Sunday, August 18, 2013

Lemah, Koordinasi Kemenkes Persiapkan BPJS Kesehatan

Jajaran Kemenkes dari tingkat bawah sampai atas belum berjalan beriringan mengusung BPJS.

Direktur Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), Germant Anggent, menilai koordinasi kementerian kesehatan (Kemenkes) lemah dalam mempersiapkan pelaksanaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, hal itu terlihat jelas dalam diskusi antara Menkes, Nafsiah Mboi, beserta jajarannya dengan perwakilan serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) medio Agustus 2013 di kantor Kemenkes, Jakarta.
Padahal, peran Kemenkes bagi Anggent sangat penting menentukan berjalan atau tidaknya BPJS Kesehatan. Pasalnya, Kemenkes menjadi kementerian utama untuk menelurkan berbagai peraturan pelaksana dan operasional yang kelak digunakan sebagai basis pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, dalam diskusi itu Anggent melihat koordinasi antara Menkes, Wamenkes dan kelompok kerja (Pokja) yang dibentuk merancang peraturan pelaksana BPJS Kesehatan tergolong minim.
Misalnya, ketika membahas jumlah peserta penerima bantuan iuran (PBI), Anggent menilai Menkes tidak mengetahui jika serikat pekerja menginginkan agar 156 juta orang harus tercakup ketika BPJS Kesehatan beroperasi tahun depan. Tentu saja jumlah itu bukan hanya mencakup masyarakat yang berstatus sebagai pekerja di sektor formal, tapi guru honorer, buruh tani dan nelayan.
Sayangnya, dalam diskusi itu Menkes masih berpandangan bahwa peserta PBI hanya 86,4 juta orang saja sebagaimana hasil rapat koordinasi antar kementerian beberapa waktu lalu. Padahal, selama ini serikat pekerja sudah menyuarakan tuntutan itu dalam waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, Anggent merasa Pokja BPJS Kesehatan tidak tanggap atas situasi yang berkembang di masyarakat. Ujungnya, tuntutan serikat pekerja tidak diakomodir dengan baik ataupun disampaikan secara benar kepada Menkes selaku pimpinan.
Tanpa koordinasi yang baik antara Menkes, Wamenkes dan Pokja, Anggent yakin regulasi yang nantinya diterbitkan untuk melaksanakan BPJS Kesehatan, tidak terbentuk secara ideal. Apalagi, selama ini serikat pekerja sangat minim dilibatkan Pokja untuk membahas rancangan regulasi itu. Akhirnya, Anggent menilai Menkes baru mengetahui berbagai masukan yang disodorkan serikat pekerja pada acara diskusi itu. Sehingga Menkes menginstruksikan kepada Pokja agar serikat pekerja dilibatkan membahas peraturan pelaksana BPJS Kesehatan.
“Koordinasi atasan dan bawahan tidak jelas, Wamenkes dan Pokja kurang berkoordinasi kepada Menkes. Padahal orang yang nanti mengesahkan peraturan pelaksana itu Menkes,” kata Anggent kepada hukumonline di kantor Elkape di Jakarta, Jumat (15/8).
Selain itu, dalam diskusi tersebut Anggent merasa ada perbedaan dalam mengartikan peran dokter di BPJS Kesehatan. Contohnya, perspektif yang ada belum mengutamakan pelayanan kesehatan untuk rakyat karena peran dokter kerap dikaitkan dengan kapitasi atau imbal jasa yang diterima sang dokter ketika melayani peserta BPJS.
Mengingat BPJS sifatnya sosial dan mengutamakan prinsip gotong royong, Anggent berpendapat mestinya peran dokter selaras dengan semangat tersebut. Tapi Anggent menyadari kurangnya semangat dokter untuk mengabdi kepada rakyat salah satunya disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan kedokteran. Hal itulah yang mendorong sebagian dokter lebih mengutamakan mengejar profit ketimbang pengabdian kepada rakyat.
Walau begitu Anggent juga tidak menampik bahwa dokter perlu diberi imbal jasa yang sesuai atas perannya melayani peserta BPJS. Namun, lagi-lagi ia menekankan agar prinsip gotong-royong harus diutamakan. Pasalnya, selama ini pemerintah selalu menekankan prinsip gotong-royong hanya kepada peserta. Ke depan, ia berharap pemangku kepentingan lain juga dituntut komitmennya untuk bergotong-royong dalam melaksanakan BPJS Kesehatan, termasuk dokter.
“Jadi jangan hanya menekankan kepada peserta untuk membayar iuran tapi juga dokter yang harus sadar prinsip gotong royong dalam BPJS,” ujar Anggent.
Mengingat pelaksanaan BPJS Kesehatan tinggal empatbulan lagi, Anggent menyebut serikat pekerja mendesak Kemenkes dan Pokja untuk bergerak cepat membahas serta mengesahkan peraturan pelaksana yang dibutuhkan. Apalagi, serikat pekerja sudah menyodorkan draft sandingan sebagai masukan Pokja.
Untuk menjaga agar peraturan pelaksana dapat diterbitkan tepat pada waktunya, Anggent mendesak Menkes untuk memimpin langsung Pokja BPJS Kesehatan, termasuk aktif melakukan evaluasi. Serta mengkoordinasikan hasil evaluasi itu kepada pemangku kepentingan, seperti serikat pekerja. “Peraturan itu harus diterbitkan paling telat November 2013,” tukasnya.
Sebelumnya, Sekjen KAJS, Said Iqbal, mengatakan jika koordinasi itu tidak dibenahi, pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan terancam gagal. Apalagi dalam diskusi yang dihadirinya itu, Iqbal melihat Kemenkes tetap kekeh peserta PBI berjumlah 86,4 juta orang. Bagi Iqbal, jumlah tersebut masih belum jelas apakah buruh tani, nelayan, guru honorer dan pekerja berpenghasilan rendah tercakup dalam PBI atau tidak. Mengacu kondisi itu Iqbal berpendapat ketika BPJS Kesehatan berjalan 1 Januari 2014, potensi RS menolak orang miskin dan tidak mampu untuk mendapat pelayanan kesehatan masih bisa terjadi.
Tak ketinggalan, Iqbal menilai dalam diskusi yang dihadiri oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan petinggi PT.Askes itu Kemenkes bersikukuh bahwa pekerja sektor formal harus mengiur 5 persen. Yaitu 1 persen ditanggung pekerja dan sisanya pemberi kerja. Menurutnya, untuk menetapkan iuran, banyak hal yang harus diperhatikan. Misalnya, bagaimana agar iuran itu selaras dengan UU Jamsostek dan peraturan turunannya. Ikbal mengingatkan, jika Kemenkes masih bersikukuh pada pendiriannya dan enggan mengakomodir usulan pekerja, tidak menutup kemungkinan serikat pekerja bakal melakukan tindakan.
“Akan ada perlawanan keras dari kaum pekerja dan bisa dipastikan awal September 30 ribu pekerja akan aksi di Kemenkes. Pilihan untuk melakukan mogok kerja juga semakin kuat,” tegasnya.
Menanggapi berbagai masukan serikat pekerja dalam diskusi tersebut, Menkes, Nafsiah Mboi, menegaskan Kemenkes serius mempersiapkan pelaksanaan BPJS Kesehatan. Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara besar yang heterogen, sehingga banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menerbitkan sebuah kebijakan. Namun yang jelas masukan serikat pekerja akan dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan itu. Ia pun mengakui hasil rapat koordinasi antar kementerian terkait BPJS Kesehatan mengusulkan peserta PBI sebanyak 86,4 juta orang dengan iuran Rp19,500 per orang setiap bulan. “Itu baru usulan,” tuturnya.
Nafsiah mendengar berbagai keluhan yang disampaikan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang selama ini diselenggarakan. Oleh karenanya pelaksanaan BPJS menjadi momentum untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Tapi, Nafsiah menegaskan pembenahan itu tidak dapat dilakukan sekejap. Tapi membutuhkan dorongan yang besar dari masyarakat, khususnya peserta BPJS. Nafsiah melihat potensi itu ada di tangan pekerja. “Kalau pekerja mengiur 5 persen, itu bisa menjadi daya dorong besar untuk membentuk pelayanan kesehatan yang berkelanjutan,” imbuhnya.

Sebagai tindak lanjut, di akhir acara diskusi tersebut Nafsiah menginstruksikan kepada Pokja BPJS Kesehatan agar melibatkan serikat pekerja untuk membahas peraturan pelaksana. Khususnya dalam merevisi Perpres Jaminan Kesehatan dan PP PBI. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment