Tuesday, August 20, 2013

OCEAN POLICY, PLATFORM DAN PAYUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN NASIONAL




Membangun laut itu harus direncanakan, divisikan,
dibuat kebijakannya dan diimplementasikan dengan baik dan benar.
Untuk itu, kita butuh National Ocean Policy.    
Aspek penting dalam kebijakan itu adalah ketetapan hati, komitmennya,
hakikat laut, manfaat kekayaan dan menjaga lingkungannya.  

Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Rosyihan Arsyad
(Direktur Eksekutif Institute for Maritime Studies)


Parade armada kapal perang China, Vietnam dan Filipina, dengan formasi siap tempur bergemuruh di Laut China Selatan. Diiringi pesawat tempur yang menderu-deru di atas formasi kapal perang, membuat Laut China Selatan benar-benar diliputi suasana siap perang menyusul ketegangan antara ketiga negara itu. Selama berabad-abad ketiga negara tersebut memang saling berebut Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya. Namun, ketegangan yang berlangsung baru-baru ini telah menimbulkan kekhawatiran yang dapat menjadi pemicu terjadinya perang regional, bahkan global.

Ibarat kata, ketika setetes air laut yang mereka miliki “diusik” oleh negara lain, maka negara yang merasa memiliki kedaulatan atas setetes air laut itu siap berperang. Semua kekuatan akan dikerahkan untuk mempertahankan setetes air laut itu. Begitulah yang terjadi di Laut China Selatan. Setelah Perang Dunia (PD) II, kita bisa menyimak terjadinya perang besar hanya untuk menguasai dan mempertahankan setetes air laut. Misalnya, Perang Malvinas antara Inggris dan Argentina, kemudian ketegangan yang terus menyelimuti Rusia dengan Jepang berkenaan dengan Kepulauan Sakalin. Begitu pula konflik batas wilayah teritorial penangkapan ikan antara Norwegia dengan Inggris pada tahun 1950-an yang sempat membuat kedua negara yang bertetangga itu bersitegang dan siap untuk berperang.

Demikian berharganya laut bagi mereka sehingga mereka siap berperang dengan mengerahkan semua kekuatan yang dimiliki. Mereka sangat memahami bahwa untuk membangun kebesaran dan kejayaan, kuncinya adalah laut. Bahkan, bagi negara-negara adidaya seperti AS dan China, meskipun mereka dikenal sebagai negara daratan (kontinental) dan bukanlah negara kelautan (kepulauan), tetap saja paradigma mereka adalah kelautan. Demikian pula dengan negara-negara maju seperti Inggris, Spanyol, Norwegia, Italia, Perancis, Australia, Jepang dan Korea Selatan. Tidak terkecuali Chili, India dan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, serta negara lainnya di dunia ini.

Foto-foto:
Armada kapal China, kapal Filipina, kapal Thailand, dll. (tiga foto saja)


Berpijak dan Berkiblat ke Laut

Adalah kebenaran sejarah bahwa kebesaran dan kejayaan suatu bangsa dan negara karena mereka berkiblat ke laut. Pada masa lalu, Nusantara Indonesia pernah menjadi bangsa yang besar dan berjaya karena berkiblat ke laut. Pun kebesaran dan kejayaan China (Tiongkok), sedari dulu hingga sekarang ini lantaran telah berkiblat ke laut. Juga kebesaran dan kejayaan negara-negara Eropa dan AS karena sejak dulu sampai kini menjadikan laut sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional mereka.

Sedari dulu Jepang telah pula berpijak dan berkiblat ke laut. Termasuk dalam membangun sistem pertahanan keamanannya, garda kekuatan militer Jepang berada di lautan. Hal itu bisa disimak semasa PD II, di mana pada masa itu kapal-kapal perang Jepang mampu menembus berbagai batas wilayah dan negara, terutama di kawasan Asia Pasifik. Dengan kapal-kapal perang yang canggih (ketika itu), Jepang mampu menguasai wilayah Pasifik Barat dan Barat Daya, dari Pulau Mariana, Carolina hingga Kepulauan Solomon. Dengan kekuatan angkatan lautnya yang hebat, Jepang bahkan mampu menguasai hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.

Bila kita membahas PD II di kawasan Asia Pasifik, tentu kita tidak bisa melepaskan kemajuan dan kejayaan Jepang sejak masa Dinasti Meiji (Freddy Numberi, 2008). Restorasi Meiji (Meiji Ishin, Meiji Revolution) pada hakikatnya adalah suatu reformasi atau revolusi budaya yang digerakkan oleh kekuasaan sentral imperial Kaisar pada tahun 1860-an. Diawali oleh kesadaran untuk menerima pencerahan dan keterbukaan (enlightenment) setelah pintu ketertutupan (seclusion) Jepang dibuka. Kaisar Jepang Matsuhito adalah penggerak restorasi dengan nama Meiji, yang artinya hukum pencerahan atau keterbukaan (enlightened rule), dengan tetap memelihara kearifan lokal (local wisdom) berupa semangat Bushido dan kepahlawanan Samurai yang merupakan khazanah-kearifan masyarakat Jepang sebagai kekuatan sosial dan budaya. Restorasi Meiji berjalan sukses karena benar-benar memperoleh legitimasi politik, sosial dan budaya dari kekuasaan Kaisar selaku pimpinan (Sri-Edi Swasono, 2011).

Setelah kekuatan industri Jepang bangkit dan kemenangannya atas China di tahun 1939, Jepang memulai PD II dengan tujuan melumpuhkan kekuatan Sekutu di bawah pimpinan AS di kawasan Pasifik, lantas merebut Malaka dan Hindia Belanda (Nusantara Indonesia) serta menduduki Filipina. Jepang kemudian menguasai perimeter pertahanan yang dimulai dari sebelah utara Samudera Pasifik di Kepulauan Kuriles, lalu turun ke selatan melalui Pulau Wake, Mariana, Carolina dan Marshall hingga Kepulauan Solomon. Sesudah wilayah-wilayah itu berada dalam kekuasaannya, Jepang beranggapan akan leluasa menguasai wilayah impiannya yang disebutnya sebagai “Persemakmuran Asia Timur Raya” (Greater East Asia Co-Prosperity Sphere).

Segera setelah serangan terhadap pangkalan Angkatan Laut AS di Pearl Harbor, Hawaii, pada tanggal 7 Desember 1941, pasukan Jepang terus bergerak dan menguasai hampir seluruh wilayah yang telah diidam-idamkan sebagai Persemakmuran Asia Timur Raya. Setelah menduduki Pulau Jawa yang ketika itu menjadi pusat kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, pasukan Dai Nippon Jepang lantas berupaya memutuskan garis pertahanan dan perhubungan antara AS dan Australia di selatan dan barat daya Pasifik. Pasukan Jepang lalu berambisi menguasai seluruh wilayah Nusantara Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Semasa PD II, kekuatan angkatan laut Jepang di kawasan Asia Pasifik hanya dapat dikalahkan oleh kekuatan Sekutu AS di bawah pimpinan Jenderal Besar Douglas MacArthur selaku Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya (Commander In Chief Southwest Pasific Area). Di bawah pimpinan Jenderal MacArthur, dengan strategi “loncat katak” (leapfrog strategy) dan dukungan peralatan tempur modern (udara, laut dan darat) dalam jumlah yang begitu banyak serta kekuatan militer dalam jumlah besar, beberapa kali Sekutu AS terlibat perang hebat dengan Jepang. Mulai dari pertempuran dahsyat di Papua, pertempuran laut karang di Midway (Juni 1942), Guadalcanal (November 1942), hingga Kepulauan Bonin (1944) yang berdekatan dengan wilayah Jepang, yang akhirnya Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945 setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (8 Agustus 1945). Secara resmi Jepang menyerah kepada Sekutu (AS) pada tanggal 2 September 1945.

Setelah kalah dalam PD II, Jepang segera bangkit dan menjelma sebagai negara superpower dunia di bidang ekonomi. Mengapa? Karena, orientasi pembangunan dan industrialisasi Jepang justru semakin intensif diarahkan ke laut setelah sumberdaya daratan tercemar dan hancur akibat bom atom Sekutu AS. Jepang semakin gencar membangun, mulai dari industri perikanan dan hasil laut, industri perkapalan, hingga memelopori bangkitnya industri Deep Sea Water (DSW). Pemerintah, pengusaha dan masyarakat Jepang saling bahu-membahu membangun industri kelautan (maritim). Maka wajarlah dalam industri perkapalan dunia kini Jepang adalah penguasanya. Jepang menguasai sekitar 47%, Korea Selatan 22%, Eropa Barat 15% dan China 3%. Pemerintah, pengusaha dan masyarakat Jepang juga melihat bahwa DSW dapat dijadikan sebagai pilihan utama guna menggantikan air darat yang semakin terbatas sekaligus untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan di daratan yang lebih parah serta sebagai lahan bisnis baru yang prospektif.

Karena manfaatnya yang begitu besar, Badan Sains dan Teknologi (kini Departemen Pendidikan, Budaya, Olah Raga, Sains dan Teknologi) Jepang kemudian memprakarsai studi DSW selama kurun waktu 1986-1991. Teluk Toyama yang memiliki laut dalam dipilih sebagai lokasi penelitian dan pengembangan DSW. Dari situ, studi dan pemanfaatan DSW oleh Jepang terus berkembang. Misalnya, penelitian DSW di Kochi, Toyama, Shizuoka dan Okinawa yang hasilnya terbilang menggembirakan. Karena kandungannya yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, maka DSW tidak hanya digunakan sebagai air minum yang bersih dan sehat, namun juga untuk kepentingan lain. Di Jepang, pemanfaatan DSW sudah terdiversifikasi buat berbagai kepentingan, mulai dari untuk konservasi lingkungan, energi Air Conditioning (AC), makanan dan minuman seperti jelly, soy sauce dan sake, hingga sebagai bahan baku obat-obatan dan kosmetika serta pertanian hidroponik (hortikultur).

DSW adalah air laut yang memiliki kedalaman 200 meter atau lebih, di mana pada kedalaman tersebut sinar matahari sudah tidak dapat menembus lagi. Dengan begitu karakteristik DSW adalah stabil pada suhu yang rendah (antara 4,0-9,5 derajat Celcius), bersih dan tidak terkontaminasi, serta banyak kandungan nutrisi dan mineralnya. Kandungan zat-zat dalam DSW sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, baik untuk kesehatan maupun pertumbuhan kecerdasan. Begitulah Jepang yang gigih memanfaatkan laut dan segenap sumberdayanya guna membangun kejayaan perekonomian nasionalnya yang kini mampu menguasai ekonomi dunia. Sementara itu, untuk mengamankan jalur suplai minyak dari (terutama) Timur Tengah, Jepang pun semakin memperkuat armada kapal niaga, selain armada kapal perangnya. Bukti-bukti historis kebesaran Jepang sebagai negara kelautan (maritim) yang unggul, maju dan jaya terekam jelas di Museum of Maritime Science yang berada di kawasan Teluk Tokyo.

Menjadi negara yang besar dan berjaya dengan berkiblat ke laut sebenarnya bukan sebuah ilusi belaka. Jepang telah menjadi salah satu negara superpower perekonomian dan industri perkapalan serta produk kelautan dan perikanan dunia karena sejak dulu orientasi pembangunannya memang berkiblat ke laut. Kemudian Norwegia, yang sebenarnya memiliki kemiripan dengan Indonesia, khususnya berkenaan dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah-ruah. Dengan potensi dan kekayaan laut yang dimiliki, Norwegia berhasil menasbihkan diri sebagai salah satu negara dengan pendapatan per kapita penduduknya termasuk paling tinggi di dunia, yakni sekitar US$40.000. Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat 25%. Nilai ekspor produk perikanan Norwegia pada tahun 2006 tercatat US$5,54 miliar atau menempati posisi kedua setelah China yang sekitar US$9,15 miliar.

Kenyataan yang berbeda jauh justru tergambar nyata antara Norwegia dan Indonesia. Indonesia yang berpenyebut sebagai Negara Kelautan (Kepulauan) justru terus berkutat dalam posisi yang memprihatinkan. Dengan potensi dan kekayaan laut yang besar yang jauh melebihi Norwegia, Indonesia malah terpuruk sebagai negara paria dengan pendapatan per kapita yang termasuk terendah di dunia, yakni hanya US$1.000. Padahal, berkenaan dengan ragam jenis ikan misalnya, Norwegia hanya memiliki ikan yang hidup di perairan laut yang bisa dihitung dengan jari seperti Salmon (budidaya), Hering dan Cod (tangkap). Sementara itu, Indonesia memiliki aneka jenis ikan yang berlimpah dan berharga mahal seperti Tuna, Napoleon, Kerapu dan Udang.

Dalam hal ini, tentu saja kita perlu belajar dari Norwegia, sebuah negeri di kawasan Skandinavia yang benar-benar memahami bahwa mereka adalah “bangsa bahari”. Oleh karena itu, mereka gigih memperjuangkan setiap jengkal wilayah laut dan eksistensinya sebagai negara maritim, termasuk dalam mempertahankan kedaulatan lautnya. Bahkan, negara yang beribukotakan Oslo itu setiap saat siap “berperang” dengan siapapun yang mencoba nyelonong wilayah perairannya untuk menangkap ikan. Negeri berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu memang telah mempersiapkan pembangunan sektor kelautan dan perikanannya dengan begitu sungguh-sungguh, mulai dari paradigma, platform, arah dan langkah pembangunan yang jelas, manajemen yang baik, hingga budaya maritim yang mapan. Walhasil, negara yang luas wilayahnya cuma sekitar 323.750 Km2 itu dikenal unggul dalam manajemen sumberdaya laut serta budaya maritimnya. Industri perikanan Norwegia telah menjadi tulang punggung perekonomian nelayan dan masyarakat yang hidup di kawasan pesisir pantai, dengan multiplier effects yang luas bagi kegiatan industri lainnya.

Penggunaan sumberdaya laut Norwegia juga dilakukan secara berkelanjutan. Setiap panen disesuaikan dengan potensi perikanan yang ada sehingga ikan terus berkembang biak dan tidak punah. Norwegia pun melakukan kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara tetangga serta penegakan hukum yang tegas. Kapal yang berlayar di wilayah laut Norwegia harus memasang peralatan berbasis satelit yang dapat dimonitor setiap saat. Dengan begitu, jangankan perompak yang mencoba mencuri ikan di wilayah perairan laut Norwegia, ibaratnya ikan teri yang meloncat ke laut negara tetangga pun dapat dideteksi. Dalam hal ini, Direktorat Perikanan Norwegia bertanggung jawab penuh mengontrol jumlah ikan yang ditangkap dan dijaga kelestariannya. Kasus pemalsuan laporan atau ketidaksamaan data tentang perikanan laut akan diserahkan ke pengadilan untuk dilakukan tindakan hukum secara tegas.

Begitu sekilas cerita tentang kemajuan Norwegia sebagai buah dari kerja keras dan kerja cerdas dalam memberdayakan potensi kekayaan laut yang dimilikinya secara optimal. Yang pasti, kedaulatan laut Norwegia benar-benar terkontrol, potensi dan kekayaan ikannya lestari, serta dibangun dan dikembangkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyatnya.

Indonesia perlu pula bercermin dari keberhasilan China dan Thailand. Hasil penangkapan ikan laut di China mencapai 15 juta ton/tahun, budidaya laut 11 juta ton/tahun, dan budidaya air tawar 15 juta ton/tahun. Nilai produksinya mencapai US$34 miliar dan ekspor US$9,15 miliar atau nomor satu di dunia. Sementara itu, nilai ekspor produk ikan Thailand tercatat US$5,25 miliar atau nomor tiga di dunia, setelah China dan Norwegia.

Untuk perikanan budidaya, selain perlu belajar kepada China, kita pun bisa menyimak keberhasilan Italia, Perancis dan Chili. Dulu, nelayan pesisir laut selatan Italia dan Perancis terbilang miskin. Namun, berkat pembangunan dan pengembangan yang terarah, optimal, profesional dan bijaksana, kehidupan mereka pun menjadi terangkat. Sementara itu, kisah sukses Chili yang dijuluki sebagai negara dengan iklim investasi paling kompetitif di Amerika Selatan, dalam budidaya perikanan dimulai dari kuatnya komitmen pemerintah pada pengembangan perikanan budidaya, khususnya budidaya ikan Salmon. Negara dengan garis pantai paling panjang di Amerika Latin itu (mulai dari perbatasan dengan Peru di utara hingga ujung selatan Benua Amerika yang berbatasan dengan Argentina) sangat sadar bahwa garis pantai yang begitu panjang memiliki potensi tinggi sebagai nafas kehidupan masyarakat pesisir dan soko guru perekonomian nasionalnya.

Pada awalnya, para nelayan dan masyarakat pesisir Chili tidak memiliki keterampilan dasar dalam hal budidaya Salmon. Namun, pemerintah sadar dan paham betul bahwa salah satu potensi perikanan yang dapat dimaksimalkan adalah perikanan budidaya. Sebab itu, para nelayan dididik dan dilatih secara konsisten untuk memanfaatkan pesisir pantai. Walhasil, setelah beberapa tahun berjalan, Chili menjelma sebagai produsen Salmon terbesar ketiga dunia. Nilai ekspor Salmon Chili terus meningkat hingga angka US$1,2 miliar. Sejalan dengan peningkatan nilai ekspor tersebut, kontribusi Chili terhadap total produksi Salmon dunia pun meningkat dari 1,5% (1987) menjadi 35% pada tahun 2002 (Karel Albert Ralahalu, 2007).

Tampak bahwa kisah sukses Chili dalam membangun sektor perikanan dikarenakan oleh niat pemerintah yang begitu kuat dalam usaha menyejahterakan rakyatnya, yang kemudian diwujudkan dalam visi dan misi pembangunan di sektor perikanan dan kelautan. Kebijakan pemerintah Chili sangat konsisten dalam pengembangan perikanan budidaya ikan Salmon, yang dimulai sejak tahun 1980-an. Keberhasilan Chili juga ditopang oleh teknologi modern yang dibutuhkan dalam proses budidaya Salmon, yang didukung oleh pembiayaan, penelitian dan pengembangan yang bagus, yang bekerja dengan penuh komitmen dan integritas sehingga dalam waktu relatif singkat mampu mendorong produk-produk perikanan budidaya menjadi kompetitif di pasar internasional. Pemerintah Chili pun bertanggung-jawab penuh dalam pembinaan para eksportir Salmon agar mampu memenuhi setiap aturan internasional, sesuai ketentuan FAO dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Budidaya Salmon di Chili termasuk merupakan 10 sektor industri utama yang menjadi prioritas untuk memperoleh bantuan pendanaan dalam rangka peningkatan produktivitas dan daya saing.

Foto-foto:
Museum of Maritime Science (Jepang), Industri Perikanan Norwegia,
dan Budidaya Perikanan Chili.


Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy)

Sekarang ini, beberapa negara di dunia semakin meneguhkan visi dan misi maritimya melalui Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) sebagai platform, pilar dan payung kebijakan, serta strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan yang lebih jelas. Memasuki abad ke-21, negara-negara di dunia telah berlomba meningkatkan kekuatan maritim mereka dengan mencanangkan Kebijakan Kelautan Nasional. AS misalnya, yang berobsesi membangun kekuatan maritimnya dengan slogan “Kekuatan Maritim Melindungi Cara Hidup Amerika”. Strateginya adalah “A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power” yang dipublikasikan sejak Oktober 2007 oleh United Stated Marine Corps, United Stated Coast Guard dan Department of Navy. AS juga telah beraliansi dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) membentuk Global Maritime Partnership Initiative guna menjaga keamanan, ketertiban dan perdamaian dunia. AS memang sangat berambisi menjadikan kekuatan maritimnya sebagai “pemimpin samudera” di antara negara-negara di dunia.

China pun telah membangun Ocean Policy dengan strategi “Chain of Pearl” yang bertujuan untuk memperkuat urat nadi perdagangan melalui laut, termasuk untuk mengamankan jalur suplai Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Timur Tengah. Tidak mau ketinggalan, dengan wilayah daratan-lautan yang luas dan jumlah penduduk terbesar kedua setelah China, India telah pula membangun Ocean Policy dengan strategi “Freedom to Use the Sea: Maritime Military Strategy” yang berisikan mengenai aspirasi geopolitik hingga penempatan angkatan laut di masa damai maupun konflik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembangunan kekuatan angkatan lautnya. Begitu pula Inggris yang mengibarkan semboyan “Britain Rules the Waves” dengan tujuan membangun kekuatan maritimnya dalam menghadapi era globalisasi. Inggris telah mengembangkan postur angkatan lautnya menjadi lebih kuat dan handal. Beberapa negara yang juga telah menerbitkan kebijakan kelautan nasional mereka adalah Kanada, Australia, Brasil, Kolombia, Perancis, Malaysia, Filipina, Thailand, Barbados, Cooks Island, Jamaika, Marshal Island, Korea Selatan, Norwegia, Selandia Baru, Portugal dan Rusia.

Selanjutnya, untuk mewujudkan keberhasilan visi dan kebijakan kelautan nasional yang telah dibuat, beberapa negara telah menggulirkan program implementatif berupa “Gerakan Nasional Revolusi Biru”. Secara sederhana “Revolusi Biru” dapat diartikan sebagai perubahan orientasi dalam melihat dan menyikapi economic opportunity yang sebelumnya dengan pendekatan darat (kontinental) menjadi berpendekatan kelautan (samudera). Yang melatar-belakangi terjadinya “Revolusi Biru” antara lain adalah, bahwa “Revolusi Hijau” (pembangunan pertanian tanaman pangan) di daratan ternyata tidak kunjung memenuhi kebutuhan pangan mereka. Mereka realistis bahwa sekitar 70% bagian bumi ini adalah laut sehingga sebagian besar sumber pangan mereka dan dunia ini diyakini berada di laut.

Dunia global telah berkiblat ke laut. Gencarnya “Gerakan Revolusi Biru” yang telah digerakkan oleh negara-negara yang bervisi maritim yang kuat dan memiliki kebijakan kelautan nasional yang terarah, tentunya akan membuat dunia masa mendatang menjadi apa yang disebut sebagai masa yang besar. Dinamika dan percaturan politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan, akan berada di lautan (samudera). Ini jelas menjadi semacam “peringatan” sekaligus peluang besar bagi Indonesia agar segera melakukan “Revolusi Biru” dengan cara membangun kekuatan di laut. Sebagai negara kelautan (maritim) terbesar di dunia (the largest archipelago state in the world) dan sebagai “negara-bangsa” pelaut unggul dalam catatan sejarah masa lalu, Indonesia sudah semestinya menjadikan laut sebagai paradigma, mainstream dan prime mover pembangunan nasional. Pasalnya, jangan sampai nantinya, sebagaimana dicemaskan oleh Friedrich von Schiller, bahwa grosse Moment findet ein kleines Geschlecht, pada masa yang besar itu, kita hanya menemukan manusia (Indonesia) yang kerdil (Sri-Edi Swasono, 2011).

Sadar atau tidak sadar, kehidupan ini memang terus berubah. The change is rule. Tanpa diminta, roda kehidupan pasti akan mengubah kita. Makanya, siapa yang tidak mau berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan niscaya kita akan tertinggal dan bahkan terlindas oleh roda-roda perubahan jaman yang memang terus bergulir. Pesan itulah yang selalu disampaikan oleh setiap ajaran agama yang dipercaya dan diyakini oleh bangsa Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha), bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok hari harus lebih baik dari hari ini. Pesan itu pula yang pernah disampaikan oleh Goethe, sastrawan kenamaan Jerman, bahwa ”Kita harus selalu mengubah, memperbarui dan meremajakan diri. Jika tidak, kita akan membatu.” Hal itu senafas dengan apa yang kerap dikatakan oleh Bill Gates, pendiri dan CEO Microsoft, “Siapa pun yang tidak mau berubah akan dijungkir-balikkan oleh jaman karena memang demikianlah aturan dunia ini.” Senada dengan Bill Gates, Jack Welch, pemimpin legendaris perusahaan multinasional General Electric (GE), juga mengatakan, “Berubahlah sebelum perubahan itu sendiri yang akan memaksa Anda.”

Bangsa Indonesia ke depan harus berubah menjadi lebih baik. Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana dilakukan oleh berbagai negara di dunia, Indonesia seharusnya segera memiliki visi dan misi kelautan (maritim) yang kuat dan dikukuhkan dalam Kebijakan Kelautan Nasional sebagai platform, pilar dan payung kebijakan, serta strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan yang lebih jelas dan terarah. Kita (Indonesia) sebenarnya sudah memiliki UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang antara lain berisikan tentang visi, misi dan arah pembangunan kelautan Indonesia. Visinya: “Mewujudkan Indonesia Menjadi Negara Kepulauan Yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional”. Sedangkan misinya antara lain adalah: “Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan”. Sementara itu, arahnya antara lain adalah: “Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin”.

Visi, misi dan arah pembangunan kelautan sebagaimana tertuang dalam RPJPN di atas tentu hanya akan indah di atas kertas jika tanpa dijabarkan secara implementatif dalam Kebijakan Kelautan Nasional. Dalam hal ini, Indonesia pun telah memiliki sejumlah hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan yang mengatur hal-hal berkenaan dengan kelautan. Namun sayangnya, orientasi kebijakan yang ada tampak tumpang-tindih, bersifat parsial dan lebih banyak mementingkan ego sektoral, yang tidak jarang akhirnya menimbulkan berbagai kebijakan yang saling bertentangan (conflicting policies), menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antar-lembaga negara (pemerintah), dan bahkan konflik kepentingan pribadi. Termasuk, konflik kewenangan antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat.

Selama ini, visi dan kebijakan sektoral telah mendorong departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat hukum dan peraturan perundang-undangan yang terlihat muaranya hanya untuk kepentingan masing-masing. Pun begitu, ada kecenderungan Pemda membuat berbagai Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan pertimbangan kepentingan daerah masing-masing. Laut Nusantara hanya dikavling-kavling untuk kepentingan sempit daerah tanpa mengindahkan aspek laut sebagai pemersatu bangsa. Akibatnya, strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan nasional serta tolok ukur keberhasilannya juga menjadi tidak jelas.

Padahal, laut atau kelautan itu merupakan sebuah sistem. Kelautan merupakan sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem dan lingkungan biofisik. Juga sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur pelaku pemanfaatan sumberdaya dan jasa laut, pelaku pasar dan konsumen, serta komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait. Termasuk sistem pengelolaan laut (ocean management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan, pembangunan, rejim pengelolaan dan riset kelautan. Oleh karena itu, agar strategi dan arah serta tolok ukur keberhasilannya menjadi jelas dibutuhkan Kebijakan Kelautan Nasional Indonesia yang sistemik, integratif dan holisitk serta merupakan keterpaduan (sinergitas) antar-lembaga negara (pemerintah). Termasuk sinergitas Pemerintah Pusat dengan Pemda. Artinya, jika kita berbicara laut sebagai sistem dan sinergi antar-kelembagaan, maka sesungguhnya hingga sekarang ini Indonesia sebagai Negara Kelautan (Kepulauan) belum memiliki Kebijakan Kelautan Nasional.

Untuk itu, agar visi dan misi serta arah pembangunan kelautan sebagaimana tertuang dalam RPJPN benar-benar terimplementasi dengan baik dan benar, maka merupakan sebuah keniscayaan bahwa Indonesia harus segera meneguhkan visi dan misi kelautan dalam National Ocean Policy. Kebijakan Kelautan Nasional sebagai sebuah platform, pilar dan payung kebijakan, strategi dan arah implementasinya. Lantas, apa saja isi yang harus terkandung dalam Kebijakan Kelautan Nasional itu? Pakar ekonomi Sri-Edi Swasono menulis bahwa kita tidak boleh melihat laut hanya dari segi pembangunan ekonomi, betapapun ekonomi kelautan memang luar biasa melimpah-ruahnya. Laut adalah modal dasar pembangunan nasional yang sangat strategis untuk memberi makna bagi Kemerdekaan Indonesia dengan sepenuh sovereignity and territorial integrity-nya, sekaligus untuk mewujudkan cita-cita nasional yakni terjaganya kedaulatan NKRI dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan begitu, Kebijakan Kelautan Nasional harus berisi formulasi kebijakan yang integratif dan komprehensif sebagai payung kebijakan bagi semua lembaga dan instansi terkait dalam pembangunan kelautan nasional. Mulai dari sebagai payung kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy); kebijakan budaya kelautan (ocean culture policy); kebijakan lingkungan kelautan (ocean environment policy); kebijakan hukum kelautan (ocean law policy); kebijakan pemerintahan kelautan (ocean governance policy); hingga kebijakan pertahanan dan keamanan kelautan (ocean security policy). Kebijakan Kelautan Nasional juga harus berisi mengenai visi dan misi, tujuan dan strategi serta aransemen implementasi kebijakan pembangunan kelautan Indonesia. Termasuk berisi sinergi antara Pemda dan Pemerintah Pusat, serta keterpaduan matra laut, darat dan udara. 

Seperti telah dikatakan oleh Laksamana Muda (Purnawirawan) Rosyihan Arsyad, Direktur Eksekutif Institute for Maritime Studies, bahwa membangun laut itu harus direncanakan, divisikan, dibuat kebijakannya dan diimplementasikan dengan baik dan benar. Untuk itu, kita membutuhkan semacam Kebijakan Kelautan Nasional. Aspek penting dalam kebijakan Kelautan Nasional itu sendiri adalah ketetapan hati berkenaan dengan sejarah, falsafah dan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Kemudian, hakikat laut sebagai media pemersatu bangsa, perhubungan, serta pertahanan dan keamanan. Lalu, memanfaatkan kekayaan laut untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta menjaga lingkungan laut agar tetap lestari.

Bagaimana bentuk ideal dari Kebijakan Kelautan Nasional itu? Jawabnya, banyak pendapat. Ada yang mengatakan sebaiknya berbentuk Undang-Undang (UU) Kelautan, di mana setelah sekian lama terkatung-katung, kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan telah mencapai tahapan proses menuju final. Saat ini, RUU Kelautan telah diserahkan kepada pihak DPR-RI untuk dibahas dan segera disahkan (mudah-mudahan) menjadi UU. Ada pula yang berpendapat tidak perlu berbentuk UU Kelautan karena UU dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kelautan sudah cukup banyak. Yang diperlukan adalah platform politik nasional sebagai pilar dan payung kebijakan, strategi dan arah implementasi dari kebijakan yang sudah ada sehingga pembangunan kelautan benar-benar jelas dan terarah. Idealnya berbentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam hal ini, Sri-Edi Swasono menuturkan, “Indonesia harus segera memiliki GBHN sebagai platform nasional dan menjadikan pembangunan kelautan sebagai keutuhan pembangunan Tanah Air. GBHN menegaskan arah pembangunan, menetapkan tahapan, strategi dan prioritas pembangunan kelautan.”

Indonesia sebenarnya telah memiliki semacam Kebijakan Kelautan Nasional layaknya GBHN, yang telah dirumuskan oleh Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), dan telah direkomendasikan kepada Pemerintah (Presiden). Namanya: Perumusan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI, 2010). KKI ini memayungi berbagai kebijakan mulai dari kebijakan ekonomi; kebijakan budaya; kebijakan lingkungan; kebijakan pemerintahan; hingga kebijakan pertahanan dan keamanan. KKI juga berisi tentang visi dan misi, tujuan, kebijakan dan strategi serta aransemen pembangunan kelautan Indonesia yang cukup integratif dan komprehensif serta implementatif.

