Sunday, August 25, 2013

Menjamin Keselamatan di Jalan Raya



Kecelakaan lalu lintas (laka lantas) seharusnya menjadi isu nasional karena setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Jumlah korban tewas serta kerugian yang ditimbulkannya pun terus melejit. Pemerintah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana guna mendukung jaminan keselamatan di jalan raya.

Di Indonesia, kematian akibat kecelakaan lalu lintas masih lebih tinggi ketimbang korban terorisme, narkoba, HIV/AIDS, atau penyakit lainnya. Kasus kecelakaan terkini yang menjadi berita di berbagai media, bus Giri Indah yang terjun ke jurang di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, kembali menyentak kita. Sekurangnya 19 orang tewas.

Saat ini, sekitar 80 orang tewas akibat kecelakaan jalan setiap hari. Selain hilangnya nyawa, kerugian ekonomi akibat kecelakaan juga patut menjadi perhatian. Berdasarkan berbagai penelitian, kerugian ekonomi kecelakaan di jalan pada 2011 mencapai Rp 200 triliun atau 2,9 persen gross domestic product (GDP). Angka tersebut naik lima kali lipat ketimbang 10 tahun sebelumnya yakni Rp 41,4 triliun pada 2002.

Angka tersebut diyakini lebih kecil dibandingkan angka sesungguhnya karena korban tewas hanya tercatat saat kejadian. Sedangkan pascakecelakaan korban luka berat bisa saja akhirnya meninggal. Selain itu, jumlah kecelakaan yang tercatat di Indonesia hanya sekitar 8 persen.

Kematian di jalan akibat kecelakaan tak bisa dipandang sebelah mata. Jumlah korban akan sangat berarti bila disadari bahwa rata-rata korban adalah kelompok usia produktif. Kematian di jalan juga mempunyai efek terhadap tingkat kemiskinan dan kesejahteraan. Bila korban adalah tulang punggung keluarga, akan membawa keluarga tersebut kepada kemiskinan. Inilah mengapa menekan angka kecelakaan lalu lintas harus menjadi perhatian.

Kementerian Perhubungan, termasuk di dalamnya Dinas Angkutan Jalan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kepolisian, harus berkoordinasi sehingga satu kata dalam sinergi kerja mengatasi persoalan ini. Sekurangnya harus ada target menekan angka kecelakaan setiap periode dan menjadi program keselamatan secara nasional.

Ada tiga faktor yang menjadi penyebab kecelakaan, yaitu manusia, kendaraan, serta jalan dan lingkungannya. Faktor penyebab kecelakaan tertinggi adalah manusia. Dengan dasar tiga faktor tadi, langkah pembenahan di sejumlah bagian antara lain, pertama, memberikan pendidikan berlalu lintas untuk meminimalkan kecerobohan pengendara, sekaligus mengatasi kurangnya pemahaman pengendara terhadap teknik berkendaraan, serta etika berlalu lintas. Kebutuhan sekolah mengemudi, utamanya bagi sopir angkutan umum, bukan hal yang terlalu muluk. Data kepolisian menyebutkan, tingginya angka kematian yang merupakan akibat langsung dari tingginya angka kecelakaan lalu lintas, mayoritas disebabkan oleh faktor manusia. Bukan karena kurang memiliki keterampilan mengemudi, namun lebih karena kurangnya etika atau moral berlalu lintas.

Idealnya, setiap warga yang hendak mengajukan pembuatan SIM, sudah memiliki rekomendasi dari sekolah mengemudi atau pihak yang sudah memiliki sertifikasi. Proses ini juga harus steril dari urusan “tembak langsung” atau lulus karena membayar.

Lalu, uji kompetensi bagi para sopir digelar oleh Lembaga Sertifikasi dan Kompetensi (LSK) Mengemudi. Bagi warga yang tidak mampu, pemerintah menyiapkan anggaran untuk membantu pembayaran biaya uji kompetensi mengemudi tersebut. Selain itu, peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibutuhkan dalam hal memberikan materi ajar mengenai keselamatan berlalu lintas. Penanaman materi keselamatan lalu lintas dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan langkah ini, pemberian SIM harus dilakukan melalui proses yang benar. Langkah Polri mengatasi percaloan SIM di Samsat terlihat efektif lima tahun belakangan ini. Namun, konsistensi sikap anticalo ini masih dipertanyakan.

Kedua, pembenahan moral para pengguna jalan ini dilengkapi implementasi peraturan lalu lintas, yakni penegakan aturan. Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan di berbagai daerah sudah berani mengambil tindakan tegas mengandangkan angkutan yang tak laik jalan. Bahkan sejumlah provinsi memberikan sanksi dengan mencabut izin trayek kendaraan umum yang mengalami celaka karena kesalahan awak angkutan atau kendaraan.

Meski demikian masih perlu diteliti apakah langkah ini benar-benar terlaksana secara adil dan transparan? Proses pengawasan melekat pada instansi yang bertanggung jawab terhadap keselamatan angkutan harus dijamin berjalan. Pecat aparat penanggung jawab uji kir kendaraan bila ternyata kendaraan yang mendapatkan lisensi ternyata tak laik jalan.

Ketiga, pemerintah harus memberikan jaminan jalan dan rambu yang aman. Kawasan Jalan Raya Puncak, Kabupaten Bogor, sudah lama dianggap sebagai jalur yang rawan kecelakaan. Kawasan Puncak dikenal minim ruang gerak saat ada kendaraan dua arus dari arah berlawanan yang berhadapan, rawan longsor, cuaca ekstrem, serta membutuhkan penerangan serta rambu yang lebih banyak. Perhatian dan penanganan terhadap jalur seperti ini harus lebih serius, sehingga kecelakaan tidak terulang. (www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment