* EMPAT
Tak
seorang pun pernah diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan
diberikan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya.
Calvin Coolidge,
Presiden ke-30 Amerika Serikat,
1923-1929
MEMASUKI tahun 1990, Mangindar Simbolon --yang
ketika itu sebagai PNS Golongan IIId-- menjajal pengalaman di daerah dalam wilayah
Propinsi Sumatera Utara. Di tahun itu dia diangkat menjadi Kepala Cabang Dinas
Kehutanan VII Tapanuli Utara di Tarutung. Jabatan ini dia emban sampai tahun 1993.
Dari Tapanuli Utara, Mangindar tour of duty ke Toba Samosir. Tetap
menyandang pangkat IIId, Mangindar menerima amanah untuk mengemban jabatan Kepala
Cabang Dinas Kehutanan XII Toba Samosir di Pangururan. Masa jabatannya tahun
1993–1999. Cukup lama dia mandek di pangkat IIId.
“Saya sering rugi karena jabatan. Tahun
1990, saya pindah ke daerah, Tapanuli Utara, sebagai kepala cabang dinas. Jabatan itu
berada di eselon 4. Tahun 1993 sampai 1999, diangkat menjadi Kepala Cabang
Dinas Toba Samosir, tetap di eselon 4 dengan pangkat IIId. Saya nggak ambil pusing, ya sudah. Pangkat
saya mentok dari dulu IIId, sampai lebih dari 8 tahun, seharusnya 4 tahun naik.
Karena nggak ada jabatan eselon tiga
di Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, ya saya ikutan. Bekas komandan saya
yang sudah pindah ke Jambi dan Bengkulu berusaha mempromosikan saya eselon tiga
di tempatnya masing-masing namun tidak kesampaian,” tutur Mangindar.
A.
Tuntutan Otonomi Daerah dan
Pemekaran Taput
Angin reformasi berhembus kencang di
tahun 1998, antara lain, ditandai oleh menguatnya tuntutan otonomi daerah dan
pemekaran wilayah. Sejumlah daerah kabupaten yang memiliki wilayah yang dirasa
teramat luas mengajukan aspirasi pemekaran daerah. Salah satu di antaranya datang
dari Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara (Taput) yang waktu itu terdiri
dari 27 Kecamatan dan 971 Desa. Pemerintah Kabupaten Taput masih merasakan betapa
luas wilayah yang harus dikelola. Bahkan, masih ada wilayah desa yang harus
dijangkau dalam waktu tempuh lebih dari satu hari. Hal ini berdampak pada kelambatan
laju pertumbuhan pembangunan.
Untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan
dan mempercepat laju pertumbuhan pembangunan, bersama dengan masyarakat yang
berada di bona pasogit dan putera-puteri Taput yang tinggal di perantauan, terutama
yang tinggal di Medan dan Jakarta, Pemerintah Kabupaten Taput sepakat
mengusulkan pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara menjadi dua
kabupaten dengan pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir. Berkat
perjuangan dan kesadaran bersama semua pihak, DPR merespon dengan menyetujui Undang-undang
(UU) Nomor 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Toba Samosir dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Daerah Tingkat II Toba
Samosir diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 9 Maret 1999 di Medan.
Pembentukan Daerah Tingkat II Toba
Samosir disambut baik dan penuh suka cita oleh warga masyarakat sebagai sebuah
harapan akan peningkatan kesejahteraan sekaligus mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat. Hal ini seiring dengan bergulirnya reformasi di berbagai bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang pemerintahan dan politik,
yang kemudian melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang memberi peluang keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri rumah tangga daerahnya dalam bentuk pemekaran daerah atau pembentukan
daerah otonom baru.
Otonomi daerah dan kelahiran
kabupaten baru (Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir) menjadi berkah
tersendiri bagi seorang Mangindar Simbolon yang sempat mengalami kemandekan
karir dan stagnasi kenaikan pangkat.
Melalui otonomi daerah, setiap
pemerintah daerah, tak terkecuali pemerintah daerah baru, diberikan wewenang
untuk membentuk dinas-dinas dalam rangka mempermudah pelayanan kepada warga
masyarakat. Sebagai kabupaten baru, Pemerintah Kabupaten Dati II Toba Samosir juga
tidak ketinggalan membentuk sejumlah dinas, salah satunya Dinas Kehutanan. Jadi
di wilayah kabupaten sudah ada Dinas Kehutanam yang otonom, bukan lagi cabang
dinas yang berada di bawah Dinas Kehutanan Propinsi. Yang cukup menarik, kepala
Dinas Kehutanan kabupaten masuk ke jabatan eselon 3, bukan eselon 4 seperti
saat berstatus cabang dinas.
Mangindar yang waktu itu menjabat
Kepala Cabang Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan XII Toba Samosir di Pangururan seolah
memperoleh durian runtuh. Apalagi selama menjabat kepala cabang dinas itu dia
berkoordinasi secara baik dengan Pemerintah Kabupaten Taput sebagai induk
Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) dan salah seorang pejabat Pemerintah Kabupaten
Taput, Sahala Tampubolon, kemudian ditunjuk menjadi Bupati Tobasa. Berkat
kedekatan dengan Sahala Tampubolon, dia jadi banyak berperan dan memberikan
kontribusi positif bagi pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Tobasa. Sampai kemudian dia pun diusulkan mengisi kursi jabatan Kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Tobasa yang pertama dan dilantik pada 13 Desember 1999.
Mengenai terbentuknya Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa yang membawa berkah bagi perjalanan
karirnya, Mangindar berkisah:
“Waktu itu kebetulan saya
kenal baik pejabat Bupati Tobasa, Sahala Tampubolon. Saat di Taput saya kepala cabang
dinas, koordinasi dengan bupati namun atasan propinsi. Kami bergaul baik dengan
bupati dan segenap jajarannya. Waktu itu Pak Sahala menjadi Sekretaris Daerah Pemerintah
Kabupaten Taput. Ketika Pak Sahala ditunjuk menjadi Bupati Tobasa, saya masih kepala
cabang dinas di Taput dan jabatan itu eselon dua. Sekali waktu kami bertemu,
Pak Sahala bilah: ‘Eh Simbolon, aku dengar kamu mau pindah?’ Saya pun menjawab
ya, ke Jambi atau Bengkulu, kan pangkat saya sudah mentok. Pak Sahala langsung
menyahut: ‘Waduh saya baru selesai dari Jakarta, Departemen Dalam Negeri,
Kehutanan itu rupanya sudah otonom. Kalau hanya untuk eselon ngapain kamu mesti jauh-jauh, di sini
saja kita, tapi kamu yang merancang organisasinya, langsung eselon tiga lho’.
Saya kenal baik Pak Salaha dan proses kepindahan saya ke daerah lain memang terhalang.
Akhirnya, saya terima usulan Pak Sahala. Saya pelajari UU-nya, lalu saya konsep
struktur organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Kemudian
Pak Sahala membawa konsep tersebut ke Gubernur Sumatera Utara (saat itu) Tengku
Rizal Nurdin. Lalu keluarlah surat keputusan gubernur tentang pembentukan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa. Selanjutnya, saya masih ingat, bulan
Juli 1999, Pak Sahala mengajukan nama saya sebagai calon kepala dinas ke
Gubernur. Organisasi cepat terbentuk tapi waktu pengajuan kepala dinas agak lambat.
Diajukan Juli, baru keluar surat keputusan gubernur pada November 1999. Lalu,
saya dilantik sebagai Kepala Dinas Kehutanan Dati II Kabupaten Tobasa pada tanggal
13 Desember 1999.”
Setelah dilantik menjadi Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tobasa, Mangindar merasa lega. Keinginannya
menempati jabatan di eselon tiga kesampaian. Dan, pangkatnya IIId yang sempat
mandek selama lebih dari delapan tahun bakal segera naik. Benar saja. Terhitung
tanggal 1 April 2000, Mangindar naik pangkat dari IIId ke IVa. Keluar SK
pangkat IVa itu bulan Juni-Juli 2000.
Perjalanan karir Mangindar pun
terasa mulus. Sebenarnya, dia sudah memiliki sejumlah bekal untuk menempati
jabatan eselon tiga. Tahun 1996 misalkan, dia mengikuti Sepadya (Sekolah
Pimpinan Administrasi Tingkat Madya). Namun pada Agustus 2000 keluar surat dari
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang mengatur model baru diklat
dan Sepadya dihapuskan. Sebagai gantinya adalah Spama dan Spamen. Persyaratan
untuk mengikut Spamen, salah satu di antaranya, pangkat minimal IVa. Mangindar
tidak menyia-nyiakan kesempatan mengikuti Spamen.
Melalui Sekretariat Daerah Kabupaten
Tobasa, Mangindar mendaftarkan diri untuk mengikuti Spamen di urutan pendaftar
terakhir dan pangkat paling muda. Bulan November 2000, dia mengikuti ujian
seleksi Spamen yang diselenggarakan oleh Lembaga administrasi Negara (LAN) di
Medan, Sumatera Utara. Dia sempat kalang-kabut karena demikian banyak yang
harus diurus agar seleksi berjalan lancar. Dari Tobasa muncul dua nama yang
ikut, yaitu Mangindar Simbolon dan seorang dokter yang menjabat Kepala Rumah
Sakit di Samosir.
“Wah, kalang-kabut, semua harus
diurus. Kalau nggak, bisa nggak lulus-lulus. Saya berdua, dengan
kepala rumah sakit di Samosir yang agak nyentrik orangnya, ikut tes. Dia
katakan ‘Bang, ada tawaran mau diurus-urus’. Saya jawab ngapain diurus-urus. Dari dulu saya tidak pernah begitu. Apalagi
ketika itu saya masih muda. Ini juga uji-coba, lulus syukur, nggak lulus juga syukur. Nggak usah diurus-urus deh. Eee .. ternyata
saat pengumuman keluar, ada enam orang yang lulus, termasuk saya dan dokter
tadi. Kemudian kami ketemu di Jakarta, dia katakan ‘Bang terima kasih, ternyata
prinsip Abang benar, tak perlu diurus-urus’. Memang banyak orang lain sudah
keluar uang,” Mangindar mengenang pengalamannya saat hendak mengikuti Spamen.
Singkat cerita, tahun 2001, Mangindar
mengikuti Spamen angkatan pertama di LAN Jakarta. Dia berhasil menembus ranking
utama dari banyak peserta Spamen waktu itu. Banyak koleganya di Kabupaten
Tobasa keheranan mengapa Mangindar yang mendaftar belakangan dengan pangkat
paling muda bisa lolos duluan. “Saya bilang itu soal nasib. Cerita sudah lain,
lulus Spamen. Angkatan pertama kan semua kementerian. Jaringan kami makin bagus
dan meluas,” ujar Mangindar.
Waktu berlalu, otonomi daerah
semakin berkembang. Dinas-dinas yang berada di bawah pemerintah kabupaten itu naik dari
eselon tiga ke eselon dua. Kata Mangindar, “Mantap lagi. Dan, cita-cita saya
sejak kecil menjadi pejabat eselon dua sudah tercapai. Kadang memang di luar
perhitungan kita.”
Karena adanya kenaikan eselon, mau
tidak mau harus ada reorganisasi di tubuh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Tobasa. Namun, reorganisasi yang secara otomatis menempatkan
Mangindar menjadi pejabat eselon dua ternyata tidak mudah. Ada saja yang tidak
rela atas lompatan yang diperoleh Mangindar. Jabatan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Tobasa yang telah resmi disandangnya sejak akhir 1999
tidak secara otomatis melekat pada dirinya saat terjadi reorganisasi di tahun
2001. Dalam reorganisasi itu, Mangindar ditunjuk menjadi Kepala Sub-dinas
Program merangkap Plt. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba
Samosir di Pangururan yang diemban sampai tahun 2002. Dengan demikian
jabatannya masih berada di eselon tiga.
“Bupati Tobasa waktu itu agak ketat,
karena beliau orang lama kan. Ada kesan, ‘enak aja kamu baru kemarin menjabat mau
langsung ke eselon dua, eselon tiga dulu lah’. Maka dibuat pos jabatan kepala sub-dinas
program kehutanan merangkap pelaksana tugas kepala dinas. ‘Simbolon cobalah
dulu, kau tahu saya ini sudah pelatihan apa saja, jadi kamu eselon tiga dulu
lah’. Nggak apa-apa. Sekitar satu
tahun, barulah dibuat eselon dua. Pangkat naik terus. Yang tadinya ketinggalan
pangkat, mandek sekitar delapan tahun di pangkat IIId, mulai terkejar,” tutur
Mangindar.
Benar memang, tahun 2002, Mangindar
resmi menjabat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Toba Samosir di
Balige. Amanah ini diembannya sampai tahun 2005.
B.
Mekar Lagi dan Terbentuk Kabupaten
Samosir
Di tengah perjalanan sekitar empat
tahun usia Kabupaten Toba Samosir, masyarakat Samosir yang bermukim di bona
pasogit --bersama putera-puteri Samosir yang tinggal di perantauan-- kembali
melakukan upaya pemekaran untuk membentuk Samosir menjadi kabupaten baru. Diawali
dengan penyampaian aspirasi masyarakat Samosir kepada Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Toba Samosir pada tanggal 27
Mei 2002. Aspirasi masyarakat tersebut disambut baik oleh kalangan DPRD
Kabupaten Toba Samosir dengan menugaskan Komisi A DPRD Kabupaten Toba Samosir untuk
mengadakan jajak pendapat pada sembilan kecamatan yang berada di wilayah
Samosir.
Kemudian pada tanggal 20 Juni 2002,
DPRD Kabupaten Toba Samosir menggelar Rapat Paripurna Khusus dalam rangka
pembahasan dan menyikapi usul Pembentukan Kabupaten Samosir. Dengan berbagai
pertimbangan dan latar belakang pemikiran masyarakat, melalui musyawarah
mufakat, ditetapkan Keputusan DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002
tentang Pembentukan Pemekaran Kabupaten Toba Samosir untuk Pembentukan
Kabupaten Samosir sekaligus merekomendasikan dan mengusulkannya ke Pemerintah
Atasan. Yakni, melalui surat DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor
171/866/DPRD/2002 tanggal 21 Juni 2002 tentang Usul Pembentukan Kabupaten
Samosir, kemudian disusul dengan surat Ketua DPRD Kabupaten Samosir Nomor
171/878/DPRD/2002 tanggal 24 Juni 2002 tentang Pemekaran Kabupaten Toba Samosir
Propinsi Sumatera Utara yang ditujukan masing-masing kepada: DPR RI Cq. Komisi
II DPR RI, Gubernur dan Ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara.
Dengan rekomendasi DPRD Kabupaten
Toba Samosir, pada tanggal 26 Juni 2002, beberapa utusan atau delegasi
masyarakat Samosir didampingi Pimpinan DPRD Kabupaten Toba Samosir menemui
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Komisi II DPR RI di Jakarta untuk
menyampaikan aspirasi masyarakat akan Pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan
Pembentukan Kabupaten Samosir.
Selanjutnya, pada 29 Juni 2002, Tim
Komisi II DPR RI di bawah Pimpinan mendiang Prof. DR. Manasse Malo (bersama
Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara) mengadakan kunjungan ke Samosir. Mereka
disambut penuh antusias dan kehangatan oleh Bupati Toba Samosir dan unsur DPRD
Kabupaten Toba Samosir serta masyarakat.
Atas usul tersebut, Gubernur
Sumatera Utara meminta DPRD Propinsi Sumatera Utara mengadakan Rapat Paripurna
Pembahasan Pembentukan Kabupaten Samosir yang memberikan Persetujuan
Pembentukan Kabupaten Samosir yang diteruskan kepada Pemerintah Pusat.
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas perjuangan segenap komponen masyarakat Samosir, baik yang tinggal di bona
pasogit maupun yang berada di perantauan seperti yang tinggal di Jakarta dan Medan,
berdasarkan Hak Usul Inisiatif DPR RI ditetapkanlah UU Nomor 36 Tahun 2003
tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten
Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara. Kemudian, atas nama Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 7 Januari 2004, Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia meresmikan Pembentukan
Kabupaten Samosir sebagai salah satu kabupaten baru di Provinsi Sumatera Utara
dengan wilayah administrasi pemerintahan sebanyak sembilan kecamatan dan
seratus sebelas desa serta enam kelurahan.
Seiring dengan diresmikannya
Kabupaten Samosir sebagai pemerintahan yang otonom, melalui Keputusan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.21.27 tanggal 6 Januari 2004 diangkat
dan ditetapkan Drs. Wilmar Elyascher Simanjorang, M.Si sebagai Penjabat Bupati
Samosir. Wilmar Simanjorang dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara pada tanggal
15 Januari 2004 di Medan.
Kisah perjalanan terpilihnya Wilmar
Simanjorang menjadi penjabat bupati pun penuh hiruk-pikuk dan kasak-kusuk. Banyak
pejabat senior di pemerintahan Kabupaten Toba Samosir berambisi untuk menempati
kursi penjabat bupati. Ada Sekretaris Daerah, ada pula Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah. Namun tanpa disadari muncul nama Mangindar Simbolon ketika
itu. Mangindar hanya senyum-senyum simpul mendengar namanya disebut-sebut bakal
menerima amanah sebagai Penjabat Bupati Samosir.
Di balik senyum simpulnya, Mangindar
sedikit termotivasi. Sebab ada semacam hukum tidak tertulis bahwa biasanya
penjabat bupati berpeluang besar menjadi bupati definitif. Terlebih lagi, dia
cukup dekat dengan pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tobasa sebagai
induk pemekaran Kabupaten Samosir. “Waktu penunjukan dan penetapan penjabat
bupati Samosir itu sudah agak ribut, ramai. Pejabat-pejabat senior seperti sekda
dan kepala Bappeda Tobasa masuk bursa. Yang berambisi banyak sekali. Tapi,
tanpa sadar orang menyebut saya, itu Simbolon Kehutanan cocok begini-begini,” ujar
Mangindar mengingat-ingat hiruk-pikuk usai peresmian Kabupaten Samosir.
Mangindar cukup cerdas. Dia tidak
mau larut dalam kasak-kusuk pencalonan penjabat bupati Samosir. Meski masih
kuat berlaku hukum tidak tertulis penjabat berpeluang menjadi bupati definitif,
dia tahu telah muncul paradigma baru pemilihan bupati dengan terbitnya UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu pasal UU ini menetapkan
bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui
pemilihan langsung oleh rakyat. Mangindar tak mau ikut berebut kursi penjabat
bupati Samosir.
Tutur Mangindar, “Wah berebutan lah orang-orang
itu. Pendek cerita, saya tidak ikut nyalon penjabat bupati walaupun sejumlah media
sudah menyebut-nyebut nama saya. Ada satu bahasa, dalam satu waktu coffee morning Bupati Tobasa dan para
kepala dinas, beliau ngomong begini ‘mungkin saudara-saudara sudah pada tahu
ya, saya sudah usulkan bakal calon penjabat bupati Samosir, biar nggak ribut, Pak Simbolon jangan kecil
hatilah, Pak Simbolon tidak ikut’. O ya Pak, saya dengar begitu, nggak apa-apa Pak, masih banyak yang
lebih pantas. ‘Ya, Pak Simbolon, bagus kalau begitu’. Saya berseloroh
barangkali saya ikut yang definitif. Spontan saja saya ucapkan. Nanti kita nggak tahu. Akhirnya Kepala Bapedda Kabupaten
Tobasa, Pak Simanjorang, diangkat menjadi Penjabat Bupati Samosir. Hebohlah
ini, Sekda yang dari mula ambisi betul ternyata tidak jadi. Uring-uringanlah
dia.”
C.
Maju ke Pemilihan Bupati Samosir
dengan Modal Sosial
Sejalan dengan tuntutan perkembangan
era reformasi, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang
perlu mendapat perubahan dan penyempurnaan. Setelah melalui pembahasan dan
persetujuan DPR, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini pun merangkum aspirasi rakyat yang menginginkan
kepala daerah dipilih secara langsung. Dan, UU tersebut mengamanatkan bahwa
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui
pemilihan langsung.
Dengan berlakunya UU ini, suhu
politik di Samosir menghangat. Banyak orang ingin mencalonkan diri menjadi
Bupati dan Wakil Bupati Samosir. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten
Samosir pun dibentuk dan mulai bekerja melaksanakan tahap demi tahap pemilihan
kepala daerah.
Sebenarnya Mangindar Simbolon tidak
terlalu berpikir serius untuk ikut maju dalam pencalonan Bupati Samosir
2005-2010. Tapi, katanya, “Kolega saya di Tarutung dulu, atau waktu kepala
cabang dinas di Pangururan, yang sudah mengenal saya, spontan bertanya apakah
betul calon bupati nanti dipilih langsung oleh rakyat. Oo iya betul begitu.
Kalau dipilih rakyat, majulah Bapak. Ah, apa maksudmu, saya kan bukan orang
politik dan saya nggak punya modal
uang untuk menjaring suara. Kalau pilihan rakyat, kami yakin Bapak menang.
Bapak nggak tahu kan, banyak yang
senang pada Bapak. Dan kami yang akan bekerja. Ah, jangan mimpilah. Saya bilang
susah, bupati itu jabatan politik. Tapi kalau pilihan rakyat, kami yakin Pak,
ini serius.”
Hati kecil Mangindar terusik juga
oleh pertanyaan dan dorongan spontan koleganya. Dia lalu mempelajari
suara-suara dari arus bawah ini. Rupanya dorongan semakin kuat, termasuk dari
koleganya di DPRD Kabupaten Tobasa. Namun, nama yang muncul bukan hanya
Mangindar Simbolon. Banyak tokoh setempat maupun yang tokoh dari pusat (termasuk
penjabat bupati) yang berambisi menjadi bupati pilihan rakyat.
Di tengah menghangatnya suhu politik
di Samosir, Pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa penjabat bupati tidak boleh
mencalonkan diri. Mangindar tidak terlalu ambil pusing keadaan ini. Sekalipun
ada koleganya sampai ngomong bahwa lawan politik berkurang. Bahkan, kawan-kawannya
yang bergerak di partai pun memberikan dukungan. Mangindar tetap tidak terlalu
menanggapi.
Waktu terus berjalan, 2004 bergulir
ke 2005. Penjaringan calon telah dimulai. Mangindar tetap belum punya kejelasan
apakah akan maju ke pencalonan Bupati Samosir. Dia pun tidak memberi pernyataan
tidak akan ikut pencalonan. Dewi keberuntungan mengetuk pintu hatinya di
saat-saat akhir pencalonan. Seorang kawan dari Partai Indonesia Baru (PIB)
menawari perahu. Namun kursinya di DPRD belum cukup untuk mengusung pasangan
calon. Rupanya, tidak hanya PIB yang datang memberikan dukungan, datang pula
dari Partai Demokrasi Kasih Bangsa.
Nama semakin mengerucut ke Mangindar
Simbolon. Namun persaingan terus memanas. Nama Mangindar hendak dijegal di PIB
tingkat pengurus propinsi. Karena telanjur masuk, Mangindar tidak tinggal diam.
Dia lantas menghubungi orang berpengaruh di kepengurusan pusat PIB. Gayung
bersambut, pengurus pusat mendukung Mangindar dan pengurus propinsi langsung
dipecat. “Yang lain juga mau dimainkan, ada saya kawan yang kemudian membantu.
Saya terakhir mendaftar, terakhir mencalonkan diri, terakhir sosialisasi. Jadi
tidak diperhitungkan orang,” kata Mangindar. Apalagi dia hanya mengandalkan koalisi
PIB dengan partai-partai kecil yang kira-kira punya empat kursi di DPRD
Kabupaten samosir. Partai-partai besar sudah ‘dipakai’ oleh calon-calon yang
lain.
Di saat yang telah dijadwalkan, KPUD
Samosir menetapkan enam pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Samosir. Mereka masing-masing
pasangan Maruli Sinaga - Rotua Simarmata yang dicalonkan Partai Golkar;
pasangan Robert Simbolon - Kristian Mangatur Sinaga yang dicalonkan PPD dan
PKPB; pasangan Marlen Samosir - Rapidin Simbolon oleh PDIP dan PDS; pasangan
Mangindar Simbolon - Ober Sagala yang dicalonkan PDK dan PPIB; pasangan
Parlindungan Simbolon - Hotma Parlindungan Samosir oleh PNBK dan PP Pancasila;
dan Jabintang Siboro - Jawaller Limbong yang diusung PD dan PBSD. Empat orang
dari enam pasangan calon yang akan bertarung ternyata bermarga Simbolon. Marga
Sinaga dan Samosir dua orang. Dan, yang lainnya Simarmata (serumpun dengan
Simbolon), Sagala, Siboro, dan Limbong satu orang.
Menghadapi fakta ini Mangindar berusaha
mencari pencerahan politik. “Saya berdiskusi, dengan ahli-ahli politik,
termasuk dengan wartawan senior Kompas,
Parakitri Simbolon. Dia bilang secara teori nggak
ada harapan lah. Ok, saya ingin coba saja. Tidak terlampau ambisius dan tidak
terlalu yakin bisa menang,” jelas Mangindar.
Di tengah waktu sosialisasi yang relatif
sempit, Mangindar memang tidak terlalu berharap banyak. Terlebih calon-calon
yang lain relatif kuat dalam permodalan. Dia berusaha ikut arus saja. Namun,
dalam situasi yang sempit ada saja inovasi yang muncul. Katanya mengenang:
“Nah, ada satu bahasa
tertentu yang tidak saya rancang sebelumnya, saya bertemu dengan salah seorang warga
bermarga Simbolon di kampung. Dia mengatakan, ‘Wah repot, dari sisi marga sudah
pecah, mana mungkin kita menang. Saya jadi bingung siapa Simbolon yang mesti
dipilih’. Tokoh kampung itu sudah tua. Betul juga kalau dia sampai bingung. Saya
tidak mengajari orang tua. Saya hanya memberi masukan, memang kalau lihat marga
Simbolon, Bapak bingung yang mana dipilih dan yang mana tidak, semua saudara.
Tapi kepemimpinan ini tidak tergantung marga, sangat individual, kakak-beradik
saja belum tentu sama. Saran saya Pak Tua, jangan lihat marganya, lihat
pribadinya, orangnya. Agak diam dia. ‘Ooo ya ya, kebetulan di antara yang empat
calon, baru kau yang ke sini, yang lain utusan-utusan’. Oo dia langsung menyalami
saya sambil berkata, ‘Saya yakin dengan argumentasimu dan saya akan ngomong
pada keluarga Simbolon: jangan lihat marganya, lihat orangnya’. Bahasa-bahasa
itu kemudian berkembang ke mana-mana.”
Mangindar pun secara rutin
menyambangi warga Samosir. Blusukan dari kampung ke kampung, dari desa ke desa.
Di tengah kebingungan warga, dia berujar pendek kepada setiap warga yang
dijumpainya, “Kalau belum ada pilihan, salah satunya ya saya ini.” Simpati
warga pun datang. Dia semakin yakin pada pencalonan dirinya. Dia siap
menghadapi kompetisi dengan calon-calon lain yang sudah lama memasang strategi
dan menyiapkan modal yang amat kuat.
Dia terus aktif blusukan ke
desa-desa di seluruh wilayah Kabupaten Samosir. Banyak komentar yang sangat
bermanfaat meski tidak secara langsung ditujukan ke dirinya. Simpelnya, rakyat
membutuhkan figur bupati yang sederhana dan tidak sombong. Rakyat tidak butuh
bupati yang banyak tingkah dan polah. Hanya dalam tempo kurang-lebih tiga bulan
dia blusukan, sekitar Maret sampai awal Juni 2005. Memang Mangindar tidak
sendiri menyosialisasikan pencalonan dirinya di mata warga Samosir. Kawan-kawannya
semasa dirinya masih aktif di Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara dan
Cabang Dinas Kabupaten Tobasa memberikan andil yang lumayan. Mereka secara
sukarela menjadi tim sukses pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala.
“Saya nggak terlalu tahu bagaimana mereka bekerja. Mereka turun langsung
mengajak ngobrol, minum kopi, dan kasih rokok ke warga yang ditemui. Itu modal
utama. Terkadang saya nggak tahu.
Mesin partai politik tidak terlalu terasa, hanya perahu,” ungkap Mangindar.
Di tengah sesumbar besar calon-calon
berperahu partai politik yang mapan, Mangindar berjalan perlahan namun pasti.
Dia lebih memilih pendekatan langsung dari hati ke hati warga yang punya hak pilih. Dia memanfaatkan benar
kedekatan keluarga besar Simbolon dan keluarga besar isteri (Roma Artha
Sitinjak) dengan masyarakat Samosir. Ujarnya, “Pendekatan-pendekatan yang bersifat
langsung ternyata lebih mengena. Dari sisi keluarga, isteri saya kan juga
berasal dari sana. Kami keluarga besar dan saya cukup rajin ikut acara adat.
Ternyata itu modal besar. Dan bapak saya itu guru agama, pengurus gereja,
banyak orang tidak kenal saya tapi sangat kenal bapak saya. Kadang spontan, ooo
ya bapaknya saja sudah baik. Sungguh hebat modal sosial itu. Mertua saya juga
demikian, sering bergaul adat.”
Mangindar lebih mengandalkan modal
sosial. Dari enam pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, pasangan
Mangindar Simbolon – Ober Sagala mengaku paling sedikit modal finansial. Sejak
awal pencalonan, Mangindar berterus-terang dirinya tak memiliki cukup modal
seperti calon-calon yang lain. Tidak bisa dipungkiri, selama ini, pencalonan
kepala daerah hampir selalu sarat dengan modal kuat dan politik uang (money politic). Namun dia tidak
menyangkal bila banyak rekanan dan kawan memberikan kontribusi dalam perjalanan
dirinya maju ke Pilkada Kabupaten Samosir 2005. “Bantuan itu tidak saya minta.
Banyak yang datang, luar biasa. Bukan karena saya memberikan proposal. Spontan saja
mereka. Ada staf saya yang pindah ke tempat lain, kasih Rp15 juta, ada yang
Rp10 juta. Mereka ikhlas, tidak mengharap imbalan, kalah atau menang nggak masalah. Saya pikir ini semacam
dorongan moral,” ujarnya.
Tibalah hari H pencoblosan, 27 Juni
2005 KPUD Samosir menggelar pemilihan secara langsung di tangan rakyat. Warga
Kabupaten Samosir berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk
memberikan suaranya. Hari itu Mangindar berkeliling-keliling di kampung halaman,
beberapa desa dan kecamatan lain yang tak terlalu jauh.
Waktu pencoblosan demikian cepat.
Sebelum batas waktu berakhir, semua rakyat Samosir telah usai mencoblos.
Penghitungan pun dipercepat. Mangindar terus berkeliling menyaksikan proses
penghitungan. Dia berkisah, “Saya menuju tempat itu hanya say hello, eh kok ada yang nyebut nama saya, ini orangnya yang kita
sebut-sebut. Wah ada tanda-tanda apa ini. Itu sudah diatur Tuhan, kita tunggu
saja. Sambil berjalan ke arah rumah, ada beberapa TPS yang sudah selesai
perhitungan juga. Karena mengenal saya, mereka berteriak, ee menang di sini. Jam
19.00, cuma 9 kecamatan dan umumnya bisa dijangkau, tim kami sudah mengantongi
data. Ternyata kami menang. Finalnya sekitar 27 persen. Peraturan lama kan batas
minimal 25 persen pemilihan kepala daerah cukup satu putaran saja.”
KPUD Kabupaten Samosir memutuskan Ir.
Mangindar Simbolon dan Ober Sihol Parulian Sagala, SE sebagai pemenang Bupati
dan Wakil Bupati Samosir Periode 2005-2010. Namun pertarungan belum selesai.
Salah satu calon bermodal kuat telah menyiapkan pesta kerbau karena merasa optimis
menang. Ternyata di TPS markasnya si calon, justru pasangan Mangindar Simbolon
– Ober Sagala yang menang. Panggung pesta sudah disiapkan. Akhirnya, perlahan-lahan
orang pergi meninggalkan panggung pesta. Berhembuslah isu politik uang,
serangan fajar. Pasangan Mangindar Simbolon – Ober Sagala yang muncul
belakangan kok justru yang menang. Sempat sedikit kacau. Tentang sedikit
kekacauan ini Mangindar bercerita:
“Karena saya bukan
orang politik, saya tidak tahu bagaimana cara kerja KPUD, keamanan, dan tidak
tahu bagaimana hubungan ke gubernur. Dimainkan lah oleh orang-orang tidak
bertanggung-jawab. Diganggu terus. Bagi saya tidak masalah. Waktu itu saya
punya kenalan di Depdagri, abang saya kenal baik Sekjen Depdagri. Dari Sekjen
itu, abang saya katakan ‘tenang saja, SK-nya sudah diteken’. Memang agak lama saat
itu, gubernur dipengaruhi oleh calon yang kalah. DPRD tidak mau mengusulkan, karena
pimpinannya lawan saya semua. Mereka tidak mau rapat, tidak mau mengusulkan.
Syukur ada surat edaran, bila dalam waktu tiga hari DPRD tidak mengusulkan, maka
KPUD langsung mengusulkan ke gubernur. Ternyata KPUD langsung mengirim ke
Jakarta, ke Depdagri. Abang saya langsung berkomunikasi dengan Sekjen Depdagri yang
menginformasikan bahwa SK sudah diteken tapi belum bisa dikeluarkan. Abang saya
menenangkan.”
Singkat cerita, SK dari Depdagri sudah
dikirm ke Gubernur Sumatera Utara (saat itu) Tengku Rizal Nurdin. Namun,
Gubernur minta Mangindar bertemu dirinya terlebih dulu sebelum dijadwalkan
waktu pelantikan. Tanggal 5 September 2005, Mangindar diagendakan bertemu
Gubernur Sumut di Medan. Tapi, entah mengapa Gubernur Sumut dipanggil ke
Jakarta. Tragisnya, saat menumpang pesawat Mandala
hendak terbang ke Jakarta, pesawat jatuh tak berapa lama setelah tinggal
landas.
Tak berapa lama setelah tragedi itu,
Mangindar menerima Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.22-740
tanggal 12 Agustus 2005 yang menetapkan pasangan Ir. Mangindar Simbolon dan
Ober Sihol Parulian Sagala, SE sebagai Bupati dan Wakil Bupati Samosir Periode
2005-2010. Kemudian pada tanggal 13 September 2005, Bupati dan Wakil Bupati
Samosir terpilih dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede
(pengganti Tengku Rizal Nurdin) atas nama Presiden Republik Indonesia dalam
Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Samosir.
D.
Terpilih Kali Kedua Sebagai Bupati
Samosir
Usai dilantik, pasangan Mangindar
Simbolon – Ober Sagala langsung menyingsingkan lengan baju. Keduanya langsung
merentang visi Kabupaten Samosir 2005–2010. Yakni, menjadikan Samosir sebagai kabupaten
pariwisata yang indah, damai, dan berbudaya dengan agrobisnis berwawasan
lingkungan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Jelas bukan hal mudah buat
mewujudkan visi Kabupaten Samosir 2005-2010. Sejumlah persoalan membentang di
depan mata. Mangindar harus mencari sumber daya manusia (SDM) di tengah ketersediaan
SDM yang sangat terbatas dan kurang
berkualitas. Dia juga mesti mempersiapkan penyediaan infrastruktur pemerintahan
seperti perkantoran dan sarana mobilitas. Pun harus membangun sistem dan kultur
pemerintahan yang sesuai dengan adat-istiadat Samosir, menuntaskan penataan
ruang kabupaten, dan mempersiapkan pola pembangunan proyek yang sesuai kondisi
Samosir. Beban ini cukup berat mengingat keterbatasan kontraktor lokal untuk
mengerjakan proyek-proyek pembangunan yang berkualitas. Ditambah lagi dia mesti
menghadapi eforia masyarakat yang terlalu leluasa (termasuk pers) yang tidak
terkontrol, dan LSM yang kurang memahami fungsinya secara baik. Pada intinya Mangindar
harus mempersiapkan fondasi dasar pembangunan Samosir. Rentang waktu lima tahun
adalah waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan dan mewujudkan harapan.
Bersama segenap jajaran Pemerintah
Kabupaten Samosir, Mangindar berusaha maksimal mewujudkan visi yang kemudian
dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2006-2025 dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2006-2010. Dari RPJP dan RPJM
tersebut, Mangindar membuat sejumlah langkah nyata untuk mendorong Samosir
mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah sekitar
Danau Toba.
Dari sisi SDM misalkan, Mangindar
sampai harus melakukan pergantian beberapa staf pada jabatan strategis, seperti
Kepala Bappeda dan Kepala Dispenka. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka mencari
formulasi ataupun SDM yang pas untuk mendukung kebijakan Bupati. Selain itu dia
juga ‘terpaksa’ memperpanjang masa pensiun beberapa jabatan struktural Eselon
II, antara lain Kadis Perhubungan, Kadis Tarukim dan Sekdakab. Perpanjangan ini
sebagai langkah darurat di tengah kesulitan mencari SDM yang ideal di
jabatan-jabatan yang ada.
Di tengah keterbatasan SDM itu,
Mangindar harus pula memberikan keleluasaan yang lebih kepada pejabat-pejabat yang
ada. Sehingga, muncul kesan pejabat-pejabat yang ada kurang menunjukkan
karakter kesederhanaan sebagaimana dicontohkan oleh sosok Mangindar.
Pejabat-pejabat yang ada kurang dekat dengan warga masyarakat. Hal ini sangat
mempengaruhi struktur perekonomian masyarakat, misalnya kesenjangan penghasilan
antara Pegawai dan Petani. Hal ini dapat dilihat sebagai sikap pejabat yang
tidak mampu menangkap sikap dan kebijakan Bupati yang sebenarnya perlu
dijabarkan pada tataran teknis yang lebih luas, sederhana, pro rakyat dan pro
masyarakat.
Pada awal kepemimpinannya, Mangindar
masih menemukan sejumlah keterbatasan kontraktor lokal untuk mengerjakan proyek
pembangunan. Akibatnya, hasil-hasil kualitas pembangunan fisik kadang masih
jauh dari harapan. Hal ini tak terlepas dari keterbatasan kemampuan kontraktor
untuk mengerjakan proyek yang ada dan pengalaman pemborong yang relatif minim. Dengan
berkoordinasi dengan Dinas PU, Mangindar berusaha melakukan pembinaan dan
mengawasi secara ketat pekerjaan para kontraktor tersebut. Bahkan, jajarannya
berupaya memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para kontraktor mampu bekerja
secara baik dan tepat waktu.
Dengan beban yang relatif berat,
Mangindar mengakui bahwa lima tahun kepemimpinnya berjalan kurang fokus
sebagaimana arah visi Kabupaten Samosir 2005-2010. Dia berusaha untuk terus
menata pembangunan Samosir yang fokus pada pengembangan wisata pantai, wisata
budaya, wisata alam dan wisata rohani.
Terlepas dari beban berat dan
kekurangan yang ada, kepemimpinan Mangindar Simbolon berhasil meletakkan
pondasi pembangunan wilayah Kabupaten Samosir. Selain itu, Samosir mengalami
sejumlah peningkatan antara lain ekonomi bertumbuh, indek pembangunan manusia
meningkat, tingkat kemiskinan menurun, tingkat pengangguran terbuka berkurang,
jumlah desa tertinggal berkurang dan pengelolaan bidang keuangan cukup bisa
dipertanggung-jawabkan.
Dengan hasil semacam itu, Mangindar
berharap di tahun-tahun setelah 2010 petani semakin mudah memperoleh pupuk,
biaya transportasi sayur-mayur bisa ditekan, dan tingkat kesenjangan berkurang.
Pendek kata, masyarakat Samosir dapat merasakan hasil-hasil pembangunan.
Mengaca pada hasil-hasil pembangunan
yang belum tuntas, memasuki akhir periode kepemimpinannya (2010), Mangindar
kembali mencalonkan diri. Kali ini dia tidak berpasangan dengan Ober Sagala.
Dia memilih berpasangan dengan Mangadap Sinaga. Sedangkan Ober Sagala ikut maju
dalam pemilihan Kepala Daerah Samosir periode 2010-2015 dengan menggandeng
Tigor Simbolon.
Pilkada Kabupaten Samosir 2010-2015
lebih meriah dibandingkan periode 2005-2010. Terdapat tujuh pasangan calon
bupati dan calon bupati yang berlaga di perhelatan ini. Selain calon incumbent Mangindar Simbolon yang
menggandeng Mangadap Sinaga (seorang prefesional di bidang perkebunan),
tercatat pula pasangan Ober Sagala - Tigor Simbolon, pasangan Baktiar
Sitanggang - Jeremias Sinaga, pasangan Rimso Maruli Sinaga - Anser Naibaho,
pasangan Martua Sitanggang - Mangiring Tamba, dan pasangan Guntur Limbong - Magdalena
Sitinjak.
Sebagai incumbent, Mangindar tidak menghalangi siapa saja yang hendak
mencalonkan diri. Dia berprinsip bahwa semakin banyak teman maka semakin kuat.
“Saya tidak menghalangi siapapun, ada satu pasangan independen waktu itu. KPU
sampai bertanya, ‘bagaimana ini Pak Bupati?’. Kalau memang lolos, ya loloskan. Mereka
katakan ‘kalau Pak Bupati kerjain, ya kami kerjain’. Saya tidak mau begitu.
Saya tidak pernah intervensi KPU. Kalian laksanakan tugas dengan baik dan
benar. Sikap saya ini sampai dianalisis orang, itulah arifnya bupati, semakin
banyak lawannya semakin lemah orang itu. Saya tidak ada pemikiran seperti itu.
Pikiran saya ya kasih kesempatanlah orang mau berdemokrasi. Kalau dia kalah, ya
konsekuensi dia,” tutur Mangindar yang pada pencalonan periode 2010-2015 itu
diusung oleh Partai Hanura (3 kursi), PDIP (2 kursi) dan PKPI (1 kursi).
KPUD Kabupaten Samosir lalu
menggelar pemilihan langsung pada 10 Juni 2010. Sekitar 88.000 warga Samosir yang
memiliki hak pilih berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan suaranya pada
Pilkada yang menelan biaya sekitar Rp11 miliar tersebut. Pada Pilkada yang
dibayangi isu pemilih siluman dan protes ke Mahkamah Konstitusi, pasangan
Mangindar Simbolon – Mangadap Sinaga berhasil meraup sekitar 37,6 persen suara.
Sebuah hasil yang cukup mengantarkan Mangindar kembali memimpin Kabupaten
Samosir. Kali ini untuk periode 2010-2015. Mangindar telah memperoleh
kehormatan atas apa yang sudah diberikannya kepada masyarakat Kabupaten
Samosir.
Kemudian pada 15 September 2010
melalui Sidang Istimewa DPRD Kabupaten Samosir, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu)
H. Syamsul Arifin SE --atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri)-- melantik
Bupati dan Wakil Bupati Samosir periode 2010–2015, Mangindar Simbolon dan
Mangadap Sinaga.
Dalam sambutannya, Gubsu menyatakan
pemimpin mempunyai tanggung jawab yang sangat berat. Untuk itu, dia meminta Bupati
dan Wakil Bupati Samosir yang baru dilantik dapat melanjutkan pembangunan di
Kabupaten Samosir. ”Satu game sudah
selesai di Samosir. Kalah atau menang itu biasa. Bagi Bupati Samosir yang baru
dilantik hari ini, harus bertanggung-jawab penuh melanjutkan pembangunan
Samosir yang sudah dimulai. Saya sudah tekadkan, Samosir menjadi sentra
pembangunan di kawasan Danau Toba. Untuk itu, Bupati dan Wakil Bupati Samosir
harus turut serta mewujudkannya,” tandas Gubsu.
Walau dalam nada canda, Gubsu banyak
memberikan pengarahan kepada Mangindar dan Mangadap dalam membangun Samosir
lima tahun ke depan. Bahkan, dia berharap Samosir mampu berkembang melebihi
daerah-daerah lain. ”Kita harus melihat, banyak daerah, bahkan negara lain yang
perkembangannya sangat pesat dari dunia pariwisata. Indonesia punya Bali, di
Asia ada Thailand dan Malaysia yang sumber PAD terbesarnya berasal dari sektor pariwisata.
Jadi, Samosir ini bisa melebihi Singapura sepanjang dikelola dengan baik. Mulai
sekarang, kita harus biasakan slogan yang menarik agar orang tertarik datang ke
Samosir dan Danau Toba,” ujarnya.
Pada kesempatan itu Bupati Samosir
Mangindar Simbolon menyatakan akan terus melanjutkan programnya menjadikan
Kabupaten Samosir sebagai kabupaten pariwisata. ”Visi-misi Kabupaten Samosir
2005–2010, yakni menjadikan Samosir kabupaten pariwisata yang indah, damai, dan
berbudaya dengan agrobisnis berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang lebih
sejahtera, terus dilanjutkan,” tuturnya.
Agar pencapaian dan langkah
mewujudkan visi itu lebih maksimal, Ketua DPRD Kabupaten Samosir Tongam
Sitinjak mengingatkan agar Bupati Mangindar memprioritaskan pembangunan
infrastruktur seperti ring road Samosir.
Mangindar menegaskan pembangunan ring road Samosir sudah selesai dan kini
dia melanjutkan pembangunan ruas jalan menuju semua daerah tujuan pariwisata. Sebuah
langkah yang benar-benar ingin membawa Samosir sebagai daerah tujuan wisata
–budaya, alam, pantai dan rohani—yang mudah dijangkau dan nyaman akomodasinya. ***
No comments:
Post a Comment