Visi KKI adalah: Laut lestari sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat serta pemersatu bangsa. Sementara itu, misinya antara lain adalah: Mengelola dan memanfaatkan laut Indonesia merupakan upaya pengelolaan dan pemanfaatan laut secara bijaksana, terpadu dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan tujuannya adalah: Mengelola laut secara lestari dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan nasional. Kemudian, kebijakannya antara lain adalah: Meningkatkan dan menguatkan peranan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan melalui pendidikan dan upaya-upaya lain untuk membangkitkan wawasan dan budaya bahari. Lalu strateginya adalah: Meningkatkan wawasan bahari bagi para generasi penerus bangsa melalui pendidikan dan pelatihan bidang kelautan yang berkualitas dan diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Juga berisikan kebijakan pengembangan aktivitas ekonomi kelautan, perikanan, pariwisata bahari, pelayaran, pertambangan dan energi laut, bangunan atau konstruksi kelautan, industri kelautan dan jasa kelautan. Strateginya di sektor perikanan misalnya, adalah mengefektifkan pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan berbasis kawasan (Wilayah Pengelolaan Perikanan, WPP).

Foto-foto:
Kapal-kapal AS, kapal-kapal Inggris, dan kapal-kapal India.


Aransemen Kelembagaan dan Menko Kelautan (Maritim)

Aransemen Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang dibuat oleh DEKIN juga telah dijabarkan secara integratif dan komprehensif serta implementatif. Mulai dari integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan kelautan; aransemen kelembagaan implementasi kebijakan kelautan; hingga arahan implementasinya. Memang cukup banyak lembaga atau instansi yang terkaitan dengan Kebijakan Kelautan Nasional. Di antaranya adalah Kementerian/Departemen Pendidikan Nasional; Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Lingkungan Hidup; Kementerian Perhubungan; Kementerian Energi Sumber Daya Mineral; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; serta Departemen/Lembaga Teknis Terkait. Termasuk Bappenas, DEKIN, LIPI, BPPT, Perguruan Tinggi (PT), Bakosurtanal, TNI AL, Polisi Air, Bea Cukai (Pabean), BUMN (PT PAL) dan swasta. Oleh sebab itu, koordinasi antar-lembaga dan institusi terkait adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dengan kata lain harus ada aransemen dan mekanisme kelembagaan.

Dalam perspektif tata kelola kelautan, aransemen dan mekanisme kelembagaan merupakan instrumen yang sangat penting. Sebab, instrumen itu memiliki peran dalam menentukan “siapa berbuat apa” dalam menjalankan dan menggerakkan kebijakan, strategi dan arah pembangunan kelautan nasional. Tujuan aransemen dan mekanisme kelembagaan itu sendiri adalah terciptanya harmonisasi fungsi dan dinamika antar-lembaga serta tanggung jawab masing-masing lembaga guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan kelautan nasional. Selama ini, mekanisme kelembagaan kelautan terlihat belum dan kurang terkoordinasi dengan baik dan benar. Akibatnya, penanganan terhadap suatu kasus acapkali justru menimbulkan konflik kepentingan antar-lembaga ketimbang solusi yang integratif.

Selama ini juga menjadi agak rancu bila memahami tolok ukur pembangunan kelautan yang hanya dilihat dari kinerja per Departemen/Kementerian, terutama dalam hal ini adalah Departemen/Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP/KKP), serta hanya dinilai dari ukuran sempit seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal, seharusnya ukuran-ukuran ekologi, sosial-budaya, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, serta hukum dan kinerja setiap lembaga harus dihitung secara menyeluruh. Pasalnya, lingkup bidang kelautan telah ditangani oleh berbagai depertemen dan instansi. Secara riil, DKP/KKP selama ini dominannya hanya menangani sektor perikanan sebagai growth center. Jadi, pembangunan kelautan memang tidak bisa hanya dipikul sepenuhnya oleh DKP/KKP. Tolok ukur pembangunan kelautan dan keberhasilannya harus dilihat dari semua kinerja lembaga yang berkaitan dengan kelautan.

Berkaitan dengan aransemen implementasi Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), terutama berkaitan dengan fungsi dan peran serta koordinasi antar-lembaga, berikut kami kutip dari buku Perumusan Kebijakan Kelautan Indonesia (DEKIN, 2010). Tentu dengan beberapa editing agar lebih mudah dipahami tanpa mengurangi makna dan esensinya.

“Aransemen implementasi kebijakan kelautan nasional meliputi: pertama, integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan kelautan. Integrasi fungsi dan kewenangan ini sangat penting mengingat pengelolaan kelautan merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kegagalan dalam pengelolaan kelautan selama ini harus diakui memang lebih banyak bersumber pada kegagalan institusional dalam mengelola kelautan secara komprehensif dan integratif. Dalam konteks saat ini, fungsi dan kewenangan masih tersegmentasi menurut sektor. Integrasi fungsi dan kewenangan sangat diperlukan paling tidak dalam tataran blue print kebijakan yang kemudian diperkuat oleh mekanisme hukum dan kelembagaan yang sesuai dengan tingkat koordinasi yang diperlukan. Mengingat banyak lembaga yang terkait pada level Departemen/Kementerian, maka paling tidak kebijakan integratif perlu dipayungi oleh Keputusan Presiden (Keppres) atau Instruksi Presiden (Inpres) atau yang lebih tinggi berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan bahkan Undang-Undang (UU). Kebijakan integratif itu harus dipantau oleh lembaga independen yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden.

Di Korea Selatan misalnya, fungsi ini diemban oleh Korea Maritime Institute (KMI). Sedangkan di Malaysia, fungsi ini dijalankan oleh Maritime Institute of Malaysia (MIMA). Lembaga ini bertugas memberikan arahan bagi pembangunan kelautan saat ini maupun masa yang akan datang. KMI bukan saja memliki fungsi riset, tetapi juga pengawasan dan advirsory yang kuat bagi pemerintah Korea Selatan, khususnya untuk masalah-masalah yang terkait dengan pembangunan kelautan. Di sini, fungsi ini sebenarnya dapat dilakukan dengan memperkuat lembaga Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN).

Kedua, aransemen kelembagaan implementasi kebijakan kelautan nasional. Dalam kerangka ini, kebijakan pembangunan kelautan nasional harus didesain dan diformulasikan dalam bentuk dokumen kebijakan nasional yang dapat dilaksanakan oleh DEKIN. Sementara itu, implementasi perencanaan pembangunan kelautan nasional yang terintegrasi (integrated ocean planning) dapat dilakukan oleh Bappenas dengan memperkuat direktorat kelautannya menjadi salah satu unsur setingkat Deputi. Sedangkan untuk perencanaan kebijakan ekonomi kelautan nasional dapat dikoordinasikan oleh Menteri Koordinasi (Menko) Perekonomian di mana urusan kelautan sudah ada pada unit setingkat Deputi yakni Kedeputian Pertanian dan Kelautan.

Ketiga, kelembagaan yang disusun dalam pembangunan kelautan nasional memerlukan proses dan konsultasi yang intensif antar-lembaga pemerintah sebagai lembaga yang menyusun kebijakan dengan selalu berinteraksi dengan stakeholders. Dalam rangka menjalankan kebijakan kelautan secara operasional, maka perlu disepakati fokus, kebijakan dan institusi pelaksana. Misalnya, di bidang pendidikan, kebijakan Pemerintah diarahkan kepada (antara lain) menguatkan wawasan dan budaya bahari dalam Sistem Pendidikan Nasional dasar dan lanjutan. Institusi yang terkait adalah Kementerian (Departemen) Pendidikan Nasional dan Departemen Teknis terkait.”

Dalam kaitannya dengan Kebijakan Kelautan Nasional, pakar ekonomi politik kelautan Profesor Tridoyo Kusumastanto, yang juga aktif sebagai Direktur Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), dan Ketua Tim Perumus KKI DEKIN, mengatakan: ”Kita sebenarnya telah merumuskan ocean policy. Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada semestinya rumusan tersebut dapat dijadikan sebagai ocean policy. Sebab, ocean policy sangat penting untuk menggerakkan pembangunan kelautan nasional. Dengan adanya ocean policy tentu ada payung kebijakan, strategi dan arah pembangunan kelautan nasional yang lebih jelas dan terarah. Jadi, sesungguhnya tinggal kemauan politik (political will) Pemerintah untuk melaksanakan dan menjalankan ocean policy yang telah kita rumuskan dengan baik dan benar.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Profesor Etty R. Agoes, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran (Bandung), yang juga tercatat sebagai Anggota Tim Perumus KKI DEKIN. “Kita sudah menyusun rumusan tentang ocean policy. Semestinya yang kurang diperbaiki dan yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman dibuang. Yang terpenting harus ada ocean policy sehingga pembangunan kelautan nasional dapat bergerak lebih cepat.”

Kemudian, berkaitan dengan koordinasi antar-lembaga dan instansi, hampir semua narasumber penulisan buku ini mengusulkan agar dibentuk dan dilaksanakan oleh Menko Kelautan (Maritim). Sebuah usulan yang cukup tepat mengingat kompleksitas sektor dan kebijakan serta aktivitas dan span of control bidang kelautan yang sangat luas. Karena itu, aransemen kelembagaan kelautan dalam format birokrasi Indonesia adalah berbentuk Menteri Koordinator Kelautan (Maritim) yang akan mengkoordinasikan kegiatan kelautan, baik di lembaga Departemen maupun non-Departemen (Tridoyo Kusumastanto, 2003).

Begitu pula pakar ekonomi kelautan Son Diamar yang mengatakan bahwa membangun negara kepulauan itu bertumpu pada 5 pilar strategi. Masing-masing adalah membangun sosial-budaya; membangun atau mengembangkan ekonomi yang belum berkembang dan terpuruk; menata ruang dan lingkungan hidup laut; membangun pertahanan dan keamanan laut; serta membangun sistem hukum laut nasional yang lebih berkarakter dan berorientasi pada negara kepulauan. “Karena Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) sudah terbagi habis oleh Departemen lain sedangkan kita ingin membangun kelima pilar tadi, maka untuk mengkoordinasinya seharusnya selevel Menko. Kalau kita bicara pelayaran misalnya, maka pelayaran itu menyangkut kapal dan ada industri perkapalan, perdagangan kapal, pelabuhan, BUMN, pajak dan perbankan. Nah, semua itu harus dirajut secara sinergis. Bagaimana merajut kebijakan antar-sektor dan lembaga itu adalah pekerjaan Menko,” ujar Son Diamar.

Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan semasa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Sarwono Kusumaatmadja, pun memberikan persetujuannya soal usulan pembentukan Menko Kelautan. Namun, Sarwono mengingatkan bahwa pekerjaan Menko akan berjalan efektif apabila diimbangi dengan anggaran yang cukup. “Untuk mengkoordinir berbagai lembaga agar bekerja bersama-sama tentu butuh anggaran. Kalau melakukan koordinasi hanya berbentuk imbauan, maka koordinasi akan bergerak lamban, bahkan sulit diwujudkan.”

Foto-foto:
Beberapa acara yang dilakukan DEKIN
terkait program pembangunan kelautan nasional (tiga foto).


Keterpaduan Laut, Darat dan Udara

Laut adalah jati diri bangsa dan negara Indonesia. Sejarah kebesaran dan kejayaan Nusantara Indonesia sejatinya adalah bangsa bahari yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Mengingat jati diri sebagai bangsa bahari yang unggul dan luhur, kedaulatan atas laut yang sempat “hilang” selama masa kolonial Hindia Belanda dan Jepang, lantas kembali diperjuangkan dengan seteguh pemikiran dan sekuat daya upaya oleh para pendiri bangsa ini setelah Indonesia merdeka. Selama berpuluh tahun kegigihan dan daya upaya mereka untuk mengembalikan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights), yurisdiksi (jurisdiction) dan zona kemaritiman Indonesia, akhirnya berbuah hasil.

Masalahnya, sepanjang lebih dari 50 tahun setelah Indonesia merdeka hingga terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan kini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, pola pembangunan nasional yang kita tempuh justru lebih berbasis kepada daratan (continental-based development). Kita belum banyak memanfaatkan fakta geografis bahwa negeri maritim dan predikat sebagai Negara Kelautan (Archipelago State) terbesar di muka bumi ini beserta sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu melimpah-ruah sebagai suatu keunggulan komparatif maupun kompetitif bangsa. Karena belum banyak dimanfaatkan dan dikelola dengan optimal, maka kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang demikian besar itu terasa masih teronggok di dalam lautan. Layaknya raksasa yang sedang tertidur dengan lelapnya (the sleeping giant). Betapa naif kita ini sebagai bangsa. Boleh jadi, karena kenaifan kita yang kurang cerdas dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang terhampar luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, itulah antara lain yang menyebabkan bangsa dan negara Indonesia tidak maju-maju.

“Inilah tragedi bangsa Indonesia yang sebenarnya, yang membangun negara kepulauan dengan konsep daratan,” tutur ekonom senior Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Secara sederhana, Dorojatun memberikan contoh bahwa selama ini Pemerintah terlalu sibuk membangun jalan tol yang investasinya sangat mahal dan memerlukan waktu pembangunan yang panjang. Padahal, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya Pemerintah memperbanyak armada kapal laut berukuran besar yang mampu menampung banyak kendaraan dan manusia sebagai transportasi antar-pulau. “Selama kurang lebih 350 tahun kita telah dinina-bobokan oleh taktik penjajah untuk melupakan kebesaran dan kejayaan sebagai bangsa bahari. Masalahnya, selama lebih dari 50 tahun kita merdeka, kita pun masih tetap saja melupakan hal itu,” tegas Dorodjatun, yang pernah menjabat Menko Perekonomian di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri (2001-2004).

Bercermin dari kejayaan sejarah Nusantara, sebenarnya hal itu mempertegas bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah-ruah, baik yang dapat diperbarui (renewable resources) maupun tidak dapat diperbarui (unrenewable resource), merupakan modal ekonomi (economic capital) yang sangat besar bagi tumpuan pembangunan negeri bahari Indonesia. Sementara itu, jati diri Indonesia sebagai bangsa bahari sungguh merupakan modal sosial-budaya (social-cultural capital) yang dapat kita jadikan pijakan dan landasan dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Sedangkan keulungan dan keberanian serta kehebatan para nelayan dalam menjelajah lautan luas pun bisa kita dijadikan sebagai modal SDM (human capital) yang unggul.

Pendek kata, berangkat dari fakta dan realita seperti itu, pembangunan kelautan sudah seharusnya kita jadikan sebagai pilar pembangunan dan jangkar kedaulatan Nusantara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Pembangunan kelautan seharusnya dijadikan sebagai salah satu penggerak utama (prime mover), bahkan sebagai arus utama (mainstream), pembangunan nasional sekaligus sebagai penderek kesejahteraan rakyat serta pendorong kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Fakta dan realita telah membuktikan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang luas dalam skala yang besar. Mulai dari sumbangsihnya bagi pertumbuhan ekonomi nasional (dan devisa negara) yang cukup besar (pro-growth), penciptaan lapangan kerja yang begitu banyak (pro-job), hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat yang demikian tinggi (pro-poor). Untuk itu pula kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil (terutama pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara lain) harus selalu kita jaga, kita manfaatkan, kita kembangkan dan kita kelola dengan lebih baik. Kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus mampu tampil sebagai pusat-pusat kemajuan dan kesejahteraan (prosperity belt). Sebab, wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang maju dan sejahtera otomatis bakal menjadi sabuk pengaman (security belt) yang semakin mengukuhkan kedaulatan NKRI.

Mengingat kemanfaatan dan kemaslahatan yang ditimbulkan demikian besar, maka paradigma pembangunan nasional harus segera diubah menjadi berbasis kelautan (maritime/sea-based development). Berkiblat ke laut. Perubahan paradigma pembangunan berbasis kelautan itu sendiri harus dilaksanakan melalui semangat kebersamaan yang tinggi, yang dilandasi oleh regulasi nasional yang lebih sistematis, holistik dan integratif sebagai implementasi dari prinsip pembangunan negara kepulauan (kelautan) Indonesia.

Orientasi pembangunan masa lalu memang masih terkonsentrasi pada daratan. Itu bukanlah pemikiran yang salah lantaran Tanah Pertiwi juga sangat subur. Gemah ripah loh jinawi. Sampai-sampai grup musik legendaris Koes Plus mendendangkannya sebagai, ”tongkat dan kayu jadi tanaman”. Masalahnya, selama ini lautan yang memiliki kekayaan tidak terbatas itu justru masih dipinggirkan. Pembangunan daratan dan lautan seharusnya saling mendukung dan menopang. Di situlah keterpaduan antara pembangunan kelautan dan daratan, termasuk udara, yang sejatinya harus dijadikan sebagai arah pembangunan dalam kerangka menuju “Indonesia Baru” yang lebih maju dan sejahtera. Artinya, Kebijakan Kelautan Nasional harus berprinsip dan bermatra keterpaduan pembangunan laut, darat dan udara. Di samping itu, Kebijakan Kelautan Nasional juga harus mengedepankan prinsip berkelanjutan (sustainable development); partisipasi  (participation); pemanfaatan sumberdaya secara rasional (rational resource use); pendekatan kehati-hatian (precautionary approach); kesejahteraan (welfare); dan kerjasama (cooperation).

Dalam sebuah sajaknya yang berjudul Indonesia Tanah Airku, tokoh Pergerakan Nasional dan Kemerdekaan Indonesia, Muhammad Yamin, secara jelas menulis bahwa laut (air) dan daratan (tanah) merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan bagi Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, Sri-Edi Swasono menulis bahwa kita perlu menegaskan Tanah Air Indonesia yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau itu disatukan oleh lautan. Berdasarkan pakem “integrasi” ini, tegas harus dikatakan bahwa laut merupakan faktor pemersatu Tanah Air Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah Nasional Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Dengan demikian keberadaan Indonesia sebagai negara sangat ditentukan oleh kukuh-tidaknya lautan kita berperan sebagai perangkai seluruh daratan pulau-pulau kita yang bertebaran di sekujur Nusantara. Laut tidak boleh dikavling-kavling yang justru akan mematikan peran laut sebagai pemersatu Tanah Air Indonesia.

Tanah Air yang berarti seluruh kepulauan dan kelautan kita adalah satu-kesatuan wilayah guna meneguhkan ke-Nusantara-an kita, harus dapat membentuk satu-kesatuan politik, sosial dan budaya, ekonomi, serta petahanan dan keamanan. Untuk itu, sudah semestinyalah bahwa pembangunan nasional Indonesia berorientasi daratan sekaligus kelautan secara utuh. Itulah yang disebut “Wawasan Nusantara”. Seiring dengan “Wawasan Nusantara” sebagai pijakan dan landasan, maka kita pun harus memiliki kemampuan “membedah” semua samudera, proaktif dalam pelayaran global guna menegaskan posisi kita sebagai negara maritim, dan berjaya dalam lautan mondial. Inilah Doktrin Kelautan yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia.

Selama ini, basis dan orientasi parsial yang hanya tertuju pada daratan dan kurang menyentuh kelautan tentulah sangat mahal dari segi opportunity lost, sekaligus juga mengabaikan khittah kemerdekaan dan pesan konstitusi negara (UUD 1945). Kekayaan laut kita sebagai karunia Tuhan yang sangat luar biasa, melampaui sekadar jasa kemaritiman secara konvensional. Lautan kita merupakan gudang terbesar di planet bumi yang mengandung kekayaan bernilai sangat tinggi dan menakjubkan. Berbagai potensi kelautan kita itu meliputi potensi industri, perdagangan dan jasa maritim, potensi produksi lestari laut dan budidaya laut, potensi pariwisata bahari, potensi industri bioteknologi kelautan, potensi migas, mineral dan tambang-tambang lainnya, potensi Benda-benda Berharga Muatan Kapal-kapal Tenggelam (BMKT), dan lain sebagainya.

Jamrud di Khatulistiwa. Gemah ripah loh jinawi, ratna mutu manikam. Subur di darat, berkilau laksana permata di laut. Sebuah sebutan yang memang pantas disandang oleh negeri maritim Indonesia yang kaya raya akan sumberdaya kelautan ini. Sebuah karunia dan anugerah besar telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Artinya, dengan karunia dan anugerah yang besar itu seharusnya bangsa Indonesia bersujud dan bersyukur kepada Tuhan melalui unjuk kerja keras dan kerja cerdas guna menggapai kebesaran kejayaan (kesejahteraan dan kemakmuran) bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu saatnyalah kini, demikian menurut Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut, Christina M. Rantetana, yang kini bertugas sebagai Staf Ahli Menko Polkam Bidang Ideologi dan Konstitusi, mengatakan bahwa kita harus membuka lahan baru bagi pembangunan nasional, yaitu laut. Yang ada dan yang telah kita perjuangkan di daratan tetap kita jaga dan terus kembangkan, dalam waktu bersamaan kita wajib membangun laut. Kata Christina, “Swasembada pangan (beras) dan lain-lain hasil perjuangan kita di darat harus kita pertahankan dan kita kembangkan, sambil kita concern membangun yang kita miliki di laut.”

Sekali lagi, kalau saja kita benar-benar tahu siapa sebenarnya negeri tercinta Indonesia ini, lalu melakukan pembangunan ekonomi riil berbasis daratan dan lautan, tentunya kita tidak akan menjadi bangsa-negara yang paria seperti sekarang ini. Pasalnya, menurut kalkulasi pakar ekonomi kelautan Son Diamar, Indonesia itu memiliki tanah daratan yang luas dan lautan yang kaya sumberdaya. Kalau kita ingin sungguh-sungguh rakyat Indonesia hidup sejahtera, kita cukup membangun dan mengembangkan Hutan Tanaman Industri seluas 3 juta hektar; tanaman pangan (3 juta hektar) dan kebun (3 juta hektar); membangun 5.000 unit kapal, 50.000 unit perahu dan 100.000 hektar perikanan budidaya. Juga, peternakan (3 juta ekor); minyak dan gas (migas) serta bahan-bahan mineral yang berlimpah-ruah; membangun dan mengembangkan 10 Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) kelas dunia, melayani 10% pangsa pasar kapal pesiar dunia, dan 5% yachts Australia-Asia. Lalu membangun dan mengembangkan real estate di kawasan perkotaan seluas 750.000 hektar; 60% listrik nasional dari energi arus laut; serta maritim (menegakkan 100% asas cabotage pelayaran, 40% kapal Indonesia untuk keperluan ekspor-impor, pelayaran rakyat untuk logistik nasional, pembuatan kapal 60% di dalam negeri). Dalam perhitungan Son Diamar, keterpaduan pembangunan daratan-lautan itu dapat menciptakan lapangan kerja sekitar 100 juta orang dan mampu menghidupi sekitar 250 juta penduduk.

Pembangunan ekonomi riil yang berbasis daratan dan kelautan, termasuk kemajuan industri dan transportasi kelautan (maritim), tentunya akan berjalan baik bila ditopang oleh sistem transportasi yang terpadu. Maka dari itu, agar lebih berdaya-guna dalam mendorong kegiatan pembangunan nasional, sistem transportasi terpadu antara darat-laut-udara harus diwujudkan. Di laut diwakili oleh moda transportasi kapal, di udara dilakukan oleh pesawat terbang, serta di daratan terutama harus dilaksanakan oleh sistem dan jaringan perkereta-apian (di samping mobil) yang handal. Selain kapal, moda kereta api dikenal sebagai alat transportasi yang murah, bermuatan (penumpang orang dan barang) yang banyak, dan ramah lingkungan.

Foto-foto:
Transportasi terpadu: Mobil, Kereta Api, Kapal Laut, dan Pesawat Terbang.


Gerakan Nasional “Revolusi Biru”

Alfred Thayer Mahan (1965) menulis, terdapat enam syarat untuk mewujudkan Negara Maritim. Keenam syarat itu adalah lokasi geografis (geographical position), karakteristik dari tanah dan pantai (phisical confirmation), luas wilayah (extent of teritory), jumlah penduduk (number of population), karakter penduduk (character of the people), dan karakter pemerintah (character of government). Karakter pemerintah antara lain menyangkut kemauan politik (political will) dalam membuat Kebijakan Kelautan Nasional, sedangkan karakter penduduk berkaitan dengan jati diri sebagai bangsa bahari. Selain belum memiliki karakter pemerintahan, Indonesia rasanya juga belum mengkristalisasi karakter sebagai bangsa (penduduk) bahari. Oleh karena itu, agar karakter dan jati diri penduduk (rakyat) Indonesia benar-benar sebagai bangsa bahari, maka Pemerintah harus mengibarkan Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) dalam program “Gerakan Nasional Revolusi Biru”.

Sebuah program yang ditujukan agar bangsa Indonesia senantiasa menyadari bahwa kehidupan masa depann kita bertumpu pada lautan. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan selalu menoleh, menggali dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung kekuatan bangsa dan negara. Namun, seindah-indahnya Kebijakan Kelautan Nasional yang kita gulirkan tidak akan terimplementasi dengan baik tanpa adanya program “Gerakan Nasional Revolusi Biru” yang dilaksanakan secara masif. Lewat “Gerakan Nasional Revolusi Biru” secara masif tentu semua pemangku kepentingan (stakeholders), segenap elemen kekuatan bangsa dan negara, dan bahkan seluruh rakyat Indonesia akan terlibat dan melibatkan diri.

Laksamana Pertama TNI-AL Christina M. Rantetana mengatakan bahwa seperti pernah dilakukan pada masa lalu dalam mewujudkan swasembada pangan (beras), pembangunan kelautan nasional harus dilaksanakan melalui gerakan nasional yang masif. Kata Christina, “Melalui gerakan nasional maka seluruh masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam pembangunan kelautan nasional.” Hal senada dikatakan pula oleh pakar militer dan pertahanan-keamanan yang juga peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani, “Sudah saatnya dilakukan reorientasi nilai atau paradigma yang berorientasi daratan agar digeser, paling tidak dilakukan secara bertahap, ke paradigma maritim. Kalau tidak, bisa dipastikan bahwa semboyan Jalasveva Jayamahe nantinya akan benar-benar hanya sebagai slogan belaka. Lebih dari itu, gerakan nasional mencintai laut harus dilaksanakan secara masif sehingga masyarakat mengetahui, mengerti dan memahami bahwa kebesaran dan kejayaan bangsa Indonesia ke depan memang berada di laut.”

Begitu pula dengan Wakil Menteri Perindustrian, Alex Retraubun, sosok yang cukup lama berkecimpung di DKP/KKP, menuturkan bahwa logika tercapainya swesembada pangan (beras) dapat digunakan sebagai tolok ukur atau pembelajaran dalam membangun kelautan sebagai andalan kehidupan bangsa dan negara. Terlepas dari kelemahan di masa lalu, tentu kita dapat belajar dari program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” yang pernah digulirkan oleh Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Bukan hanya dilandasi oleh visi, misi dan kebijakan pertanian yang kuat dan integratif, pelaksanaan “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” juga langsung didukung oleh Presiden, DPR-MPR, para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa/Lurah, hingga seluruh rakyat Indonesia. Perangkat infrastruktur, berbagai fasilitas dan kemudahan pembiayaan juga disediakan guna mewujudkan tercapainya swasembada pangan (beras) dan pengembangan pertanian nasional pada umumnya.

Sekadar gambaran, berikut sekilas cerita program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto. Memasuki awal tahun 1970-an, bayang-bayang krisis pangan semakin menghantui Indonesia. Penyebab utamanya, sejak Kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia masih banyak bergantung kepada komoditas pertanian (pangan) impor, termasuk beras. Ketika tampuk pemerintahan beralih kepada Orde Baru, berbagai upaya telah dilakukan oleh Presiden Soeharto. Namun, lantaran produksi padi (beras) dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi, maka ketika harga beras di pasar internasional melambung tinggi, Indonesia pun langsung terkena dampaknya. Namun beruntunglah karena kala itu Indonesia masih tertolong oleh harga minyak (oil boom) sehingga mampu menanggulangi tingginya harga beras dunia.

Melihat kondisi yang kurang menggembirakan itu, Presiden Soeharto segera mengggaungkan program “Revolusi Hijau” guna menggenjot produksi padi (beras). Lahirnya ”Revolusi Hijau” itu sendiri bermula dari keberhasilan pakar genetika dari AS, Norman Borlaug, sebagai upaya melepaskan beberapa negara sedang berkembang dari krisis pangan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Misalnya, Norman membantu mengembangkan pertanian di Meksiko, melalui penemuan varietas baru bibit gandum yang dapat menghasilkan bulir gandum lebih banyak dari sebelumnya. Gandum yang lebih tahan terhadap terpaan angin dan responsif terhadap aplikasi pupuk. Benih gandum itu sendiri merupakan hasil penyilangan antara bibit gandum dari Meksiko dengan dari Jepang (Norin-10).

Dengan varietas baru itu, Norman Borlaug mampu menjadikan Meksiko terhindar dari ancaman kelaparan. Bahkan, Meksiko bisa berswasembada pangan. Setelah sukses mengantarkan Meksiko keluar dari krisis pangan, Norman membantu pemerintah India dan Pakistan, yang kala itu juga sedang dilanda ancaman serupa. Di India, dia menebarkan ribuan ton benih gandum yang dibawa dari Meksiko. Selain itu, dia berhasil meyakinkan pemerintah India dan Pakistan untuk mengubah strategi pengembangan pertaniannya melalui sosialisasi intensif pangan gandum kepada masyarakat, menyebarkan pupuk dengan lebih agresif, serta membuka akses kredit perbankan yang lebih luas bagi petani. Hasilnya, India dan Pakistan pun terlepas dari bencana kelaparan.

Terinspirasi oleh keberhasilan Norman dalam melahirkan benih gandum baru, The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina. Lembaga riset itu kemudian menghasilkan varietas-varietas padi baru yang umurnya (hingga panen) lebih pendek, lebih tahan hama dan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan varietas sebelumnya. Pemerintah Orde Baru pun mulai bekerjasama dengan IRRI.

Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan dan para petani diharuskan menanam bibit keluaran IRRI. Untuk meningkatkan produksi padi diperkenalkanlah benih padi VUTW (varietas unggul tahan wereng), yang antara lain berupa benih PB-5 dan PB-8 yang saat itu dikenal sebagai “benih padi ajaib” karena hasilnya memang spektakuler. Disusul benih-benih unggul keluaran IRRI seperti IR36, IR48, IR54, IR64 dan lain-lain. Benih-benih unggul itu membutuhkan sistem pengairan yang teratur sehingga pembangunan infrastruktur irigasi dilakukan secara besar-besaran. Introduksi benih baru juga membawa konsekuensi dalam penggunaan pupuk secara besar-besaran, seperti pupuk urea, TSP, KCL dan pestisida, yang di antaranya diproduksi oleh beberapa pabrik pupuk dalam negeri.

Ketika itu, Pemerintah langsung menjadi komandan lapangan penanaman padi. Para penyuluh pertanian dikerahkan. Untuk menopang dan memperlancar program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau”, pemerintahan Presiden Soeharto pun menyediakan dan mengucurkan dana dalam jumlah besar. Dana itu sebagian besar didukung oleh bantuan atau pinjaman dari luar negeri. Sepanjang dekade 1970-an, sektor pertanian, terutama padi (beras), mendapat alokasi dana hingga 30%. Begitu pula dengan pembangunan irigasi dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan produksi padi. Juga pembangunan jalan sehingga petani memiliki kemudahan akses ke sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan, dan pemasaran hasil pertanian.

Prestasi paling prestisius yang berhasil dicapai dari program “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” ini adalah terwujudnya swasembada beras (pangan) di Indonesia pada tahun 1984/1985. Dengan pencapaian swasembada pangan itulah yang kemudian mengantarkan Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) di Roma, Italia. Bahkan, Indonesia pernah dijadikan contoh sukses (role model) bagi negara-negara sedang berkembang lainnya di Dunia Ketiga dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kekurangan pangan.

Intinya, dalam keadaan negara mendekati kebangkrutan dan sebagian besar rakyat didera kemiskinan yang akut, Pemerintah harus cepat-cepat mengambil langkah politik yang “revolusioner” untuk keluar dari kemelut. Pemerintah harus mampu membawa keluar rakyatnya dari lilitan kemiskinan dan bencana kelaparan. Makanya, pada awal pemerintahannya Presiden Soeharto fokus pada pembangunan pertanian, terutama untuk mendongkrak produksi pangan (padi). Sekadar pengetahuan, “Revolusi Hijau” merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara yang lebih modern (proses modernisasi). “Revolusi Hijau” dikenal pula sebagai suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas gandum, padi dan jagung yang berdampak pada tingginya hasil panen. “Revolusi Hijau” bertujuan mengubah para petani gaya lama (peasant) menjadi petani gaya baru (farmers). Sebab itu, pada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I sebanyak 15 dari 22 program pembangunan nasional diarahkan kepada upaya peningkatan produksi pangan.

Di antara program tersebut adalah pembentukan perusahaan perbenihan, pengembangan pusat benih padi, rehabilitasi kebun pembenihan, proyek padi gogo rancah, proyek padi lahan kering, kompetisi produksi padi, mekanisasi pertanian, dan pengembangan riset pertanian. Selain itu, masih ada proyek rehabilitasi irigasi, pengendalian erosi tanah, gerakan manajemen air, dan upaya perluasan jaringan irigasi. Tujuannya jelas yakni mendorong peningkatan produksi padi. Pembangunan pertanian menjadi titik berat karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Tampak ada upaya membawa masyarakat tradisional petani ke tahap pra-lepas landas dengan mendatangkan modal (terutama dalam wujud proyek) ke desa-desa.

Masuk Repelita II (1974/1975–1978/1979), upaya menggenjot produksi beras terus berjalan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Dalam upaya menjadikan petani-petani gaya baru (farmers), Pemerintah memperkenalkan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan BRI menggelontorkan paket kredit Bimas (Bimbingan Massal). Termasuk pula memperkenalkan Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Petani tidak sekadar menanam padi namun juga harus mampu bersinggungan atau berurusan dengan lembaga keuangan, baik untuk pembiayaan pra-produksi maupun pasca-panen. Upaya membawa masuk modal ke desa semakin diperluas. Untuk meningkatkan kualitas petani, diperkenalkan kredo ”Intensifikasi Pertanian lewat Panca Usaha Tani”.

Intinya, bertanilah dengan irigasi yang baik, dengan benih yang unggul, dengan pemupukan yang benar, dengan pengolahan tanah yang tepat, dan dengan pemberantasan hama yang tepat sasaran. Pendek kata, dua Repelita itu berjalan dengan fokus pada intensifikasi pertanian. Pemerintah berusaha menyingkirkan hambatan-hambatan pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan di Repelita II ini relatif berhasil, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal Pemerintahan Orde Baru, laju inflasi bertengger di angka 60% dan pada akhir Repelita Repelita II menjadi cuma 9,5%.

Dengan pondasi ekonomi yang mulai membaik, perjalanan pembangunan bergulir ke Repelita III (1979/1980–1983/1984), di mana Pemerintah mulai berani memasang target produksi beras minimal pada angka 20,5 juta ton per tahun, pertumbuhan produksi 4,28 persen per tahun, luas lahan sawah 9,9 juta hektar dan produksi 2 ton GKG (Gabah Kering Giling) per hektar. Pada periode ini, pembangunan diwujudkan dengan mendorong transmigrasi (sebagai salah satu cara memperluas lahan persawahan baru dengan membuka hutan), pengembangan desa, pembentukan kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (Kelompencapir) di kalangan petani, program pengembangan pemuda, pemberdayaan perempuan, dan riset pengembangan sumberdaya air dan pertanian. Ditambah lagi dengan pengembangan saluran irigasi tersier/kuartier, pencetakan sawah baru, dan perawatan saluran irigasi yang sudah eksisting.

Di masa itu, pembangunan pertanian tidak semata-mata berkutat pada intensifikasi tetapi berusaha melakukan ekstensifikasi pertanian. Sebuah langkah memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru, antara lain dengan cara mengubah lahan tandus menjadi layak tanam dan membuka hutan. Petani terus dipacu berproduksi. Pertanian memang masih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Minimal tidak lagi mengimpor beras. Tahun 1984/1985, Repelita III bermetamorfosa menjadi Repelita IV. Target produksi padi dinaikkan menjadi 28,6 juta ton dengan angka pertumbuhan 1-1,2% per tahun, luas lahan sawah bertambah jadi 9,7 juta hektar dengan produksi 2,94 ton per hektar. Titik berat periode ini adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.

Terlihat mulai ada usaha mengembangkan industri selain pertanian. Pemerintah terus berupaya melaksanakan program pendidikan dan latihan (diklat) pertanian, program riset pengembangan sumberdaya air dan pertanian, dan terus mendorong program transmigrasi. Setelah melewati tiga Repelita, pada tahun 1984/1985 Indonesia mampu mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (swasembada beras). Sebuah prestasi yang kemudian juga diapresiasi oleh organisasi pangan dan pertanian dunia Food and Agriculture Organization (FAO).

Selain “Revolusi Hijau” dalam pertanian, kita juga dapat belajar dari “Gerakan Nasional Keluarga Berencana (KB)” yang dimotori oleh Haryono Suyono, Kepala BKKBN (Badan Koordinasi Kekuarga Berencana Nasional) dan Menko Kesejahteraan Rakyat semasa Pemerintahan Orde Baru. Bukan hanya dilandasi oleh visi dan kebijakan pertanian yang kuat dan integratif, “Gerakan Nasional KB” juga didukung oleh Presiden, DPR-MPR, para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa/Lurah, hingga seluruh rakyat Indonesia. Perangkat infrastruktur dan berbagai fasilitas, mulai dari rumah sakit, dokter hingga Posyandu, pun tersedia dengan relative memadai. Lebih dari itu, kunci utama keberhasilannya terletak pada kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan tidak pernah berhenti, berulang-ulang dan terus-menerus.

Kini, dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015, sebagai motor dan motivator penggerak pembangunan kelautan nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menggagas program “Revolusi Biru” sebagai grand strategy-nya. Strategi besar itu diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan serta pembudidaya ikan. Untuk itu, KKP menempatkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak dalam memacu produksi perikanan nasional.  “Revolusi Biru” yang digagas oleh KKP itu meliputi: (1). Memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi; (2). Mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; (3). Meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan; dan (4). Memperluas akses pasar domestik dan internasional.

Pertemuan antara unsur KKP, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan bagian dalam meningkatkan produksi perikanan. Berbagai pertemuan itu telah menghasilkan komitmen gerakan bersama dalam peningkatan produksi perikanan, khususnya dalam upaya memacu produksi perikanan budidaya. Pada tahun 2009, produksi perikanan baru mencapai 10,065 juta ton, tetapi tahun 2010 telah menjadi 10,76 juta ton dan tahun 2014 ditargetkan mencapai 22,39 juta ton. Produksi perikanan sebagian besar dipacu dari perikanan budidaya, yaitu sebesar 5,38 juta ton pada tahun 2010 dan 16,89 juta ton pada tahun 2014, atau meningkat sebesar 353%. Produksi perikanan akan ditransformasi, bila sebelumnya mengutamakan perikanan tangkap sebagai tulang punggung maka ke depan diarahkan ke perikanan budidaya dengan tetap berpegang pada penerapan Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) atau Good Aquaculture Practices (GAP) sehingga memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sesuai yang dipersyaratkan oleh pasar global.

Peningkatan produksi ditempuh dengan cara ekstensifikasi untuk komoditas rumput laut, lele, patin, nila, kerapu, kakap, mas dan gurami. Sedangkan untuk komodias udang windu dan bandeng dipacu produksinya melalui intensifikasi tambak tradisional. “Program Minapolitan” terus dipacu pengembangannya guna mendukung peningkatan produksi, baik perikanan budidaya maupun tangkap. Salah satunya adalah dengan mengembangkan Kawasan Minapolitan, yaitu kawasan ekonomi yang terdiri dari sentra-sentara produksi dan perdagangan komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan kegiatan pendukung lainnya. Dengan kata lain, kawasan minapolitan dijadikan sebagai titik-titik pertumbuhan ekonomi perikanan.

Selain itu, KKP juga melaksanakan program restrukturisasi armada perikanan nasional. Dalam al ini, KKP memberlakukan program zero growth untuk armada perahu tanpa motor, sedangkan perahu tempel pertumbuhannya dibatasi 2% per tahun. Armada kapal dengan tonase di bawah 5 Gross Ton (GT) pertumbuhannya diarahkan sekitar 3%. Untuk armada kapal menengah yaitu 5-10 GT dipacu untuk bisa tumbuh hingga 8%, sementara armada 10-30 GT sampai 12%, dan armada yang paling besar adalah 55% dalam lima tahun. Restrukturisasi ini dimaksudkan agar armada perikanan nasional mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Dalam upaya meningkatkan pendapatan nelayan, KKP mengusulkan kepada Presiden untuk mengadakan 1.000 unit kapal penangkap ikan yang berukuran 30-60 GT senilai Rp1,5 triliun selama lima tahun. Ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan karena mampu mengakses perairan yang lebih jauh dari pantai dan menggeser serta mengurangi tekanan sumberdaya ikan di pantai serta konflik kepentingan antar-nelayan. Upaya tersebut tentu dilakukan dengan memperhatikan ketentuan internasional, baik yang terkandung dalam Code of Conduct for Fisheries (CCRF) maupun ketentuan atau kesepakatan internasional, termasuk yang dikeluarkan oleh organisasi manajemen perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMOs).

KKP pun menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang membahas dua agenda besar, yaitu pertama, akselerasi pembangunan kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat. Kedua, kebijakan, program dan kegiatan prioritas 2010-2014 yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas, daya saing, akses pasar, dan penguatan kelembagaan dan SDM. Dua agenda itu dibahas bersama para pimpinan KKP dan Pemerintah Daerah (Pemda). Tema Rakernas adalah: Akselerasi Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Masyarakat. Kegiatan tadi dihadiri oleh beberapa Menteri terkait pembangunan kelautan dan perikanan nasional, anggota DPR (terutama Komisi IV), Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia, para pakar dari Perguruan Tinggi, dan perwakilan asosiasi kelautan dan perikanan.

Pendek kata, KKP telah menelurkan sebuah gagasan yang tepat. Semoga gagasan itu juga diwujudkan dalam “Gerakan Nasional Revolusi Biru” yang melibatkan dukungan seluruh elemen kekuatan bangsa dan negara secara sistemik, integratif dan koordinatif sehingga bisa mengikuti jejak sukses “Gerakan Nasional Revolusi Hijau” dan “Gerakan Nasional KB”, dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

Foto-foto:
Para petani dalam Gerakan Nasional “Revolusi Hijau”,
Presiden Soeharto menerima penghargaan SWASEMBADA PANGAN (BERAS), sebuah kegiatan “Gerakan Nasional Keluarga Berencana (KB)”.



Boks Tulisan:
Pemimpin dan Kepemimpinan Adalah Kuncinya

Sebagai sebuah sistem, keberhasilan Pembangunan (Kebijakan) Kelautan Nasional jelas sangat tergantung pada sebuah tim yang solid dan handal. Dan, mengutip pendapat pakar organisasi dan menejemen Andrew E.B. Tani (2003), bahwa jantung dari sebuah tim itu adalah pemimpin. Artinya, sebagai jantung tim, pemimpinlah yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah tim. Dengan kata lain, keberhasilan Pembangunan (Kebijakan) Kelautan Nasional sangat ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinan negeri ini.

Karena itu, agar laut benar-benar menjadi sumber kebesaran dan keyajaan bangsa dan negara pada masa datang, Negara kelautan (Kepulauan) Indonesia jelas sangat membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi kelautan yang kuat. Juga hati (nilai-nilai yang unggul dan luhur) dan langkah penuh keteladanan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemimpin itu utamanya adalah Presiden.

Untuk mewujudkan kebesaran dan kejayaan negeri ini, Presiden harus mengarahkan, menggali dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung kekuatan serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Pemimpin besar pada era PD II yang juga Perdana Menteri Inggris, Sir Winston Churcil, menuturkan bahwa kekuatan dan kualitas seorang pemimpin itu terletak pada visinya. Visi adalah pandangan jauh ke depan, sebagai lampu penerang dan jalan penunjuk bagi arah yang hendak dituju. Visi bagaikan mercu suar yang memberi petunjuk dan tuntunan ke mana kapal-kapal mesti menentukan haluan dan arah pelayarannya. Visi seperti kompas yang berfungsi sebagai the economic stewardship, bahkan juga bisa menjadi politic stewardship, social stewardship dan lain-lain.

Visi kelautan presiden yang kuat itu, di antaranya harus diformulasikan dalam bentuk Kebijakan Kelautan Nasional (National Ocean Policy) sehingga tidak hanya indah di dalam kepada (pikiran) saja. Berkenaan dengan itu, Presiden harus mampu menjalin kesamaan visi dengan pimpinan negara lainnya, terutama DPR yang juga harus memiliki visi Negara Kelautan (Kepulauan). Kemudian, di antara pimpinan negara membulatkan kemauan politik (political will) guna merumuskan dan menetapkan cetak biru (blue print) Kebijakan Kelautan Nasional sebagai landasan menuju keberhasilan pembangunan kelautan nasional. Kebijakan Kelautan Nasional adalah platform, pilar dan payung kebijakan, strategi dan arah implementasi pembangunan kelautan nasional Indonesia.

Dalam blue print kebijakan kelautan nasional, DPR harus memberikan guideline hukum untuk dilaksanakan Presiden sehingga ada kepastian hukum. Dukungan DPR kepada Presiden dalam penyusunan anggaran juga sangat penting guna meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Setelah blue print kebijakan kelautan nasional terbentuk, Presiden harus mengimplementasikannya secara konsisten. Sementara itu, DPR mengawal dan mengawasi apa yang dilaksanakan Presiden sesuai dengan blue print. Sedangkan lembaga yudikatif (peradilan) berperan dan bertanggung-jawab dalam penegakan hukumnya.

Setelah blue print kebijakan kelautan terbentuk, Presiden juga harus melakukan langkah-langkah manajerial yang kongkrit. Antara lain dengan memberdayakan dan mendayagunakan semua pemimpin Kementerian dan lembaga di bawahnya yang terkait dengan pembangunan (kebijakan) kelautan nasional. Untuk itu pula, sebagai pemimpin, para Menteri harus memiliki visi kelautan yang kuat. Sekali lagi, menurut Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun, “Idealnya, menurut saya, political will di kelautan itu ukurannya adalah bagaimana negara (Pemerintah) memanfaatkan semua Kementerian untuk ‘mengeroyok’ kelautan dan perikanan sehingga kelautan dan perikanan menjadi andalan kehidupan perekonomian bangsa.” Mengombinasikan kecakapan memimpin dan manajerial (manager-leader) itulah sesungguhnya yang dapat menghasilkan kompetensi seorang Presiden yang optimal dalam mencapai hasil maksimal. Di sini, kata pakar kepemimpinan kenamaan dunia Peter F. Drucker, “Anda akan sukses menjadi pemimpin jika Anda memiliki kemampuan manajerial. Namun, jika Anda menjadi manajer tanpa kecakapan memimpin, Anda akan sangat mudah terjebak menjadi seorang birokrat.”

Presiden sebagai manager-leader bangsa-negara bukanlah sekadar berperan sebagai pemain biola tunggal. Namun, layaknya seorang konduktor dalam sebuah orkestra. Gerakan tangannya menginstruksikan penabuh gendang, pemain biola, pemetik gitar, peniup terompet dan lainnya, untuk menyajikan irama musik yang menggelora, indah dan menyentuh hati. Irama yang menggetarkan setiap sudut ruang dan relung hati seluruh anak bangsa Indonesia. Irama yang melambangkan keteraturan dan saling melengkapi guna menggapai hasil yang baik dengan cara yang benar.

Pembangunan kelautan nasional juga harus melibatkan dan didukung oleh para pemimpin Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan implementasi Kebijakan Kelautan Nasional harus melibatkan peran antar-institusi Pemerintah Pusat dan Pemda. Berkaitan dengan itu pula, pelaksanaan Otonomi Daerah harus tetap mengacu kepada pakem-pakem Kebijakan Kelautan Nasional. Otonomi Daerah maupun Otonomi Khusus tidak berarti bahwa daerah berjalan sendiri-sendiri, melainkan justru daerah harus memperkukuh dan mendukung Kebijakan Kelautan Nasional secara efektif demi kepentingan bersama nasional. Begitu pula dengan kerjasama di antara daerah-daerah otonom harus ditingkatkan dalam pengelolaan SDA kelautan sesuai karakteristik dan kapasitas yang dimiliki masing-masing daerah. Di sinilah pentingnya pemimpin dan kepemimpinan daerah juga mesti memiliki visi kelautan yang kuat.

Lebih dari itu, pembangunan (kebijakan) kelautan nasional harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia secara terus-menerus, berulang-ulang dan tidak pernah kenal berhenti. Dengan begitu, seluruh rakyat Indonesia akan memiliki karakter dan jati diri sebagai bangsa bahari. Pendek kata, visi dan kebijakan kelautan nasional yang kuat dan integratif itu harus “dibumikan” menjadi program “Gerakan Nasional Revolusi Biru” sehingga bangsa dan negara selalu menoleh, mengerti dan memahami bahwa kebesaran dan kejayaan bangsa Indonesia pada masa datang berada di laut. Melalui program “Gerakan Nasional Revolusi Biru”, seluruh rakyat Indonesia juga akan selalu mengarahkan, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung kekuatan bangsa dan negara Indonesia.

Sebagai orang nomor satu sekaligus sebagai “bapak bangsa” di negeri ini, Presiden harus menjadi pemegang tongkat komando “Gerakan Nasional Revolusi Biru”. Perangkat infrastruktur, fasilitas dan kemudahan pembiayaan juga harus disiapkan dan disediakan guna mewujudkan kebesaran dan kejayaan masa depan di laut. Dari sisi infrastruktur, Indonesia harus memiliki banyak kapal, pelabuhan dan sarana-prasarana perhubungan laut lainnya. Dari sisi fasilitas dan pembiayaan, bisa melalui pembiayaan rutin (APBN), pinjaman asing dan hibah. Secara lebih luas, kita pun perlu membentuk Indonesia Maritime Fund dengan melibatkan banyak pihak dan sumber pembiayaan, seperti alokasi kredit perbankan, investasi BUMN dan perusahaan swasta nasional, kontribusi stakeholders, insurance fund dan dana pensiun. Perijinan dan pelayanan birokrasi harus pula semakin dipermudah.

Yang jelas, kearifan lokal negeri ini telah mengajarkan tentang filosofi sapu lidi. Jika hanya satu-satu sapu lidi, tentu tidak akan memiliki kekuatan dan manfaat yang optimal. Namun, apabila sapu lidi itu mau menyatu menjadi sebuah ikatan sapu, tentulah akan memiliki kekuatan dan manfaat yang besar. Makanya, apabila pembangunan kelautan nasional dikerjakan dalam kebersamaan, jelas akan menjadi lebih ringan, cepat dan efektif. Produktivitas menjadi tinggi serta bermanfaat bagi bangsa dan negara ketimbang dikerjakan sendiri-sendiri (parsial dan sektoral). Arah (visi) dan tujuan (misi) yang hendak diwujudkan (kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan kelautan nasional) pun menjadi lebih mudah diraih dengan kerjasama tim yang solid, handal dan tangguh yang dikomandani oleh seorang pemimpin yang memiliki visi (wawasan jauh ke depan), hati (nilai-nilai yang unggul dan luhur) dan langkah penuh keteladanan. Kepemimpinan yang melayani dan memberdayakan segenap potensi besar yang dimiliki oleh bangsa dan negara demi kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. ***



No comments:

Post a Comment