Wednesday, April 2, 2014

SATU: Peletakan Pondasi Spiritual Sejak Dini



“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yangkeras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
QS At-Tahrim [66]: 6

KAMPUNG SERANGAN, Yogya, 1950-an. Sebuah kampung yang masih berada dalam lingkaran luar Keraton Ngayogyokarto. Sebuah kampung yang masih lekat dengan nuansa kejawen. Pada hari-hari tertentu warga kampung menaruh sajendi pojok-pojok sumur atau tempat lain yang dianggap angker. Suasana magis kadang demikian terasa dari sajen kembang setaman dan jajanan pasar.
Sebuah kampung yang terasa kurang kehidupan keagamaannya. Tidak tampak bangunan mushala, apalagi masjid, kendati mayoritas warganyamengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan label agama Islam. Kehidupan anak-anak saban maghrib pun jauh dari nuansa belajar baca huruf hijaiyah, terlebih lagi mengaji al-Quran. Suara alunan ayat-ayat suci al-Quran pun terdengar asing di telinga.
Pada masa itu, Kampung Serangan dikenal pula sebagai salah satu kantong pelaku kriminal yang menguasai wilayah potensial Pasar Beringharjo. Bahkan, salah satu pentolan ‘penguasa’ pasar tradisional yang sangat sohor di Kota Gudeg itu mukim di Kampung Serangan. Sampai-sampai bila ada warga Yogya yang kehilangan sepeda di sekitar Pasar Beringharjo cukup menemui pentolan yang tinggal di Kampungan Serangan maka sepeda bisa kembali ke tangan.
Di tengah suasana masyarakat Kampung Serangan yang amat kental kejawen dan hiduk-pikuk ‘penguasa’ Pasar Beringharjo, pada tanggal 7 Januari 1951, lahir jabang bayi sebagai anak ketiga dari pasangan Haji Surahmat (pegawai PKU Muhamadiyah Yogya) dan Hajah Suti Akbari Jumuwariyah (penjahit rumahan) yang kemudian diberi nama Ardju Fahadaina. Ardju merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Bersama 10 orang saudara, Ardju menghabiskan masa kecil dan remaja di Kampung Serangan.
11 Anak Pasangan Surahmat – Suti Akbari Jumuwariyah
·         Sri Anggarini Rahino Jumiati, pensiunan PNS Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung, sekarang wirausaha toko obat.
·         Si kembar Bambang Sispoyo BA (pernah bekerja di Bagian Administrasi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) telah wafat dan Bambang Sispoyadi yang meninggal dunia sewaktu masih bayi.
·         Ardju Fahadaina MSc, pemilik PT Ufia Tirta Mulia.
·         Drh. Prabowo Respatio Caturoso PhD, mantan Direktur Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian.
·         Retno Isnentu Enti Wanti, wirausaha.
·         Drs. Wahdi Salasi April Judi, PNS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pernah menjadi Atase Pendidikan di Kedutaan Besar RI di Bangkok, Thailand. Sekarang mengajar di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta dan Sampoerna Strategic University.
·         Prof. Drh. Siti Isrina Octovia Salasia, Guru Besar Universitas Gajah Mada.
·         Saptoto Asto Kusumo, pengusaha.
·         Dra. Eko Haji Salasini Arbaiyah, wirausahawati busana muslimah.
·         Isnar Bango Khumaidi, wirausaha, pernah sekolah di Jenewa, Swiss.
·         Dr. Panca Budi Janu Akhiriyah, pengajar di pondok pesantren.


Peletakan Pondasi Spiritual yang Kuat di Masa Kecil
Bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya ibu-bapaknya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi. Begitulah salah satu hadits Rasulullah memberikan nasehat. Tentu hadits ini bisa ditafsirkan lebih luas lagi, tidak sekadar anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Tapi lebih luas lagi, ibu-bapak bisa saja menjadikan anak pentolan kriminal, bos ‘penguasa’ pasar, sampai sosok berlabel negatif lainnya.
Di tengah kehidupan Kampung  Serangan yang kurang kondusif secara religi dan peletakan dasar-dasar akidah, Surahmat (bapaknya Ardju Fahadaina) pantas merasa was-was. Was-was kalau-kalau anak lelakinya ini terdidik oleh lingkungan yang kurang baik dan akhirnya menjadi anak yang mencemari nama baik orang tua. Surahmat ingin anaknya tampil sebagai anak yang mengharumkan nama dan membanggakan orang tua. Tidak hanya sebatas itu, juga ingin Ardju menjadi anak yang saleh yang mendoakan orangtuanya –baik di kala masih ada maupun saat telah tiada. Surahmat memahami benar anak saleh merupakan salah satu pintu dari terbukanya amalan yang tiada putus, selain amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat (HR Muslim).
Surahmattakut kalau-kalau anaknya dekat-dekat dengan jalan-jalan yang menuju api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Dia teringat pada al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 yang menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” Al-Hasan berkata, “Ajarilah anak-anakmu, didiklah mereka, dan pahamkanlah ajaran agama kepada mereka.”
Untuk itulah, Surahmat berusaha berpegang teguh pada nasehat Luqman kepada anaknya sebagaimana tertulis dalam al-Quran Surat Luqman ayat 17 yang artinya: ”Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Luqman (dalam QS Luqman [31]: 12) pun bernasehat kepada anaknya, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Sebab itulah Surahmat sangat hati-hati dalam memberikan pondasi religi, mulai dari kedisiplinan menjalankan shalat wajib lima waktu sampai mentadaburi al-Quran dan al-Hadits sebagai pedoman hidup setiap Muslim. Salah satu kiat buat menguatkan pondasi religi adalah menyekolahkan Ardju dan saudara-saudara kandungnya ke sekolah Muhamadiyah yang dikenal baik di mata masyarakat Yogya. Selain itu, saban usai shalat maghrib dia mendatangkan guru ngaji ke rumah dan, setiap kali ada kesempatan, mengajak anak-anak ke majlis taklim.  
Ardju masih ingat benar bahwa bapaknya demikian kuat dan keras dalam meletakkan pondasi ibadah dan akidah pada seluruh anak-anaknya. Semua anaknya harus masuk bersekolah di sekolah Muhamadiyah. Ardju pun menaati betul apa yang menjadi tekad bapaknya. Meski diakuinya, tekad itu sempat kebobolan ketika dua adiknya yang laki-laki ‘disukai’ oleh tetangga yang hobi main judi. Dengan asupan makanan yang jauh dari halal, perilaku si adik pun sedikit liar. Bahkan sempat berurusan dengan polisi. Sampai suatu ketika Suti Akbari Jumuwariyah (ibunya Ardju) merasa tidak mampu lagi menghadapinya. Sebagai kakak, Ardju lalu membawa si adik ini ke Jakarta lalu memasukkan ke Balai Latihan Kerja (BLK). Dan, si adik pun sempat kembali baik, bahkan sampai berhasil menjadi pelaut yang mampu melanglang dunia bahari.
Ihwal betapa kuatnya penanaman pondasi religi dan akidah, Ardju Fahadaina bertutur:
“Alhamdulillah, keluarga saya kebetulan sangat kuat dipengaruhi oleh pendidikan Muhamadiyah. Bapak saya bekerja di PKU Muhamadiyah. Berkat pola pendidikan Muhamadiyah, sejak kecil saya sudah dibiasakan mengaji dengan memanggil guru ke rumah atau bapak mengajak pergi ke tempat pengajian.
Bahkan, saat memanggil guru ngaji ke rumah, kami juga mengajak anak-anak sekitar rumah di Kampung Serangan dan Kampung (sebelah) Notoprajan untuk ikut ngaji. Di sini saya dan teman-teman belajar membaca al-Quran dan tarikh. Selain juga kadang saya menyampaikan apa yang saya peroleh di sekolah Muhamadiyah ke anak-anak kampung. Bersyukur, sejak kecil sudah sudah tertanam nilai-nilai Muhamadiyah dan Islam dalam diri saya. Bapak saya tegas, anak-anaknya harus sekolah di Muhamadiyah, mulai TK, SD sampai SMP. Bahkan beberapa adik saya juga masuk SMA Muhamadiyah. Itu kan proteksi juga.”

Ardju dapat dikatakan memperoleh pendidikan religi lebih dari cukup dibandingkan kakak dan adik-adiknya. Di masa remaja saat SMA, Surahmat yang pernah mengecap sekolah Heiho di zaman Jepang memberikan treatment pada Ardju yang berbeda dibandingkan anak-anaknya yang lain. Ardju biasa dibangunkan Surahmat sekitar jam 03.00 dinihari langsung olahraga lagi keliling benteng Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Kalau tidak lari-lari kecil, Surahmat membangunkannya saat menjelang waktu shalat subuh. Misalkan waktu subuh pukul 05.00 maka Ardju dibangunkan pukul 04.30 dan diajak ke masjid untuk shalat subuh berjamaah dan mendengarkan taklim subuhan.
Surahmat tidak ingin Ardju memandang waktu subuh ‘penuh benci’ seperti dalam lirik nasyid berjudul Peristiwa Subuh berikut:
Tabuh berbunyi gemparkan alam sunyi
Berkumandang suara adzan
Mendayu memecah sepi
Selang-seling sahutan ayam
          Tetapi insan kalaupun ada hanya
          Mata yang melek dipejam lagi
          Hatinya penuh benci
Berdengkurlah kembali

Surahmat meyakini benar bahwa waktu subuh sangat istimewa. Sampai-sampai Allah SWT menyebutkan keutamaan shalat Subuh secara khusus. Sebagaimana firman Allah: “Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (dirikanlah pula) shalat Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).” (QS Al Israa’ [17]: 78)
Ayat tadi tidak merinci shalat-shalat apa sajakah dari waktu matahari tergelincir sampai waktu gelapnya malam. Namun, ketika giliran shalat Subuh disebut, Allah menempatkannya secaraterpisah. Hal ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan shalat Subuh dibandingkan dengan shalat-shalat fardhu yang lain. Pun demikian mengapa shalat Subuh dalam al-Quran dinamai Quran Fajar. Menurut tafsir Asy-Sya’rawi, hal itu dikarenakan waktu Subuh itu merupakan saatnya alam semesta hening dan jiwa dalam keadaan bugar. Sehingga, al-Quran akan dapat dicerna secara segar dan diterima dengan segenap kesadaran, sebelum urusan dunia menyibukkannya.
Perhatian khusus terhadap shalat Subuh diberikan pula oleh sunnah Nabi Muhammad saw. Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah saw mendoakan keberkahan dan kemurahan rezeqi bagi umatnya yang bergegas menuju masjid untuk shalat berjamaah saat fajar menjemput. “Yaa Allah, berkahilah umatku pada waktu awal pagi mereka,” pinta Rasulullah. Berdasarkan hadits itu juga, Ibnu Qayyim menjelaskan, tidurnya seseorang di waktu Subuh itu akan menyebabkan terputusnya rezeqi, karena Subuh merupakan saat  dibagi-bagikannya rezeqi oleh Allah Maha Pemberi Rezeqi.  
“Seingat saya, kok cuma saya yang diajak bapak. Tidak tahu entah kenapa.  Begitulah kenyataannya. Mungkin dari situ seolah-olah saya ini yang sangat diharapkan oleh bapak. Yang jelas dari situ, kelihatan bahwa orang banyak ikut ngaji akhirnya yang berbicara duluan adalah hatinya bukan akal atau otaknya. Makanya saya jadi seperti orang yang lemah lantaran selalu banyak menimbang-nimbang dan hati-hati,” kenang Ardju.  
Seiring dengan peletakan pondasi religi yang kuat oleh Surahmat, Suti Akbari Jumuwariyah melapisi dengan memberikan makanan yang halal dan bergizi kepada anak-anaknya. Suti Akbari Jumuwariyah lebih memikirkan kesejahteraan --dalam hal memperbaiki gizi dan asupan makanan yang halal. ”Beliau habis waktu buat memperbaiki gizi anak-anaknya dan membantu suami mendapatkan penghasilan tambahan. Namanya pegawai RS PKU Muhamadiyah kan tidak seberapa besar gajinya. Ibu lebih banyak ke situ. Pendidikan anak-anak diserahkan ke bapak, dan beliau lebih banyak berdoa saja.  Saya rasakan doa ibu memang makbul,” papar Ardju.
Suti Akbari Jumuwariyah berusaha keras memberi kecukupan gizi di tengah keterbatasan keuangan keluarga. Ilustrasinya, hampir tiap hari makan hanya berlauk garam. Hal yang sedikit kontras dengan keluarga adiknya Suti Akbari Jumuwariyah yang hidup berkecukupan, suaminya orang kantoran, dapat mobil dinas di zaman tahun 1955, dan makan cukup. Namun Suti Akbari tidak kehabisan akal. Ia terdorong tekad bagaimana kiat memberikan kecukupan gizi pada anak-anaknya. Ia tidak segan-segan meminta ekor dan kepala udang yang biasa dibuang oleh adiknya. Ekor dan kepala udang lalu diulek untuk dijadikan lauk. Selain rasanya enak, gizinya pun tetap tinggi. Dan 11 bersaudara itu sehat-sehat saja.
Bersyukur. Perjalanan penanaman pondasi religi keluarga Ardju bagai gayung bersambut dengan perubahan sosial Kampung Serangan. Ketika Ardju berada di kelas 6 SD atau kelas 1 SMP, Muhamadiyah Cabang Yogyakarta mendirikan Panti Asuhan (Yatim-piatu) Aisiyah di Kampung Serangan lengkap dengan sarana masjid untuk shalat berjamaah. Pintu dakwah untuk membawa Kampung Serangan keluar dari kegelapan ke terang-benderang terbuka lebar. Ardju dan keluarganya memohon izin agar diperbolehkan aktif memakmurkan masjid panti asuhan. Tanpa aral melintang, pengurus panti asuhan mempersilakan Ardju yang saat itu menginjak masa remaja aktif di masjid yang ada di dalam lingkungan panti.
“Saya sekeluarga meminta izin memanfaatkan masjid untuk aktif berdakwah, terutama melalui wadah remaja masjid. Di tahun 1960-an sebelum meletus tragedi G-30-S/PKI itu saya dan bapak saya aktif memakmurkan masji panti asuhan. Kami membentuk semacam ikatan remaja masjid. Kami juga bikin majlis pengajian yang diberi nama Nurhidayah. Sampai sekarang majlis pengajian itu masih ada. Kemudian ketika mulai SMP, saya mendedikasikan diri mengajar anak-anak yang lebih kecil. Apa yang saya dapatkan di SMP Muhamadiyah langsung saya ajarkan kepada anak-anak di Kampung Serangan. Namun sekitar tahun 1976-1977, kami tidak boleh lagi memakai masjid karena di situ kan panti asuhan yatim-piatu putri. Ada kekhawatiran nanti ada efek yang tidak diharapkan seperti pacaran,” terang Ardju Fahadaina.  
Kehidupan dakwah Islami yang mulai menerangi Kampung Serangan sedikit terendat. Surahmat yang kadung menggantung tekad membawa Kampung Serangan yang terang-benderang tidak patah arang. Bersama Majlis Pengajian Nurhidayah, Surahmat berusaha mencari lahan untuk membangun masjid. Akhirnya didapatkan sebidang tanah dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang masih berada di wilayah Kampung Serangan. Tentu, lahan tanah saja belum cukup, perlu dana buat membeli material membangun fisik masjid.
Setelah melakukan berbagai usaha, Ardju dan keluarga memperoleh dana dari seorang donatur yang baik hati. Tanah tersedia, dana dihitung-hitung cukup. Namun masjid yang didam-idamkan belum juga bisa dibangun. Rupanya, masih ada kendala bahwa lahan tanah itu masih berpenghuni. Arti kata, lahan yang dihuni sejumlah karyawan PJKA itu harus dikosongkan. Mereka harus dipindahkan, tentu, dengan sejumlah dana pindah.
Di tengah aktivitasnya sebagai remaja masjid dan memikirkan upaya membangun masjid impian Kampung Serangan, Ardju Fahadaina tidak melupakan sekolah. Setelah lulus dari SMP Muhamadiyah dengan predikat juara umum, dia melanjutkan ke SMA Negeri 1 Yogyakarta. Selama mengarungi bangku SMA, dia termasuk siswa yang cukup berprestasi dan lulus dengan nilai memuaskan.
Surahmat ingin Ardju menjadi dokter. Maklum, sehari-hari Surahmat bergaul dengan dokter-dokter di PKU Muhamadiyah. Sebab itu, Surahmat menyarankan Ardju melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM). Ardju pun mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dia diterima di Fakultas Teknologi Pertanian. Tapi, Ardju berpikir bahwa biaya untuk kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian tidaklah murah. Di awal tahun 1970-an itu, Ardju dan bapanya tergelitik iklah Akademi Teknologi Kulit menawarkan sejumlah keringanan biaya kuliah –memberikan beasiswa dan cepat lulus (maklum sampai strata Diploma 3 saja). Akhirnya, Ardju mendaftarkan diri dan diterima di Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta dan memilih jurusan Penyamakan Kulit. Tahun 1974, dia lulus dan langsung diterima bekerja di pabrik sepatu Bata, Jakarta.
Selama bekerja di pabrik sepatu Bata, masih terngiang di benak Ardju bagaimana upaya memindahkan karyawan PJKA yang bermukim di atas lahan yang mesti segera dibangun masjid. Waktu terus melaju, sekitar tahun 1977, Ardju memperoleh Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan sepatu yang (dulu) berlokasi di samping Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ardju lalu terpikir memberikan THR yang diperolehnya buat ‘pesangon’ pengosongan lahan PJKA yang akan di atasnya segera didirikan masjid. “Tahun 1977 saya dapat THR sebesar Rp100 ribu, langsung saya berikan warga yang harus pindah dari lahan yang di atasnya hendak dibangun masjid,” ungkap Ardju.
Berkat kerja keras jamaah yang sudah terbentuk waktu memakmurkan masjid Panti Asuhan Yatim-piatu Aisiyah, dalam waktu tidak terlampau lama berdirilah masjid yang dinamai Nurhidayah. Ardju bertutur, “Masjid itu kemudian menjadi central activity pengembangan Islam di kampung saya. Sampai sekarang jamaah masih aktif memakmurkan masjid itu, pengajiannya juga aktif. Semenjak ada masjid itu, suasana Islami di Kampung Serangan mulai terlihat. Ritual sesajen di sumur pada waktu-waktu tertentu semakin berkurang dan hilang.”
Ritual-ritual berbau musyrik semakin berkurang seiring dengan orang-orang tua yang berpulang ke Rahmatullah. Orang-orang muda yang sekarang berada rentang umur 30-40 itu telah meninggalkan ritual-ritual tersebut berkat perbaikan akidah yang didakwahkan lewat Masjid Nurhidayah. “Saya lihat masjidnya masih aktif dan makmur, pengajian rutin, saat Ramadhan ramai pula jamaah yang beriktikaf. Kebetulan masjid itu berdampingan dengan tempat parkir pariwisata keraton. Dulu sekitar masjid itu ada stasiun kereta api. Tapi kereta api dari stasiun itu ke Bantul tidak beroperasi lagi, stasiun ditutup. Sekarang lokasinya dipakai buat parkir pariwisata keraton,” terang Ardju.

Hobi Traveling dan Mengembara Jalan Kaki
Sebagai remaja, Ardju pun punya keinginan untuk berekreasi ke daerah-daerah wisata dan tempat hiburan yang menyenangkan hati. Tapi apa daya keuangan keluarga relatif terbatas. Sulit berharap ada alokasi dari gaji Surahmat atau penghasilan Suti Akbari Jumuwariyah dari usaha jahit rumahan. Ardju tidak patah arang begitu saja. Sebagai remaja yang aktif di kepanduan Pramuka, dia berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada buat memenuhi hasratnya menikmati daerah-daerah wisata atau hiburan sekaligus mensyukuri nikmat Allah Allah SWT.    
Salah satunya adalah dengan berjalan kaki dari satu daerah ke daerah yang lain atau berkelana menumpang kendaraan siapa saja. Suatu ketika di bulan Ramadhan, Ardju pernah berkeliling Jawa dengan menumpang kereta api, truk dan kendaraan lain. Sampai pula pada suatu hari, Ardju berjalan kaki dari Pati ke Yuwana lantaran tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi, sementara dia sangat ingin melihat wujud galangan kapal. Maklum, di Yogya tidak ada galangan kapal. “Waktu itu panas sekali. Bila sekarang saya menghadapi hal-hal yang berat, saya langsung teringat pada pengalaman masa itu. Perjalanan ketika itu jelas berat, perlu stamina, butuh kekuatan, mesti punya mental yang kuat. Pengalaman itu memberikan mental yang tangguh dan motivasi kuat di masa-masa berikutnya,” jelas lelaki asli Kampung Serangan ini.
Jalan kaki yang paling berkesan sepanjang hayat Ardju adalah tatkala melakukan long march dari Yogya ke Jakarta lewat jalur selatan pada tahun 1972. Berangkat dari rumahnya yang asri di Kampung Serangan NG V/24 Yogyakarta tanggal 1 Januari 1972 tepat pukul 07.00 waktu setempat. Berbekal surat jalan dari Kwartir Cabang Pramuka Yogyakarta dan surat keterangan bepergian dari Kemantren Pamong Praja Ngampilan. Mengenakan seragam Pramuka dan perbekalan akomodasi seberat 7,5 kilogram. Dan uang sebesar Rp800.
“Perbekalan yang saya bawa dari rumah adalah sebuah ransel berisi dua pasang pakaian Pramuka, obat-obatan, baterai, sarung, jaket, alat makan, tustel, tongkat dan beberapa barang kecil yang sewaktu-waktu diperlukan. Semua beratnya lebih-kurang 7,5 kilogram. Memang beban itu tidak terlalu berat, tapi bila badan sudah payah maka beban sekian rasanya menjadi berkilo-kilo,” kenang Ardju sebagaimana ditulis Koran KOMPAS edisi hari Sabtu, 12 Februari 1972.
Dengan jarak tempuh sekitar 600 kilometer, berjalan seorang diri, menginap di rumah-rumah kepala desa, kepala kwartir cabang Pramuka dan penduduk yang baik hati. Menyinggahi tempat-tempat rekreasi, pabrik-pabrik, bangunan peninggalan masa silam, dan kota-kota besar sepanjang jalan yang dilaluinya selama 38 hari. Kecepatan jalan lebih-kurang 4 kilometer per jam atau sekitar 30 kilometer sehari.   
Ardju Fahadiana bercerita pengembaraannya ketika itu untuk mengisi waktu liburan kenaikan tingkat di Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta. Berangkat dari sebuah keinginan mengisi waktu luang, berjalan kaki seorang diri, tanpa menumpang kendaraan.
Waktu 38 hari tidak digunakan sepenuhnya untuk berjalan kaki secaraterus-menerus. Kadang di satu kota berhenti agak lama. Misalkan di Purwokerto singgah dua hari, di Bandung selama sembilan hari, dan di Bogor juga dua hari.
Perjalanan dari Yogya ke Jakarta penuh perjuangan tersebut menghabiskan dana sekitar Rp2.000 yang sebagian besar terpakai untuk makan. Sementara dari rumah, Ardju hanya membawa Rp800. Kok bisa ya? Ardju bertutur bahwa perjalanan mentadaburi alam semesta ciptaan Allah SWT itu kadang diwarnai datangnya rezeqi yang tidak disangka-sangka. Kadang ada kepala desa yang nyangoni, kali lain seorang kepala kwartir cabang Pramuka memberi bekal tambahan.
Banyak pengalaman menarik selama perjalanan kaki dari Yogya sampai Jakarta tersebut. Misalkan ketika Ardju ‘potong kompas’ dari Ajibarang (Purwokerto) ke Lumbir (Karangpucung) sejauh sekitar 30 kilometer. Perjalanan di pegunungan ini terasa sebagai medan yang paling berat. Di balik medan yang berat itu tersembunyi keindahan alam nan elok. Penduduk desa yang relatif hidup sederhana dengan mengandalkan hasil ketela pohon. Mereka harus menuruni lembah dengan pikulan agar ketela pohon bisa dijual ke pasar. Betapa berat kehidupan mereka, toh warga desa tetap penuh senyum menjalani kehidupan.
Ardju berusaha belajar pada betapa demikian berat kehidupan warga desa yang tinggal antara Ajibarang dan Lumbir. Ardju ‘mencicipi’ medan jalanan yang ketika itu mirip kubangan kerbau. Dia harus berjalan dalam lumpur setinggi dua jengkal. Celana pun jadi belepotan lumpur kotor. Begitu melihat air terjun, Ardju langsung membersihkan lumpur yang menempel di celana. Lalu, perjalanan berlanjut dengan celana yang basah kuyup.
Perjalanan naik dan turun lembah sama beratnya. Karena, saat naik Ardju harus melawan gaya berat. Dan ketika turun ternyata kaki Ardju menjadi lemas dan beban semakin berat.
Tekadnya untuk berjalan kaki telah membaja dalam diri Ardju Fahadaina. Terlihat misalkan ketika dia tengah berjalan di dekat Malangbong. Seorang pemuda mengendarai sepeda motor menghampirinya dan berkenalan. Pemuda asal Tasikmalaya itu hendak ke Bandung dan menawarkan Ardju untuk nebeng sampai Ibukota Propinsi Jawa Barat itu. Dalam hati Ardju bergumam “ah enak betul kalau naik sepeda motor”. Dengan hati penuh kekuatan, Ardju menjawab, “Terima kasih, maaf, saya mau jalan kaki saja.”
Tiba di Bandung, Ardju menuju ke rumah Kepala Kwartor Cabang Pramuka Kodya Bandung Ir. A. Sudradjat. Setelah berjalan lebih dari 20 hari, kaki Ardju lecet-lecet dan dia mohon diizinkan istirahat agak lama di Kota Bandung. Gayung bersambut, sahibul bait memberi izin dan Ardju menginap di sini selama enam hari. Bahkan, pada tanggal 14 Januari 1972 dia sempat mampir ke kantor redaksi Koran Pikiran Rakyat. Setelah merasa fit betul, dia melanjutkan pengembaraannya yang berujung di Ibukota Jakarta.
Perjalanan yang menjengkelkan namun indah nan eksotik saat berada di Malangbong dan kawasan Puncak. Bagaimana tidak? Jalan di depan sudah tampak demikian dekat tapi untuk mencapainya harus melingkar-lingkar dulu. Mengasyikkan bila ditempuh dengan sepeda motor ataupun mobil.
Gua Gunung Pawon di Citatah, Cipatat (sebelah barat Kota Bandung), cukup melelahkan untuk dicapai. Namun keadaan alamnya hebat juga. Tempatnya sunyi, tinggi ke atas gua itu berlobang dan di dalamnya banyak kelelawar. Saat Ardju berada di sini, 15 Januari 1972, Gua Gunung Pawon tengah dipakai buat shooting film Pendekar Bambu Kuning.
Di daerah Padalarang, Ardju menyempatkan diri mampir ke pabrik kapur “Subur” yang berlokasi di Jalan Raya Cianjur, Ciburuj. Di sini Ardju melihat secara langsung proses produksi kapur melalui pembakaran di oven raksasa.
Sewaktu lewat di depan Istana Cipanas, Ardju tidak tahu kalau harus berjalan di seberang jalan. Dia baru tahu setelah seorang penjaga memberi isyarat dengan wajah serius. Omong punya omong tahulah bahwa  barangsiapa melanggar hukumannya adalah tiga kali lari dari ujung ke ujung pagar istana tanpa peduli siapa yang bersangkutan. Lumayan juga.
Di Puncak Pas, Ardju berkesempatan naik ke Menara Radar Telepon. Bersyukur cuaca saat itu cerah sehingga dia dapat menikmati keindahan alam panorama Gunung Gede dan Gunung Pangrango.
Bukan hanya keindahan alam yang terbentang. Perjalanan itu juga memberi pengayaan pengetahuan sejarah. Ardju sempat menapakkan kakinya di telapak kaki peninggalan Kerajaan Tarumanegara di Ciampea, Bogor. Dan kebetulan sekali mendapat kaki kiri. Seketika itu juru kunci yang mengantarnya mengucap, “Alhamdulillah, bapak ada milik.” Maksudnya Ardju akan mudah rezeqi. Ah, ada-ada saja.
Ardju sengaja memilih mengisi masa liburannya dengan berjalan kaki. Sebab, menurutnya, dengan jalan kaki akan lebih bebas mencapai tempat-tempat yang tak mungkin dicapai dengan kendaraan dan sekaligus mencoba apakah dia mampu menaklukkan jarak jauh ratusan kilometer itu. Selain itu, Ardju menerima tugas dari Kwartir Cabang Pramuka Yogyakarta untuk menyerahkan vandel kepada Kwarcab Banyumas, Kwarcab Kota Bandung dan Kwartir Nasional di Jakarta.  
Usai menaklukkan Yogya – Jakarta dengan berjalan kaki, 7 Februari 1972, Ardju Fahadaina pulang ke Yogyakarta menumpang Kereta Api Djaja IV yang berangkat dari Stasiun Gambir. Bersyukur, esok harinya tiba selamat di rumahnya Kampung Serangan. Dan anak-anak kecil berseragam Pramuka memberikan salam Praja Muda Karana. Sebuah perjalanan panjang penuh perjuangan telah mewarnai salah satu noktah kehidupan anak manusia bernama Ardju Fahadaina yang lahir pada 7 Januari 1952 ini.

Apresiasi dan Prestasi
Dari 11 bersaudara, perjalanan sekolah formal Ardju Fahadaina termasuk biasa-biasa saja. Ketika bersekolah di SD Muhamadiyah, tidak jauh dari rumahnya, nilai dan prestasi Ardju sekadar datar-datar. Bahkan, di kelas 2, Ardju sempat berhenti kelas, lantaran waktu itu dia dianggap terlalu cepat masuk sekolah. Pada masa itu, batas umur masuk SD adalah 7 tahun. Semendata Ardju memasuki bangku SD di kala usia 6 tahun. “Saya masuk umur 6 tahun, zaman dulu kan mestinya 7 tahun. Jadi di kelas dua, tidak tahu persis alasannya, apakah nilai saya jelek ataukah tetap layak naik, saya sampai dua tahun di kelas dua,” ungkap Ardju.
Ada sedikit perubahan di kelas 6, ketika mendekati ujian akhir sekolah. Surahmat mengajarkan bahwa untuk mencapai kelulusan sekolah tidaklah semata-mata ditempuh dengan belajar keras. Ada lelaku lain, yakni doa-doa lewat shalat malam (tahajud).  Ardju pun mempraktikkan apa yang telah dicontohkan oleh Surahmat. Kebiasaan itu berlanjut pula tatkala Ardju meneruskan sekolah ke SMP Muhamadiyah.
Tidak hanya sebatas mengandalkan kekuatan doa melalui shalat malam, Ardju sudah pula terpantik untuk berprestasi di bangku SMP. Saat lulus, dia mampu menyandang predikat  juara umum. Berkat prestasi tersebut, Ardju mendaftarkan diri dan diterima di SMA Negeri 1 Yogya –sekolah favorit bagi lulusan SMP di Kota Pelajar. Kendati tidak sampai juara umum, nilai dan prestasi Ardju di SMA termasuk di atas rata-rata kebanyakan siswa.
“Selama di SD, rasanya keinginan rajin itu belum ada. Pokoknya ya ikut-ikutan saja. Di kelas 6 saat akan ujian akhir, bapak saya mengajarkan shalat tahajud. Dari situ, masuk SMP saya menyadari perlu tekad bersaing untuk berprestasi.  Jadi banyak belajar sekaligus juga berjuang. Mulai ada upaya seiring antara belajar dan berdoa,” tutur Ardju.
Lulus dari jurusan IPA SMA Negeri 1 Yogyakarta, Ardju ingin melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM). Sementara bapaknya (Surahmat) ingin Ardju kuliah di Fakultas Kedokteran. Untuk tidak mengecewakan bapak, Ardju pun mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dan, Ardju diterima di Fakultas Teknologi Pertanian. Namun, mata batinnya bergolak: apakah bapaknya mampu membiayai perkuliahan di tengah adik-adiknya yang juga membutuhkan biaya sekolah.
Ardju lantas bermusyawarah dengan Surahmat. Kemudian Surahmat menyarankan agar Ardju masuk ke Akademi Teknologi Kulit yang dalam pariwaranya menjanjikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi. Selain itu, masa perkuliahan relatif cepat dan langsung punya skill untuk masuk ke bursa kerja. Ardju menerima saran bapaknya dan melanjutkan kuliah di akademi milik Departemen Perindustrian tersebut.
Sekali lagi berkat usahanya belajar serius diiringi doa yang khusyuk, perjalanan kuliah Ardju di Akademi Teknologi Kulit lancar-lancar saja. Tidak ada nilai mata kuliah yang berpredikat buruk sehingga diulang. Bahkan, berkat prestasinya, Ardju memperoleh beasiswa beberapa semester. Tiba saatnya di ujung masa perkuliahan, Ardju harus menulis tugas akhir sebagai syarat kelulusan dari akademi. Dia memilih obyek penelitian ihwal manajemen pabrik sepatu Bata di Jakarta. Tanpa banyak kesulitan, sekitar tahun 1973, pihak Bata membuka tangan lebar-lebar bagi seorang mahasiswa bernama Ardju Fahadaina. Bahkan, lantaran hasil penelitiannya memberi setitik arti bagi perkembangan perusahaan, pihak Bata berpesan agar Ardju segera kembali ke Bata setelah diwisuda oleh Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta.

Dari Perubahan Kampung Serangan Sampai Ketenteraman Karyawan
Di masa-masa kanak-kanak sampai remaja Ardju Fahadaina, Kampung Serangan dapat dikatakan sebagai sarang pencuri, penyamun dan sejenisnya. Bila ada seseorang mencuri di sekitaran Kemantren Pamong Praja Ngampilan, maka akan aman dari amuk massa begitu masuk ke Kampung Serangan. Ada saja keluarga atau tetua di Kampung Serangan di masa itu berusaha ‘melindungi’ mereka yang kerap meresahkan warga masyarakat tersebut. Sementara itu orang baik-baik akan merasa takut masuk Kampung Serangan, takut dipalak, takut pula dicap jahat.
Itu dulu. Puluhan tahun yang lalu. Kini sudah 99 persen berubah, warga Kampung Serangan berubah image setelah lambat namun pasti bersedia menerima dakwah. “Dulu orang nggak mau masuk Kampung Serangan, sekarang sebaliknya orang nggak mau keluar dari sini karena merasa aman dan nyaman. Saya sudah matur pada alhmarhum bapaknya Mas Ardju, saya akan lanjutkan dakwahnya. Karena di masjid sudah ada pengurus, saya berdakwah di luar, “ tutur Panut Widyatmoko, teman sepermainan masa kecil Ardju Fahadaina yang kini menjadi Ketua RW Kampung Serangan.
Yang tak terlupakan di benak Panut, “Ardju dan keluarganya di sini merupakan sosok pertama yang memperbaiki kampung kami yang selama ini disebut sebagai kampung hitam. Mereka di sini menjadi contoh warga masyarakat, sampai kemudian kini hampir tiap hari ada pengajian.”
Panut bercerita bahwa sebelum ada dakwah Ardju dan keluarga, Kampung Serangan dicap sebagai kampung hitam. Bahkan, para orang tua di kampung ini menyuruh anak-anaknya mencuri. Dulu dekat Kampung Serangan ada stasiun kereta api yang menjadi persianggahan kereta api bumel dari Bantul. Banyak penumpang dari Bantul membawa gaplek turun dari kereta untuk dijual di Pasar Serangan. Melihat peluang ini, tidak sedikit orang tua di Kampung Serangan yang menyuruh anak-anaknya mencari gaplek bawaan penumpang kereta api.
Dengan kondisi hitam seperti itu, tutur Panut, banyak orang tua yang tidak bisa dan tidak mau menerima dakwah yang dijalankan oleh Ardju dan keluargnya. “Misalkan sepulang pengajian, pasti ramai. Orang atau anak-anak kampung yang pulang pengajian diajak berkelahi. Baru sekitar tahun 1975, warga bisa dan perlahan mau menerima dakwah. Mulai terlihat anak-anak yang pulang pengajian tidak lagi diajak berkelahi. Perlahan makin banyak anak yang mengikuti pengajian. Namun bapak-bapaknya baru bisa menerima dakwah sekitar tahun 1985. Mulai tahun itu pula mereka bersedia ikut pengajian,” papar Panut.
Melihat mulai ada antusiasme anak-anak mengikuti pengajian, Ardju dan keluarganya berpikir hendak membangun masjid di Kampung Serangan. Dulu, anak-anak biasanya mengikuti pengajian di mushola yang ada di Ngampilan. Sementara di Kampung Serangan hanya ada panti asuhan putri yang memang dilengkapi masjid. Berkat jalinan komunikasi Ardju dan keluarganya, anak-anak bisa mengikuti pengajian di masjid yang ada di panti asuhan. Kemudian, lanjut cerita Panut. “Dengan berbagai pertimbangan, kemudian ada keluarga Ardju yang mewakafkan sebagian lahan miliknya. Ditambah sumbangan warga lainnya dibangunlah masjid di Kampung Serangan. Sampai sekarang adik-adiknya Ardju dan juga ibunya masih cukup aktif memberi kontribusi bagi pengembangan masjid yang diberi nama Uswatun Hasanah itu,” jelas Panut Widyatmoko.
Panut berharap Ardju dan keluarga tetap memberikan contoh, serta melakukan pembinaan secara terus-menerus bagi warga Kampung Serangan. Barangkali keberhasilan Ardju dan keluarganya bisa ditularkan kepada warga masyarakat. Sekarang cukup banyak juga yang berhasil sekolahnya. “Dulu tuh kalau nyebut orang Serangan, kesannya langsung negartif,” aku Panut.
Dakwah Ardju Fahadaina tidak berhenti di Kampung Serangan. Apalagi dia kini tidak semata-mata menjadi ‘milik’ warga kampung yang berada tidak terlalu jauh dari Keraton Yogyakarta itu. Ardju berdakwah tidak hanya sebatas kata demi kata. Dia aktif dalam tindakan nyata. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan Kampung Serangan yang cukup akrab dengan keberadaan panti asuhan, kini Ardju yang tengah membangun bisnis air minum dalam kemasan syariah bermerek Ufia ini pun menyisihkan sebagian hartanya untuk membangun panti asuhan.
Nun jauh di Dusun Kemiri Margorejo, Tempel, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ardju membangun pansuhan asuhan putri yang diberi nama Panti Asuhan Nur-Ufia. Panti asuhan berkonsep anak mandiri dan bermartabat ini sekarang diasuh oleh pasangan suami-istri Bowo dan Sani. 
Tahun 2010, cerita Bu Sani, “Panti asuhan ini baru jadi, saya belum menentukan untuk menjadi pengasuh.  Saya baru membantu untuk mencarikan pengasuh. Setelah pikir-pikir, kira-kira dua tahun setelah keluar dari Panti Aisiyah (Kampung Serangan), dan di sini belum ada pengasuhnya, saya kok kepikiran untuk mengasuh panti kepunyaan Pak Ardju ini. Waktu itu tanggal 1 Muharam, saya matur ke Pak Ardju bahwa insya Allah saya sudah siap menjadi pengasuh di Panti Asuhan Nur-Ufia. Insya Allah mulai Desember 2010 saya mulai menempati panti ini.”
Ketika Bu Sani mulai mengasuh, panti ini belum memiliki anak asuh. “Melalui pengurus  perdukuhan sini, Pak RT dan Pak RW, saya mencari anak asuh dan mengutamakan anak-anak yang ada di sekitar panti ini. Setelah tiga bulan, kok belum ada anak yang masuk di sini, saya mulai mencari keluar. Di dekat daerah pemantau Gunung Merapi itu ada lima anak yatim lalu saya bawa ke sini. Waktu itu ada yang kelas enam, terpaksa saya antar-jemput karena tidak bisa pindah sekolah kalau sudah kelas enam. Setelah lulus, saya masukkan mereka ke madrasah tsanawiyah sekitar sini. Setiap bulan bertambah, sampai sekarang ada 19 anak di panti asuhan ini,” ujar Bu Sani.  
Bu Sani mendedikasinya dirinya 24 jam penuh di Panti Asuhan Nur-Ufia. “Dulu saya sempat usaha di bisnis air herbal. Kemudian pikir-pikir, saya mesti fokus membantu anak-anak di sini. Karena panti ini baru pertama kali buka, saya mesti fokus, tidak nyambi apa-apa. Dan alhamdulillah panti ini sekarang telah berkembang. Anak-anak banyak menorehkan prestasi, buktinya piala yang ada di lemari itu. Ada dari lomba PMR, lomba kerawitan, dan lomba pidato. Penghargaan sebanyak itu diraih dalam tiga tahun perjalanan panti asuhan ini,” terang Bu Sani sembari menunjuk sebuah lemari di ruang tamu panti asuhan yang berisi banyak piala dari berbagai lomba.
Berkat dukungan penuh Ardju Fahadaina dan donator tidak tetap yang lain, Panti Asuhan Nur-Ufia berusaha menghilangkan kesab bahwa anak panti itu kumuh, tidak terawat dan kurang berprestasi. Boleh jadi lantaran itulah, dari 19 anak asuh, tidak ada yang berasal dari sekitar panti. Ujarnya, “Pengalaman saya, kebanyakan orang-tuanya merasa gengsi karena langsung kelihatan tetangga. Banyak yang dari luar daerah. Padahal, setelah keliling-keliling, sebenarnya ada yang layak dibawa ke panti asuhan ini. Banyak di sini rumahnya yang tidak layak huni. Dulu ada namanya Ayu, pintar tapi ibunya stres. Baru setahun di sini diambil lagi oleh neneknya karena mendengar kesan perlakuan negatif di panti. Dulu kesannya hidup di panti mesti tidur di lantai. Namun, di sini berbeda, mereka tetap bersekolah, makan tiga kali, dan tempat tidurnya bagus. Semua biaya hidup dan sekolah ditanggung oleh donatur panti. Meski belum ada donatur tetap, alhamdulillah tidak kekurangan.”
Pak Bowo, Penanggung-jawab Panti Asuhan Nur-Ufia, menambahkan, “Kami  ingin anak-anak panti ini keluar seperti anak panah. Bisa mandiri, bermanfaat di tengah-tengah masyarakat, dan mampu menghidupi dirinya sendiri. Kami ingin pengembangan konsep panti seperti itu dan Pak Ardju telah menyetujuinya,” jelas Pak Bowo.
Mengapa mesti berkonsep mandiri dan manfaat? Pak Bowo menuturkan, “Satu pengalaman di tempat saya yang dulu, ada anak panti yang telanjur nyaman di hidup di panti. Lalu ketika pulang ke rumahnya menderita stres karena tidak ada apa-apa. Bahkan sampai depresi, nggak bisa gerak apa-apa. Insya Allah, mudah-mudahan keinginan untuk membentuk anak panti yang mandiri dan bermanfaat dapat terwujud. Di sini saat puasa misalkan, mereka kami bebaskan bikin makanan dan kudapan sendiri, mau bikin bakso, mie ayam, dan martabak. Semua mereka sendiri yang mengerjakan. Mereka sekalian belajar dan sekaligus kami menggali potensi mereka masing-masing, barangkali ada yang kuat di katering, siapa tahu nanti mereka bekerja di katering dan usaha katering sendiri. Bisa pula buat mengarahkan anak melanjutkan sekolah ke SMK. Dari kebiasaan memasak itu, minimal bisa untuk dijadikan bekal hidup ke depan.”
Berkat ketelatenan pengasuhan Bu Sani dan Pak Bowo, prestasi anak-anak Panti Asuhan Nur-Ufia relatif bagus, banyak yang mampu mencapai prestasi peringkat 10 besar terbaik di sekolahnya. Bahkan, sampai kemudian ada orang tua yang ingin menitipkan anaknya di panti asuhan ini. “Mereka ingin kami mendidik anaknya agar bisa berprestasi seperti anak panti. Ya, kami tidak dapat menerima penitipan karena lembaga bukan pondok pesantren yang memang visinya mendidik santri. Mereka mau menitipkan dan membayar bulanan. Karena tidak memenuhi kriteria yatim dan dhuafa, kami menolak penitipan itu,” ujar Bu Sani.
Kehadiran Ardju Fahadaina berusaha menjadi pelita bagi dunia sekitarnya, bagi sesama. Tersebutlah suatu waktu Lembah Ngosit yang relatif tandus. Dengan konsep kemitraan dengan warga setempat, Ardju berhasil mengubah lembah itu menjadi sebuah resto dan sarana hiburan anak-anak yang nyaman dan memberi pintu rezeqi bagi warga sekitarnya.
“Dulu sekitar sini tempatnya tandus. Dengan adanya resto ini, alhamdulillah berhasil menjadi tempat hiburan yang nyaman. Warga sekitar mendukung usaha ini, pihak kampung, kelurahan sampai kecamatan memberikan dukungan penuh. Makin hari makin bagus, tertata rapi. Dan, banyak warga sini yang masuk menjadi karyawan. Dulu tenaga kami sempa mencapai 34 orang, karena adanya erupsi Merapi pada Oktober 2010, omset menurun. Selama sekitar satu tahun semua akses ke wilayah sini terkena, kami goyah. Alhamdulillah kami sekarang sudah mulai kembali ke arah normal,” jelas Yusuf, pengelola Gubug Makan Agro Lembah Ngosit –usaha kuliner terpadu atas kemitraan Ardju Fahadaina dan Yusuf.
Bangunan resto-agro yang semula dianggarkan sekitar Rp150 juta, ternyata membengkak sampai hampir Rp1,2 miliar. Padahal, jelas Yusuf, saat membangun resto-agro ini kondisi finansial Ardju Fahadaina sebetulnya tidak dalam keadaan baik. “Biaya pembangunan ini dulutidak disangka, pertama kali hanya sekitar Rp150 juta, akhirnya hampir Rp1,2 miliar. Tuhan mempunyai rencana lain yang kita tidak tahu,” ucapnya.
Tidak sekadar menjadi pelita warga Lembah Ngosit, Ardju pun seakan menjadi motivator bagi Yusuf yang ngedrop mentalnya lantaran berbagai cobaan dan ujian kehidupan yang dihadapinya. “Saya pribadi pernah nglokro (Jw: patah semangat – red), lalu Mas Ardju memberi semangat. Yang penting kita tetap semangat, terus jalan. Yang penting masih bisa nggaji karyawan. Kita ini tidak tahu mau dibawa ke mana. Yang jelas ada kebaikan di depan sana. Waktu bikin panti, saya malah kaget, karena waktu itu Mas Ardju sedang susah-susahnya. Perusahaan Mas Ardju di Jakarta dibikin bancakan orang. Kok bisa-bisanya saya mencarikan tanah, dapat murah, luasnya sekitar 1400 meter persegi yang sekarang di atasnya telah berdiri Panti Asuhan Nur-Ufia,” tutur Yusuf.
Dari situlah, ujar Yusuf, “Saya terapkan apa yang disampaikan Mas Ardju, bahwa kita harus sabar, jujur, dan pantang menyerah. Apapun yang ada kita jalankan, nanti Tuhan pasti kasih jalan.”
Memompa semangat. ArdjuFahadaina memompa semangat bukan sebatas pada mitra usahanya. Kepada segenap karyawannya, dia berusaha mendorong, memberi spirit untuk maju, dan menebar berkah. H.M. Madani alias Aji misalkan, dia merasa memahami kehidupan setelah bekerja di PT Ufia Tirta Mulia milik Ardju Fahadaina.
“Kami warga di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, sangat berterima kepada Pak Ardju. Berkat kehadiran usahanya, kami bisa bekerja dan memperoleh ketenangan,” ujar Aji yang kini menjadi supervisor produksi PT Ufia Tirta Mulia.
Aji yang semula dikenal agak temperamental kini demikian adem dan tenang dalam menjalin komunikasi dengan banyak orang. Hal ini, menurutnya, tak terlepas dari upaya Ardju Fahadaina yang mewarnai usaha dan proses produksi air minum dalam kemasan dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran sepanjang 24 jam.
Ya, kehadiran Ardju Fahadaina di mana saja senantiasa membawa angin perubahan ke arah yang lebih religius, lebih tenang hati, dan keberkahan bagi sesama. ***


No comments:

Post a Comment