir, kekeringan, hama penyakit, tsunami, dan kebakaran merupakan faktor penyebab yang relatif kecil.

Mangrove sebagai hutan telah dimanfaatkan terutama sebagai sumber penghasil kayu untuk konstruksi, kayu bakar untuk membuat arang, dan juga sebagai bahan baku kertas (pulp). Sedangan sebagai ekosistem, mangrove telah dimanfaatkan sebagai pemasok alami larva ikan dan udang, serta berbagai peruntukan lainnya seperti lahan tambak, pertanian pasang-surut, permukiman dan kawasan industri. Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai areal budidaya (pertambakan) saat ini telah mencapai 420.000 hektar. Sementara itu pemanfaatan mangrove untuk bahan bakar (arang) dan peruntukan lainnya terus meningkat.

Sumberdaya air. Sumberdaya alam lainnya yang termasuk sumber daya yang dapat pulih adalah sumberdaya air. Sumberdaya air merupakan salah satu komponen lingkungan yang paling penting untuk kehidupan. Tanpa air, berbagai proses kehidupan tidak akan berlangsung. Sebagian tubuh makhluk hidup, kecuali biji, spora dan tulang, terdiri dari air. Air tawar hanya merupakan 3% dari seluruh sumberdaya air yang ada di bumi dan dari presentase tersebut hanya satu persen yang tersedia dalam bentuk yang bisa langsung dimanfaatkan, sisanya dalam bentuk padat. Peran laut dapam proses daur ulang perlu mendapat perhatian. Kendati air termasuk sumberdaya alam yang dapat dipulihkan namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa ketersediaan air tawar tidak pernah bertambah tapi justru berkurang ketersediaannya di berbagai wilayah tertentu. Bahkan, air yang dulu dikategorikan sebagai barang bebas kini diperjual-belikan dalam kemasan botol dan dengan demikian sudah menjadi barang ekonomis. Sebagai contoh harga air dalam kemasan botol lebih mahal dua kali lipat dari harga bensin. Kondisi ini perlu dicermati agar dapat selalu dijaga ketersediaan air melalui pengelolaan yang terpadu mulai dari daerah aliran sungai, pesisir sampai lautan (Integrated River Basin Coastal dan Ocean Management) sebagai sebuah basis ekosistem luas yang berinteraksi terhadap ketersediaan air.

Sumberdaya terumbu karang. Ekosistem terumbu karang yang terdiri dari karang penghalang, karang tepi, dan atol menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia diperkirakan terdapat 75 terumbu karang penghalang yang panjang totalnya 4.853 kilometer dan luas totalnya mencapai 60.000 kilometer persegi dengan kekayaan 354 jenis karang dari 75 marga. Selain itu juga terdapat 45 atol yang luasnya sekitar 20.000 kilometer persegi.

Terumbu karang yang berada di bagian barat wilayah Indonesia umumnya berupa terumbu karang tepi dan gosong karang, yang menyebar antara lain di pantai barat Sumatera (terutama Kepulauan Mentawai) dan Jawa Timur. Sedangkan di bagian timur wilayah Indonesia yang perairannya lebih dalam, terumbu karangnya lebih beragam, seperti karang tepi, terumbu karang penghalang, atol dan gosong karang. Penyebarannya meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua (terutama Teluk Cenderawasih).

Sampai dengan tahun 1993, kondisi ekosistem terumbu karang di Indonesia diidentifikasi sebagai berikut: 7% dalam kondisi sangat baik, 33% digolongkan baik, 46% dalam kondisi kerusakan sedang, dan 15% sisanya dalam keadaan rusak. Kondisi terumbu karang tersebut digolongkan berdasarkan persentase penutupan karang hidup; yaitu sangat baik apabila penutupannya 76-100%, baik 51-75%, sedang 26-50%, dan rusah 0-25%. Tahun 2010, sebagaimana data yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, sekitar 70% terumbu karang dalam kondisi rusak parah.

Secara empiris, kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Bali, Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta) dan Kepulauan Morotai adalah yang terparah, dengan persentase penutupan karang hidup berkisar 26-50%. Bahkan di Kepulauan Morotai, kerusakan ekosistem terumbu karang mencapai 70-93% dari seluruh luasan ekosistem terumbu karang yang ada di kepulauan tersebut.

Pemanfaatan terumbu karang di Indonesia, terutama untuk bahan bangunan, cenderung merusak ekosistem terumbu karang. Pemanfaatan lainnya adalah sebagai daerah wisata bahari karena memiliki keindahan alami, seperti di daerah Bunaken (Sulawesi Utara) dan Taka Bonerate (Sulawesi Selatan). Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang produktif karena menjadi fishing ground / spawning ground ikan karang, yang potensinya diperkirakan sebesar 80.082 ton per tahun.

Sumberdaya padang lamun. Padang lamun terdapat di perairan pesisir yang landai, berlumpur/pasir pada batas terendah daerah pasang-surut berdekatan dengan hutan mangrove atau terumbu karang. Padang lamun merupakan ekosistem yang produktivitasnya tinggi, dengan keanekaragaman biota yang juga cukup tinggi.

Penyebaran padang lamun di Indonesia meliputi perairan pesisir utara Jawa (antara lain Kepulauan Seribu), Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi (pulau lain di bagian utara Minahasa, Kepulauan Tukang Besi dan Atol Taka Bonerate), Maluku dan Papua.

Padang lamun berfungsi antara lain sebagai habitat berbagai biota yang bernilai ekonomis, produsen detritus dan zat hara. Padang lamun merupakan ekosistem sebagai penghasil protein hewani yang berasal dari ikan, teripang dan kerang yang hidup berasosiasi di ekosistem padang lamun, penghasil bahan kosmetik dan pakan ternak yang diperoleh dari lamun itu sendiri. Di samping itu padang lamun juga dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan marikultur, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.

Selain sumber daya alam yang dapat dipulihkan sebagaimana diuraikan tadi, potensi sumber daya alam lain yang dapat dikembangkan secara optimal adalah sumber daya alam yang tidak pulih. Sumber daya alam jenis ini berupa antara lain minyak bumi, gas, energi kelautan dan bahan-bahan tambang seperti logam, nikel dan emas.

Pertambangan dan energi. Laut memiliki potensi pertambangan dan energi yang cukup besar namun pengembangannya terkendala oleh investasi dan teknologi. Potensi timah, nikel, bauksit, mangan, minyak, gas, air laut dalam (deep sea water) dan energi dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada saat ini kepentingan Indonesia yang utama sebagai penghasil mineral masih terpusat kepada usaha-usaha melindungi agar produksi dan harga mineral Indonesia, khususnya timah, tembaga dan nikel, tidak mendapat saingan yang mematikan dari para pesaing global. Pengembangan aktivitas pertambangan di pesisir dan laut dapat menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen yang menguasai pasar dunia.

Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70% atau 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu, 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, dan 29 cekungan belum terjamah. Diperkirakan, 40 cekungan tersebut berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui secara pasti, 7,5 miliar di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, dan lebih dari separuhnya (sekutar 32,8 miliar barel) terdapat di laut dalam. Selain itu masih ada potensi mineral dan tambang lainnya seperti emas,batubara, tembaga dan bauksit yang terdapat di laut Indonesia yang belum dieksploitasi secara memadai.

Selain potensi minyak dan gas bumi masih cukup besar namun cadangan terbukti semakin menipis karena terbatasnya investasi dalam penemuan cadangan tersebut serta berbagai aspek lainnya seperti teknologi mengakibatkan sumber daya minyak dan gas sering menjadi kendala dalam penyediaan energi nasional maupun industri turunannya. Pengembangan energi dari laut lainnya yang perlu segera dikembangkan, antara lain:
  • Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia dan Filipina adalah negara yang mempunyai potensi besar untuk mengembangkan OTEC namun masih belum memperoleh perhatian. Adapun salah satu kriteria untuk dapt mengembangkan OTEC adalah perbedaan suhu air laut permukaan dengan air laut pada kedalaman satu kilometer (km) mencapai lebih dari 20 derajat Celsius. Di Indonesia terdapat sejumlah darah yang dapat dikembangkan mempunyai perbedaan suhu sekitar 22 derajat Celsius. Daerah tersebut berada pada jarak sekitar 50 kilometer dari pantai yang berarti masih dalam wilayah yurisdiksi perairan Indonesia. Sedangkan luas darah potensial ini diperkirakan lebih dari 1.000 kilometer persegi.
Pembangkit listrik tenaga OTEC merupakan padat modal karena sebagian besar dari biaya digunakan untuk kegiatan konstruksi awal namun lebih efisien dalam jangka panjang. Sebagai pembanding: PLTD dengan kapasitas 100 MW untuk daur hidup 25 tahun diperkirakan memerlukan biaya dua kali lipat lebih besar daripada PLT-OTEC. Selain itu PLT-OTEC adalah pembangkit tenaga tanpa limbah yang menjadi satu kelebihan besar dibandingkan dengan PLTD. Biaya PLT-OTEC saat ini relatif lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik yang diperoleh dari tenaga pasang surut, gelombang, arus maupun perbedaan alinitas air. Lokasi potensi OTEC diperkirakan terdapat di Pelabuhan Ratu, Ujung Kulon, pantai selatan Bali, pantai barat dan selatan Sumatera. Hasil penelitian geologi dan geofisika pesisir dan laut menunjukkan empat kawasan di daerah perairan Bali Utara yang memiliki prospek untuk lokasi OTEC, yaitu Bondalem – Tanjung Gulah.
  • Energi panas bumi. Indonesia merupakan suatu busur kepulauan dengan busur magma yang rapat berupa gunung api aktif. Gejala panas bumi berkaitan dengan busur vulkanik dan busur pulau sebagai tektonik lempeng. Dengan demikian Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi yang besar dan sebagian telah dieksploitasi, terutama di daerah daratan. Panas bumi sebagai energi alternatif diperkirakan memiliki potensi sumber daya sebesar 20.000 MW, yang tersebar di punggung pegunungan, terutama di Kawasan Barat Indonesia. Produksi panas bumi yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik pada akhir Pembangunan Jangka Panjang I tercatat sebesar 145 MW. Sedangkan pada akhir Repelita VI (1994-1995) telah terpasang PLTP dengan kapasitas 309,5 MW. Berdasarkan sebaran lokasi panas bumi di daratan maka akan menjadi petunjuk untuk melokalisir daerah panas bumi yang berpotensi di daerah lepas pantai.
  • Energi ombak/gelombang. Energi yang memanfaatkan ombak untuk pembangkit tenaga listrik, kriteria penentuan lokasi didasarkan pada ombak yang sifatnya tidak pecah sampai ke pantai dan tinggi gelombangnya minimal dua meter dari muka air laut rata-rata. Selain itu kedalaman laut dekat pantai minimal 1,28 kali tinggi gelombang. Jadi ada tiga parameter penting: kondisi gelombang, batimetri dan topografi. Beberapa kajian pemanfaatan energi gelombang telah dilakukan di antaranya adalah Pantai Baron, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • Energi pasang-surut (Tidal). Penggunaan energi pasang-surut sudah diusahakan manusia sejak lama. Secara ekonomis, lokasi pembangkit tenaga listrik pasang-surut harus mempunyai perbedaan tinggi air pasang dan air surut (tidal range) lebih besar dari lima meter. Produksi listrik tahunan berkisar 540 juta KWH (kilo watt hour) dengan tidak menggunakan pompa. Kapasitas produksi ini dapat ditingkatkan menjadi 670 juta KWH dengan menggunakan turbin generator sebagai pompa untuk meningkatkan tinggi permukaan air. Di Indonesia minimal terdapat dua lokasi yang berpotensi untuk pengembangan pemanfaatan sumber energi dari pasang-surut, yaitu wilayah Bagan Siapi-api dan Merauke. Di kedua lokasi tersebut kisaran pasang-surut mencapai sekitar enam meter.
  • Energi campuran air tawar dan salinitas. Secara teoritis, percampuran antara satu meter kubik air tawar dengan satu meter kubik air laut dapat melepas energi bebas sebesar 2,24 MW. Indonesia memiliki banyak muara sungai yang cukup besar, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang memiliki sungai-sungai permanen seperti Sungai Barito, Mahakam, Kapuas, Musi dan Batanghari. Daerah estuaria ini merupakan lokasi-lokasi potensial untuk memperoleh energi nir-konvensional, meski pada saat ini dengan kemajuan teknologi yang ada, potensi pemanfaatan konversi energi melalui perbedaan salinitas secara ekonomis belum menguntungkan.
  • Energi gambut. Tanah gambut memiliki banyak kegunaan, salah satunya dimanfaatkan sebagai sumber energi. Cadangan gambut di Indonesia cukup besar dan merupakan negara keempat terbesar di dunia. Dengan ditemukannya endapan gambut di dasar laut perairan Masalembo (antara Kalimantan dan Jawa), maka perlu dipikirkan untuk kemungkinan eksploitasi di dasar laut.

Energi kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumber daya kelautan non-hayati yang dapat diperbarui yang berpotensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumber daya ini di masa yang akan datang semakin signifikan sehingga sangat diperlukan kebijakan untuk menyiapkan apabila energi konvensional yang tersedia dialam mulai menipis.

Selain potensi perikanan dan sumber daya alam laut tadi, Indonesia masih memiliki potensi sekitar laut. Di antaranya: Pariwisata bahari. Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat berefek ganda (multiplier effect) yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa dan dapat mendorong konservasi lingkungan. Selain itu pengembangan pariwisata bahari sebenarnya mempunyai dampak positif untuk tumbuh bangkitnya jiwa dan budaya bahari yang dengan itu dapat memberikan efek berganda dalam mendorong terwujudnya negara maritim yang tangguh. Namun demikian hingga saat ini pariwisata bahari nasional belum berkembang yang ditunjukkan oleh kontribusi terhadap PDB masih sangat kecil, yaitu sebesar 2,1% (2005). Rangkaian acara wisata dan kawasan tujuan wisata (calendar of events dan tourist destination) kelautan nusantara belum terbangun. Industri hulu-hilir pariwisata kelautan, termasuk multimoda transportasi dan jasa hospitality, juga belum berkembang.

