“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yangkeras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
QS
At-Tahrim [66]: 6
KAMPUNG SERANGAN, Yogya, 1950-an. Sebuah kampung
yang masih berada dalam lingkaran luar Keraton Ngayogyokarto. Sebuah kampung yang
masih lekat dengan nuansa kejawen. Pada hari-hari tertentu warga kampung
menaruh sajendi pojok-pojok sumur atau tempat lain yang dianggap angker.
Suasana magis kadang demikian terasa dari sajen kembang setaman dan jajanan
pasar.
Sebuah
kampung yang terasa kurang kehidupan keagamaannya. Tidak tampak bangunan mushala,
apalagi masjid, kendati mayoritas warganyamengantongi Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dengan label agama Islam. Kehidupan anak-anak saban maghrib pun jauh dari
nuansa belajar baca huruf hijaiyah, terlebih lagi mengaji al-Quran. Suara
alunan ayat-ayat suci al-Quran pun terdengar asing di telinga.
Pada masa
itu, Kampung Serangan dikenal pula sebagai salah satu kantong pelaku kriminal
yang menguasai wilayah potensial Pasar Beringharjo. Bahkan, salah satu pentolan
‘penguasa’ pasar tradisional yang sangat sohor di Kota Gudeg itu mukim di
Kampung Serangan. Sampai-sampai bila ada warga Yogya yang kehilangan sepeda di
sekitar Pasar Beringharjo cukup menemui pentolan yang tinggal di Kampungan
Serangan maka sepeda bisa kembali ke tangan.
Di tengah
suasana masyarakat Kampung Serangan yang amat kental kejawen dan hiduk-pikuk ‘penguasa’
Pasar Beringharjo, pada tanggal 7 Januari 1951, lahir jabang bayi sebagai anak
ketiga dari pasangan Haji Surahmat (pegawai PKU Muhamadiyah Yogya) dan Hajah
Suti Akbari Jumuwariyah (penjahit rumahan) yang kemudian diberi nama Ardju
Fahadaina. Ardju merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Bersama 10 orang
saudara, Ardju menghabiskan masa kecil dan remaja di Kampung Serangan.
11 Anak Pasangan Surahmat
– Suti Akbari Jumuwariyah
·
Sri Anggarini Rahino Jumiati, pensiunan PNS Dinas Kesehatan
Kabupaten Belitung, sekarang wirausaha toko obat.
·
Si
kembar Bambang Sispoyo BA (pernah
bekerja di Bagian Administrasi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) telah wafat dan
Bambang Sispoyadi yang meninggal
dunia sewaktu masih bayi.
·
Ardju Fahadaina MSc, pemilik PT Ufia Tirta Mulia.
·
Drh. Prabowo Respatio Caturoso PhD, mantan Direktur Jenderal
Peternakan Kementerian Pertanian.
·
Retno Isnentu Enti Wanti, wirausaha.
·
Drs. Wahdi Salasi April Judi, PNS Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, pernah menjadi Atase Pendidikan di Kedutaan Besar RI di Bangkok,
Thailand. Sekarang mengajar di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta dan Sampoerna
Strategic University.
·
Prof. Drh. Siti Isrina Octovia
Salasia, Guru Besar
Universitas Gajah Mada.
·
Saptoto Asto Kusumo, pengusaha.
·
Dra. Eko Haji Salasini Arbaiyah, wirausahawati busana muslimah.
·
Isnar Bango Khumaidi, wirausaha, pernah sekolah di Jenewa,
Swiss.
·
Dr. Panca Budi Janu Akhiriyah, pengajar di pondok pesantren.
Peletakan Pondasi
Spiritual yang Kuat di Masa Kecil
Bahwa
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya ibu-bapaknya lah yang
menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi. Begitulah salah satu hadits
Rasulullah memberikan nasehat. Tentu hadits ini bisa ditafsirkan lebih luas
lagi, tidak sekadar anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Tapi lebih luas
lagi, ibu-bapak bisa saja menjadikan anak pentolan kriminal, bos ‘penguasa’
pasar, sampai sosok berlabel negatif lainnya.
Di tengah
kehidupan Kampung Serangan yang kurang
kondusif secara religi dan peletakan dasar-dasar akidah, Surahmat (bapaknya
Ardju Fahadaina) pantas merasa was-was. Was-was kalau-kalau anak lelakinya ini terdidik
oleh lingkungan yang kurang baik dan akhirnya menjadi anak yang mencemari nama
baik orang tua. Surahmat ingin anaknya tampil sebagai anak yang mengharumkan
nama dan membanggakan orang tua. Tidak hanya sebatas itu, juga ingin Ardju
menjadi anak yang saleh yang mendoakan orangtuanya –baik di kala masih ada
maupun saat telah tiada. Surahmat memahami benar anak saleh merupakan salah
satu pintu dari terbukanya amalan yang tiada putus, selain amal jariyah dan
ilmu yang bermanfaat (HR Muslim).
Surahmattakut
kalau-kalau anaknya dekat-dekat dengan jalan-jalan yang menuju api neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu. Dia teringat pada al-Quran Surat At-Tahrim
ayat 6 yang menegaskan: “Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu...” Al-Hasan berkata, “Ajarilah
anak-anakmu, didiklah mereka, dan pahamkanlah ajaran agama kepada mereka.”
Untuk
itulah, Surahmat berusaha berpegang teguh pada nasehat Luqman kepada anaknya
sebagaimana tertulis dalam al-Quran Surat Luqman ayat 17 yang artinya: ”Wahai
anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).”
Luqman
(dalam QS Luqman [31]: 12) pun bernasehat kepada anaknya, “Bersyukurlah kepada
Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Sebab
itulah Surahmat sangat hati-hati dalam memberikan pondasi religi, mulai dari
kedisiplinan menjalankan shalat wajib lima waktu sampai mentadaburi al-Quran
dan al-Hadits sebagai pedoman hidup setiap Muslim. Salah satu kiat buat menguatkan
pondasi religi adalah menyekolahkan Ardju dan saudara-saudara kandungnya ke
sekolah Muhamadiyah yang dikenal baik di mata masyarakat Yogya. Selain itu, saban
usai shalat maghrib dia mendatangkan guru ngaji ke rumah dan, setiap kali ada
kesempatan, mengajak anak-anak ke majlis taklim.
Ardju masih
ingat benar bahwa bapaknya demikian kuat dan keras dalam meletakkan pondasi
ibadah dan akidah pada seluruh anak-anaknya. Semua anaknya harus masuk bersekolah
di sekolah Muhamadiyah. Ardju pun menaati betul apa yang menjadi tekad
bapaknya. Meski diakuinya, tekad itu sempat kebobolan ketika dua adiknya yang
laki-laki ‘disukai’ oleh tetangga yang hobi main judi. Dengan asupan makanan yang
jauh dari halal, perilaku si adik pun sedikit liar. Bahkan sempat berurusan
dengan polisi. Sampai suatu ketika Suti Akbari Jumuwariyah (ibunya Ardju) merasa
tidak mampu lagi menghadapinya. Sebagai kakak, Ardju lalu membawa si adik ini ke
Jakarta lalu memasukkan ke Balai Latihan Kerja (BLK). Dan, si adik pun sempat
kembali baik, bahkan sampai berhasil menjadi pelaut yang mampu melanglang dunia
bahari.
Ihwal
betapa kuatnya penanaman pondasi religi dan akidah, Ardju Fahadaina bertutur:
“Alhamdulillah,
keluarga saya kebetulan sangat kuat dipengaruhi oleh pendidikan Muhamadiyah. Bapak
saya bekerja di PKU Muhamadiyah. Berkat pola pendidikan Muhamadiyah, sejak
kecil saya sudah dibiasakan mengaji dengan memanggil guru ke rumah atau bapak
mengajak pergi ke tempat pengajian.
Bahkan,
saat memanggil guru ngaji ke rumah, kami juga mengajak anak-anak sekitar rumah
di Kampung Serangan dan Kampung (sebelah) Notoprajan untuk ikut ngaji. Di sini
saya dan teman-teman belajar membaca al-Quran dan tarikh. Selain juga kadang
saya menyampaikan apa yang saya peroleh di sekolah Muhamadiyah ke anak-anak
kampung. Bersyukur, sejak kecil sudah sudah tertanam nilai-nilai Muhamadiyah
dan Islam dalam diri saya. Bapak saya tegas, anak-anaknya harus sekolah di
Muhamadiyah, mulai TK, SD sampai SMP. Bahkan beberapa adik saya juga masuk SMA
Muhamadiyah. Itu kan proteksi juga.”
Ardju dapat
dikatakan memperoleh pendidikan religi lebih dari cukup dibandingkan kakak dan
adik-adiknya. Di masa remaja saat SMA, Surahmat yang pernah mengecap sekolah
Heiho di zaman Jepang memberikan treatment
pada Ardju yang berbeda dibandingkan anak-anaknya yang lain. Ardju biasa
dibangunkan Surahmat sekitar jam 03.00 dinihari langsung olahraga lagi keliling
benteng Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Kalau tidak lari-lari kecil, Surahmat
membangunkannya saat menjelang waktu shalat subuh. Misalkan waktu subuh pukul 05.00
maka Ardju dibangunkan pukul 04.30 dan diajak ke masjid untuk shalat subuh
berjamaah dan mendengarkan taklim subuhan.
Surahmat
tidak ingin Ardju memandang waktu subuh ‘penuh benci’ seperti dalam lirik nasyid berjudul Peristiwa Subuh berikut:
Tabuh berbunyi gemparkan alam sunyi
Berkumandang suara adzan
Mendayu memecah sepi
Selang-seling sahutan ayam
Tetapi
insan kalaupun ada hanya
Mata
yang melek dipejam lagi
Hatinya
penuh benci
Berdengkurlah kembali
Surahmat
meyakini benar bahwa waktu subuh sangat istimewa. Sampai-sampai Allah SWT
menyebutkan keutamaan shalat Subuh secara khusus. Sebagaimana firman Allah:
“Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan
(dirikanlah pula) shalat Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu disaksikan (oleh para
malaikat).” (QS Al Israa’ [17]: 78)
Ayat tadi
tidak merinci shalat-shalat apa sajakah dari waktu matahari tergelincir sampai
waktu gelapnya malam. Namun, ketika giliran shalat Subuh disebut, Allah
menempatkannya secaraterpisah. Hal ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan
shalat Subuh dibandingkan dengan shalat-shalat fardhu yang lain. Pun demikian
mengapa shalat Subuh dalam al-Quran dinamai Quran
Fajar. Menurut tafsir Asy-Sya’rawi, hal itu dikarenakan waktu Subuh itu
merupakan saatnya alam semesta hening dan jiwa dalam keadaan bugar. Sehingga,
al-Quran akan dapat dicerna secara segar dan diterima dengan segenap kesadaran,
sebelum urusan dunia menyibukkannya.
Perhatian khusus
terhadap shalat Subuh diberikan pula oleh sunnah
Nabi Muhammad saw. Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah saw
mendoakan keberkahan dan kemurahan rezeqi bagi umatnya yang bergegas menuju
masjid untuk shalat berjamaah saat fajar menjemput. “Yaa Allah, berkahilah
umatku pada waktu awal pagi mereka,” pinta Rasulullah. Berdasarkan hadits itu
juga, Ibnu Qayyim menjelaskan, tidurnya seseorang di waktu Subuh itu akan menyebabkan
terputusnya rezeqi, karena Subuh merupakan saat
dibagi-bagikannya rezeqi oleh Allah Maha Pemberi Rezeqi.
“Seingat
saya, kok cuma saya yang diajak bapak. Tidak tahu entah kenapa. Begitulah kenyataannya. Mungkin dari situ
seolah-olah saya ini yang sangat diharapkan oleh bapak. Yang jelas dari situ,
kelihatan bahwa orang banyak ikut ngaji akhirnya yang berbicara duluan adalah hatinya
bukan akal atau otaknya. Makanya saya jadi seperti orang yang lemah lantaran
selalu banyak menimbang-nimbang dan hati-hati,” kenang Ardju.
Seiring
dengan peletakan pondasi religi yang kuat oleh Surahmat, Suti Akbari
Jumuwariyah melapisi dengan memberikan makanan yang halal dan bergizi kepada
anak-anaknya. Suti Akbari Jumuwariyah lebih memikirkan kesejahteraan --dalam
hal memperbaiki gizi dan asupan makanan yang halal. ”Beliau habis waktu buat
memperbaiki gizi anak-anaknya dan membantu suami mendapatkan penghasilan
tambahan. Namanya pegawai RS PKU Muhamadiyah kan tidak seberapa besar gajinya.
Ibu lebih banyak ke situ. Pendidikan anak-anak diserahkan ke bapak, dan beliau
lebih banyak berdoa saja. Saya rasakan
doa ibu memang makbul,” papar Ardju.
Suti Akbari
Jumuwariyah berusaha keras memberi kecukupan gizi di tengah keterbatasan
keuangan keluarga. Ilustrasinya, hampir tiap hari makan hanya berlauk garam.
Hal yang sedikit kontras dengan keluarga adiknya Suti Akbari Jumuwariyah yang hidup
berkecukupan, suaminya orang kantoran, dapat mobil dinas di zaman tahun 1955, dan
makan cukup. Namun Suti Akbari tidak kehabisan akal. Ia terdorong tekad bagaimana
kiat memberikan kecukupan gizi pada anak-anaknya. Ia tidak segan-segan meminta ekor
dan kepala udang yang biasa dibuang oleh adiknya. Ekor dan kepala udang lalu diulek
untuk dijadikan lauk. Selain rasanya enak, gizinya pun tetap tinggi. Dan 11
bersaudara itu sehat-sehat saja.
Bersyukur.
Perjalanan penanaman pondasi religi keluarga Ardju bagai gayung bersambut
dengan perubahan sosial Kampung Serangan. Ketika Ardju berada di kelas 6 SD atau
kelas 1 SMP, Muhamadiyah Cabang Yogyakarta mendirikan Panti Asuhan (Yatim-piatu)
Aisiyah di Kampung Serangan lengkap dengan sarana masjid untuk shalat berjamaah.
Pintu dakwah untuk membawa Kampung Serangan keluar dari kegelapan ke
terang-benderang terbuka lebar. Ardju dan keluarganya memohon izin agar
diperbolehkan aktif memakmurkan masjid panti asuhan. Tanpa aral melintang,
pengurus panti asuhan mempersilakan Ardju yang saat itu menginjak masa remaja
aktif di masjid yang ada di dalam lingkungan panti.
“Saya
sekeluarga meminta izin memanfaatkan masjid untuk aktif berdakwah, terutama
melalui wadah remaja masjid. Di tahun 1960-an sebelum meletus tragedi G-30-S/PKI
itu saya dan bapak saya aktif memakmurkan masji panti asuhan. Kami membentuk semacam
ikatan remaja masjid. Kami juga bikin majlis pengajian yang diberi nama
Nurhidayah. Sampai sekarang majlis pengajian itu masih ada. Kemudian ketika mulai
SMP, saya mendedikasikan diri mengajar anak-anak yang lebih kecil. Apa yang
saya dapatkan di SMP Muhamadiyah langsung saya ajarkan kepada anak-anak di Kampung
Serangan. Namun sekitar tahun 1976-1977, kami tidak boleh lagi memakai masjid
karena di situ kan panti asuhan yatim-piatu putri. Ada kekhawatiran nanti ada
efek yang tidak diharapkan seperti pacaran,” terang Ardju Fahadaina.
Kehidupan
dakwah Islami yang mulai menerangi Kampung Serangan sedikit terendat. Surahmat
yang kadung menggantung tekad membawa Kampung Serangan yang terang-benderang
tidak patah arang. Bersama Majlis Pengajian Nurhidayah, Surahmat berusaha
mencari lahan untuk membangun masjid. Akhirnya didapatkan sebidang tanah dari
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang masih berada di wilayah Kampung Serangan.
Tentu, lahan tanah saja belum cukup, perlu dana buat membeli material membangun
fisik masjid.
Setelah
melakukan berbagai usaha, Ardju dan keluarga memperoleh dana dari seorang
donatur yang baik hati. Tanah tersedia, dana dihitung-hitung cukup. Namun
masjid yang didam-idamkan belum juga bisa dibangun. Rupanya, masih ada kendala
bahwa lahan tanah itu masih berpenghuni. Arti kata, lahan yang dihuni sejumlah
karyawan PJKA itu harus dikosongkan. Mereka harus dipindahkan, tentu, dengan
sejumlah dana pindah.
Di tengah aktivitasnya
sebagai remaja masjid dan memikirkan upaya membangun masjid impian Kampung
Serangan, Ardju Fahadaina tidak melupakan sekolah. Setelah lulus dari SMP
Muhamadiyah dengan predikat juara umum, dia melanjutkan ke SMA Negeri 1
Yogyakarta. Selama mengarungi bangku SMA, dia termasuk siswa yang cukup
berprestasi dan lulus dengan nilai memuaskan.
Surahmat
ingin Ardju menjadi dokter. Maklum, sehari-hari Surahmat bergaul dengan
dokter-dokter di PKU Muhamadiyah. Sebab itu, Surahmat menyarankan Ardju
melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM). Ardju pun
mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dia
diterima di Fakultas Teknologi Pertanian. Tapi, Ardju berpikir bahwa biaya
untuk kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian tidaklah murah. Di awal tahun
1970-an itu, Ardju dan bapanya tergelitik iklah Akademi Teknologi Kulit menawarkan
sejumlah keringanan biaya kuliah –memberikan beasiswa dan cepat lulus (maklum
sampai strata Diploma 3 saja). Akhirnya, Ardju mendaftarkan diri dan diterima
di Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta dan memilih jurusan Penyamakan Kulit. Tahun
1974, dia lulus dan langsung diterima bekerja di pabrik sepatu Bata, Jakarta.
Selama
bekerja di pabrik sepatu Bata, masih
terngiang di benak Ardju bagaimana upaya memindahkan karyawan PJKA yang
bermukim di atas lahan yang mesti segera dibangun masjid. Waktu terus melaju,
sekitar tahun 1977, Ardju memperoleh Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan
sepatu yang (dulu) berlokasi di samping Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Selatan. Ardju lalu terpikir memberikan THR yang diperolehnya buat ‘pesangon’
pengosongan lahan PJKA yang akan di atasnya segera didirikan masjid. “Tahun
1977 saya dapat THR sebesar Rp100 ribu, langsung saya berikan warga yang harus
pindah dari lahan yang di atasnya hendak dibangun masjid,” ungkap Ardju.
Berkat
kerja keras jamaah yang sudah terbentuk waktu memakmurkan masjid Panti Asuhan
Yatim-piatu Aisiyah, dalam waktu tidak terlampau lama berdirilah masjid yang
dinamai Nurhidayah. Ardju bertutur, “Masjid itu kemudian menjadi central activity pengembangan Islam di kampung
saya. Sampai sekarang jamaah masih aktif memakmurkan masjid itu, pengajiannya
juga aktif. Semenjak ada masjid itu, suasana Islami di Kampung Serangan mulai terlihat.
Ritual sesajen di sumur pada waktu-waktu tertentu semakin berkurang dan hilang.”
Ritual-ritual
berbau musyrik semakin berkurang seiring dengan orang-orang tua yang berpulang
ke Rahmatullah. Orang-orang muda yang sekarang berada rentang umur 30-40 itu telah
meninggalkan ritual-ritual tersebut berkat perbaikan akidah yang didakwahkan
lewat Masjid Nurhidayah. “Saya lihat masjidnya masih aktif dan makmur,
pengajian rutin, saat Ramadhan ramai pula jamaah yang beriktikaf. Kebetulan
masjid itu berdampingan dengan tempat parkir pariwisata keraton. Dulu sekitar
masjid itu ada stasiun kereta api. Tapi kereta api dari stasiun itu ke Bantul tidak
beroperasi lagi, stasiun ditutup. Sekarang lokasinya dipakai buat parkir
pariwisata keraton,” terang Ardju.
Hobi Traveling dan
Mengembara Jalan Kaki
Sebagai
remaja, Ardju pun punya keinginan untuk berekreasi ke daerah-daerah wisata dan
tempat hiburan yang menyenangkan hati. Tapi apa daya keuangan keluarga relatif
terbatas. Sulit berharap ada alokasi dari gaji Surahmat atau penghasilan Suti
Akbari Jumuwariyah dari usaha jahit rumahan. Ardju tidak patah arang begitu
saja. Sebagai remaja yang aktif di kepanduan Pramuka, dia berusaha memanfaatkan
kesempatan yang ada buat memenuhi hasratnya menikmati daerah-daerah wisata atau
hiburan sekaligus mensyukuri nikmat Allah Allah SWT.
Salah
satunya adalah dengan berjalan kaki dari satu daerah ke daerah yang lain atau
berkelana menumpang kendaraan siapa saja. Suatu ketika di bulan Ramadhan, Ardju
pernah berkeliling Jawa dengan menumpang kereta api, truk dan kendaraan lain. Sampai
pula pada suatu hari, Ardju berjalan kaki dari Pati ke Yuwana lantaran tidak
ada kendaraan yang bisa ditumpangi, sementara dia sangat ingin melihat wujud galangan
kapal. Maklum, di Yogya tidak ada galangan kapal. “Waktu itu panas sekali. Bila
sekarang saya menghadapi hal-hal yang berat, saya langsung teringat pada pengalaman
masa itu. Perjalanan ketika itu jelas berat, perlu stamina, butuh kekuatan, mesti
punya mental yang kuat. Pengalaman itu memberikan mental yang tangguh dan
motivasi kuat di masa-masa berikutnya,” jelas lelaki asli Kampung Serangan ini.
Jalan kaki
yang paling berkesan sepanjang hayat Ardju adalah tatkala melakukan long march dari Yogya ke Jakarta lewat
jalur selatan pada tahun 1972. Berangkat dari rumahnya yang asri di Kampung Serangan
NG V/24 Yogyakarta tanggal 1 Januari 1972 tepat pukul 07.00 waktu setempat. Berbekal
surat jalan dari Kwartir Cabang Pramuka Yogyakarta dan surat keterangan
bepergian dari Kemantren Pamong Praja Ngampilan. Mengenakan seragam Pramuka dan
perbekalan akomodasi seberat 7,5 kilogram. Dan uang sebesar Rp800.
“Perbekalan
yang saya bawa dari rumah adalah sebuah ransel berisi dua pasang pakaian
Pramuka, obat-obatan, baterai, sarung, jaket, alat makan, tustel, tongkat dan
beberapa barang kecil yang sewaktu-waktu diperlukan. Semua beratnya
lebih-kurang 7,5 kilogram. Memang beban itu tidak terlalu berat, tapi bila
badan sudah payah maka beban sekian rasanya menjadi berkilo-kilo,” kenang Ardju
sebagaimana ditulis Koran KOMPAS
edisi hari Sabtu, 12 Februari 1972.
Dengan
jarak tempuh sekitar 600 kilometer, berjalan seorang diri, menginap di
rumah-rumah kepala desa, kepala kwartir cabang Pramuka dan penduduk yang baik
hati. Menyinggahi tempat-tempat rekreasi, pabrik-pabrik, bangunan peninggalan
masa silam, dan kota-kota besar sepanjang jalan yang dilaluinya selama 38 hari.
Kecepatan jalan lebih-kurang 4 kilometer per jam atau sekitar 30 kilometer sehari.
Ardju
Fahadiana bercerita pengembaraannya ketika itu untuk mengisi waktu liburan
kenaikan tingkat di Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta. Berangkat dari sebuah
keinginan mengisi waktu luang, berjalan kaki seorang diri, tanpa menumpang
kendaraan.
Waktu 38
hari tidak digunakan sepenuhnya untuk berjalan kaki secaraterus-menerus. Kadang
di satu kota berhenti agak lama. Misalkan di Purwokerto singgah dua hari, di
Bandung selama sembilan hari, dan di Bogor juga dua hari.
Perjalanan
dari Yogya ke Jakarta penuh perjuangan tersebut menghabiskan dana sekitar
Rp2.000 yang sebagian besar terpakai untuk makan. Sementara dari rumah, Ardju
hanya membawa Rp800. Kok bisa ya? Ardju bertutur bahwa perjalanan mentadaburi
alam semesta ciptaan Allah SWT itu kadang diwarnai datangnya rezeqi yang tidak
disangka-sangka. Kadang ada kepala desa yang nyangoni, kali lain seorang kepala kwartir cabang Pramuka memberi
bekal tambahan.
Banyak
pengalaman menarik selama perjalanan kaki dari Yogya sampai Jakarta tersebut. Misalkan
ketika Ardju ‘potong kompas’ dari Ajibarang (Purwokerto) ke Lumbir
(Karangpucung) sejauh sekitar 30 kilometer. Perjalanan di pegunungan ini terasa
sebagai medan yang paling berat. Di balik medan yang berat itu tersembunyi
keindahan alam nan elok. Penduduk desa yang relatif hidup sederhana dengan
mengandalkan hasil ketela pohon. Mereka harus menuruni lembah dengan pikulan
agar ketela pohon bisa dijual ke pasar. Betapa berat kehidupan mereka, toh
warga desa tetap penuh senyum menjalani kehidupan.
Ardju
berusaha belajar pada betapa demikian berat kehidupan warga desa yang tinggal
antara Ajibarang dan Lumbir. Ardju ‘mencicipi’ medan jalanan yang ketika itu
mirip kubangan kerbau. Dia harus berjalan dalam lumpur setinggi dua jengkal. Celana
pun jadi belepotan lumpur kotor. Begitu melihat air terjun, Ardju langsung
membersihkan lumpur yang menempel di celana. Lalu, perjalanan berlanjut dengan
celana yang basah kuyup.
Perjalanan
naik dan turun lembah sama beratnya. Karena, saat naik Ardju harus melawan gaya
berat. Dan ketika turun ternyata kaki Ardju menjadi lemas dan beban semakin
berat.
Tekadnya
untuk berjalan kaki telah membaja dalam diri Ardju Fahadaina. Terlihat misalkan
ketika dia tengah berjalan di dekat Malangbong. Seorang pemuda mengendarai
sepeda motor menghampirinya dan berkenalan. Pemuda asal Tasikmalaya itu hendak
ke Bandung dan menawarkan Ardju untuk nebeng sampai Ibukota Propinsi Jawa Barat
itu. Dalam hati Ardju bergumam “ah enak betul kalau naik sepeda motor”. Dengan
hati penuh kekuatan, Ardju menjawab, “Terima kasih, maaf, saya mau jalan kaki
saja.”
Tiba di
Bandung, Ardju menuju ke rumah Kepala Kwartor Cabang Pramuka Kodya Bandung Ir.
A. Sudradjat. Setelah berjalan lebih dari 20 hari, kaki Ardju lecet-lecet dan dia
mohon diizinkan istirahat agak lama di Kota Bandung. Gayung bersambut, sahibul
bait memberi izin dan Ardju menginap di sini selama enam hari. Bahkan, pada
tanggal 14 Januari 1972 dia sempat mampir ke kantor redaksi Koran Pikiran Rakyat. Setelah merasa fit
betul, dia melanjutkan pengembaraannya yang berujung di Ibukota Jakarta.
Perjalanan
yang menjengkelkan namun indah nan eksotik saat berada di Malangbong dan
kawasan Puncak. Bagaimana tidak? Jalan di depan sudah tampak demikian dekat
tapi untuk mencapainya harus melingkar-lingkar dulu. Mengasyikkan bila ditempuh
dengan sepeda motor ataupun mobil.
Gua Gunung
Pawon di Citatah, Cipatat (sebelah barat Kota Bandung), cukup melelahkan untuk
dicapai. Namun keadaan alamnya hebat juga. Tempatnya sunyi, tinggi ke atas gua itu
berlobang dan di dalamnya banyak kelelawar. Saat Ardju berada di sini, 15
Januari 1972, Gua Gunung Pawon tengah dipakai buat shooting film Pendekar Bambu
Kuning.
Di daerah
Padalarang, Ardju menyempatkan diri mampir ke pabrik kapur “Subur” yang
berlokasi di Jalan Raya Cianjur, Ciburuj. Di sini Ardju melihat secara langsung
proses produksi kapur melalui pembakaran di oven raksasa.
Sewaktu
lewat di depan Istana Cipanas, Ardju tidak tahu kalau harus berjalan di
seberang jalan. Dia baru tahu setelah seorang penjaga memberi isyarat dengan
wajah serius. Omong punya omong tahulah bahwa
barangsiapa melanggar hukumannya adalah tiga kali lari dari ujung ke
ujung pagar istana tanpa peduli siapa yang bersangkutan. Lumayan juga.
Di Puncak
Pas, Ardju berkesempatan naik ke Menara Radar Telepon. Bersyukur cuaca saat itu
cerah sehingga dia dapat menikmati keindahan alam panorama Gunung Gede dan
Gunung Pangrango.
Bukan hanya
keindahan alam yang terbentang. Perjalanan itu juga memberi pengayaan pengetahuan
sejarah. Ardju sempat menapakkan kakinya di telapak kaki peninggalan Kerajaan
Tarumanegara di Ciampea, Bogor. Dan kebetulan sekali mendapat kaki kiri.
Seketika itu juru kunci yang mengantarnya mengucap, “Alhamdulillah, bapak ada
milik.” Maksudnya Ardju akan mudah rezeqi. Ah, ada-ada saja.
Ardju
sengaja memilih mengisi masa liburannya dengan berjalan kaki. Sebab,
menurutnya, dengan jalan kaki akan lebih bebas mencapai tempat-tempat yang tak
mungkin dicapai dengan kendaraan dan sekaligus mencoba apakah dia mampu
menaklukkan jarak jauh ratusan kilometer itu. Selain itu, Ardju menerima tugas
dari Kwartir Cabang Pramuka Yogyakarta untuk menyerahkan vandel kepada Kwarcab
Banyumas, Kwarcab Kota Bandung dan Kwartir Nasional di Jakarta.
Usai
menaklukkan Yogya – Jakarta dengan berjalan kaki, 7 Februari 1972, Ardju Fahadaina
pulang ke Yogyakarta menumpang Kereta Api Djaja IV yang berangkat dari Stasiun
Gambir. Bersyukur, esok harinya tiba selamat di rumahnya Kampung Serangan. Dan
anak-anak kecil berseragam Pramuka memberikan salam Praja Muda Karana. Sebuah
perjalanan panjang penuh perjuangan telah mewarnai salah satu noktah kehidupan
anak manusia bernama Ardju Fahadaina yang lahir pada 7 Januari 1952 ini.
Apresiasi dan Prestasi
Dari 11
bersaudara, perjalanan sekolah formal Ardju Fahadaina termasuk biasa-biasa
saja. Ketika bersekolah di SD Muhamadiyah, tidak jauh dari rumahnya, nilai dan
prestasi Ardju sekadar datar-datar. Bahkan, di kelas 2, Ardju sempat berhenti
kelas, lantaran waktu itu dia dianggap terlalu cepat masuk sekolah. Pada masa
itu, batas umur masuk SD adalah 7 tahun. Semendata Ardju memasuki bangku SD di
kala usia 6 tahun. “Saya masuk umur 6 tahun, zaman dulu kan mestinya 7 tahun.
Jadi di kelas dua, tidak tahu persis alasannya, apakah nilai saya jelek ataukah
tetap layak naik, saya sampai dua tahun di kelas dua,” ungkap Ardju.
Ada sedikit
perubahan di kelas 6, ketika mendekati ujian akhir sekolah. Surahmat mengajarkan
bahwa untuk mencapai kelulusan sekolah tidaklah semata-mata ditempuh dengan
belajar keras. Ada lelaku lain, yakni doa-doa lewat shalat malam
(tahajud). Ardju pun mempraktikkan apa
yang telah dicontohkan oleh Surahmat. Kebiasaan itu berlanjut pula tatkala
Ardju meneruskan sekolah ke SMP Muhamadiyah.
Tidak hanya
sebatas mengandalkan kekuatan doa melalui shalat malam, Ardju sudah pula
terpantik untuk berprestasi di bangku SMP. Saat lulus, dia mampu menyandang predikat
juara umum. Berkat prestasi tersebut, Ardju
mendaftarkan diri dan diterima di SMA Negeri 1 Yogya –sekolah favorit bagi
lulusan SMP di Kota Pelajar. Kendati tidak sampai juara umum, nilai dan
prestasi Ardju di SMA termasuk di atas rata-rata kebanyakan siswa.
“Selama di
SD, rasanya keinginan rajin itu belum ada. Pokoknya ya ikut-ikutan saja. Di
kelas 6 saat akan ujian akhir, bapak saya mengajarkan shalat tahajud. Dari situ,
masuk SMP saya menyadari perlu tekad bersaing untuk berprestasi. Jadi banyak belajar sekaligus juga berjuang.
Mulai ada upaya seiring antara belajar dan berdoa,” tutur Ardju.
Lulus dari
jurusan IPA SMA Negeri 1 Yogyakarta, Ardju ingin melanjutkan kuliah di
Universitas Gajah Mada (UGM). Sementara bapaknya (Surahmat) ingin Ardju kuliah
di Fakultas Kedokteran. Untuk tidak mengecewakan bapak, Ardju pun mendaftarkan
diri ke Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Dan, Ardju
diterima di Fakultas Teknologi Pertanian. Namun, mata batinnya bergolak: apakah
bapaknya mampu membiayai perkuliahan di tengah adik-adiknya yang juga
membutuhkan biaya sekolah.
Ardju lantas
bermusyawarah dengan Surahmat. Kemudian Surahmat menyarankan agar Ardju masuk
ke Akademi Teknologi Kulit yang dalam pariwaranya menjanjikan beasiswa bagi
mahasiswa yang berprestasi. Selain itu, masa perkuliahan relatif cepat dan
langsung punya skill untuk masuk ke bursa kerja. Ardju menerima saran bapaknya
dan melanjutkan kuliah di akademi milik Departemen Perindustrian tersebut.
Sekali lagi
berkat usahanya belajar serius diiringi doa yang khusyuk, perjalanan kuliah Ardju
di Akademi Teknologi Kulit lancar-lancar saja. Tidak ada nilai mata kuliah yang
berpredikat buruk sehingga diulang. Bahkan, berkat prestasinya, Ardju
memperoleh beasiswa beberapa semester. Tiba saatnya di ujung masa perkuliahan,
Ardju harus menulis tugas akhir sebagai syarat kelulusan dari akademi. Dia
memilih obyek penelitian ihwal manajemen pabrik sepatu Bata di Jakarta. Tanpa banyak kesulitan, sekitar tahun 1973, pihak Bata membuka tangan lebar-lebar bagi
seorang mahasiswa bernama Ardju Fahadaina. Bahkan, lantaran hasil penelitiannya
memberi setitik arti bagi perkembangan perusahaan, pihak Bata berpesan agar Ardju segera kembali ke Bata setelah diwisuda oleh Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta.
Dari Perubahan Kampung Serangan
Sampai Ketenteraman Karyawan
Di
masa-masa kanak-kanak sampai remaja Ardju Fahadaina, Kampung Serangan dapat
dikatakan sebagai sarang pencuri, penyamun dan sejenisnya. Bila ada seseorang
mencuri di sekitaran Kemantren Pamong Praja Ngampilan, maka akan aman dari amuk
massa begitu masuk ke Kampung Serangan. Ada saja keluarga atau tetua di Kampung
Serangan di masa itu berusaha ‘melindungi’ mereka yang kerap meresahkan warga
masyarakat tersebut. Sementara itu orang baik-baik akan merasa takut masuk
Kampung Serangan, takut dipalak, takut pula dicap jahat.
Itu dulu.
Puluhan tahun yang lalu. Kini sudah 99 persen berubah, warga Kampung Serangan
berubah image setelah lambat namun pasti bersedia menerima dakwah. “Dulu orang
nggak mau masuk Kampung Serangan, sekarang sebaliknya orang nggak mau keluar
dari sini karena merasa aman dan nyaman. Saya sudah matur pada alhmarhum
bapaknya Mas Ardju, saya akan lanjutkan dakwahnya. Karena di masjid sudah ada
pengurus, saya berdakwah di luar, “ tutur Panut Widyatmoko, teman sepermainan
masa kecil Ardju Fahadaina yang kini menjadi Ketua RW Kampung Serangan.
Yang tak
terlupakan di benak Panut, “Ardju dan keluarganya di sini merupakan sosok
pertama yang memperbaiki kampung kami yang selama ini disebut sebagai kampung
hitam. Mereka di sini menjadi contoh warga masyarakat, sampai kemudian kini
hampir tiap hari ada pengajian.”
Panut
bercerita bahwa sebelum ada dakwah Ardju dan keluarga, Kampung Serangan dicap
sebagai kampung hitam. Bahkan, para orang tua di kampung ini menyuruh
anak-anaknya mencuri. Dulu dekat Kampung Serangan ada stasiun kereta api yang
menjadi persianggahan kereta api bumel dari Bantul. Banyak penumpang dari
Bantul membawa gaplek turun dari kereta untuk dijual di Pasar Serangan. Melihat
peluang ini, tidak sedikit orang tua di Kampung Serangan yang menyuruh
anak-anaknya mencari gaplek bawaan penumpang kereta api.
Dengan
kondisi hitam seperti itu, tutur Panut, banyak orang tua yang tidak bisa dan
tidak mau menerima dakwah yang dijalankan oleh Ardju dan keluargnya. “Misalkan
sepulang pengajian, pasti ramai. Orang atau anak-anak kampung yang pulang
pengajian diajak berkelahi. Baru sekitar tahun 1975, warga bisa dan perlahan
mau menerima dakwah. Mulai terlihat anak-anak yang pulang pengajian tidak lagi
diajak berkelahi. Perlahan makin banyak anak yang mengikuti pengajian. Namun
bapak-bapaknya baru bisa menerima dakwah sekitar tahun 1985. Mulai tahun itu
pula mereka bersedia ikut pengajian,” papar Panut.
Melihat
mulai ada antusiasme anak-anak mengikuti pengajian, Ardju dan keluarganya
berpikir hendak membangun masjid di Kampung Serangan. Dulu, anak-anak biasanya
mengikuti pengajian di mushola yang ada di Ngampilan. Sementara di Kampung
Serangan hanya ada panti asuhan putri yang memang dilengkapi masjid. Berkat
jalinan komunikasi Ardju dan keluarganya, anak-anak bisa mengikuti pengajian di
masjid yang ada di panti asuhan. Kemudian, lanjut cerita Panut. “Dengan
berbagai pertimbangan, kemudian ada keluarga Ardju yang mewakafkan sebagian
lahan miliknya. Ditambah sumbangan warga lainnya dibangunlah masjid di Kampung
Serangan. Sampai sekarang adik-adiknya Ardju dan juga ibunya masih cukup aktif
memberi kontribusi bagi pengembangan masjid yang diberi nama Uswatun Hasanah
itu,” jelas Panut Widyatmoko.
Panut
berharap Ardju dan keluarga tetap memberikan contoh, serta melakukan pembinaan
secara terus-menerus bagi warga Kampung Serangan. Barangkali keberhasilan Ardju
dan keluarganya bisa ditularkan kepada warga masyarakat. Sekarang cukup banyak
juga yang berhasil sekolahnya. “Dulu tuh kalau nyebut orang Serangan, kesannya
langsung negartif,” aku Panut.
Dakwah
Ardju Fahadaina tidak berhenti di Kampung Serangan. Apalagi dia kini tidak
semata-mata menjadi ‘milik’ warga kampung yang berada tidak terlalu jauh dari
Keraton Yogyakarta itu. Ardju berdakwah tidak hanya sebatas kata demi kata. Dia
aktif dalam tindakan nyata. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan Kampung
Serangan yang cukup akrab dengan keberadaan panti asuhan, kini Ardju yang
tengah membangun bisnis air minum dalam kemasan syariah bermerek Ufia ini pun
menyisihkan sebagian hartanya untuk membangun panti asuhan.
Nun jauh di
Dusun Kemiri Margorejo, Tempel, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ardju
membangun pansuhan asuhan putri yang diberi nama Panti Asuhan Nur-Ufia. Panti
asuhan berkonsep anak mandiri dan bermartabat ini sekarang diasuh oleh pasangan
suami-istri Bowo dan Sani.
Tahun 2010,
cerita Bu Sani, “Panti asuhan ini baru jadi, saya belum menentukan untuk
menjadi pengasuh. Saya baru membantu
untuk mencarikan pengasuh. Setelah pikir-pikir, kira-kira dua tahun setelah
keluar dari Panti Aisiyah (Kampung Serangan), dan di sini belum ada
pengasuhnya, saya kok kepikiran untuk mengasuh panti kepunyaan Pak Ardju ini.
Waktu itu tanggal 1 Muharam, saya matur ke Pak Ardju bahwa insya Allah saya
sudah siap menjadi pengasuh di Panti Asuhan Nur-Ufia. Insya Allah mulai
Desember 2010 saya mulai menempati panti ini.”
Ketika Bu
Sani mulai mengasuh, panti ini belum memiliki anak asuh. “Melalui pengurus perdukuhan sini, Pak RT dan Pak RW, saya
mencari anak asuh dan mengutamakan anak-anak yang ada di sekitar panti ini.
Setelah tiga bulan, kok belum ada anak yang masuk di sini, saya mulai mencari
keluar. Di dekat daerah pemantau Gunung Merapi itu ada lima anak yatim lalu
saya bawa ke sini. Waktu itu ada yang kelas enam, terpaksa saya antar-jemput
karena tidak bisa pindah sekolah kalau sudah kelas enam. Setelah lulus, saya
masukkan mereka ke madrasah tsanawiyah sekitar sini. Setiap bulan bertambah,
sampai sekarang ada 19 anak di panti asuhan ini,” ujar Bu Sani.
Bu Sani
mendedikasinya dirinya 24 jam penuh di Panti Asuhan Nur-Ufia. “Dulu saya sempat
usaha di bisnis air herbal. Kemudian pikir-pikir, saya mesti fokus membantu
anak-anak di sini. Karena panti ini baru pertama kali buka, saya mesti fokus,
tidak nyambi apa-apa. Dan alhamdulillah panti ini sekarang telah berkembang.
Anak-anak banyak menorehkan prestasi, buktinya piala yang ada di lemari itu.
Ada dari lomba PMR, lomba kerawitan, dan lomba pidato. Penghargaan sebanyak itu
diraih dalam tiga tahun perjalanan panti asuhan ini,” terang Bu Sani sembari
menunjuk sebuah lemari di ruang tamu panti asuhan yang berisi banyak piala dari
berbagai lomba.
Berkat
dukungan penuh Ardju Fahadaina dan donator tidak tetap yang lain, Panti Asuhan
Nur-Ufia berusaha menghilangkan kesab bahwa anak panti itu kumuh, tidak terawat
dan kurang berprestasi. Boleh jadi lantaran itulah, dari 19 anak asuh, tidak
ada yang berasal dari sekitar panti. Ujarnya, “Pengalaman saya, kebanyakan
orang-tuanya merasa gengsi karena langsung kelihatan tetangga. Banyak yang dari
luar daerah. Padahal, setelah keliling-keliling, sebenarnya ada yang layak
dibawa ke panti asuhan ini. Banyak di sini rumahnya yang tidak layak huni. Dulu
ada namanya Ayu, pintar tapi ibunya stres. Baru setahun di sini diambil lagi
oleh neneknya karena mendengar kesan perlakuan negatif di panti. Dulu kesannya
hidup di panti mesti tidur di lantai. Namun, di sini berbeda, mereka tetap
bersekolah, makan tiga kali, dan tempat tidurnya bagus. Semua biaya hidup dan
sekolah ditanggung oleh donatur panti. Meski belum ada donatur tetap,
alhamdulillah tidak kekurangan.”
Pak Bowo,
Penanggung-jawab Panti Asuhan Nur-Ufia, menambahkan, “Kami ingin anak-anak panti ini keluar seperti anak
panah. Bisa mandiri, bermanfaat di tengah-tengah masyarakat, dan mampu menghidupi
dirinya sendiri. Kami ingin pengembangan konsep panti seperti itu dan Pak Ardju
telah menyetujuinya,” jelas Pak Bowo.
Mengapa
mesti berkonsep mandiri dan manfaat? Pak Bowo menuturkan, “Satu pengalaman di
tempat saya yang dulu, ada anak panti yang telanjur nyaman di hidup di panti.
Lalu ketika pulang ke rumahnya menderita stres karena tidak ada apa-apa. Bahkan
sampai depresi, nggak bisa gerak apa-apa. Insya Allah, mudah-mudahan keinginan
untuk membentuk anak panti yang mandiri dan bermanfaat dapat terwujud. Di sini
saat puasa misalkan, mereka kami bebaskan bikin makanan dan kudapan sendiri,
mau bikin bakso, mie ayam, dan martabak. Semua mereka sendiri yang mengerjakan.
Mereka sekalian belajar dan sekaligus kami menggali potensi mereka
masing-masing, barangkali ada yang kuat di katering, siapa tahu nanti mereka
bekerja di katering dan usaha katering sendiri. Bisa pula buat mengarahkan anak
melanjutkan sekolah ke SMK. Dari kebiasaan memasak itu, minimal bisa untuk
dijadikan bekal hidup ke depan.”
Berkat
ketelatenan pengasuhan Bu Sani dan Pak Bowo, prestasi anak-anak Panti Asuhan
Nur-Ufia relatif bagus, banyak yang mampu mencapai prestasi peringkat 10 besar
terbaik di sekolahnya. Bahkan, sampai kemudian ada orang tua yang ingin
menitipkan anaknya di panti asuhan ini. “Mereka ingin kami mendidik anaknya
agar bisa berprestasi seperti anak panti. Ya, kami tidak dapat menerima
penitipan karena lembaga bukan pondok pesantren yang memang visinya mendidik
santri. Mereka mau menitipkan dan membayar bulanan. Karena tidak memenuhi
kriteria yatim dan dhuafa, kami menolak penitipan itu,” ujar Bu Sani.
Kehadiran
Ardju Fahadaina berusaha menjadi pelita bagi dunia sekitarnya, bagi sesama.
Tersebutlah suatu waktu Lembah Ngosit yang relatif tandus. Dengan konsep
kemitraan dengan warga setempat, Ardju berhasil mengubah lembah itu menjadi
sebuah resto dan sarana hiburan anak-anak yang nyaman dan memberi pintu rezeqi
bagi warga sekitarnya.
“Dulu
sekitar sini tempatnya tandus. Dengan adanya resto ini, alhamdulillah berhasil
menjadi tempat hiburan yang nyaman. Warga sekitar mendukung usaha ini, pihak
kampung, kelurahan sampai kecamatan memberikan dukungan penuh. Makin hari makin
bagus, tertata rapi. Dan, banyak warga sini yang masuk menjadi karyawan. Dulu
tenaga kami sempa mencapai 34 orang, karena adanya erupsi Merapi pada Oktober
2010, omset menurun. Selama sekitar satu tahun semua akses ke wilayah sini
terkena, kami goyah. Alhamdulillah kami sekarang sudah mulai kembali ke arah
normal,” jelas Yusuf, pengelola Gubug Makan Agro Lembah Ngosit –usaha kuliner
terpadu atas kemitraan Ardju Fahadaina dan Yusuf.
Bangunan
resto-agro yang semula dianggarkan sekitar Rp150 juta, ternyata membengkak
sampai hampir Rp1,2 miliar. Padahal, jelas Yusuf, saat membangun resto-agro ini
kondisi finansial Ardju Fahadaina sebetulnya tidak dalam keadaan baik. “Biaya
pembangunan ini dulutidak disangka, pertama kali hanya sekitar Rp150 juta,
akhirnya hampir Rp1,2 miliar. Tuhan mempunyai rencana lain yang kita tidak
tahu,” ucapnya.
Tidak
sekadar menjadi pelita warga Lembah Ngosit, Ardju pun seakan menjadi motivator
bagi Yusuf yang ngedrop mentalnya lantaran berbagai cobaan dan ujian kehidupan
yang dihadapinya. “Saya pribadi pernah nglokro (Jw: patah semangat – red), lalu
Mas Ardju memberi semangat. Yang penting kita tetap semangat, terus jalan. Yang
penting masih bisa nggaji karyawan. Kita ini tidak tahu mau dibawa ke mana.
Yang jelas ada kebaikan di depan sana. Waktu bikin panti, saya malah kaget,
karena waktu itu Mas Ardju sedang susah-susahnya. Perusahaan Mas Ardju di
Jakarta dibikin bancakan orang. Kok bisa-bisanya saya mencarikan tanah, dapat
murah, luasnya sekitar 1400 meter persegi yang sekarang di atasnya telah
berdiri Panti Asuhan Nur-Ufia,” tutur Yusuf.
Dari
situlah, ujar Yusuf, “Saya terapkan apa yang disampaikan Mas Ardju, bahwa kita
harus sabar, jujur, dan pantang menyerah. Apapun yang ada kita jalankan, nanti
Tuhan pasti kasih jalan.”
Memompa
semangat. ArdjuFahadaina memompa semangat bukan sebatas pada mitra usahanya.
Kepada segenap karyawannya, dia berusaha mendorong, memberi spirit untuk maju,
dan menebar berkah. H.M. Madani alias Aji misalkan, dia merasa memahami
kehidupan setelah bekerja di PT Ufia Tirta Mulia milik Ardju Fahadaina.
“Kami warga
di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, sangat berterima kepada
Pak Ardju. Berkat kehadiran usahanya, kami bisa bekerja dan memperoleh
ketenangan,” ujar Aji yang kini menjadi supervisor produksi PT Ufia Tirta
Mulia.
Aji yang
semula dikenal agak temperamental kini demikian adem dan tenang dalam menjalin
komunikasi dengan banyak orang. Hal ini, menurutnya, tak terlepas dari upaya
Ardju Fahadaina yang mewarnai usaha dan proses produksi air minum dalam kemasan
dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran sepanjang 24 jam.
Ya,
kehadiran Ardju Fahadaina di mana saja senantiasa membawa angin perubahan ke
arah yang lebih religius, lebih tenang hati, dan keberkahan bagi sesama. ***
No comments:
Post a Comment