Kecelakaan
lalu lintas (laka lantas) seharusnya menjadi isu nasional karena setiap tahun
jumlahnya terus meningkat. Jumlah korban tewas serta kerugian yang
ditimbulkannya pun terus melejit. Pemerintah berkewajiban menyediakan sarana
dan prasarana guna mendukung jaminan keselamatan di jalan raya.
Di
Indonesia, kematian akibat kecelakaan lalu lintas masih lebih tinggi ketimbang
korban terorisme, narkoba, HIV/AIDS, atau penyakit lainnya. Kasus kecelakaan
terkini yang menjadi berita di berbagai media, bus Giri Indah yang terjun ke
jurang di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, kembali menyentak kita. Sekurangnya 19
orang tewas.
Saat ini,
sekitar 80 orang tewas akibat kecelakaan jalan setiap hari. Selain hilangnya
nyawa, kerugian ekonomi akibat kecelakaan juga patut menjadi perhatian.
Berdasarkan berbagai penelitian, kerugian ekonomi kecelakaan di jalan pada 2011
mencapai Rp 200 triliun atau 2,9 persen gross domestic product (GDP). Angka
tersebut naik lima kali lipat ketimbang 10 tahun sebelumnya yakni Rp 41,4
triliun pada 2002.
Angka
tersebut diyakini lebih kecil dibandingkan angka sesungguhnya karena korban
tewas hanya tercatat saat kejadian. Sedangkan pascakecelakaan korban luka berat
bisa saja akhirnya meninggal. Selain itu, jumlah kecelakaan yang tercatat di
Indonesia hanya sekitar 8 persen.
Kematian di
jalan akibat kecelakaan tak bisa dipandang sebelah mata. Jumlah korban akan
sangat berarti bila disadari bahwa rata-rata korban adalah kelompok usia
produktif. Kematian di jalan juga mempunyai efek terhadap tingkat kemiskinan
dan kesejahteraan. Bila korban adalah tulang punggung keluarga, akan membawa
keluarga tersebut kepada kemiskinan. Inilah mengapa menekan angka kecelakaan
lalu lintas harus menjadi perhatian.
Kementerian
Perhubungan, termasuk di dalamnya Dinas Angkutan Jalan, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Kepolisian, harus berkoordinasi sehingga satu kata dalam sinergi kerja
mengatasi persoalan ini. Sekurangnya harus ada target menekan angka kecelakaan
setiap periode dan menjadi program keselamatan secara nasional.
Ada tiga
faktor yang menjadi penyebab kecelakaan, yaitu manusia, kendaraan, serta jalan
dan lingkungannya. Faktor penyebab kecelakaan tertinggi adalah manusia. Dengan
dasar tiga faktor tadi, langkah pembenahan di sejumlah bagian antara lain,
pertama, memberikan pendidikan berlalu lintas untuk meminimalkan kecerobohan
pengendara, sekaligus mengatasi kurangnya pemahaman pengendara terhadap teknik
berkendaraan, serta etika berlalu lintas. Kebutuhan sekolah mengemudi, utamanya
bagi sopir angkutan umum, bukan hal yang terlalu muluk. Data kepolisian
menyebutkan, tingginya angka kematian yang merupakan akibat langsung dari
tingginya angka kecelakaan lalu lintas, mayoritas disebabkan oleh faktor
manusia. Bukan karena kurang memiliki keterampilan mengemudi, namun lebih
karena kurangnya etika atau moral berlalu lintas.
Idealnya,
setiap warga yang hendak mengajukan pembuatan SIM, sudah memiliki rekomendasi
dari sekolah mengemudi atau pihak yang sudah memiliki sertifikasi. Proses ini
juga harus steril dari urusan “tembak langsung” atau lulus karena membayar.
Lalu, uji
kompetensi bagi para sopir digelar oleh Lembaga Sertifikasi dan Kompetensi
(LSK) Mengemudi. Bagi warga yang tidak mampu, pemerintah menyiapkan anggaran
untuk membantu pembayaran biaya uji kompetensi mengemudi tersebut. Selain itu,
peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibutuhkan dalam hal memberikan
materi ajar mengenai keselamatan berlalu lintas. Penanaman materi keselamatan
lalu lintas dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan langkah
ini, pemberian SIM harus dilakukan melalui proses yang benar. Langkah Polri
mengatasi percaloan SIM di Samsat terlihat efektif lima tahun belakangan ini.
Namun, konsistensi sikap anticalo ini masih dipertanyakan.
Kedua,
pembenahan moral para pengguna jalan ini dilengkapi implementasi peraturan lalu
lintas, yakni penegakan aturan. Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan di berbagai
daerah sudah berani mengambil tindakan tegas mengandangkan angkutan yang tak
laik jalan. Bahkan sejumlah provinsi memberikan sanksi dengan mencabut izin
trayek kendaraan umum yang mengalami celaka karena kesalahan awak angkutan atau
kendaraan.
Meski
demikian masih perlu diteliti apakah langkah ini benar-benar terlaksana secara
adil dan transparan? Proses pengawasan melekat pada instansi yang bertanggung
jawab terhadap keselamatan angkutan harus dijamin berjalan. Pecat aparat
penanggung jawab uji kir kendaraan bila ternyata kendaraan yang mendapatkan
lisensi ternyata tak laik jalan.
Ketiga,
pemerintah harus memberikan jaminan jalan dan rambu yang aman. Kawasan Jalan
Raya Puncak, Kabupaten Bogor, sudah lama dianggap sebagai jalur yang rawan
kecelakaan. Kawasan Puncak dikenal minim ruang gerak saat ada kendaraan dua
arus dari arah berlawanan yang berhadapan, rawan longsor, cuaca ekstrem, serta
membutuhkan penerangan serta rambu yang lebih banyak. Perhatian dan penanganan
terhadap jalur seperti ini harus lebih serius, sehingga kecelakaan tidak
terulang. (www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment