Sunday, August 25, 2013

Dipilih Memimpin di Tanah Kelahiran



* EMPAT


Tak seorang pun pernah diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan diberikan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden ke-30 Amerika Serikat, 1923-1929

MEMASUKI tahun 1990, Mangindar Simbolon --yang ketika itu sebagai PNS Golongan IIId-- menjajal pengalaman di daerah dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara. Di tahun itu dia diangkat menjadi Kepala Cabang Dinas Kehutanan VII Tapanuli Utara di Tarutung. Jabatan ini dia emban sampai tahun 1993.
Dari Tapanuli Utara, Mangindar tour of duty ke Toba Samosir. Tetap menyandang pangkat IIId, Mangindar menerima amanah untuk mengemban jabatan Kepala Cabang Dinas Kehutanan XII Toba Samosir di Pangururan. Masa jabatannya tahun 1993–1999. Cukup lama dia mandek di pangkat IIId.
“Saya sering rugi karena jabatan. Tahun 1990, saya pindah ke daerah, Tapanuli Utara,  sebagai kepala cabang dinas. Jabatan itu berada di eselon 4. Tahun 1993 sampai 1999, diangkat menjadi Kepala Cabang Dinas Toba Samosir, tetap di eselon 4 dengan pangkat IIId. Saya nggak ambil pusing, ya sudah. Pangkat saya mentok dari dulu IIId, sampai lebih dari 8 tahun, seharusnya 4 tahun naik. Karena nggak ada jabatan eselon tiga di Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, ya saya ikutan. Bekas komandan saya yang sudah pindah ke Jambi dan Bengkulu berusaha mempromosikan saya eselon tiga di tempatnya masing-masing namun tidak kesampaian,” tutur Mangindar.

A.   Tuntutan Otonomi Daerah dan Pemekaran Taput
    


Angin reformasi berhembus kencang di tahun 1998, antara lain, ditandai oleh menguatnya tuntutan otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Sejumlah daerah kabupaten yang memiliki wilayah yang dirasa teramat luas mengajukan aspirasi pemekaran daerah. Salah satu di antaranya datang dari Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara (Taput) yang waktu itu terdiri dari 27 Kecamatan dan 971 Desa. Pemerintah Kabupaten Taput masih merasakan betapa luas wilayah yang harus dikelola. Bahkan, masih ada wilayah desa yang harus dijangkau dalam waktu tempuh lebih dari satu hari. Hal ini berdampak pada kelambatan laju pertumbuhan pembangunan.
Untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dan mempercepat laju pertumbuhan pembangunan, bersama dengan masyarakat yang berada di bona pasogit dan putera-puteri Taput yang tinggal di perantauan, terutama yang tinggal di Medan dan Jakarta, Pemerintah Kabupaten Taput sepakat mengusulkan pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara menjadi dua kabupaten dengan pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir. Berkat perjuangan dan kesadaran bersama semua pihak, DPR merespon dengan menyetujui Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 Maret 1999 di Medan.
Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir disambut baik dan penuh suka cita oleh warga masyarakat sebagai sebuah harapan akan peningkatan kesejahteraan sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini seiring dengan bergulirnya reformasi di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pemerintahan dan politik, yang kemudian melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi peluang keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerahnya dalam bentuk pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru.
Otonomi daerah dan kelahiran kabupaten baru (Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir) menjadi berkah tersendiri bagi seorang Mangindar Simbolon yang sempat mengalami kemandekan karir dan stagnasi kenaikan pangkat.
Melalui otonomi daerah, setiap pemerintah daerah, tak terkecuali pemerintah daerah baru, diberikan wewenang untuk membentuk dinas-dinas dalam rangka mempermudah pelayanan kepada warga masyarakat. Sebagai kabupaten baru, Pemerintah Kabupaten Dati II Toba Samosir juga tidak ketinggalan membentuk sejumlah dinas, salah satunya Dinas Kehutanan. Jadi di wilayah kabupaten sudah ada Dinas Kehutanam yang otonom, bukan lagi cabang dinas yang berada di bawah Dinas Kehutanan Propinsi. Yang cukup menarik, kepala Dinas Kehutanan kabupaten masuk ke jabatan eselon 3, bukan eselon 4 seperti saat berstatus cabang dinas.
Mangindar yang waktu itu menjabat Kepala Cabang Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan XII Toba Samosir di Pangururan seolah memperoleh durian runtuh. Apalagi selama menjabat kepala cabang dinas itu dia berkoordinasi secara baik dengan Pemerintah Kabupaten Taput sebagai induk Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) dan salah seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Taput, Sahala Tampubolon, kemudian ditunjuk menjadi Bupati Tobasa. Berkat kedekatan dengan Sahala Tampubolon, dia jadi banyak berperan dan memberikan kontribusi positif bagi pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Sampai kemudian dia pun diusulkan mengisi kursi jabatan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa yang pertama dan dilantik pada 13 Desember 1999.
Mengenai terbentuknya Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa yang membawa berkah bagi perjalanan karirnya, Mangindar berkisah:
“Waktu itu kebetulan saya kenal baik pejabat Bupati Tobasa, Sahala Tampubolon. Saat di Taput saya kepala cabang dinas, koordinasi dengan bupati namun atasan propinsi. Kami bergaul baik dengan bupati dan segenap jajarannya. Waktu itu Pak Sahala menjadi Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Taput. Ketika Pak Sahala ditunjuk menjadi Bupati Tobasa, saya masih kepala cabang dinas di Taput dan jabatan itu eselon dua. Sekali waktu kami bertemu, Pak Sahala bilah: ‘Eh Simbolon, aku dengar kamu mau pindah?’ Saya pun menjawab ya, ke Jambi atau Bengkulu, kan pangkat saya sudah mentok. Pak Sahala langsung menyahut: ‘Waduh saya baru selesai dari Jakarta, Departemen Dalam Negeri, Kehutanan itu rupanya sudah otonom. Kalau hanya untuk eselon ngapain kamu mesti jauh-jauh, di sini saja kita, tapi kamu yang merancang organisasinya, langsung eselon tiga lho’. Saya kenal baik Pak Salaha dan proses kepindahan saya ke daerah lain memang terhalang. Akhirnya, saya terima usulan Pak Sahala. Saya pelajari UU-nya, lalu saya konsep struktur organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Kemudian Pak Sahala membawa konsep tersebut ke Gubernur Sumatera Utara (saat itu) Tengku Rizal Nurdin. Lalu keluarlah surat keputusan gubernur tentang pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Selanjutnya, saya masih ingat, bulan Juli 1999, Pak Sahala mengajukan nama saya sebagai calon kepala dinas ke Gubernur. Organisasi cepat terbentuk tapi waktu pengajuan kepala dinas agak lambat. Diajukan Juli, baru keluar surat keputusan gubernur pada November 1999. Lalu, saya dilantik sebagai Kepala Dinas Kehutanan Dati II Kabupaten Tobasa pada tanggal 13 Desember 1999.”

Setelah dilantik menjadi Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa, Mangindar merasa lega. Keinginannya menempati jabatan di eselon tiga kesampaian. Dan, pangkatnya IIId yang sempat mandek selama lebih dari delapan tahun bakal segera naik. Benar saja. Terhitung tanggal 1 April 2000, Mangindar naik pangkat dari IIId ke IVa. Keluar SK pangkat IVa itu bulan Juni-Juli 2000.
Perjalanan karir Mangindar pun terasa mulus. Sebenarnya, dia sudah memiliki sejumlah bekal untuk menempati jabatan eselon tiga. Tahun 1996 misalkan, dia mengikuti Sepadya (Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya). Namun pada Agustus 2000 keluar surat dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang mengatur model baru diklat dan Sepadya dihapuskan. Sebagai gantinya adalah Spama dan Spamen. Persyaratan untuk mengikut Spamen, salah satu di antaranya, pangkat minimal IVa. Mangindar tidak menyia-nyiakan kesempatan mengikuti Spamen.
Melalui Sekretariat Daerah Kabupaten Tobasa, Mangindar mendaftarkan diri untuk mengikuti Spamen di urutan pendaftar terakhir dan pangkat paling muda. Bulan November 2000, dia mengikuti ujian seleksi Spamen yang diselenggarakan oleh Lembaga administrasi Negara (LAN) di Medan, Sumatera Utara. Dia sempat kalang-kabut karena demikian banyak yang harus diurus agar seleksi berjalan lancar. Dari Tobasa muncul dua nama yang ikut, yaitu Mangindar Simbolon dan seorang dokter yang menjabat Kepala Rumah Sakit di Samosir.
“Wah, kalang-kabut, semua harus diurus. Kalau nggak, bisa nggak lulus-lulus. Saya berdua, dengan kepala rumah sakit di Samosir yang agak nyentrik orangnya, ikut tes. Dia katakan ‘Bang, ada tawaran mau diurus-urus’. Saya jawab ngapain diurus-urus. Dari dulu saya tidak pernah begitu. Apalagi ketika itu saya masih muda. Ini juga uji-coba, lulus syukur, nggak lulus juga syukur. Nggak usah diurus-urus deh. Eee .. ternyata saat pengumuman keluar, ada enam orang yang lulus, termasuk saya dan dokter tadi. Kemudian kami ketemu di Jakarta, dia katakan ‘Bang terima kasih, ternyata prinsip Abang benar, tak perlu diurus-urus’. Memang banyak orang lain sudah keluar uang,” Mangindar mengenang pengalamannya saat hendak mengikuti Spamen.
Singkat cerita, tahun 2001, Mangindar mengikuti Spamen angkatan pertama di LAN Jakarta. Dia berhasil menembus ranking utama dari banyak peserta Spamen waktu itu. Banyak koleganya di Kabupaten Tobasa keheranan mengapa Mangindar yang mendaftar belakangan dengan pangkat paling muda bisa lolos duluan. “Saya bilang itu soal nasib. Cerita sudah lain, lulus Spamen. Angkatan pertama kan semua kementerian. Jaringan kami makin bagus dan meluas,” ujar Mangindar.
Waktu berlalu, otonomi daerah semakin berkembang. Dinas-dinas yang berada  di bawah pemerintah kabupaten itu naik dari eselon tiga ke eselon dua. Kata Mangindar, “Mantap lagi. Dan, cita-cita saya sejak kecil menjadi pejabat eselon dua sudah tercapai. Kadang memang di luar perhitungan kita.”
Karena adanya kenaikan eselon, mau tidak mau harus ada reorganisasi di tubuh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Namun, reorganisasi yang secara otomatis menempatkan Mangindar menjadi pejabat eselon dua ternyata tidak mudah. Ada saja yang tidak rela atas lompatan yang diperoleh Mangindar. Jabatan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa yang telah resmi disandangnya sejak akhir 1999 tidak secara otomatis melekat pada dirinya saat terjadi reorganisasi di tahun 2001. Dalam reorganisasi itu, Mangindar ditunjuk menjadi Kepala Sub-dinas Program merangkap Plt. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir di Pangururan yang diemban sampai tahun 2002. Dengan demikian jabatannya masih berada di eselon tiga.


“Bupati Tobasa waktu itu agak ketat, karena beliau orang lama kan. Ada kesan, ‘enak aja kamu baru kemarin menjabat mau langsung ke eselon dua, eselon tiga dulu lah’. Maka dibuat pos jabatan kepala sub-dinas program kehutanan merangkap pelaksana tugas kepala dinas. ‘Simbolon cobalah dulu, kau tahu saya ini sudah pelatihan apa saja, jadi kamu eselon tiga dulu lah’. Nggak apa-apa. Sekitar satu tahun, barulah dibuat eselon dua. Pangkat naik terus. Yang tadinya ketinggalan pangkat, mandek sekitar delapan tahun di pangkat IIId, mulai terkejar,” tutur Mangindar.  
Benar memang, tahun 2002, Mangindar resmi menjabat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir di Balige. Amanah ini diembannya sampai tahun 2005.
         
B.   Mekar Lagi dan Terbentuk Kabupaten Samosir
Di tengah perjalanan sekitar empat tahun usia Kabupaten Toba Samosir, masyarakat Samosir yang bermukim di bona pasogit --bersama putera-puteri Samosir yang tinggal di perantauan-- kembali melakukan upaya pemekaran untuk membentuk Samosir menjadi kabupaten baru. Diawali dengan penyampaian aspirasi masyarakat Samosir kepada Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Toba Samosir pada tanggal 27 Mei 2002. Aspirasi masyarakat tersebut disambut baik oleh kalangan DPRD Kabupaten Toba Samosir dengan menugaskan Komisi A DPRD Kabupaten Toba Samosir untuk mengadakan jajak pendapat pada sembilan kecamatan yang berada di wilayah Samosir.
Kemudian pada tanggal 20 Juni 2002, DPRD Kabupaten Toba Samosir menggelar Rapat Paripurna Khusus dalam rangka pembahasan dan menyikapi usul Pembentukan Kabupaten Samosir. Dengan berbagai pertimbangan dan latar belakang pemikiran masyarakat, melalui musyawarah mufakat, ditetapkan Keputusan DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Pemekaran Kabupaten Toba Samosir untuk Pembentukan Kabupaten Samosir sekaligus merekomendasikan dan mengusulkannya ke Pemerintah Atasan. Yakni, melalui surat DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor 171/866/DPRD/2002 tanggal 21 Juni 2002 tentang Usul Pembentukan Kabupaten Samosir, kemudian disusul dengan surat Ketua DPRD Kabupaten Samosir Nomor 171/878/DPRD/2002 tanggal 24 Juni 2002 tentang Pemekaran Kabupaten Toba Samosir Propinsi Sumatera Utara yang ditujukan masing-masing kepada: DPR RI Cq. Komisi II DPR RI, Gubernur dan Ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara.
Dengan rekomendasi DPRD Kabupaten Toba Samosir, pada tanggal 26 Juni 2002, beberapa utusan atau delegasi masyarakat Samosir didampingi Pimpinan DPRD Kabupaten Toba Samosir menemui Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Komisi II DPR RI di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi masyarakat akan Pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan Pembentukan Kabupaten Samosir.
Selanjutnya, pada 29 Juni 2002, Tim Komisi II DPR RI di bawah Pimpinan mendiang Prof. DR. Manasse Malo (bersama Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara) mengadakan kunjungan ke Samosir. Mereka disambut penuh antusias dan kehangatan oleh Bupati Toba Samosir dan unsur DPRD Kabupaten Toba Samosir serta masyarakat.
Atas usul tersebut, Gubernur Sumatera Utara meminta DPRD Propinsi Sumatera Utara mengadakan Rapat Paripurna Pembahasan Pembentukan Kabupaten Samosir yang memberikan Persetujuan Pembentukan Kabupaten Samosir yang diteruskan kepada Pemerintah Pusat.
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perjuangan segenap komponen masyarakat Samosir, baik yang tinggal di bona pasogit maupun yang berada di perantauan seperti yang tinggal di Jakarta dan Medan, berdasarkan Hak Usul Inisiatif DPR RI ditetapkanlah UU Nomor 36 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara. Kemudian, atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 7 Januari 2004, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia  meresmikan Pembentukan Kabupaten Samosir sebagai salah satu kabupaten baru di Provinsi Sumatera Utara dengan wilayah administrasi pemerintahan sebanyak sembilan kecamatan dan seratus sebelas desa serta enam kelurahan.
Seiring dengan diresmikannya Kabupaten Samosir sebagai pemerintahan yang otonom, melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.21.27 tanggal 6 Januari 2004 diangkat dan ditetapkan Drs. Wilmar Elyascher Simanjorang, M.Si sebagai Penjabat Bupati Samosir. Wilmar Simanjorang dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 15 Januari 2004 di Medan.
Kisah perjalanan terpilihnya Wilmar Simanjorang menjadi penjabat bupati pun penuh hiruk-pikuk dan kasak-kusuk. Banyak pejabat senior di pemerintahan Kabupaten Toba Samosir berambisi untuk menempati kursi penjabat bupati. Ada Sekretaris Daerah, ada pula Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Namun tanpa disadari muncul nama Mangindar Simbolon ketika itu. Mangindar hanya senyum-senyum simpul mendengar namanya disebut-sebut bakal menerima amanah sebagai Penjabat Bupati Samosir.
Di balik senyum simpulnya, Mangindar sedikit termotivasi. Sebab ada semacam hukum tidak tertulis bahwa biasanya penjabat bupati berpeluang besar menjadi bupati definitif. Terlebih lagi, dia cukup dekat dengan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tobasa sebagai induk pemekaran Kabupaten Samosir. “Waktu penunjukan dan penetapan penjabat bupati Samosir itu sudah agak ribut, ramai. Pejabat-pejabat senior seperti sekda dan kepala Bappeda Tobasa masuk bursa. Yang berambisi banyak sekali. Tapi, tanpa sadar orang menyebut saya, itu Simbolon Kehutanan cocok begini-begini,” ujar Mangindar mengingat-ingat hiruk-pikuk usai peresmian Kabupaten Samosir.
Mangindar cukup cerdas. Dia tidak mau larut dalam kasak-kusuk pencalonan penjabat bupati Samosir. Meski masih kuat berlaku hukum tidak tertulis penjabat berpeluang menjadi bupati definitif, dia tahu telah muncul paradigma baru pemilihan bupati dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu pasal UU ini menetapkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Mangindar tak mau ikut berebut kursi penjabat bupati Samosir.
Tutur Mangindar, “Wah berebutan lah orang-orang itu. Pendek cerita, saya tidak ikut nyalon penjabat bupati walaupun sejumlah media sudah menyebut-nyebut nama saya. Ada satu bahasa, dalam satu waktu coffee morning Bupati Tobasa dan para kepala dinas, beliau ngomong begini ‘mungkin saudara-saudara sudah pada tahu ya, saya sudah usulkan bakal calon penjabat bupati Samosir, biar nggak ribut, Pak Simbolon jangan kecil hatilah, Pak Simbolon tidak ikut’. O ya Pak, saya dengar begitu, nggak apa-apa Pak, masih banyak yang lebih pantas. ‘Ya, Pak Simbolon, bagus kalau begitu’. Saya berseloroh barangkali saya ikut yang definitif. Spontan saja saya ucapkan. Nanti kita nggak tahu. Akhirnya Kepala Bapedda Kabupaten Tobasa, Pak Simanjorang, diangkat menjadi Penjabat Bupati Samosir. Hebohlah ini, Sekda yang dari mula ambisi betul ternyata tidak jadi. Uring-uringanlah dia.”

C.   Maju ke Pemilihan Bupati Samosir dengan Modal Sosial
Sejalan dengan tuntutan perkembangan era reformasi, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang perlu mendapat perubahan dan penyempurnaan. Setelah melalui pembahasan dan persetujuan DPR, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini pun merangkum aspirasi rakyat yang menginginkan kepala daerah dipilih secara langsung. Dan, UU tersebut mengamanatkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui pemilihan langsung.
Dengan berlakunya UU ini, suhu politik di Samosir menghangat. Banyak orang ingin mencalonkan diri menjadi Bupati dan Wakil Bupati Samosir. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Samosir pun dibentuk dan mulai bekerja melaksanakan tahap demi tahap pemilihan kepala daerah.
Sebenarnya Mangindar Simbolon tidak terlalu berpikir serius untuk ikut maju dalam pencalonan Bupati Samosir 2005-2010. Tapi, katanya, “Kolega saya di Tarutung dulu, atau waktu kepala cabang dinas di Pangururan, yang sudah mengenal saya, spontan bertanya apakah betul calon bupati nanti dipilih langsung oleh rakyat. Oo iya betul begitu. Kalau dipilih rakyat, majulah Bapak. Ah, apa maksudmu, saya kan bukan orang politik dan saya nggak punya modal uang untuk menjaring suara. Kalau pilihan rakyat, kami yakin Bapak menang. Bapak nggak tahu kan, banyak yang senang pada Bapak. Dan kami yang akan bekerja. Ah, jangan mimpilah. Saya bilang susah, bupati itu jabatan politik. Tapi kalau pilihan rakyat, kami yakin Pak, ini serius.”
Hati kecil Mangindar terusik juga oleh pertanyaan dan dorongan spontan koleganya. Dia lalu mempelajari suara-suara dari arus bawah ini. Rupanya dorongan semakin kuat, termasuk dari koleganya di DPRD Kabupaten Tobasa. Namun, nama yang muncul bukan hanya Mangindar Simbolon. Banyak tokoh setempat maupun yang tokoh dari pusat (termasuk penjabat bupati) yang berambisi menjadi bupati pilihan rakyat.
Di tengah menghangatnya suhu politik di Samosir, Pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa penjabat bupati tidak boleh mencalonkan diri. Mangindar tidak terlalu ambil pusing keadaan ini. Sekalipun ada koleganya sampai ngomong bahwa lawan politik berkurang. Bahkan, kawan-kawannya yang bergerak di partai pun memberikan dukungan. Mangindar tetap tidak terlalu menanggapi.
Waktu terus berjalan, 2004 bergulir ke 2005. Penjaringan calon telah dimulai. Mangindar tetap belum punya kejelasan apakah akan maju ke pencalonan Bupati Samosir. Dia pun tidak memberi pernyataan tidak akan ikut pencalonan. Dewi keberuntungan mengetuk pintu hatinya di saat-saat akhir pencalonan. Seorang kawan dari Partai Indonesia Baru (PIB) menawari perahu. Namun kursinya di DPRD belum cukup untuk mengusung pasangan calon. Rupanya, tidak hanya PIB yang datang memberikan dukungan, datang pula dari Partai Demokrasi Kasih Bangsa.
Nama semakin mengerucut ke Mangindar Simbolon. Namun persaingan terus memanas. Nama Mangindar hendak dijegal di PIB tingkat pengurus propinsi. Karena telanjur masuk, Mangindar tidak tinggal diam. Dia lantas menghubungi orang berpengaruh di kepengurusan pusat PIB. Gayung bersambut, pengurus pusat mendukung Mangindar dan pengurus propinsi langsung dipecat. “Yang lain juga mau dimainkan, ada saya kawan yang kemudian membantu. Saya terakhir mendaftar, terakhir mencalonkan diri, terakhir sosialisasi. Jadi tidak diperhitungkan orang,” kata Mangindar. Apalagi dia hanya mengandalkan koalisi PIB dengan partai-partai kecil yang kira-kira punya empat kursi di DPRD Kabupaten samosir. Partai-partai besar sudah ‘dipakai’ oleh calon-calon yang lain.
Di saat yang telah dijadwalkan, KPUD Samosir menetapkan enam pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Samosir. Mereka masing-masing pasangan Maruli Sinaga - Rotua Simarmata yang dicalonkan Partai Golkar; pasangan Robert Simbolon - Kristian Mangatur Sinaga yang dicalonkan PPD dan PKPB; pasangan Marlen Samosir - Rapidin Simbolon oleh PDIP dan PDS; pasangan Mangindar Simbolon - Ober Sagala yang dicalonkan PDK dan PPIB; pasangan Parlindungan Simbolon - Hotma Parlindungan Samosir oleh PNBK dan PP Pancasila; dan Jabintang Siboro - Jawaller Limbong yang diusung PD dan PBSD. Empat orang dari enam pasangan calon yang akan bertarung ternyata bermarga Simbolon. Marga Sinaga dan Samosir dua orang. Dan, yang lainnya Simarmata (serumpun dengan Simbolon), Sagala, Siboro, dan Limbong satu orang.
Menghadapi fakta ini Mangindar berusaha mencari pencerahan politik. “Saya berdiskusi, dengan ahli-ahli politik, termasuk dengan wartawan senior Kompas, Parakitri Simbolon. Dia bilang secara teori nggak ada harapan lah. Ok, saya ingin coba saja. Tidak terlampau ambisius dan tidak terlalu yakin bisa menang,” jelas Mangindar.
Di tengah waktu sosialisasi yang relatif sempit, Mangindar memang tidak terlalu berharap banyak. Terlebih calon-calon yang lain relatif kuat dalam permodalan. Dia berusaha ikut arus saja. Namun, dalam situasi yang sempit ada saja inovasi  yang muncul. Katanya mengenang:
“Nah, ada satu bahasa tertentu yang tidak saya rancang sebelumnya, saya bertemu dengan salah seorang warga bermarga Simbolon di kampung. Dia mengatakan, ‘Wah repot, dari sisi marga sudah pecah, mana mungkin kita menang. Saya jadi bingung siapa Simbolon yang mesti dipilih’. Tokoh kampung itu sudah tua. Betul juga kalau dia sampai bingung. Saya tidak mengajari orang tua. Saya hanya memberi masukan, memang kalau lihat marga Simbolon, Bapak bingung yang mana dipilih dan yang mana tidak, semua saudara. Tapi kepemimpinan ini tidak tergantung marga, sangat individual, kakak-beradik saja belum tentu sama. Saran saya Pak Tua, jangan lihat marganya, lihat pribadinya, orangnya. Agak diam dia. ‘Ooo ya ya, kebetulan di antara yang empat calon, baru kau yang ke sini, yang lain utusan-utusan’. Oo dia langsung menyalami saya sambil berkata, ‘Saya yakin dengan argumentasimu dan saya akan ngomong pada keluarga Simbolon: jangan lihat marganya, lihat orangnya’. Bahasa-bahasa itu kemudian berkembang ke mana-mana.”
Mangindar pun secara rutin menyambangi warga Samosir. Blusukan dari kampung ke kampung, dari desa ke desa. Di tengah kebingungan warga, dia berujar pendek kepada setiap warga yang dijumpainya, “Kalau belum ada pilihan, salah satunya ya saya ini.” Simpati warga pun datang. Dia semakin yakin pada pencalonan dirinya. Dia siap menghadapi kompetisi dengan calon-calon lain yang sudah lama memasang strategi dan menyiapkan modal yang amat kuat.
Dia terus aktif blusukan ke desa-desa di seluruh wilayah Kabupaten Samosir. Banyak komentar yang sangat bermanfaat meski tidak secara langsung ditujukan ke dirinya. Simpelnya, rakyat membutuhkan figur bupati yang sederhana dan tidak sombong. Rakyat tidak butuh bupati yang banyak tingkah dan polah. Hanya dalam tempo kurang-lebih tiga bulan dia blusukan, sekitar Maret sampai awal Juni 2005. Memang Mangindar tidak sendiri menyosialisasikan pencalonan dirinya di mata warga Samosir. Kawan-kawannya semasa dirinya masih aktif di Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara dan Cabang Dinas Kabupaten Tobasa memberikan andil yang lumayan. Mereka secara sukarela menjadi tim sukses pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala.
“Saya nggak terlalu tahu bagaimana mereka bekerja. Mereka turun langsung mengajak ngobrol, minum kopi, dan kasih rokok ke warga yang ditemui. Itu modal utama. Terkadang saya nggak tahu. Mesin partai politik tidak terlalu terasa, hanya perahu,” ungkap Mangindar.
Di tengah sesumbar besar calon-calon berperahu partai politik yang mapan, Mangindar berjalan perlahan namun pasti. Dia lebih memilih pendekatan langsung dari hati ke hati warga yang  punya hak pilih. Dia memanfaatkan benar kedekatan keluarga besar Simbolon dan keluarga besar isteri (Roma Artha Sitinjak) dengan masyarakat Samosir. Ujarnya, “Pendekatan-pendekatan yang bersifat langsung ternyata lebih mengena. Dari sisi keluarga, isteri saya kan juga berasal dari sana. Kami keluarga besar dan saya cukup rajin ikut acara adat. Ternyata itu modal besar. Dan bapak saya itu guru agama, pengurus gereja, banyak orang tidak kenal saya tapi sangat kenal bapak saya. Kadang spontan, ooo ya bapaknya saja sudah baik. Sungguh hebat modal sosial itu. Mertua saya juga demikian, sering bergaul adat.”
Mangindar lebih mengandalkan modal sosial. Dari enam pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala mengaku paling sedikit modal finansial. Sejak awal pencalonan, Mangindar berterus-terang dirinya tak memiliki cukup modal seperti calon-calon yang lain. Tidak bisa dipungkiri, selama ini, pencalonan kepala daerah hampir selalu sarat dengan modal kuat dan politik uang (money politic). Namun dia tidak menyangkal bila banyak rekanan dan kawan memberikan kontribusi dalam perjalanan dirinya maju ke Pilkada Kabupaten Samosir 2005. “Bantuan itu tidak saya minta. Banyak yang datang, luar biasa. Bukan karena saya memberikan proposal. Spontan saja mereka. Ada staf saya yang pindah ke tempat lain, kasih Rp15 juta, ada yang Rp10 juta. Mereka ikhlas, tidak mengharap imbalan, kalah atau menang nggak masalah. Saya pikir ini semacam dorongan moral,” ujarnya.
Tibalah hari H pencoblosan, 27 Juni 2005 KPUD Samosir menggelar pemilihan secara langsung di tangan rakyat. Warga Kabupaten Samosir berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Hari itu Mangindar berkeliling-keliling di kampung halaman, beberapa desa dan kecamatan lain yang tak terlalu jauh.   
Waktu pencoblosan demikian cepat. Sebelum batas waktu berakhir, semua rakyat Samosir telah usai mencoblos. Penghitungan pun dipercepat. Mangindar terus berkeliling menyaksikan proses penghitungan. Dia berkisah, “Saya menuju tempat itu hanya say hello, eh kok ada yang nyebut nama saya, ini orangnya yang kita sebut-sebut. Wah ada tanda-tanda apa ini. Itu sudah diatur Tuhan, kita tunggu saja. Sambil berjalan ke arah rumah, ada beberapa TPS yang sudah selesai perhitungan juga. Karena mengenal saya, mereka berteriak, ee menang di sini. Jam 19.00, cuma 9 kecamatan dan umumnya bisa dijangkau, tim kami sudah mengantongi data. Ternyata kami menang. Finalnya sekitar 27 persen. Peraturan lama kan batas minimal 25 persen pemilihan kepala daerah cukup satu putaran saja.”
KPUD Kabupaten Samosir memutuskan Ir. Mangindar Simbolon dan Ober Sihol Parulian Sagala, SE sebagai pemenang Bupati dan Wakil Bupati Samosir Periode 2005-2010. Namun pertarungan belum selesai. Salah satu calon bermodal kuat telah menyiapkan pesta kerbau karena merasa optimis menang. Ternyata di TPS markasnya si calon, justru pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala yang menang. Panggung pesta sudah disiapkan. Akhirnya, perlahan-lahan orang pergi meninggalkan panggung pesta. Berhembuslah isu politik uang, serangan fajar. Pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala yang muncul belakangan kok justru yang menang. Sempat sedikit kacau. Tentang sedikit kekacauan ini Mangindar bercerita:
“Karena saya bukan orang politik, saya tidak tahu bagaimana cara kerja KPUD, keamanan, dan tidak tahu bagaimana hubungan ke gubernur. Dimainkan lah oleh orang-orang tidak bertanggung-jawab. Diganggu terus. Bagi saya tidak masalah. Waktu itu saya punya kenalan di Depdagri, abang saya kenal baik Sekjen Depdagri. Dari Sekjen itu, abang saya katakan ‘tenang saja, SK-nya sudah diteken’. Memang agak lama saat itu, gubernur dipengaruhi oleh calon yang kalah. DPRD tidak mau mengusulkan, karena pimpinannya lawan saya semua. Mereka tidak mau rapat, tidak mau mengusulkan. Syukur ada surat edaran, bila dalam waktu tiga hari DPRD tidak mengusulkan, maka KPUD langsung mengusulkan ke gubernur. Ternyata KPUD langsung mengirim ke Jakarta, ke Depdagri. Abang saya langsung berkomunikasi dengan Sekjen Depdagri yang menginformasikan bahwa SK sudah diteken tapi belum bisa dikeluarkan. Abang saya menenangkan.”
Singkat cerita, SK dari Depdagri sudah dikirm ke Gubernur Sumatera Utara (saat itu) Tengku Rizal Nurdin. Namun, Gubernur minta Mangindar bertemu dirinya terlebih dulu sebelum dijadwalkan waktu pelantikan. Tanggal 5 September 2005, Mangindar diagendakan bertemu Gubernur Sumut di Medan. Tapi, entah mengapa Gubernur Sumut dipanggil ke Jakarta. Tragisnya, saat menumpang pesawat Mandala hendak terbang ke Jakarta, pesawat jatuh tak berapa lama setelah tinggal landas.
Tak berapa lama setelah tragedi itu, Mangindar menerima Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.22-740 tanggal 12 Agustus 2005 yang menetapkan pasangan Ir. Mangindar Simbolon dan Ober Sihol Parulian Sagala, SE sebagai Bupati dan Wakil Bupati Samosir Periode 2005-2010. Kemudian pada tanggal 13 September 2005, Bupati dan Wakil Bupati Samosir terpilih dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede (pengganti Tengku Rizal Nurdin) atas nama Presiden Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Samosir.

D.   Terpilih Kali Kedua Sebagai Bupati Samosir
Usai dilantik, pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala langsung menyingsingkan lengan baju. Keduanya langsung merentang visi Kabupaten Samosir 2005–2010. Yakni, menjadikan Samosir sebagai kabupaten pariwisata yang indah, damai, dan berbudaya dengan agrobisnis berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Jelas bukan hal mudah buat mewujudkan visi Kabupaten Samosir 2005-2010. Sejumlah persoalan membentang di depan mata. Mangindar harus mencari sumber daya manusia (SDM) di tengah ketersediaan SDM yang sangat terbatas  dan kurang berkualitas. Dia juga mesti mempersiapkan penyediaan infrastruktur pemerintahan seperti perkantoran dan sarana mobilitas. Pun harus membangun sistem dan kultur pemerintahan yang sesuai dengan adat-istiadat Samosir, menuntaskan penataan ruang kabupaten, dan mempersiapkan pola pembangunan proyek yang sesuai kondisi Samosir. Beban ini cukup berat mengingat keterbatasan kontraktor lokal untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan yang berkualitas. Ditambah lagi dia mesti menghadapi eforia masyarakat yang terlalu leluasa (termasuk pers) yang tidak terkontrol, dan LSM yang kurang memahami fungsinya secara baik. Pada intinya Mangindar harus mempersiapkan fondasi dasar pembangunan Samosir. Rentang waktu lima tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan dan mewujudkan harapan.
Bersama segenap jajaran Pemerintah Kabupaten Samosir, Mangindar berusaha maksimal mewujudkan visi yang kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2006-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2006-2010. Dari RPJP dan RPJM tersebut, Mangindar membuat sejumlah langkah nyata untuk mendorong Samosir mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah sekitar Danau Toba.
Dari sisi SDM misalkan, Mangindar sampai harus melakukan pergantian beberapa staf pada jabatan strategis, seperti Kepala Bappeda dan Kepala Dispenka. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka mencari formulasi ataupun SDM yang pas untuk mendukung kebijakan Bupati. Selain itu dia juga ‘terpaksa’ memperpanjang masa pensiun beberapa jabatan struktural Eselon II, antara lain Kadis Perhubungan, Kadis Tarukim dan Sekdakab. Perpanjangan ini sebagai langkah darurat di tengah kesulitan mencari SDM yang ideal di jabatan-jabatan yang ada.
Di tengah keterbatasan SDM itu, Mangindar harus pula memberikan keleluasaan yang lebih kepada pejabat-pejabat yang ada. Sehingga, muncul kesan pejabat-pejabat yang ada kurang menunjukkan karakter kesederhanaan sebagaimana dicontohkan oleh sosok Mangindar. Pejabat-pejabat yang ada kurang dekat dengan warga masyarakat. Hal ini sangat mempengaruhi struktur perekonomian masyarakat, misalnya kesenjangan penghasilan antara Pegawai dan Petani. Hal ini dapat dilihat sebagai sikap pejabat yang tidak mampu menangkap sikap dan kebijakan Bupati yang sebenarnya perlu dijabarkan pada tataran teknis yang lebih luas, sederhana, pro rakyat dan pro masyarakat.
Pada awal kepemimpinannya, Mangindar masih menemukan sejumlah keterbatasan kontraktor lokal untuk mengerjakan proyek pembangunan. Akibatnya, hasil-hasil kualitas pembangunan fisik kadang masih jauh dari harapan. Hal ini tak terlepas dari keterbatasan kemampuan kontraktor untuk mengerjakan proyek yang ada dan pengalaman  pemborong yang relatif minim. Dengan berkoordinasi dengan Dinas PU, Mangindar berusaha melakukan pembinaan dan mengawasi secara ketat pekerjaan para kontraktor tersebut. Bahkan, jajarannya berupaya memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para kontraktor mampu bekerja secara baik dan tepat waktu.  
Dengan beban yang relatif berat, Mangindar mengakui bahwa lima tahun kepemimpinnya berjalan kurang fokus sebagaimana arah visi Kabupaten Samosir 2005-2010. Dia berusaha untuk terus menata pembangunan Samosir yang fokus pada pengembangan wisata pantai, wisata budaya, wisata alam dan wisata rohani.
Terlepas dari beban berat dan kekurangan yang ada, kepemimpinan Mangindar Simbolon berhasil meletakkan pondasi pembangunan wilayah Kabupaten Samosir. Selain itu, Samosir mengalami sejumlah peningkatan antara lain ekonomi bertumbuh, indek pembangunan manusia meningkat, tingkat kemiskinan menurun, tingkat pengangguran terbuka berkurang, jumlah desa tertinggal berkurang dan pengelolaan bidang keuangan cukup bisa dipertanggung-jawabkan.
Dengan hasil semacam itu, Mangindar berharap di tahun-tahun setelah 2010 petani semakin mudah memperoleh pupuk, biaya transportasi sayur-mayur bisa ditekan, dan tingkat kesenjangan berkurang. Pendek kata, masyarakat Samosir dapat merasakan hasil-hasil pembangunan.
Mengaca pada hasil-hasil pembangunan yang belum tuntas, memasuki akhir periode kepemimpinannya (2010), Mangindar kembali mencalonkan diri. Kali ini dia tidak berpasangan dengan Ober Sagala. Dia memilih berpasangan dengan Mangadap Sinaga. Sedangkan Ober Sagala ikut maju dalam pemilihan Kepala Daerah Samosir periode 2010-2015 dengan menggandeng Tigor Simbolon.
Pilkada Kabupaten Samosir 2010-2015 lebih meriah dibandingkan periode 2005-2010. Terdapat tujuh pasangan calon bupati dan calon bupati yang berlaga di perhelatan ini. Selain calon incumbent Mangindar Simbolon yang menggandeng Mangadap Sinaga (seorang prefesional di bidang perkebunan), tercatat pula pasangan Ober Sagala - Tigor Simbolon, pasangan Baktiar Sitanggang - Jeremias Sinaga, pasangan Rimso Maruli Sinaga - Anser Naibaho, pasangan Martua Sitanggang - Mangiring Tamba, dan pasangan Guntur Limbong - Magdalena Sitinjak.
Sebagai incumbent, Mangindar tidak menghalangi siapa saja yang hendak mencalonkan diri. Dia berprinsip bahwa semakin banyak teman maka semakin kuat. “Saya tidak menghalangi siapapun, ada satu pasangan independen waktu itu. KPU sampai bertanya, ‘bagaimana ini Pak Bupati?’. Kalau memang lolos, ya loloskan. Mereka katakan ‘kalau Pak Bupati kerjain, ya kami kerjain’. Saya tidak mau begitu. Saya tidak pernah intervensi KPU. Kalian laksanakan tugas dengan baik dan benar. Sikap saya ini sampai dianalisis orang, itulah arifnya bupati, semakin banyak lawannya semakin lemah orang itu. Saya tidak ada pemikiran seperti itu. Pikiran saya ya kasih kesempatanlah orang mau berdemokrasi. Kalau dia kalah, ya konsekuensi dia,” tutur Mangindar yang pada pencalonan periode 2010-2015 itu diusung oleh Partai Hanura (3 kursi), PDIP (2 kursi) dan PKPI (1 kursi).
KPUD Kabupaten Samosir lalu menggelar pemilihan langsung pada 10 Juni 2010. Sekitar 88.000 warga Samosir yang memiliki hak pilih berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan suaranya pada Pilkada yang menelan biaya sekitar Rp11 miliar tersebut. Pada Pilkada yang dibayangi isu pemilih siluman dan protes ke Mahkamah Konstitusi, pasangan Mangindar Simbolon – Mangadap Sinaga berhasil meraup sekitar 37,6 persen suara. Sebuah hasil yang cukup mengantarkan Mangindar kembali memimpin Kabupaten Samosir. Kali ini untuk periode 2010-2015. Mangindar telah memperoleh kehormatan atas apa yang sudah diberikannya kepada masyarakat Kabupaten Samosir.    
Kemudian pada 15 September 2010 melalui Sidang Istimewa DPRD Kabupaten Samosir, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) H. Syamsul Arifin SE --atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri)-- melantik Bupati dan Wakil Bupati Samosir periode 2010–2015, Mangindar Simbolon dan Mangadap Sinaga.
Dalam sambutannya, Gubsu menyatakan pemimpin mempunyai tanggung jawab yang sangat berat. Untuk itu, dia meminta Bupati dan Wakil Bupati Samosir yang baru dilantik dapat melanjutkan pembangunan di Kabupaten Samosir. ”Satu game sudah selesai di Samosir. Kalah atau menang itu biasa. Bagi Bupati Samosir yang baru dilantik hari ini, harus bertanggung-jawab penuh melanjutkan pembangunan Samosir yang sudah dimulai. Saya sudah tekadkan, Samosir menjadi sentra pembangunan di kawasan Danau Toba. Untuk itu, Bupati dan Wakil Bupati Samosir harus turut serta mewujudkannya,” tandas Gubsu.
Walau dalam nada canda, Gubsu banyak memberikan pengarahan kepada Mangindar dan Mangadap dalam membangun Samosir lima tahun ke depan. Bahkan, dia berharap Samosir mampu berkembang melebihi daerah-daerah lain. ”Kita harus melihat, banyak daerah, bahkan negara lain yang perkembangannya sangat pesat dari dunia pariwisata. Indonesia punya Bali, di Asia ada Thailand dan Malaysia yang sumber PAD terbesarnya berasal dari sektor pariwisata. Jadi, Samosir ini bisa melebihi Singapura sepanjang dikelola dengan baik. Mulai sekarang, kita harus biasakan slogan yang menarik agar orang tertarik datang ke Samosir dan Danau Toba,” ujarnya.
Pada kesempatan itu Bupati Samosir Mangindar Simbolon menyatakan akan terus melanjutkan programnya menjadikan Kabupaten Samosir sebagai kabupaten pariwisata. ”Visi-misi Kabupaten Samosir 2005–2010, yakni menjadikan Samosir kabupaten pariwisata yang indah, damai, dan berbudaya dengan agrobisnis berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang lebih sejahtera, terus dilanjutkan,” tuturnya.
Agar pencapaian dan langkah mewujudkan visi itu lebih maksimal, Ketua DPRD Kabupaten Samosir Tongam Sitinjak mengingatkan agar Bupati Mangindar memprioritaskan pembangunan infrastruktur seperti ring road Samosir.
Mangindar menegaskan pembangunan ring road Samosir sudah selesai dan kini dia melanjutkan pembangunan ruas jalan menuju semua daerah tujuan pariwisata. Sebuah langkah yang benar-benar ingin membawa Samosir sebagai daerah tujuan wisata –budaya, alam, pantai dan rohani—yang mudah dijangkau dan nyaman akomodasinya. ***

No comments:

Post a Comment