Indonesia terkenal sebagai negara yang sangat kaya obyek pariwisata bahari. Karena, negara kita merupakan salah satu negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia (95.181 kilometer). Sepanjang garis pantai itu tumbuh keanekaragaman hayati yang menakjubkan yang menjadi magnet menarik orang untuk mengunjunginya. Keaneka-ragaman yang ditawarkan oleh wisata bahari ini bahkan bukan hanya dinikmati oleh pelancong yang ingin menikmati keasliannya, melainkan juga menarik minat peneliti dan pemerhati lingkungan.

Gugusan-gugusan pulau di Nusantara amat potensial. Jika dikelola secara profesional, arif dan bijaksana, banyaknya gugusan pulau itu tentu akan menjadi produk wisata (Obyek Daya Tarik Wisata atau ODTW) berkelas dunia dan menghasilkan devisa yang besar bagi negara, serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Sekadar contoh, Pulau Padaido, Biak Numfor, Papua. Keindahan taman laut Padaido disebut-sebut menempati peringkat tertinggi di dunia, bersama taman laut Insumbabi di Kepulauan Supiori (Papua), Takabonerate dan Tukang Besi (Buton). Menurut penilaian Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization), empat taman laut tadi (Padaido, Supiori, Takabonerate dan Tukang Besi) mendapat skor 35. Sebagai perbandingan, taman laut yang tersohor Great Barrier Reef di Queensland, Australia, hanya mendapat skor 28, Haiti dan Kaledonia Baru tercatat 32.

Kegiatan-kegiatan bisnis wisata bahari di Indonesia ditopang oleh kekayaan sumber daya kelautan. Kawasan terumbu karang yang tersebar di perairan Indonesia, garis pantai yang indah, 263 jenis ikan dan 4,25 juta hektar hutan mangrove merupakan potensi wisata bahari yang dapat dikelola dan dikembangkan. Berdasarkan penjelasan Euro Asia Management, potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia antara lain wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (cultural tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism), dan wisata olah raga (sport tourism). Kendati telah direncanakan pilihan kegiatan wisata yang akan dikembangkan seperti yachting, cruising, diving, surfing dan fishing, namun belum dilengkapi dengan berbagai fasilitas pelayanan dan akomodasi yang memadai.

Pengamat ekonomi kelautan M. Laode Kamaluddin menjelaskan bahwa nilai ekonomi pariwisata dunia tercatat sebesar US$4,4 triliun. Indonesia sendiri  menguasai tiga titik pariwisata dunia, masing-masing di Tulamben (Bali), Bunaken (Manado) dan Wakatobi (Buton). Sayangnya, Indonesia belum termasuk dalam 10 negara di dunia penerima devisa terbesar dari pariwisata. Kesepuluh negara penerima devisa terbesar di dunia dari pariwisata adalah AS (US$71,3 miliar), Perancis (US$29,9 miliar), Italia (US$29,8 miliar), Spanyol (US$29,8 miliar), Inggris (US$21,0 miliar), Jerman (US$16,4 miliar), China (US$12,6 miliar), Austria (US$11,6 miliar), Kanada (US$9,4 miliar) dan Meksiko (US$7,9 miliar). Komposisi itu tidak banyak berubah hingga sekarang ini.

Peta pengembangan pariwisata bahari di Indonesia yang tercakup dalam sabuk (belt) ekonomi kemaritiman sebenarnya terdapat pada 21 titik pengembangan yang meliputi: Pertama, Jalur Lingkar Luar. Dimulai dari barat yaitu Pulau Weh (Sabang) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang cocok untuk obyek wisata bahari andalan seperti game fishing. Kemudian Pulau Nias (Sumatera Utara) yang cocok untuk obyek wisata selancar angin. Lalu, Pulau Siberut (Sumatera Barat) buat obyek wisata andalan game fishing dan selancar angin. Selanjutnya, Pulau Enggano (Bengkulu) yang juga bagus buat obyek wisata andalan game fishing dan selancar angin. Lantas, Ujung Kulon (Banten) yang cocok untuk obyek wisata pantai; Cilacap (Jawa Tengah) sebagai obyek wisata pantai; dan Sendang Biru (Jawa Timur) dapat dikembangkan menjadi wisata selam (diving). Berikutnya Pulau Rote (Nusa Tenggara Timur) yang dapat dikembangkan menjadi game fishing; dan Pulau Biak (Papua) bisa dikembangkan sebagai obyek wisata menyelam (diving).

Kedua, Jalur Lingkar Dalam. Di antaranya adalah Pulau Seribu, DKI Jakarta (wisata bahari); Kepulauan Karimun, Jawa Tengah (wisata pantai, selancar dan game fishing); Pulau Bali (wisata pantai, menyelam dan selancar); Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat (game fishing), Pulau Bonerate dan Selayar, Sulawesi Selatan (menyelam); Pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara (menyelam dan wisata pantai); Pulau Banda, Maluku (menyelam); serta Sulawesi Utara yakni Pulau Bitung (game fishing) dan Sangir Talaud (menyelam).

Ketiga, Jalur Barat Tengah. Mulai dari Pulau Belitung, Bangka Belitung (wisata pantai); Banten yakni Gunung Krakatau (wisata pantai dan game fishing) dan Pulau Karimata (wisata pantai); Pulau Rupat, Bengkalis (wisata pantai); Pulau Batam (panorama pantai); hingga Natuna (selancar, game fishing dan wisata pantai).

Bangunan kelautan. Bangunan kelautan merupakan konstruksi di pesisir dan laut seperti pelabuhan, hotel dan resor di pesisir, anjungan minyak dan gas di laut, pipa (minyak dan gas) dan kabel bawah laut (serat optik, listrik dan lain-lain). Pemanfaatan sumber daya kelautan yang tersebar di wilayah laut teritorial, ZEE, landas kontinen, serta kesempatan pemanfaatan sumber daya kelautan internasional (international sea-bed area) belum dilaksanakan secara optimal.

Upaya mengoptimalkan pendaya-gunaan sumber daya kelautan dan fungsi laut untuk sektor-sektor pelayaran, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim dan jasa kelautan membutuhkan dukungan sektor bangunan kelautan yang kuat agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Sektor bangunan kelautan memang memerlukan investasi yang besar namun peranannya dalam mendorong perekonomian nasional sangat penting dan terus meningkat dan mampu membuka lapangan kerja. Apalagi tampak terdapat kecenderungan daya saing industri berbasis kelautan. Peningkatan aktivitas ekonomi kelautan tersebut memerlukan dukungan sistem pelabuhan yang efisien serta perlu ditingkatkan dari segi produktivitas, keamanan dan kenyamanan sehingga dapat bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan di dunia. Bangunan kelautan membutuhkan investasi yang besar dan teknologi tinggi sehingga diperlukan sumber daya manusia yang mampu dan kompeten, maka perlu peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM di bidang pelabuhan.

Selain itu peningkatan periwisata bahari serta pengembangan pertambangan serta minyak dan gas memerlukan bangunan/kontruksi yang berkualitas dan efisien sehingga aktivitas produksi maupun pelayanan dapat membangkitkan kegiatan ekonomi yang efisien serta memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan. Pengelolaan pipa, serat optik dan kabel listrik bawah laut saat ini belum memperoleh perhatian yang memadai. Padahal, sektor ini penting bagi pembangunan Indonesia dan memiliki prospek ekonomi yang besar di masa mendatang. Keberadaan kabel dan pipa di dasar laut (baik laut teritorial dan perairan kepulauan maupun di luar yurisdiksi nasional [ZEE dan laut lepas]) merupakan bagian dari kewajiban internasional yang belum mendapatkan cukup perhatian. Sampai saat ini Indonesia belum melaksanakan kewajiban untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengatur tentang pemasangan, pemutusan atau kerusakan pada kabel bawah laut. Pengembangan sektor-sektor tersebut sangat penting dalam mengantisipasi berbagai peluang bisnis masa depan yang dapat menarik investor dalam bisnis di bidang kelautan dan mendorong kemajuan pembangunan nasional.

Industri kelautan. Industri kelautan merupakan aktivitas manufakturing untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bidang kelautan maupun aktivitasnya menggunakan sumber daya laut seperti galangan kapal, perawatan kapal, industri mesin kapal dan pendukungnya sampai ke industri garam. Industri galangan dan mesin kapal sebenarnya sangat strategis lantaran mempunyai rantai hulu-hilir yang relatif panjang. Aktivitas galangan kapal memiliki tradisi yang panjang sejak dulu kala. Kerajaan-kerajaan di nusantara, dari Aceh sampai Ternate, mempunyai kemampuan perdagangan melalui laut mulai dari wilayah nusantara sampai Afrika. Namun karena perhatian terhadap pengembangan industri kelautan sangat terbatas maka kapasitas yang dimiliki tidak berkembang, sampai-sampai garam pun kita mesti mengimpor. Pengembangan industri kelautan yang maju merupakan tantangan yang perlu dijawab agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa.

Jasa kelautan. Jasa kelautan merupakan aktivitas pendidikan dan pelatihan, penelitian, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam, perdagangan, pengamanan laut serta jasa-jasa lingkungan yang meliputi keaneka-ragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih yang dapat membangkitkan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya. Pengembangan aktivitas tersebut dapat memberikan kontribusi pada produk domestik bruto maupun penyerapan tenaga kerja.
      
Di bidang SDM, saat ini aktivitas pendidikan dan pelatihan di bidang kelautan belum menunjukkan usaha yang maksimal, misalnya SDM kita belum mampu mengisi peluang kebutuhan tenaga pelaut (seafarer) yang dibutuhkan baik dalam negeri maupun pasar dunia. Pemenuhan tenaga pelaut tersebut tidak hanya dalam hal jumlah tapi juga kualifikasi pelaut tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan, khususnya berbagai standar yang ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO).

Penelitian kelautan merupakan pilar penting bagi kemajuan pembangunan kelautan, namun saat ini aspek penelitian ini masih sangat terbatas karena minimnya perhatian dan anggaran dan SDM bila dibandingkan dengan potensi kelautan yang dimiliki Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia bidang-bidang keahlian kelautan lainnya diperkirakan juga akan meningkat di masa yang akan datang dan saat ini belum terdapat perencanaan tenaga kerja (man power planning) yang baik.

Aktivitas lainnya seperti arkeologi laut serta benda muatan kapal tenggelam memerlukan perhatian khusus. Mengingat pentingnya aspek historis warisan budaya di bidang kelautan dan maritim, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam harus dapat terjaga untuk generasi yang akan datang. Beberapa penanganan atas penemuan benda muatan kapal tenggelam yang terjadi akhir-akhir ini masih belum dirumuskan secara baik sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang penting bagi penguatan aspek kebaharian di tingkat daerah dan nasional maupun dari sisi pendapatan negara.

Lingkungan laut. Pemanfaatan sumber daya alam dan pembangunan nasional secara berkelanjutan harus mendukung kelestarian lingkungan laut. Kelestarian lingkungan pesisir dan laut ditentukan oleh kelestarian sumber daya pulih, di antaranya terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Interaksi darat dan laut dari lingkungan, saat ini, tidak diperhatikan, misalkan pembangunan di darat kerap tidak memperhatikan dampaknya terhadap laut. Aktivitas di darat yang menghasilkan limbah selalu dibuang ke laut melalui sungai atau langsung ke laut bagi aktivitas di pesisir. Persepsi laut sebagai “halaman belakang rumah”  yang menganggap laut sebagai tempat buangan akan menghancurkan lingkungan laut dan akan berdampak terhadap kehidupan umat manusia. Laut yang memiliki keaneka-ragaman hayati dan kekayaan alam yang indah dengan keragaman flora dan faunanya akan hancur. Dan, persepsi tersebut harus diubah bahwa laut adalah “halaman depan rumah” dengan perlakuan segala limbah sebelum sampai ke laut harus diproses terlebih dulu sampai benar-benar ramah lingkungan.

***

Pengembangan wilayah dan peningkatan aktivitas ekonomi kelautan membutuhkan ruang (space). Sebagai sebuah negara kepulauan maka keterpaduan antara wilayah darat dan laut serta udara di atasnya menjadi sangat penting. Identifikasi dimensi ruang wilayah dapat dilakukan secara abstraksi model dua dimensi (nirmana datar) yaitu seperti pada kartografi umum (peta). Selain itu bisa pula dengan abstraksi model tiga dimensi (nirmana ruang), di mana akan ditemui antariksa, atmosfir, kolom udara, permukaan laut, kolom air, dan dasar laut (sea-bed and subsoil) di bawah kolom air (landas kontinen).

Ruang udara di atas wilayah daratan, laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia adalah milik Negara Republik Indonesia yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Kemudian dari segi geostrategi dan geopolitik, ruang udara di atas wilayah NKRI memegang peranan penting. Selain itu di ruang udara di atas ALKI juga ada kewajiban Indonesia untuk mengakomodasi hak lintas penerbangan oleh pesawat asing sebagai bagian dari pelaksanaan hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui ALKI. Sehingga, sudah saatnya pengaturan tentang pemanfaatannya disatukan dalam suatu Kebijakan Kelautan Indonesia secara terpadu, sesuai dengan kaidah yang termaktub dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

Pemanfaatan potensi kolom air laut. Kolom air pada kedalaman 200 meter dari permukaan laut (surface) merupakan wilayah perairan yang produktif bagi sumber daya hayati laut. Karena daerah tersebut dapat ditembusi cahaya matahari yang berperan dalam proses fotosintesis, yaitu energi matahari diubah menjadi energi organik pada butiran hijau daun yang ada di fitoplankton dan rumput laut lainnya. Secara ekologi, wilayah perairan dengan kedalaman 200 adalah daerah subur dan keaneka-ragaman jenis biota laut perairan pada daerah tersebut lebih banyak daripada daerah bottom. Selain produktif, wilayah tersebut banyak dipengaruhi oleh arus dari Samudera Pasifik maupun daerah khatulistiwa. Arus lintas Indonesia baik dari Samudera Pasifik maupun dari khatulistiwa sangat mempengaruhi kehidupan hayati perairan, seperti migrasi ikan, kehidupan plankton, terumbu karang, kehidupan krustacea dan sebagainya.    

Bila dilihat dari segi lingkungan, wilayah ini rawan terhadap pencemaran baik yang berasal dari darat maupun akibat tabrakan (collission) atau kandasnya kapal-kapal tanker minyak. Belakangan ini kegiatan pertambangan logam mulia, tembaga dan mineral lainnya yang dilakukan di daratan lebih cenderung membuang limbahnya ke laut karena risiko biaya lebih kecil namun sebaliknya ekosistem laut terancam, seperti kegiatan pertambangan emas dan tembaga oleh PT Newmont yang mengalirkan limbahnya ke laut bagian dalam atau lebih dikenal Submarine Tailing Placement (STP). Teknik pembuangan limbah dengan sistem STP sudah perlu dipikirkan ulang untuk tidak dipergunakan bagi perairan Indonesia, sebab Indonesia merupakan bagian dari daerah tropis, di mana garis Thermocline bersifat temporer dan mudah berubah. Jadi tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan sistem pembuangan dengan cara STP.

Pemanfaatan potensi dasar laut (Bottom). Sekitar 70% potensi minyak dan gas bumi Indonesia terdapat di lepas pantai dan lebih dari separuhnya berada di laut dalam di wilayah landas kontinen. Landas kontinen Indonesia adalah kawasan dasar laut (sea-bed) dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorial Indonesia sampai sejauh kelanjutan alamiah dari wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis-garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dari mana lebar laut teritorial diukur. Negara Republik Indonesia memiliki hak berdaulat dan eksklusif untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen Indonesia.

Bagian laut dalam pada kedalaman >1.000 meter memiliki ekosistem yang spesifik dengan kehidupan biota perairan yang tahan terhadap kekurangan oksigen dan suasananya agak kegelapan, sehingga pada wilayah ini banyak biota perairan yang mampu menghasilkan bioluminicense dan tenaga listrik yang cukup besar. Kemudian massa air laut pada kedalaman lebih dari 1.000 meter tersebut secara umum suhu airnya berada di bawah 15 derajat Celsius dan kandungan mineralnya cukup tinggi.

Beberapa bagian perbatasan Indonesia, seperti Batam-Singapura, terdapat berlapis-lapis kabel listrik dan telepon serta pipa-pipa yang tertanam di dasar laut (sea-bed). Pengaturannya secara internasional didasarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982 yang hingga saat ini belum diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional secara terpadu tetapi tersebar di beberapa sektor, antara lain perhubungan dan lingkungan. Kemungkinan juga hal serupa terjadi di wilayah perairan lain di Indonesia. Kalau  dipandang dari sudut keamanan negara, kawasan perairan dengan kedalaman tersebut memungkinkan buat dilewati oleh kapal-kapal selam yang sulit dilihat dengan kasat mata dan untuk itu diperlukan suatu teknologi radar yang baik. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tadi maka potensi dan kekayaan laut kita yang ada di dasar laut dan tanah di bawahnya haruslah diatur dalam suatu kebijakan kelautan agar pengelolaan dan pengendaliannya lebih baik dan sempurna.

Prinsip dan landasan tata kelola laut. Satu hal banyak menimbulkan salah persepsi (flawing perceptions) di kalangan publik, bahkan di kalangan akademisi, adalah bahwa kelautan dianggap sebagai sumber daya dan komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan kelautan sebagai primary sector yang berkonotasi sebatas pada produksi “komoditas”. Padahal, sejarah membuktikan bahwa kelautan merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct inter-linkages) antarfaktor penyusunnya, yaitu ekosistem, ekonomi dan komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang kelautan.

Sistem kelautan merupakan sebuah kesatuan dari tiga komponen utama, yaitu sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem dan lingkungan biofisik; sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur pelaku pemanfaatan sumber daya dan jasa kelautan, pelaku pasar dan konsumen, komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; dan sistem pengelolaan kelautan (ocean management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan kelautan, pembangunan kelautan, rejim pengelolaan kelautan dan riset kelautan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem kelautan adalah sistem yang amat kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi pada sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain baik secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles, 2001).

Kompleksitas sistem kelautan dapat didekati dari perspektif keragaman (diversity) di mana minimal terdapat empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu keragaman spesies (species diversity), keragaman genetik (genetic diversity), keragaman fungsi dan keragaman ekonomi. Dalam praktiknya,  keragaman sistem bersumber dari beberapa hal yang oleh Charles (2001) digambarkan sebagai “the sources of complexity in ocean systems”, yaitu (1) banyaknya tujuan dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya dan jasa kelautan, dan seringkali menimbulkan konflik antartujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antarspesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok pemangku kepentingan beserta interaksinya dengan pemerintah dan masyarakat; (4) banyaknya jenis pemanfaatan alat tangkap dan interaksi teknologi antar-mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumber daya perikanan, nelayan dan lingkungan; dan (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan. Uraian tadi menganggap perikanan hanya sebatas komoditas dan jelas akan sangat mengurangi arti penting sektor ini sebagai sebuah sistem yang kompleks dan dinamis serta memiliki peran penting sebagai salah satu penjaga suplai pangan bagi manusia.

Perikanan bukanlah satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan-keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut. Hal ini terkait dengan premis bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamis di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumber daya yang lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan perikanan menjadi tanda (sign) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional.

Kendati begitu, pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam dan ke luar antarsumber-daya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat, di mana dalam konteks paltform ini, perikanan menjadi salah satu indikator utama.

Tata kelola berbasis ekosistem. Laut merupakan sumber ekonomi yang berbasis sumber daya (resources-based economy), sehingga paradigma yang digunakan adalah pelestarian fungsi ekosistem laut dalam menyediakan sumber daya (resources flows) yang kemudian menjadi input utama bagi produktivitas ekonomi sektor kelautan. Secara diagramatik, paradigma ini dapat diilustrasikan pada gambar berikut:

Diagram Aliran Fungsi Ekosistem dan Manfaat Ekonomi Bagi Masyarakat (lihat buku Perumusan Kebijakan Kelautan Indonesia halaman 165)

Dari ilustrasi tadi dapat dilihat bahwa aliran manfaat dan biaya dari pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aliran proses ekologis dan fungsi lingkungan yang kemudian menghasilkan barang dan jasa bagi manusia. Dalam konteks ini maka pelestarian fungsi dan proses ekosistem yang menopang pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan menjadi agenda penting.

Sementara itu ekosistem laut dan pesisir sebagai unsur utama penghasil barang dan jasa kelautan dan perikanan secara teoritis memiliki aliran fungsi yang beragam, yaitu (1) aliran fungsi penyediaan (provisioning); (2) fungsi pengaturan (regulating); (3) fungsi kultural (cultural); dan (4) fungsi pendukung (supporting). Keempat fungsi tersebut menjadi pendorong utama bagi bergeraknya sistem ekonomi berbasis sumber daya kelautan dan perikanan.

Tata kelola berbasis sumber kekuatan. Dalam konteks transformasi kekuatan kelautan, Indonesia barangkali perlu belajar dari Korea Selatan. Dengan garis pantai yang hanya 12.000 kilometer, Korea Selatan menganggap bahwa penyatuan fungsi kelautan dan perikanan yang semula terpisah ke dalam 13 otoritas kebijakan perlu disatukan. Visi inilah yang kemudian menjadi landasan bagi kebijakan kelautan terpadu (integrated marine policy/IMP) Korea Selatan. Salah satu tujuan utama dari penguatan IPM adalah untuk meningkatkan kekuatan laut nasional (reinforce national sea power).

Kekuatan laut sebuah negara, menurut A.T. Mahan (1890), dipengaruhi oleh enam unsur strategis: posisi geografis; konfirmasi fisik termasuk produksi alamiah dan kondisi klimat; luasnya wilayah teritorial; jumlah penduduk; karakteristik penduduk; dan karakter pemerintahan (termasuk kelembagaan nasional). Kendati ditulis tahun 1890, prinsip sea power-nya Mahan ini masih sangat kontekstual dalam kerangka saat ini maupun masa depan. Korea Selatan pun menghayati konsep Mahan untuk kemudian menyatukan seluruh fungsi kelautan ke dalam satu institusi negara MOMAF (Ministry of Fisheries and Marine Affairs) atau bahasa kita Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam perspektif ini, dibentuknya Departemen Kelautan Perikanan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk membangunkan sang raksasa. Namun, memang, dalam perjalanannya visi dan prinsip “national sea power” seperti yang dianjurkan oleh Mahan belum tertangkap secara baik. Hal ini tak terlepas dari anggapan fungsi DKP dalam konteks “hanya perikanan”.  

Mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh IMP Korea Selatan yang waktu itu dipimpin langsung implementasinya oleh Perdana Menteri dalam kerangka Marine Development Comittee (MDC), terdapat tujuh agenda strategis yang perlu diperhatikan dalam upaya penguatan kekuatan kelautan nasional: pertama, memperkuat teknologi kelautan, survei oseanografi dan jasa-jasa kelautan. Kedua, enhanching tingkat kompetitif nasional dan internasional industri transportasi maritim melalui kebijakan apa yang disebut self-controlled open-door policy dan efisiensi pelabuhan. Ketiga, reorientasi kebijakan pertambangan minyak dan gas di wilayah laut. Keempat, memelihara stok sumber daya ikan dalam level yang menjamin keberlanjutan industri perikanan. Kelima, memelihara kualitas lingkungan dan sumber daya kelautan melalui skema mitigasi pencemaran kelautan dan pesisir yang kuat. Keenam, memelihara dan memperkuat integrasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai wilayah multi-uses. Dan ketujuh, memperkuat diplomasi kelautan (termasuk di dalamnya diplomasi perikanan) khususnya yang terkait dengan isu tata kelola kelautan global (global ocean governance).

Selain mengambil pelajaran dari IMC Korea Selatan, dapat pula kita merujuk Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) menunjukkan aspek keadilan sosial dan ekonomi dalam pengelolaan kelautan berkelanjutan. Hal ini sebagaimana dituangkan pada pasal 6.2 yang menyebutkan bahwa: “Pengelolaan perikanan harus memajukan pemeliharaan mutu, keaneka-ragaman dan ketersediaan dari sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.”

Secara umum, pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara pengentasan kemiskinan tidak hanya untuk kondisi saat ini, tapi dimungkinkan untuk kondisi di masa yang akan datang. Dengan demikian pasal 6 CCRF tidak sebatas terkait dengan masyarakat yang tergantung pada perikanan namun juga terkait dengan populasi manusia atau penduduk secara umum, termasuk produsen dan konsumen.

Kendati pasal 6 CCRF tidak secara khusus memuat negara berkembang, namun pada pasal ini bisa dikaji secara lebih jauh mengenai prinsip keadilan sosial dan ekonomi. Pada pasal 6.18 misalkan, dimuat pentingnya kontribusi perikanan artisanal dan perikanan skala  kecil terhadap kesempatan kerja, pendapatan dan ketahanan pangan, negara-negara harus secara tepat melindungi hak para nelayan dan pekerja perikanan, khususnya mereka yang terlibat dalam perikanan subsisten, skala kecil dan artisanal. Dengan begitu, kebutuhan prinsip sosial dan ekonomi terkait dengan jaminan dan kepastian mata pencaharian.

***

Dengan mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola kelautan, laut sebagai basis ekosistem dan laut berbasis kekuatan, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mencanangkan dan melaksanakan Visi, Misi serta Tujuan dan Sasaran, Strategi, Kebijakan dan Program pembangunan kelautan dan perikanan (terutama perikanan tangkap) hingga tahun 2020. Visi yang direntang adalah terwujudnya industri kelautan dan perikanan Indonesia yang lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2020. Khusus mengenai industri perikanan tangkap, yang dimaksud adalah seluruh kegiatan atau usaha yang terkait dengan penangkapan ikan, baik sektor penunjang produksi maupun pasca produksi. Pengertian industri perikanan tangkap tidak hanya mengacu kepada kegiatan penangkapan ikan dalam skala besar, namun juga usaha penangkapan ikan dalam skala menengah dan kecil. Istilah industri digunakan untuk mewakili semangat dalam membangun sub-sektor perikanan tangkap yang lebih modern dan sistemik.

Kemudian lestari dimaksudkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam pengertian ini, perikanan tangkap tidak hanya diprioritaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada saat sekarang, tetapi juga harus dikelola sebagai warisan berharga dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Sementara itu, kokoh dapat diartikan bahwa industri perikanan tangkap yang dibangun adalah industri yang ditopang oleh pilar-pilar industri seperti sumberdaya ikan, SDM, sarana dan prasarana, data dan informasi, serta kelembagaan yang kuat, adaptif dan tidak mudah goyah oleh perkembangan dunia internasional, serta saling terkait secara sinergis. Keberadaan dan sinergitas pilar-pilar industri merupakan modal penting dalam membangun industri perikanan tangkap yang mapan dan berkelanjutan, di mana dalam pelaksanaannya didukung oleh sektor-sektor lain yang terkait.

Sementara itu, makna dari mandiri adalah bahwa industri perikanan tangkap nasional yang dibangun merupakan industri yang bertumpu kepada sumberdaya dan kekuatan-kekuatan dalam negeri sendiri. Industri perikanan tangkap nasional harus mampu memberdayakan masyarakat lokal secara optimal namun berstandar internasional. Selanjutnya, pencantuman tahun 2020, secara eksplisit merupakan acuan waktu yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pembangunan perikanan tangkap yang lebih jelas dan terarah, serta dapat dipertangung-jawabkan secara transparan.

Untuk mencapai kondisi yang diharapkan pada tahun 2020, pembangunan jangka menengah (terutama periode 2005-2009) sesungguhnya memiliki posisi strategis dan sekaligus krusial. Berhasil-tidaknya pembangunan industri perikanan tangkap yang lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2020 sangat tergantung dan ditentukan oleh pencapaian pembangunan pada periode jangka menengah (2005-2009). Sebab itu, agar visi yang digulirkan benar-benar jelas dan terarah, Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menjabarkannya dalam beberapa misi yang harus diemban. Pertama, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan secara bertanggung-jawab. Kedua, mendorong dan mengembangkan kualitas kelembagaan dan SDM perikanan tangkap yang berkualitas. Ketiga, memfasilitasi, mendorong dan memanfaatkan fasilitas pokok pelabuhan perikanan, kapal perikanan, alat tangkap serta sarana usaha perikanan tangkap lainnya. Keempat, mendorong dan memfasilitasi pengembangan industri perikanan tangkap.

Tujuan yang diharapkan dari visi dan misi tadi adalah: pertama, mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan guna menyediakan ikan untuk konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Kedua, meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional. Ketiga, meningkatkan lapangan pekerjaan. Keempat, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Sedangkan sasarannya adalah: pertama, tercapainya peningkatan produksi perikanan tangkap sebesar 6,19% per tahun sehingga tercatat 5,4 juta ton pada tahun 2009. Kedua, peningkatan jumlah tenaga kerja di bidang perikanan tangkap, dari sebelumnya 3,8 juta orang diharapkan bertambah sebanyak 2 juta orang pada tahun 2009 sehingga total nelayan menjadi 5,8 juta orang. Ketiga, tercapainya pendapatan nelayan minimal Rp1,5 juta per orang per bulan pada tahun 2009.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran serta agar strategi, kebijakan dan program yang dicanangkan bisa tepat dan sesuai harapan, Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian melakukan analisis lingkungan strategis atau SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threats). Berdasarkan analisis SWOT, kebijakan yang ditempuh diarahkan kepada lima hal. Pertama, menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian nasional dengan membangkitkan industri perikanan dalam negeri. Kedua, rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri serta nelayan lokal. Ketiga, penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap dan berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Keempat, mendorong Pemerintah Daerah agar lebih pro-aktif dan mengoptimalkan secara arif dan bijaksana seluruh potensi dan kemampuannya. Dan kelima, rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam.

Kebijakan tersebut selanjutnya diwujudkan dalam sepuluh strategi pembangunan perikanan tangkap jangka menengah (2005-2009). Pertama, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung-jawab. Kedua, peningkatan produktivitas usaha penangkapan. Ketiga, peningkatan kemampuan dan kapasitas pendukung produksi di dalam negeri. Keempat, peningkatan SDM dan penyerapan teknologi. Kelima, peningkatan kemampuan kelembagaan, manajemen usaha kecil dan akses permodalan. Keenam, peningkatan mutu hasil perikanan tangkap sebagai bahan baku industri. Ketujuh, pengembangan dan penyebaran kluster-kluster industri. Kedelapan, restrukturisasi armada perikanan tangkap. Kesembilan, revitalisasi prasarana perikanan tangkap. Dan kesepuluh, pengembangan dan penyusunan standarisasi sarana perikanan tangkap.

Dengan mengacu kepada kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan lalu menyusun program dan kegiatan pokok. Programnya adalah: pertama, pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung-jawab. Kedua, pengembangan kapal perikanan dan alat penangkap ikan. Ketiga, pengembangan pelabuhan perikanan. Keempat, pengembangan usaha penangkapan ikan. Kelima, peningkatan pelayanan perijinan penangkapan ikan. Keenam, revitalisasi perikanan tangkap. Dan ketujuh, pengembangan metoda statistik perikanan tangkap.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merasa yakin bahwa serangkaian program tadi terimplementasi secara baik dengan syarat sebagai berikut. Pertama, program-program yang telah ditetapkan di dalam Renstra mendapat dukungan dan komitmen dari seluruh jajaran Ditjen Perikanan Tangkap KKP. Kedua, program-program yang telah ditetapkan di dalam Renstra mendapat dukungan penuh dari pihak-pihak terkait secara lintas sektoral dan lintas wilayah. Ketiga, anggaran yang diperlukan untuk pembangunan perikanan tangkap tersedia sesuai jadwal yang direncanakan. Keempat, monitoring dan evaluasi pembangunan perikanan tangkap dapat berjalan lancar dan efektif. Kelima, stabilitas politik, keamanan, ekonomi, dan sosial dapat terjaga sehingga kondusif bagi pelaksanaan program perikanan tangkap.

Pada masing-masing program tersebut disusun pula berbagai kegiatan pokok. Pertama, pengelolaan sumberdaya ikan yang bertanggung-jawab yang dilakukan melalui: (a). Penataan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan cara penyusunan, penerapan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP); optimasi pengolahan sumberdaya ikan di wilayah perbatasan; penyusunan konsep peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumberdaya ikan dan evaluasi hasil kesepakatan FKPPS; penyusunan National Plan of Action (NPOA); penyusunan database dan peta status tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan; pembinaan dan evaluasi nelayan lintas batas dan nelayan andon (nelayan yang berputar-putar di suatu tempat); serta evaluasi penataan rumpon di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Kemudian (b). Perlindungan dan pengayaan sumberdaya ikan dengan cara melalui suaka perikanan tangkap; pemacuan stok ikan; serta identifikasi dan inventarisasi sumberdaya ikan langka dan terancam punah. (c). Monitoring dan evaluasi pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan umum dan perairan laut. (d). Peningkatan kualitas SDM melalui apresiasi pengelolaan sumberdaya ikan tangkap di perairan umum; dan apresiasi pemantauan dan evaluasi pemanfaatan SDM perikanan di laut.

Kedua, pengembangan kapal perikanan dan alat pengkapan ikan. Langkah kongkretnya meliputi: pengembangan teknologi penangkapan produktif dan ramah lingkungan; restrukturisasi armada perikanan nasional; pengembangan alat bantu penangkapan yang ramah lingkungan; standarisasi sarana perikanan tangkap; penyiapan basic design kapal dan alat tangkap ikan sebagai percontohan; pembangunan prototipe kapal spesifik daerah penangkapan dan target spesies; pembangunan fasilitas pengujian dan percobaan (flume tank) alat penangkap ikan; penerapan standar kapal dan alat penangkap ikan; penyiapan cetak biru (blue print) jenis kapal dan alat penangkap ikan karakteristik daerah; pemetaan kebutuhan sarana perikanan tangkap; introduksi sarana perikanan tangkap berbasis kebutuhan dan keterkaitan; serta revitalisasi Unit-Unit Pengembangan Penangkapan Indonesia di daerah-daerah perikanan tangkap.

Ketiga, pengembangan pelabuhan perikanan. Langkah nyatanya berupa: revitalisasi pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan serta implementasi “DKP Mini”; pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Perikanan di lingkar luar (Outer Ring Fishing Port, ORFP); pembangunan dan pengembangan PP/PPI di daerah potensial dan strategis terutama di wilayah timur Indonesia; pengembangan dan integrasi Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) dengan sistem informasi perikanan dan kelautan terkait; serta evaluasi dan peningkatan status PP/PPI sesuai skala layanan.

Keempat, pengembangan usaha penangkapan ikan. Langkah yang dilaksanakan adalah: pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil/menengah; pengembangan usaha penangkapan di wilayah perbatasan dan daerah terpencil; pengembangan Unit Bisnis Perikanan Terpadu (UBPT) di pusat-pusat pertumbuhan perikanan tangkap (pelabuhan perikanan); peningkatan peluang investasi dalam rangka pengembangan UBPT; pengembangan usaha ekonomi produktif bagi wanita nelayan di kawasan timur Indonesia dan daerah padat tangkap; pengembangan kapasitas ketenaga-kerjaan perikanan tangkap dan pengendalian tenaga kerja asing; serta relokasi usaha nelayan.

Kelima, peningkatan pelayanan perijinan penangkapan ikan tangkap. Tindakan nyata yang dilakukan untuk itu meliputi: pengembangan sistem informasi usaha penangkapan ikan; penataan sistem pelayanan perijinan; rintisan perijinan dan penyusunan database usaha penangkapan ikan di daerah; serta peningkatan peran daerah dalam proses administrasi pelayanan perijinan pusat.

Keenam, revitalisasi perikanan tangkap melalui sosialisasi dan penyediaan sarana prasarana penunjang penanganan ikan; perbaikan penanganan ikan hasil penangkapan di atas kapal; perbaikan penanganan ikan hasil penangkapan; pengembangan sistem rantai dingin (cold chain system); pengembangan teknologi tepat guna penanganan ikan hasil penangkapan; dan apresiasi teknik penanganan ikan hasil penangkapan.

Ketujuh, pengembangan statistik perikanan tangkap, yang antara lain meliputi: pengembangan Sistem Informasi Statistik Perikanan Tangkap (SISPT); pengembangan pendataan perikanan tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik; pengolahan data PDB industri pengolahan perikanan; penguatan kapasitas kelembagaan statistik perikanan tangkap di daerah; apresiasi dan validasi data statistik perikanan tangkap; serta pengumpulan, pengolahan dan penyajian data statistik yang baik dan benar.

Sudah barang tentu tidak sebatas menekankan pembangunan dan pengembangan potensi perikanan tangkap. KKP juga melihat betapa pentingnya memberdayakan potensi pesisir dan pulau-pulau kecil; mengembangkan dan melestarikan potensi flora laut (misalkan terumbu karang dan mangrove), dan pemanfaatan bangunan laut. Dan semua itu jelas tidak dapat ditangani KKP sendirian. Harus sinergi dengan lembaga, insitusi dan instansi lain yang terkait. Untuk menyelamatkan terumbu karang, sekadar contoh, pada akhir 2010 KKP telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan organisasi World Wildlife Fund (WWF).

Kerja keras KKP bersama DPR, tahun 2007 telah lahir UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK). Undang-undang inilah yang kini menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. UU PWP-PPK telah mengatur beberapa hal berkenaan dengan pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di antaranya: (1). Perencanaan pengelolaan; (2). Pemanfaatan berdasarkan ekosistem; (3). Pemanfaatan pulau-pulau kecil; (4). Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3); (5). Konservasi; (6). Hak akses masyarakat; (7). Pengawasan dan pengendalian; (8). Mitigasi bencana; dan (9). Sanksi.

Dilihat dari materi UU PWP-PPK, bahwa mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil sudah cukup sistemik, holistik dan integratif. Kelembagaan pemerintah pusat, daerah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terlihat semakin kuat. Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil juga relatif adil, seimbang dan berkelanjutan. UU PWP-PPK tadi pun dirasa telah memberi kepastian hukum bagi dunia usaha dan masyarakat.

Hal ini dapat dilihat dari esensi (substansi dan hakikat) yang terkandung di dalam UU PWP-PPK. Pertama, bersifat multi-sektor. Kedua, adanya koordinasi, integrasi dan konsistensi dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga, adanya keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir. Keempat, pembagian pembiayaan dalam pengelolaan antara pusat dan daerah serta masyarakat. Kelima, adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat adatdan masyarakat pesisir dalam pengelolaan berbasis masyarakat. Dengan demikian, pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil bisa dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan terkoordinasi. Sekadar ilustrasi, pelaksanaan konservasi perairan telah diterapkan sistem zonasi atau pembagian dan pengaturan ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaannya. Zona ini meliputi zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya. Di sini terdapat kepastian hukum sehingga konflik penggunaan ruang bisa dihindari.

Merujuk UU PWP-PPK dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dengan mengandeng pemerintah daerah dan kalangan perbankan, KKP sempat menggelontorkan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) secara berkesinambungan sejak tahun 2001 hingga tahun 2009: mulai tahap inisiasi, institusionalisasi sampai diversifikasi. Mulai dari berdirinya Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro, Mitra dan Mina (LEPPM3), koperasi sampai unit-unit usaha di bawah koperasi seperti Solar Packed Dealer untuk Nelayan, kedai pesisir dan klinik bisnis.

Sekadar pengetahuan, potensi pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia ini sangat besar. Menurut pakar kelautan dan perikanan Tridoyo Kusumastanto, jumlah pulau-pulau kecil yang mencapai sekitar 10.000 pulau umumnya memiliki potensi SDA dan jasa lingkungan yang tinggi. Sama seperti pesisir, potensi yang dimiliki pulau-pulau kecil berupa sumberdaya hayati yang dapat diperbarui (renewable resources) seperti ikan, mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Pulau-pulau kecil juga ada yang kaya sumberdaya non-hayati seperti minyak dan gas bumi, pasir kuarsa, timah, nikel dan bahan bangunan. Juga kaya akan emas, batu apung, pasir besi, garam dan pasir laut. Dengan bersandar pada peraturan perundangan yang ada (UU PWP-PPK dan UU Perikanan) semua itu dapat dikembangkan secara optimal dan terpadu.

Lingkungan dan tata ruang laut pun akan termanfaatkan secara integratif dan koordinatif. Dan keberlanjutan serta kelestarian laut terjaga pula. ***  

     

1 comment: