Pemimpinlah
yang mampu membangun organisasi secara lebih efektif, kuat, kompetitif serta
meningkatkan kehidupan kerja, bahkan pada kesempatan tertentu, untuk kehidupan
keluarga.
Andrew E.B. Tani, penulis
buku Get
Real (2003)
Globalisasi dan otonomi
daerah merupakan dua arus besar yang tidak bisa dielakkan oleh semua wilayah di
muka bumi ini. Otonomi daerah dapat menjadi peluang sekaligus tantangan.
Peluang karena daerah diberi kesempatan untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Tantangannya
adalah bagaimana daerah melakukan adaptasi dalam waktu relatif singkat, padahal
masih dibutuhkan proses pembelajaran.
Pada era otonomi daerah, setiap
daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi sumber daya daerah masing-masing.
Ini dilakukan guna meningkatkan daya saing daerah (regional competitiveness). Sebab itu, harus ada perubahan paradigma
dari pendekatan biaya (cost approach)
kepada pendekatan pendapatan (revenue
approach).
Dengan begitu perlu ada
perubahan paradigma atau pola manajerial dari pola manajemen birokrat kepada
korporat. Untuk menuju ke sana mesti dilakukan tiga hal, pertama, strategi membangun capacity
building dengan melakukan peningkatan sumber daya manusia (SDM), yakni
melalui reeducation.
Kedua, institutional building, yaitu penataan
organisasi. Kelembagaan perlu ditata kembali dari pendekatan cost kepada pendekatan revenue. Karena di era sentralistik
dulu, pemerintah daerah hanya menerima anggaran dan menghabiskannya dalam
proyek yang telah disepakati. Kini, perlu dilakukan pendekatan kebutuhan (need). Dalam poin ini, yang terpenting
adalah kemampuan daerah untuk mengembangkan kebijakan peningkatan investasi dan
pengembangan dunia usaha. Pemerintah bukan lagi menjadi pemain bisnis tapi
cukup sebagai fasilitator saja. Sehingga, terjadi hubungan yang baik antara
pemerintah dan dunia usaha.
Dan ketiga, resource management (badan-badan
usaha) perlu dikembangkan. Minimal, terdapat lima lembaga ekonomi yang harus
dikembangkan di daerah: BUMA (Badan Usaha Milik Asing), BUMS (Badan Usaha Milik
Swasta), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan
BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat).
A.
Sosok
Pemimpin Penggerak Perubahan
Untuk mengimplementasikan ketiga poin tadi,
kita membutuhkan seorang pemimpin yang unggul. Pemimpin yang dapat membangun
organisasi secara lebih efektif, efisien, kuat, kompetitif serta meningkatkan
kehidupan kerja. Pemimpin yang profesional, yang memiliki pendidikan,
keterampilan dan pengalaman di atas rata-rata. Awang Faroek Ishak boleh
dikatakan telah memenuhi persyaratan sebagai sosok pemimpin profesional yang
berpikir jauh ke depan (visioner).
Awang Faroek layak
dikatakan sebagai pemimpin yang mampu menggerakkan perubahan atau pemimpin
penggerak perubahan demi suatu keberhasilan. Seorang pemimpin yang benar-benar
berniat dan berupaya mengubah keadaan wilayah Kutai Timur, dan kini Kalimantan
Timur, menjadi lebih baik (change to be
better).
Awang Faroek menggelorakan
prinsip bahwa daerah atau wilayah harus mampu mengusung misi memberdayakan
potensi agar mampu terus hidup berkelanjutan dan membawa rakyat menuju
kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. Sebab itu, Awang berusaha
memaksimalkan potensi yang ada.
Salah satunya, Awang
Faroek menangkap tiga poin di awal bab ini untuk dijadikan pilar dan pondasi
pembangunan wilayah Kutai Timur dan Kalimantan Timur. Yakni, meningkatan
kualitas SDM, menata organisasi, dan memberdayakan kelembagaan ekonomi yang
ada. Sebagai seorang profesional, di mata Menteri Negara Pendayagunaan BUMN 1998-1999
Tanri Abeng, Awang Faroek sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan bupati atau kepala daerah pada umumnya. Dia
mampu melahirkan konsep dan ide-ide brilian yang variatif dan menjangkau jauh
ke masa depan. Tanri Abeng mencermati bahwa apa yang telah dilakukan oleh Awang
Faroek dalam mengelola dan mengatur Kutai Timur merupakan sebuah revolusi
pemikiran dan paradigma baru manajemen pemerintahan. “Tak terbayang buat saya,
Awang Faroek demikian cepat menangkap dan menyadari bahwa dia membutuhkan
paradigma baru. Ini pola pikir yang luar biasa,” puji Tanri Abeng tanpa reserve. Karena itu, Tanri Abeng tak
ragu-ragu menempelkan predikat “Bupati CEO” kepada Awang Faroek.
Guna terus membawa daerah
mampu hidup berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, Awang Faroek berusaha
memberdayakan segenap sumber daya dan kekuatan (modal capital) yang dimiliki wilayah Kutai Timur. Mulai dari modal
SDM (humat capital), modal ekonomi (economic capital), sampai modal sosial (social capital). Istilah kerennya, Awang
Faroek ingin menjadi pemimpin yang manajer dan manajer yang pemimpin. Manager leader. Begitulah sosok Awang
Faroek sebagai pemimpin perubahan. Dia adalah seseorang yang memperoleh
kewenangan formal untuk melakukan tugas-tugasnya bersama orang lain dalam
sebuah organisasi (pemerintahan), buat menghasilkan kinerja yang bagus secara
berkelanjutan dengan cara menggerakkan dan membawa orang-orang yang dipimpinnya
pada keyakinan bahwa sebenarnya mereka bekerja demi kepentingan diri mereka
sendiri ketika memberikan yang terbaik kepada tim dan kepada pelayanan
(masyarakat) yang membuat mereka terus bekerja dan berkarya.
Mengkombinasikan kecakapan
memimpin dan manajerial itulah sesungguhnya yang dapat menghasilkan kompetensi
optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di sini, kata pakar kepemimpin
Peter F. Drucker, “Anda akan sukses memimpin jika Anda memiliki kemampuan
manajerial. Namun, jika Anda menjadi manajer tanpa kecakapan memimpin, Anda
akan sangat mudah terjebak menjadi seorang birokrat.” Jadi, manager leader bukanlah pemain biola
tunggal. Tapi, layaknya seorang konduktor dalam sebuah orkestra. Gerakan
tangannya menginstruksikan penabuh gendang, pemain biola, pemetik gitar, peniup
terompet dan lainnya buat menyajikan harmoni musik yang indah dan menyentuh
hati. Irama yang menggetarkan setiap sudut ruang dan relung hati setiap orang.
Irama yang melambangkan keteraturan dan keharmonisan. Saling mendukung, saling
mengisi dan saling melengkapi guna menggapai hasil yang baik dengan cara yang
benar.
Sebagai sosok pemimpin
perubahan, Awang Faroek memiliki unsur-unsur prototipe seorang pemimpin yang
kuat. Bukan pemimpin yang kuat dalam arti otoriter (apalagi diktator), tapi
pemimpin yang kuat dalam visi, hati dan aksi (tindakan, keteladanan). Pemimpin
yang betul-betul memahami akar masalah pemerintahan daerah beserta solusinya, berani
dan tegas serta konsisten dan teguh dalam melakukan perubahan. Pemimpin yang
senantiasa mendorong perubahan, obyektif, berpikir positif, berwawasan luas,
memiliki ide cemerlang, motivasi tinggi, enerjik, intelek serta berorientasi
kepada tindakan dan kerja nyata. Tegas dan berani mengambil keputusan, mampu
berorganisasi, sigap membaca kondisi wilayah, memiliki kemampuan manajerial,
serta mampu menjadi motivator, inspirator dan komunikator yang baik.
Awang Faroek merupakan
sosok yang disegani, didukung dan menjadi figur rujukan (role model) serta mempercayai dan dipercaya oleh orang-orang yang
dipimpin sehingga kestabilan dan pertumbuhan daerah dapat terjaga secara baik. Dengan
begitu agenda pemerintahan yang dirancang dan ditargetkan dapat berjalan secara
terarah dan terukur. Kepercayaan adalah vital. Kepercayaan merupakan lem
perekat antara pemimpin dan mereka yang dipimpin. Tanpa kepercayaan, pemimpin
dan kepemimpinan akan hilang. Dalam hal ini pakar kepemimpinan John C. Maxwell
mengatakan, ”Semakin bisa dipercaya diri Anda, maka semakin besar pula
kepercayaan orang lain yang ditempatkan pada diri Anda. Dengan demikian
memungkinkan Anda memiliki hak istimewa mempengaruhi kehidupan mereka. Semakin
kurang kepercayaan diri Anda, semakin kurang pula kepercayaan yang ditempatkan
orang lain pada diri Anda, dan makin cepat Anda kehilangan kedudukan untuk
mempengaruhi.”
Memang mengagumkan bila
orang-orang yang dipimpin percaya kepada sang pemimpin. Lebih mengagumkan lagi
kalau sang pemimpin juga percaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ketika
keduanya terjadi, terciptalah saling kepercayaan (mutual trust). Semakin orang mempercayai pemimpinnya maka semakin
bersedialah mereka menerima perubahan-perubahan yang diusulkan oleh sang
pemimpin. Dan model ini pula yang terus dikembangkan oleh Awang Faroek sebagai
pemimpin daerah.
Untuk itulah, Awang Faroek
berusaha tampil sebagai pemimpin yang mampu menjalin komunikasi secara baik dan
jelas. Pemimpin yang memiliki seni dalam berkomunikasi. Baik komunikasi verbal
(tertulis) maupun non-verbal (lisan). Walhasil, transformasi nilai-nilai budaya
pemerintahan yang unggul yang dicanangkan dan digulirkan menjadi lebih mudah
dimengerti, dipahami dan dilaksanakan
oleh orang-orang yang dipimpinnya maupun mereka yang terkait dan berhubungan
dengan pemerintahan. Dengan komunikasi yang baik dan jelas, tentu akan memberi
inspirasi dan motivasi terutama kepada aparatur pemerintahan agar membuat
sasaran, proyeksi, tugas dan tanggung jawab serta keputusan yang baik dan benar
dalam sebuah tim kerja (team work). Terlebih
lagi dalam proses perubahan paradigma atau pola manajerial dari pola manajemen
birokrat kepada manajemen korporat di lingkungan pemerintahan daerah.
Sebagai sosok pemimpin
perubahan, Awang Faroek termasuk pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi. Komitmen
adalah janji untuk mengerjakan apa yang telah dikatakan hingga akhirnya
mencapai tujuan. Komitmen adalah kesanggupan untuk bertanggung-jawab pada apa
yang dipercayakan kepadanya. Bila kedua
makna dan arti tadi digabung, komitmen berarti janji atau kesanggupan untuk
menggerakkan tindakan dalam meraih tujuan yang menjadi tanggung-jawabnya. Tiada
kesuksesan yang dapat digapai tanpa perjuangan dan pengorbanan. Itulah jati
diri pemimpin yang berkomitmen, siap berjuang dan berkorban demi kepentingan dan kemajuan pemerintahan.
Komitmen menyangkut
keseimbangan dari karakter dan kompetensi. Khususnya menyangkut integritas
(karakter) dan kemampuan melakukan apa yang dikatakan dan apa yang akan
dilakukan (kompetensi). Pemimpin yang berintegritas berarti pemimpin yang
satunya kata dengan perbuatan/tindakan. Integritas inilah yang harus selalu ada
pada diri seorang pemimpin. Bahkan banyak pakar kepemimpinan menyebut bahwa
integritas merupakan faktor kepemimpinan yang paling penting. Di sinilah,
pemimpin penggerak perubahan juga berani meletakkan jabatan dan kedudukannya
sekiranya komptensi dan integritas dirinya terbukti rendah. Awang Faroek
bukanlah tipikal pemimpin yang mencari aman atau menghindar dari berbagai
tekanan atau persoalan besar dan berat.
Dengan bercermin pada
berbagai prestasi yang telah diapresiasi oleh banyak kalangan, Awang Faroek
layak disebut sebagai pemimpin penggerak perubahan yang mampu menciptakan
sistem dan memiliki kemampuan dalam mengelola sistem. Dan sistem itu yang
kemudian menyetir pemimpin (Awang Faroek) dan segenap orang yang ada di dalam
pemerintahan Kabupaten Kutai Timur. Sistem itu dibangun dan dipersiapkan untuk
mewujudkan organisasi (pemerintahan) yang lebih efektif, berfokus pada
pelayanan masyarakat, aparatur yang kompeten serta sistem manajemen
pemerintahan yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan pemerintahan yang
baik (good governance). Istilah
kerennya organizing for governance
excellence. Sebuah organisasi pembelajaran (learning organization) di mana dan kapan saja setiap aparatur yang
ada di dalamnya mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi pekerjaan,
wewenang dan tanggung-jawabnya sesuai dengan peran dan fungsinya serta
jabatannya masing-masing. On the right
man on the right place.
B.
Nakhoda
Sebuah Kapal
Pemimpin suatu
pemerintahan layaknya seorang nakhoda sebuah kapal. Sebuah kapal yang membawa
banyak penumpang yang harus dilayani dengan baik dan benar. Sebab itu, kapal
mesti dilengkapi dengan berbagai fasilitas sehingga para penumpang terpuaskan
dan kembali menggunakan kapal itu untuk bepergian. Fasilitas itu (antara lain)
tempat duduk, tempat makan, tempat tidur, kamar mandi, sarana olah raga sampai
panggung hiburan.
Penumpang kapal memang
harus dijamu secara paripurna. Sebab, mereka sudah membayar tiket perjalanan
yang relatif mahal. Mahal namun sepadan dengan pelayanan yang telah diberikan. Dan,
kepuasan penumpang memang menjadi faktor kunci keberhasilan bisnis kapal
penumpang. Pelayanan yang baik dan benar sangat menentukan penuh-tidaknya
penumpang (occupancy). Kapal
penumpang yang pelayanannya bagus jelas akan menjadi pilihan penumpang. Dengan occupancy yang selalu tinggi, tentu
bisnis kapal penumpang tersebut dapat terus beroperasi, bahkan tumbuh dan
berkembang.
Di dalam sebuah kapal
penumpang, peran dan fungsi seorang nakhoda demikian menentukan. Seorang
nakhoda harus mau dan mampu membuat sistem manajemen dan organisasi yang
terencana secara baik dan benar kepada penumpang. Dalam hal ini sang nakhoda
tentu harus mau dan mampu memberdayakan seluruh ABK (Awak Buah Kapal) yang
bekerja selama dalam perjalanan sebuah kapal. Untuk itu, seluruh ABK juga mesti
terlibat secara aktif sebagai sebuah tim di bawah komando nakhoda. Bukan
bekerja sendiri-sendiri.
Sang nakhoda harus mau dan mampu memberdayakan seluruh ABK
sehingga arah dan sasaran (visi dan misi) perjalanan serta pelayaran kapal yang
membawa begitu banyak penumpang agar kondisinya tetap nyaman, aman dan selamat
sampai tujuan (pelabuhan). Nakhoda mesti mau dan mampu memberdayakan ABK guna
menggerakkan segenap sumber daya yang terdapat di dalam kapal. Mulai dari
manusia, mesin, material, bahan bakar hingga seperangkat aturan beserta
nilai-nilai yang harus ditaati dan dijalankan oleh seluruh ABK, termasuk diri
sang nakhoda. Kuncinya, mereka (para ABK) harus bekerja secara baik dan benar
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Setiap ABK harus ditempatkan sesuai
kapasitas dan deskripsi pekerjaan (job
description) yang jelas. Orang yang tepat di tempat yang tepat. The right man on the right place.
Siapapun ABK yang tidak menjalankan fungsi dan tugasnya secara baik dan benar,
maka harus diberi sanksi (punishment).
Begitu pun sebaliknya, ABK yang telah menjalankan fungsi dan tugasnya secara
baik dan benar, apresiasi (reward)
harus diberikan.
Sebagaimana kita pahami,
pekerjaan di dalam sebuah kapal itu sendiri harus dilaksanakan oleh seluruh
awak kapal. Antara lain terdiri dari nakhoda dan ABK. Nakhoda disebut juga
sebagai sang kapten (master), yang
merupakan pimpinan puncak (komandan) di atas kapal. Nakhoda bertanggung-jawab
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan seluruh isi kapal: ABK, para
penumpang dan muatannya. Sebab itu, nakhoda harus memiliki arah (visi) dan
sasaran (misi) dalam suatu pelayaran. Pemetaan samudera dan kemampuan memimpin
sang nakhoda dalam menggerakkan dan memberdayakan seluruh ABK menjadi kunci
kenyamanan, keamanan dan keselamatan sebuah pelayaran sampai tujuan
(pelabuhan). Sang nakhoda harus tahu di mana kapal sedang melaju dan ke arah
mana kapal harus menuju. Di laut tenang atau di tengah samudera yang penuh
tantangan. Sang nakhoda harus tahu persis apakah kapal telah melaju sesuai
jalur yang ditetapkan atau tidak. Bukan apa-apa, alam terkadang menunjukkan
keperkasaannya berupa gelombang dan angin besar yang bisa mengubah arah
pelayaran kapal. Menjawab tantangan seperti itu, seorang nakhoda tentu harus
mampu mengendalikan sehingga pelayaran kapal tetap nyaman, aman dan selamat
sampai tujuan. Nakhoda sejati adalah sosok yang lahir dan tumbuh dari tempaan
dan terjangan gelombang samudera yang dahsyat.
Nakhoda dibutuhkan dalam
sebuah pelayaran kapal berkat pengalamannya yang berhasil serta mampu melewati
gelombang dahsyat dan cuaca yang kurang bersahabat. Bukan pangkat yang melekat
pada dirinya. Pengalaman dan kamatangan berpikir sehingga mampu menciptakan
sistem dan organisasi kapal yang baik dan benar itulah yang menjadikan seorang
nakhoda menjadi tangguh. Laiknya tokoh-tokoh penjelajah samudera legendaris
seperti William Bligh (Inggris), Columbus (Portugis), Laksamana Cheng Ho (China),
Laksamana Nala (Kerajaan Majapahit) dan lain-lain. Seorang nakhoda yang bukan
hanya bekerja untuk sebuah jabatan, namun benar-benar mempertaruhkan nyawa demi
keselamatan kapal dan seluruh penumpang. Kisah kapal pesiar Titanic yang menghantam bongkahan es
telah menjadi cerita tersendiri. Keselamatan seluruh penghuni kapal menjadi
prioritas utama. Sang nakhoda memilih menjadi orang terakhir yang turut
tenggelam bersama kapal legendaris itu.
Struktur di bawah nakhoda
adalah ABK yang terdiri dari para perwira dan bawahan. ABK terbagi dalam
pekerjaan dan tugas bagian dek, bagian mesin, radio operator, bagian makanan
dan pelayanan. Setiap bagian dipimpin oleh perwira. Perwira bagian dek misalkan,
terdiri dari Chief Mate atau Mualim, Mualim
satu hingga empat. Kemudian di bawahnya ada juru mudi (sailor) yang bertugas memegang kendali kemudi selama kapal berlayar
di lautan. Lalu ada kelasi yang bekerja merawat kapal.
Perwira bagian mesin
terdiri dari Masinis atau Engineer. Mereka
terbagi menjadi Chief Engineer,
kepala kamar mesin satu sampai lima (tadang mereka disebut juga asisten
masinis), dan bawahan seperti Mandor, Foreman
atau Oulier Number One yang
berfungsi sebagai pemimpin bagian mesin. Di kapal-kapal besar biasanya juga
terdapat Electrisen yang bertugas
merawat peralatan listrik. Juga ada Radio
Officer yang bertugas menerima dan mengirim berita dari kapal. Untuk bagian
makanan dan pelayanan dipimpin oleh Chief
Steward atau Hoff Mister, yang
membawahi Botelir (bertugas menjaga
bahan makanan), juru masak atau koki, pelayan ruang makan dan pelayan akomodasi
perwira. Melajunya sebuah kapal di tengah lautan atau samudera merupakan hasil
dari kerjasama tim seluruh awak kapal. Masing-masing berperan sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Satu sama lain bekerja saling terkait dan saling
menguatkan. Tidak boleh ada satu sisi bagian pun yang lemah, yang pada akhirnya
dapat membahayakan keselamatan kapal dan seisi penumpangnya.
Layaknya seorang nakhoda,
seorang pemimpin pemerintahan juga dituntut untuk terlebih dulu mengetahui
secara jelas potensi kekuatan (strength),
kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) atau SWOT pemerintahan yang
dipimpinnya. Berbekal analisa SWOT, seorang kepala pemerintahan mulai merentang
visi (arah) dan misi (tujuan) pemerintahan. Visi dan misi lantas diterjemahkan
ke dalam rencana utama (grand strategy)
yang menjadi pedoman bagi segenap aparatur pemerintahan, baik yang pimpinan
maupun yang dipimpin, dalam melajukan atau menakhodai sebuah pemerintahan. Dari
rencana utama lalu dijabarkan ke dalam perancanaan strategis dan fungsional
yang menjadi pedoman bagi pimpinan dalam bekerja. Semua perencanaan itu harus
terukur dan senantiasa dievaluasi guna mengetahui apakah tujuan yang ditetapkan
tercapai atau tidak.
Sebagai nakhoda sebuah
pemerintahan, Awang Faroek menyadari, bahwa kemampuan memimpin dan menggerakkan
SDM menjadi kunci guna mewujudkan visi dan misi pemerintahan. Sebab itu, Awang
Faroek merentang visi membangun Kalimantan Timur secara jelas dan tegas:
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Kalimantan Timur sesuai dengan
jatidiri, karakteristik dan nilai-nilai budaya lokal. Berangkat dari visi ini,
Awang Faroek menggerakkan segenap aparatur di bawahnya untuk bekerja sesuai dengan
kompetensi masing-masing dan memiliki job
description yang jelas. Prinsipnya harus the right man on the right place. Perhatian yang besar terhadap
pengelolaan dan penempatan SDM menjadi demikian penting dan strategis apakah
pemerintahan dalam tahap perkenalan, pertumbuhan atau kematangan (mature).
Mengapa harus demikian? Karena,
sikluspemerintahan membutuhkan SDM yang inovatif, kreatif, dan berorientasi
kepada hasil. Tanpa pengelolaan dan penempatan SDM yang unggul tentu akan
menjadikan pemerintahan berjalan lambat, bahkan stagnan di tempat. SDM yang
unggul akan melahirkan produk atau jasa sesuai dengan keinginan masyarakat.
Seluruh unsur
pemerintahan, mulai dari gubernur, bupati, para kepala dinas, kepala biro, dan
segenap aparatur harus tunduk pada sistem manajemen dan organisasi yang telah
dibuat oleh kepala pemerintahan. Dengan demikian tampilan sistem manajemen dan
organisasi menjadi tertata rapi dan jelas wewenang serta tanggung-jawabnya.
Antara kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala biro,
kepala dinas, dan aparatur yang bersinggungan langsung dengan pelayanan
masyarakat bekerja sama secara tim, terpadu dan saling menguatkan. Jika semua
unsur tadi bersinergi, secara otomatis tujuan pemerintahan yang transparan,
akuntabel, profesional dan memenuhi keinginan masyarakat akan lebih mudah tercapai.
Kemudahan dan keberlanjutan pelayanan masyarakat adalah satu hal yang
mengiringi berjalannya sebuah sistem manajemen dan organisasi dalam sebuah
pemerintahan.
Pada akhirnya, seorang
nakhoda pemerintahan harus mau dan mampu membangun iklim kerja yang kondusif
serta memberdayakan SDM sehingga mereka dapat bekerja secara prima. Seorang
pemimpin pemerintahan yang mau dan mampu membangkitkan kepercayaan serta
menatap masa depan yang lebih baik dan berpengharapan. Seorang pemimpin
pemerintahan yang betul-betul mempertaruhkan hati, pikiran dan langkahnya serta
siap mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya kepada masyarakat.
C.
Belajar
dari Burung Elang yang Ingin Terus Hidup
Secara ideal, kita memang
harus senantiasa berada di dalam pusaran perubahan dan melakukan perubahan agar
kehidupan terus berjalan menjadi lebih baik dan lebih berpengharapan. Untuk
berubah menjadi lebih baik kadang terasa perih, pedih dan penuh rintih. Namun,
seperih, sepedih dan serintih apapun kita harus berubah agar kita tidak mati di
usia muda. Berikut ini kisah burung elang yang ingin terus hidup, yang sudah
barang tentu dapat kita jadikan sebagai sebuah cermin pembelajaran yang sangat
berharga.
Elang dikenal sebagai
burung yang mampu terbang paling tinggi. Elang dikenal pula sebagai jenis
unggas (burung) yang mempunyai umur paling panjang atau paling lama
dibandingkan jenis burung yang lain. Umur hewan berdarah panas ini dapat
mencapai 70 tahun. Tapi, buat mencapai umur sepanjang itu, seekor burung elang
harus membuat sebuah keputusan yang sangat berat dan menyakitkan saat umurnya
mencapai 40 tahun. Pasalnya, ketika memasuki umur 40 tahun, cakar kakinya yang
kuat dan tajam, yang biasa digunakan untuk mencengkeram mangsa, tampak menua
dan tumpul. Pun begitu dengan paruhnya, yang berfungsi buat mengoyak-ngoyak
daging si mangsa, menjadi semakin panjang dan membengkok sampai hampir
menyentuh dada, sehingga membuatnya kesulitan menyantap makanan. Sayapnya juga
menjadi demikian berat lantaran bulunya semakin lebat dan tebal, menyulitkan
sang elang terbang.
Begitu memilukan kondisi
burung elang waktu berumur sekitar 40 tahun. Pada saat itulah, seekor burung
elang justru harus memilih dua hal penting dalam hidupnya. Menunggu kematian secara
perlahan-lahan; atau Melakukan perubahan agar dapat terus bertahan hidup. Bila
seekor burung elang memutuskan untuk memilih yang pertama, menunggu kematian
secara perlahan-lahan, maka ia tidak perlu bersusah-payah melakukan apapun. Ia
tinggal berdiam diri dengan keadaan tubuhnya yang telah renta dan tidak
berfungsi secara baik, hingga perlahan-lahan ajal datang menjemputnya.
Sementara itu apabila seekor
elang memutuskan memilih yang kedua (ingin terus bertahan hidup), maka ia mesti
menjalani fase yang begitu perih, pedih, dan penuh rintih. Untuk itu, di tengah
kondisi tubuhnya yang sudah demikian mengenaskan, ia harus berusaha ekstra
keras sekuat tenaga terbang ke atas puncak gunung bebatuan penuh cadas. Lantas,
di sana, ia harus membuat sebuah sarang tepat di tepian tebing jurang sebagai
tempat berhenti dan ‘rumah’ selama proses perubahan dilakukan. Cadas bebatuan
di tepian tebing puncak gunung memang dikenal keras. Dan, di ‘rumah derita’
itulah sang elang melakukan perubahan nan menyakitkan.
Selama berada di sana, ia
mesti melakukan beberapa fase perubahan. Awalnya, ia harus mematuk-matukkan
atau membentur-benturkan paruhnya yang mulai membengkok panjang dan kurang
berfungsi tadi pada batu cadas dan keras hingga paruh itu betul-betul terlepas
dari mulutnya. Dalam proses yang begitu perih, pedih dan penuh rintih itu
hampir selalu bagian mulut sang elang mengalami luka berdarah-darah. Dan, di
‘rumah derita’ itu pula ia mengerang kesakitan.
Di tengah nestapa itu, sang
elang mesti bersabar beberapa waktu, menunggu tumbuhnya paruh baru. Kemudian,
dengan paruh yang baru itulah sang elang mematuk dan mencabut satu per satu
cakar kakinya yang sudah tidak tajam lagi. Dalam proses yang demikian perih,
pedih dan penuh rintih itu tak jarang kaki sang elang luka parah berdarah-darah.
Pun dalam derita, burung elang mesti bersabar lagi menunggu tumbuhnya cakar
kakinya yang baru. Lalu, setelah tumbuh cakar kaki baru yang tajam, dengan
cakar baru yang tajam itulah, ia mencabuti bulu badannya satu demi satu. Dalam
proses yang perih dan pedih itu juga bagian-bagian sayap sang elang harus
mengeluarkan darah yang demikian banyak. Dalam kenestapaan, burung elang masih
mesti bersabar menunggu bulu sayapnya tumbuh yang baru. Penderitaan yang
sungguh luar biasa.
Selama sekitar 150 hari
atau lima bulan, kondisi yang perih, pedih dan penuh rintih harus dialami oleh
seekor elang yang masih ingin bertahan hidup. Ketika semua itu mampu dilewati,
burung elang pun dapat kembali terbang tinggi dan menjalani kehidupan baru
dengan penuh energi. Dengan paruh dan cakar serta bulu baru, burung elang bisa
hidup 30 tahun lagi. Elang bisa mencari makan kembali dengan paruh dan cakar
kakinya yang tajam bagaikan pisau yang baru diasah. Dengan sayapnya yang baru,
ia pun mampu terbang setinggi langit guna mengintai dan menangkap mangsanya.
Jadi, perubahan menjadi lebih baik memang sangat perih dan pedih. Namun, bila
kita mampu melewatinya, tentu saja kehidupan kita benar-benar menjadi lebih
baik dan penuh energi bak burung elang.
Belajar dari kisah burung
elang, kita memang harus berubah, betatapun perih, pedih dan penuh rintih. Kita
mesti melepaskan masa lampau dan membangun masa datang yang lebih
berpengharapan. Kita harus membuat keputusan untuk membuang masa silam yang
kelam guna membangun masa mendatang yang cemerlang. Kita mesti berani dan mau
membuang semua kebiasaan dan kenangan lama untuk kehidupan masa depan yang
lebih baik. Sebagai sosok manusia ataupun sebuah pemerintahan yang ingin maju
secara berkelanjutan, kita harus rela untuk bercermin dan mawas diri pada masa
lampau buat menjangkau masa depan yang penuh harapan. Kita harus membuka diri
untuk berubah (belajar) terhadap hal-hal yang baru, jikalau kita tidak ingin
mati di usia belia.
Sebagai pemimpin
transformatif yang unggul, Awang Faroek berusaha menyelami nilai-nilai yang
melekat pada kekuatan sang burung elang yang tak ingin mati di umur 40 tahun.
Dia ingin membangun diri dan masyarakatnya dengan penuh nilai-nilai keadaban di
masa depan dengan melepaskan dendam dan dusta di antara sesama, baik sesama
manusia maupun sesama tokoh-tokoh politik yang bertarung di pesta pemilihan
kepala daerah secara langsung di era otonomi daerah ini.
Tak lama setelah terpilih
sebagai Gubernur Kalimantan Timur tahun 2008 lalu, tentang hubungannya dengan
sesama calon gubernur, Awang Faroek tegas mengatakan, “Hubungan saya tetap
baik. Sebab di hari pertama sudah saya katakan saya akan bekerja sama dengan
Pak Ahmad Amins (peserta Pilkada Kaltim 2008 yang juga Walikota Samarinda).
Sebagai Gubernur, insyaallah saya
wajib membantu Pak Ahmad Amins mengatasi
sejumlah persoalan pembangunan di Samarinda. Gubernur kan memang wajib
membantu walikota. Dan, ini saya pegang betul omongan saya.”
Yang paling mendesak,
demikian kata Awang Faroek, “Adalah membantu beliau menyelesaikan pembangunan
Bandara Samarinda, membantu menyelesaikan Jembatan Mahulu, membantu pemindahan
Pelabuhan Palaran, penyelesaian Mahkota, juga penyelesaian masalah banjir. Untuk
itu, saya datangkan tim ahli dari Belanda, serta sebentar lagi membenahi
kesemrawutan di Karang Mumus. Jadi, persaingan dalam Pilkada telah berlalu.
Kini saatnya kita bekerja bersama untuk kepentingan masyarakat.”
Sebelumnya, Awang Faroek
telah pula menjalin komunikasi politik dan silaturahmi secara intens dengan
para mantan pesaingnya di Pilkada Kaltim langsung 2008 seperti pasangan Yusuf
Serang Kasim – Luther Kombong dan Nusyirwan Ismail – Heru Bambang. Dengan mengajak
semua peserta Pilkada Gubernur/Wagub Kaltim 2008 yang sebelumnya sempat
berkompetisi head to head guna meraih
kursi KT-1, Awang Faroek ingin menyatukan kembali seluruh komponen dan kekuatan
masyarakat Kaltim yang sempat terpecah-pecah dan ini sekaligus menunjukkan
bahwa dia sangat menghormati reputasi dan keandalan masing-masing mantan
rivalnya. Tak gampang memang. Butuh kebesaran hati dan mengusir dendam kesumat.
Awang Faroek betul-betul
bertekad melepaskan beban masa lalu untuk melangkah ringan ke masa depan.
Terlahir kembali sebagai sosok yang tak mau dibebani oleh kendala-kendala masa
silam yang kelam dan kadang seram. Dia ingin mengembangkan atmosfir baru dalam
kepemimpinannya, yakni merangkul dan menggandeng semua pihak –termasuk yang
pernah berseberangan dengannya—demi kemajuan dan kejayaan Kaltim ke depan. Dia
tidak ingin seperti banyak pemimpin daerah lainnya di Republik ini, bahwa
setelah memenangi pertarungan Pilkada lantas menjatuhkan diri mereka yang
pernah dikalahkannya.
Tidak sebatas menjalin
komunikasi dengan para mantan rival di saat pesta demokrasi Pilkada. Awang
Faroek ingin pula menjawab keraguan banyak pihak bahwa pilihannya berpasangan
dengan Wakil Gubernur Farid Wadjdy bukanlah langkah yang tepat. Banyak kalangan
menilai pilihan Awang Faroek tidak akan menciptakan sinergitas kerja yang ritmik
dan apik. Namun, seiring perjalanan sang waktu, Farid ternyata mampu
mendampingi Awang Faroek menggerakkan masyarakat Kaltim yang lebih prospektif.
Farid Wadjdy memiliki
kekuatan dalam menggerakkan masyarakat dari sisi keagamaan sementara Awang
Faroek memperkuat pada sisi-sisi yang lain. Banyak kalangan kini mengakui bahwa
pasangan ini sebagai sebuah sinergitas dan energi baru –sinergi umara dan
ulama-- untuk membangun Kalimantan Timur.
Spirit meretas hidup baru
yang lebih berenergi berkat ikatan sapu lidi yang baru ini merupakan nilai yang
hendak dikembangkan oleh Awang Faroek di institusi pemerintahannya. Dengan kata
lain, semangat seperti sang elang yang tak ingin mati di usia 40 tahun itu pula
yang dibutuhkan oleh negeri ini. Rakyat akan senang tatkala melihat para
pemimpinnya kompak dan bersatu padu, bergandengan tangan menghadapi persoalan
bangsa dan daerah, bukan sebaliknya saling menyimpan dendam dan beban masa
lampau yang membuat risau dan galau.
D.
Manusia
adalah Kuncinya, Organisasi Jadi Penentu
Adalah sebuah keniscayaan
bila setiap pemerintahan daerah di era otonomi (daerah) harus siap
berkompetisi. Karena itu, segala lini harus dikerahkan untuk meraih kemenangan
dalam kompetisi, untuk meraih kemajuan. Dan, agar menjadi “pemenang” dalam abad
kreativitas sekarang ini, tentunya pemerintahan harus memiliki keunggulan
kompetitif (competitive advantage),
atau setidaknya keunggulan komparatif (comparative
advantage). Keunggulan itu, terutama terletak pada kompetensi dan karakter
SDM-nya. Pemerintahan harus mampu memberdayakan SDM-nya menjadi aset paling
berharga dan vital guna mendayagunakan segenap sumber daya dan kekuatan lain
yang dimiliki pemerintahan menjadi bernilai tambah tinggi (high added value) dan memiliki nilai pasar yang tinggi pula (high market value). Juga, dalam rangka
meningkatkan kinerja dan performa organisasi beserta sistem manajemen dan tata
kelola pemerintahan yang lebih baik dan benar, serta sehat.
SDM (selain sistem dan
organisasi manajemen) memang menjadi salah satu kunci keunggulan dalam
mewujudkan kesuksesan pemerintahan di era milenium. Seperti dikatakan Kathrin
Connor, Wakil Presiden SDM di Liz Claiborne, multinasional di bidang fashion,
bahwa kekuatan dan kelebihan manusia cukup sulit ditiru oleh para pesaing.
Kathrin menambahkan, SDM merupakan aset vital dalam kehidupan pemerintahan. SDM
adalah bagian terpenting dalam proses perencanaan strategis dan pengembangan
kebijakan pemerintahan. Sebab itu, pemerintahan harus mau dan mampu
meningkatkan SDM yang terampil, berkemampuan adaptasi yang tinggi serta mampu
menghadapi kerancuan-kerancuan (ambiguitas) dunia bisnis yang juga mau tak mau
harus dihadapi. Dengan begitu, pemerintahan akan selalu memenuhi unsur-unsur
kinerja dan performa pemerintahan yang kuat, sehat dan bagus seperti probisnis,
mampu hidup secara berkelanjutan, berdaya saing tinggi serta mampu beradaptasi
dan fleksibel dalam mengarungi gelombang zaman yang penuh ketidakpastian.
Dunia pemerintahan di era
globalisasi pun layaknya sebuah “Perang Bintang”. Pemerintahan yang tidak memiliki
SDM (kepala biro, kepala dinas dan aparatur) dalam kategori “Bintang”, pastinya
akan mudah tereliminasi, tersisih bahkan terlempar dari arena kompetisi. Tak
ada investor yang bersedia masuk wilayah pemerintahan tersebut. Sebab itu, pemerintahan
harus benar-benar mempersiapkan SDM-nya dengan ”senjata canggih” yang berupa
kompetensi serta pola pikir dan pola perilaku yang unggul.
Secara umum, kompetensi
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan atau
tugas yang dilandasi ilmu pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill) dan sikap kerja
yang positif (positive working-attitude).
Ketiga unsur itu saling menunjang dalam menghasilkan kinerja yang tinggi.
Dengan kata lain, kompetensi merupakan karakter dasar seseorang yang menjadikan
dirinya sanggup dan mampu memberikan kinerja yang efektif, bahkan superior
dalam suatu pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya. Singkat kata, kompetensi
adalah karakter seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya
berbeda dengan orang lain yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa-biasa
saja. Semakin kompeten seseorang, semakin tinggi pula kinerjanya.
Dalam hal ini, kita dapat
mengambil beberapa teladan pada orang yang memiliki kompetensi besar seperti
Benyamin Franklin, pemain golf fenomenal Tiger Wood, CEO legendaris Jack Welch,
pebisnis kreatif Bill Gates, atau proklamator kemerdekaan Bung Karno. Mereka
adalah orang-orang yang selalu konsisten dalam mengembangkan kompetensinya.
Seperti mereka, kita pun seharusnya selalu meningkatkan kompetensi diri agar
tidak tertinggal atau tergilas oleh kemajuan (perubahan) zaman. Dalam kehidupan
pemerintahan, kompetensi merupakan salah satu nilai utama (core value). Nilai kompetensi memiliki pemahaman bahwa setiap SDM
harus mempunyai semangat untuk maju, rasa tanggung jawab serta berkeinginan
kuat untuk selalu mengambil inisiatif. Termasuk, melakukan pengembangan diri
dari waktu ke waktu guna meningkatkan kompetensinya.
Kompetensi itu sendiri
harus dimiliki oleh para eksekutif (pimpinan), kepala biro, kepala dinas dan aparatur.
Secara lebih gamblang, berikut kami coba tuturkan mengenai makna kompetensi
yang mesti dipenuhi oleh SDM perusahaan yang boleh jadi dapat dijadikan cermin
kalangan aparatur pemerintahan. Hal ini kami sadur dari Andi Kirana dalam
bukunya yang berjudul Etika Manajemen:
Ancangan Abad 21 (1997). Tentu dengan beberapa penyerasian agar lebih mudah
dipahami tanpa mengurangi esensinya.
“Apa
saja yang dapat diungkapkan mengenai kompetensi-kompetensi yang diperlukan
untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dan jenis-jenis organisasi baru di
tempat kerja di masa datang? Dari Lyle & Signe Spencer bersama Davis
McClelland (1990) dapat diperoleh profil kompetensi yang penting bagi
eksekutif, manajer dan karyawan pada perusahaan masa depan yang semakin
kompetitif.
Para
eksekutif setidaknya harus memiliki tiga kompetensi penting, yakni: (a).
Pemikiran strategis. Kemampuan memahami kecenderungan perubahan lingkungan yang
cepat, peluang pasar, ancaman kompetisi, kekuatan dan kelemahan perusahaan,
serta sanggup mengindentifikasi respon strategis terhadap semua tantangan
secara optimal; (b). Kepemimpinan dalam perubahan. Kemampuan mengkomunikasikan
visi strategis perusahaan kepada seluruh pihak yang terkait (stakeholders), menciptakan komitmen dan
motivasi yang tulus dari mereka, bertindak sebagai penggerak inovasi dan
semangat kewirausahaan serta mampu mengalokasikan sumber daya perusahaan secara
optimal untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi; (c). Manajemen
hubungan. Kemampuan membina hubungan dan juga mempengaruhi di tengah-tengah
jejaring kerja yang kompleks dengan mitra usaha terkait, termasuk dengan pihak
yang tidak memiliki otoritas formal namun cukup berpengaruh seperti pelanggan,
serikat buruh, anggota parlemen dan lembaga swadaya masyarakat.
Sementara
itu, para manajer perlu memiliki kompetensi (antara lain): (a). Keluwesan.
Kesediaan dan kemampuan mengubah struktur dan proses manajerial bila hal itu
diperlukan untuk mendukung implementasi strategi perubahan perusahaan secara
keseluruhan; (b). Implementasi perubahan. Kompetensi yang serupa dengan
“kepemimpinan dalam perubahan” untuk tingkat eksekutif yang merupakan kemampuan
mengkomunikasikan perubahan perusahaan kepada segenap mitra kerja, dan juga
sanggup menerapkan perubahan-perubahan tersebut ke dalam kelompok kerjanya
melalui media komunikasi internal, pelatihan, proses fasilitasi kelompok dan
sebagainya; (c). Inovasi perusahaan. Motivasi untuk memenangkan persaingan
melalui penemuan jasa-jasa, produk dan proses-proses produksi yang baru; (d).
Pemahaman antar-pribadi. Kemampuan memahami dan menghargai masukan serta
pikiran dari berbagai pihak; (e). Pemberdayaan. Keterampilan manajerial untuk
saling membagi informasi, menggali ide-ide dari para mitra kerja secara
signifikan, memberikan umpan balik yang konstruktif, menyampaikan
harapan-harapan positif kepada bawahan, yang kesemua itu akan membuat karyawan
lebih berdaya dan termotivasi untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar;
(f). Fasilitasi kelompok. Keterampilan mengajak segenap personil dari kelompok
yang berlainan untuk bekerja sama secara efektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama antara lain merumuskan peran dan tanggung jawab masing-masing secara
jelas, mengendalikan mereka yang banyak omong dan hiperaktif, membangkitkan si
pelit omong dan superpasif untuk aktif berpartisipasi, menyelesaikan konflik
yang muncul; dan (g). Portabilitas. Kemampuan menyesuaikan diri secara cepat
dan sekaligus berfungsi secara efektif dalam lingkungan yang masih asing
sehingga manajer menjadi portabel untuk ditempatkan di manapun.
Sedangkan
para karyawan yang bekerja di dalam ”organisasi (perusahaan) masa depan” harus
memiliki kompetensi seperti berikut ini: (a). Keluwesan, yaitu memandang
perubahan sebagai peluang yang menarik ketimbang sebagai ancaman. Misalnya,
penerapan teknologi baru harus dilihat sebagai “bermain dengan alat-alat baru,
paling mutakhir dan paling baik”; (b). Selalu mencari informasi, motivasi dan
kemampuan belajar yang tulus terhadap peluang-peluang untuk mempelajari
keterampilan dan hubungan antar-pribadi baru. Misalnya, seorang staf teknik
jika diminta belajar menggunakan program komputer untuk menangani perhitungan
struktur bangunan hendaknya ia menerima hal tersebut sebagai keserbanekaan
kerja dan tidak menganggapnya sebagai beban tambahan. Kompetensi ini akan dapat
mengatasi buta pengetahuan dan keterampilan-keterampilan teknik khusus di masa
depan. Hal tersebut hendaknya menjadi pendorong untuk selalu mempelajari setiap
pengetahuan dan keterampilan baru yang dituntut oleh persyaratan kerja yang
berubah-ubah; (c). Motivasi untuk berprestasi yang merupakan pendorong bagi
inovasi, yaitu peningkatan mutu dan produktivitas secara terus-menerus yang
dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang terus meningkat; (d) Motivasi kerja
di bawah tekanan waktu yang merupakan gabungan antara keluwesan, motivasi untuk
berprestasi, daya tahan terhadap tekanan dan komitmen terhadap perusahaan yang
memungkinkan seseorang bekerja di bawah tuntutan akan produk dan jasa-jasa
(baru) dalam jangka waktu yang lebih singkat lagi; (e). Kesediaan bekerjasama
dalam kelompok-kelompok multi-disipliner dengan rekan kerja yang berbeda-beda:
penghargaan positif bagi orang lain, saling pengertian antar-pribadi dan
komitmen terhadap perusahaan; (f). Orientasi pelayanan kepada pelanggan yang
merupakan kegiatan tulus untuk membantu orang lain, saling pengertian
antar-pribadi yang memadai untuk kebutuhan dan suasana emosional pelanggan
serta cukup inisiatif untuk mengatasi rintangan-rintangan dalam perusahaan guna
memecahkan masalah pelanggan.”
Mengingat betapa pentingnya
kompetensi, maka lembaga pemerintahan harus menjadikan SDM sebagai sumber
kekuatan, bukan sumber beban. Caranya, antara lain, jadikan kompetensi sebagai
dasar dan kompas arah pengembangan SDM. Asah kompetensi mereka secara
terus-menerus sehingga semakin bertambah tajam. Sebab, seperti dikatakan oleh
Larry Bossidy dalam buku Corporate
Turnaround (2002), “Pada akhirnya, Anda bertaruh pada orang dan bukan pada
strategi.” Juga Stephen H. Rhinesmith dalam buku A Manager’s Guide to Globalization (1993) menegaskan, “Tantangan
fundamental di era globalisasi adalah bagaimana perusahaan mempersiapkan
pendekatan pengembangan dan implementasi yang terintegrasi tidak hanya
menyangkut strategi dan struktur perusahaan, tapi juga budaya perusahaan, pola
pikir manusia dan kompetensinya.”
Selain kompetensi, di era
globalisasi, SDM pemerintahan juga dituntut untuk memiliki pola pikir dan pola
perilaku yang unggul. Pola pikir mereka harus mengglobal, kritis, namun tetap
jernih serta memiliki kepercayaan diri tinggi dan menjunjung etika. Menjadi SDM
yang unggul. Menjadi manusia yang memiliki prinsip, nilai-nilai dan etos kerja
sesuai dengan era global. Prinsip-prinsip itu, antara lain, melaksanakan proses
pelayanan yang terbaik (excellent),
yang dicerminkan dari produk berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.
Kemudian, prinsip pelayanan yang memuaskan (satisfaction)
serta bernilai pelanggan tinggi (high
customer value).
SDM pemerintahan pun harus
memiliki daya juang yang tinggi. Daya juang menyangkut tindakan disiplin,
loyalitas, kerjasama, serta saling percaya dan menghargai. Juga mesti
berintegritas, yang merefleksikan sikap dan komitmen tinggi dalam bekerja
dengan dasar kejujuran dan etika. Satunya kata dengan perbuatan. Segenap SDM
harus mampu mengendalikan diri, menolak komisi, suap, menghindari manipulasi,
korupsi dan pemberian apapun yang dapat merusak moral, mengganggu pekerjaan dan
merugikan kinerja pemerintahan.
SDM yang harus pula
memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpin yang selalu tanggap terhadap perubahan dan
menjadi kunci keberhasilan bagi tumbuh-berkembangnya budaya pemerintahan dan
sikap kerja yang baik. Juga, pemimpin yang penuh keteladanan dan keadilan. Maklum,
pemimpin adalah panutan dalam cara berpikir dan bertindak bagi seluruh
bawahannya. Pun, SDM harus memiliki jiwa kewirausahaan. Entrepreneurship menyangkut bekerja secara mandiri, kreatif dan
inovatif, bekerja keras, tekun dan ulet. Termasuk, berdaya-guna, tepat janji
dan spirit kemajuan untuk terus mengembangkan potensi serta peka, teliti dan
taktis dalam memanfaatkan peluang di tengah-tengah semakin ketatnya persaingan antarpemerintah-daerah
dalam menggaet investor. Innovation and
Entrepreneurship, demikian ditegaskan oleh pakar manajemen dan kepemimpinan
Peter F. Drucker.
Tak kalah pentingnya
adalah prinsip bekerja sebagai bagian dari ibadah. Sebagai bakti kepada Tuhan
dan bermanfaat atau diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak. Bekerja sebagai
amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan
yang dimiliki dengan sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki
daya saing berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Sebuah
prinsip yang mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan
bekerja lebih kompeten serta profesional.
Dalam bekerja, SDM pemerintahan
tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence Quotient) semata. Lebih penting dari itu adalah
“kecerdasan hati dan spiritual” (EQ, Emotional
Quotient dan SQ, Spiritual Quotient).
Pasalnya, IQ tanpa diimbangi dengan EQ dan SQ dapat merusak segalanya. Bekerja
dengan hanya mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ akan (antara lain)
tercipta bisnis tanpa moralitas (business
without morality). Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya akan
melahirkan SDM dengan watak yang kurang beretika.
Sebagaimana pernah
diungkapkan oleh Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University dalam buku Emotional Intelligence (1995), IQ
sejatinya hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi kesuksesan seseorang.
Sedangkan 80 persen justru ditentukan oleh EQ dan SQ. Jadi, manusia yang
berkualitas adalah manusia yang memiliki kecerdasan emosional tinggi. Goleman
menambahkan bahwa Robert Kelley dan Janet Caplan pernah melakukan sebuah studi
di Bell Labs, pusat penelitian ilmiah tersohor di dunia yang berpusat
Princeton, Amerika Serikat, terhadap sejumlah insinyur berotak cemerlang.
Hasilnya, mereka yang disebut para “Bintang” ternyata bukanlah para insinyur
yang tergolong ber-IQ paling tinggi. Para “Bintang” itu adalah mereka yang
ber-IQ tinggi serta memiliki EQ dan SQ yang tinggi pula. Mereka tidak sombong
dan tidak malas untuk mengangkat panggilan telepon dan selalu menjawab e-mailnya.
Mereka adalah orang-orang yang efektif dalam kerjasama tim, mampu melihat
segala sesuatu dari sudut pandang orang lain, mempunyai kemampuan persuasif,
mampu meningkatkan kerjasama serta menghindari konflik. Mereka juga bersedia
memotivasi diri untuk memikul tanggung jawab di luar tugas-tugas resmi, pintar
dalam membagi waktu dan memiliki komitmen tinggi dalam bekerja. “They are not the lone-wolf geniuses,”
ungkap Goleman (Andi Kirana, 1997).
Seiring dengan
prinsip-prinsip kerja di atas, SDM pemerintahan juga dituntut memiliki
nilai-nilai budaya pemerintahan bersih dan etos kerja yang baik. Di antaranya
adalah berorientasi kepada pelayanan dengan sikap tindak yang andal, responsif,
jujur dan dapat dipercaya. Juga, bekerja secara profesional yang dinafasi
dengan integritas, meningkatkan keahlian, mengedepankan kualitas dan kerjasama
tim. Kemudian respek kepada masyarakat dan lingkungan sekitar dengan landasan
sikap dan tindakan yang lebih peduli, progresif dan pro-aktif. Termasuk
nilai-nilai budaya disiplin: disiplin manusianya, disiplin tindakannya dan
disiplin perilakunya.
SDM pun harus memiliki
etos kerja keras, pikir cerdas dan amal ikhlas. Bekerja keras dalam arti bahwa
dalam bekerja buat kepentingan pemerintahan (yang berarti juga untuk kepentingan
diri sendiri, aparatur lain dan orang banyak) tidak boleh mengenal batas ruang
dan waktu. Banyak bekerja lebih baik ketimbang banyak bicara. Bekerja keras
terlebih dulu dengan sepenuh integritas, tanggung jawab dan disiplin, baru
setelah berhasil berbicara. Kemudian, berpikir cerdas. Bahwa dalam bekerja
harus menggunakan kemampuan berpikir, kemampuan menganalisis, serta kemampuan
mengatasi masalah dengan tepat melalui metode yang terprogram. Bukan dengan
tenaga otot.
Segenap SDM harus memiliki
kemampuan untuk membuat perencanaan, langkah dan strategi yang handal, serta
mampu memprediksi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul. Dan, agar menjadi
cerdas, SDM harus terus belajar. Menjadi insan ”pembelajar”. Belajar kepada
siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Pengetahuan dan kemampuan seseorang, jika
tidak terus diasah dengan cara belajar atau menganggap dirinya sudah pintar,
pasti akan berhenti dan tidak berkembang. Melalui proses belajar, SDM yang
cerdas akan terus mampu mengevaluasi, membenahi dan mengambil langkah dan
strategi serta kebijakan dan program yang tepat bagi perusahaan.
Lantas, beramal ikhlas.
Para karyawan harus bekerja sebaik mungkin, komitmen tinggi dan bertanggung-jawab.
Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah Tuhan. Tuhan selalu
mengawasi setiap saat. Karena itu, pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan
amal yang ditujukan demi kebaikan diri sendiri dan orang banyak. Bekerja dalam
konteks amal ikhlas untuk melengkapi ibadah. Kalau ibadah ritual masih kurang,
maka bekerja ikhlas dimaksudkan sebagai amal pelengkap. Dengan bekerja dalam
perasaan yang tulus-ikhlas, segenap aparatur dalam bekerja tak pernah kenal
waktu. Apapun hasilnya, selalu disyukuri. Prinsip kerja ikhlas itulah
sesungguhnya yang membuat segenap SDM pemerintahan menjadi selalu optimis dan
tak pernah ragu dalam bersikap.
Persaingan (bisnis) di era
global memang sangat ditentukan oleh kompetisi di sektor manusianya: etos
kerja, kualitas dan produktivitasnya. SDM yang memiliki kompetensi, pola pikir,
pola perasaan dan pola perilaku unggul itulah yang bisa dikatakan sebagai
manusia yang efektif dan kreatif. Dalam buku Seven Habits of Highly Effective People (1993), Steven R. Covey
menjelaskan tentang kebiasaan manusia yang efektif. Pertama, jadilah pro-aktif. Berarti bertanggung-jawab terhadap
setiap tindakan dan perilaku yang kita lakukan. Pro-aktif lebih dari sekadar
mengambil inisiatif. Orang-orang pro-aktif yang mengedepankan pemikiran positif
(positive thinking), yang merupakan
para pelaku perubahan menuju kemajuan dan keberhasilan. Mereka juga tidak
bersikap reaktif dengan menyalahkan orang lain.
Kedua,
merujuk pada tujuan akhir. Orang-orang yang memiliki visi dan tujuan dengan
mengindentifikasi prinsip-prinsip, nilai-nilai dan selalu membuat komitmen
terhadap diri sendiri untuk melakukannya. Ketiga,
dahulukan yang utama. Maksudnya, mendahulukan apa yang sudah digariskan seperti
visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang menjadi prioritas, serta membuat
tujuan dan sasaran alternatif. Keempat,
berpikir menang. Cara berpikir yang berusaha mencapai keuntungan bersama dan
didasarkan pada sikap saling menghormati dalam setiap interaksi.
Kelima,
berusaha memahami lebih dulu, baru dipahami. Memulai komunikasi positif dengan
memahami dan menghargai orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan keberanian,
kemurahan dan kemauan untuk membuka diri dan kesediaan untuk mendengarkan.
Setelah itu, barulah dipahami oleh orang lain. Keenam, wujudkan sinergi. Sikap saling menghargai atau tidak
mengutamakan “cara kita” atau “cara dia” melainkan “cara kita bersama-sama”
yang lebih baik. Ketujuh, mengasah
gergaji. Terus memperbaiki empat bidang dasar diri manusia: fisik, sosial
(emosional), mental dan rohaniah guna meningkatkan kapasitas dan kebiasaan yang
lebih baik.
Secara umum, tujuh
kebiasaan manusia yang efektif tadi dapat dibagi menjadi dua kriteria. Yakni,
kebiasaan primer yang terdiri dari kesadaran diri atau pengetahuan akan diri,
imajinasi dan suara hati, serta kehendak bebas atau niat. Berikutnya adalah kebiasaan
sekunder yang terdiri dari mentalitas berkelimpahan, keberanian dan
pertimbangan, serta kreativitas dan pembaharuan diri. Kebiasaan kesadaran diri
dengan menumbuhkan kemampuan menjadi proaktif dalam memilih respon sebaiknya
dilakukan dalam kondisi tenang dan bertanggung-jawab. Sedangkan kebiasaan
imajinasi dan suara hati sebaiknya memulai dengan mengacu pada tujuan.
Sementara itu, kebiasaan niat berkaitan dengan mendahulukan yang utama. Setelah
melalui tiga kebiasaan primer itu, tentunya akan timbul berpikir menang,
berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti; dan melahirkan kreativitas
yang dikaitkan dengan sinergi untuk membuat perbaikan yang berkelanjutan atau
pembaharuan diri.
Jelas, bahwa Awang Faroek
sangat menaruh prioritas tinggi pada peningkatan kualitas SDM aparatur
pemerintahan yang dipimpinnya. Untuk membentuk SDM yang kaya kompetensi dan
pengalaman, tak berapa lama setelah dilantik menjadi Gubernur Kalimantan Timur
periode 2008-2013, pada tanggal 3 Februari 2009 dia melantik kabinet yang akan
mendampinginya. Mereka adalah 49 pejabat eselon II/a dan II/b untuk mengemban
jabatan penting di struktural pemerintahan, terdiri dari tiga orang asisten,
lima orang staf ahli gubernur, kepala dinas, kepala biro, dan kepala badan di
lingkungan Sekretariat Provinsi (Setprov) Kaltim. Terdapat sejumlah wajah lama
yang masih mengemban amanah jabatan sebelumnya, namun pelantikan tersebut
sekaligus mengukuhkannya. Terdapat pula wajah baru yang sebelumnya menjabat di
SKPD tertentu kemudian ditarik menduduki jabatan asisten, staf ahli dan kepala
badan.
“Mutasi ini dilakukan
untuk penyegaran dan mengisi sejumlah lembaga baru sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Pergantian dan perpindahan pejabat di birokrasi pemerintahan merupakan hal
biasa,” jelas Awang Faroek sembari menambahkan bahwa mutasi jabatan sebagai
upaya untuk memperkaya pengalaman seseorang sekaligus memberi suasana kerja
baru yang lebih segar dalam organisasi.
Awang Faroek merasa
gembira bahwa para pejabat yang baru dilantik siap menanda-tangani berkas Pakta Integritas dan bersedia mematuhi
dan memenuhi tuntutan dan kewajiban untuk bekerja lebih baik serta mendukung
komitmen pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan
Setprov Kaltim. Sehingga, mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa serta mengubah paradigma birokrasi yang semula sebagai penguasa
menjadi pelayan masyarakat.
“Saya minta kita semua
melakukan kerja keras dan mematuhi segala hal yang tercantum dalam Pakta Integritas, sehingga keinginan
Kaltim sebagai Island of Integrity
segera terwujud,” jelas Awang Faroek sembari menambahkan bahwa momentum
pelantikan itu sekaligus untuk menyatukan komitmen bersama guna mendorong
percepatan grand design “Kaltim
Bangkit 2013”.
Sayangnya, beberapa pihak
menilai pelantikan kabinet Awang Faroek tersebut sebagai pelantikan jabatan
politis “balas jasa”. Sementara pemosisian orang-orang berjasa oleh Awang
Faroek tersebut dinilai wajar oleh Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim. “Wajar
saja jika Awang Faroek memberikan jabatan penting kepada orang-orang yang
dinilai berjasa padanya. Saya pun akan berlaku sama jika menjadi gubernur,”
ucap Herlan Agussalim sebagaimana dikutip
Kaltim Post (2009).
Awang Faroek memberikan
posisi penting kepada sejumlah orang anggota tim suksesnya itu bisa diibaratkan
sebuah kapal di mana nakhoda sangat membutuhkan Awak Buah Kapal (ABK) yang
mampu membantu menyukseskan program kerjanya. Ihwal susunan kabinet yang ada
diharapkan oleh Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim dapat membawa angin segar
untuk percepatan pembangunan di wilayah Kaltim. “Kabinet sebelumnya berjalan
lambat. Tapi, dimaklumi karena gubernurnya tersangkut persoalan hukum. Ke
depan, Awang Faroek bersama kabinetnya bisa membuat terobosan baru guna
membangun Kaltim ke arah yang lebih baik,” ujar Agussalim.
Hal yang tak kalah penting
adalah mutasi di level eselon I, karena yang memegang peran penting di
pemerintahan daerah dan mampu menggerakkan roda organisasi adalah Sekretaris
Provinsi (Sesprov). “Jabatan Sesprov sangat penting bagi motor penggerak
pemerintahan. Karenanya, gubernur harus bisa menempatkan orang yang tepat agar
roda organisasi berjalan secara baik dan lancar,” Herlan Agussalim menandaskan.
Pengamat sosial dan hukum
Universitas Mulawarman (Unmul) Prof. Sarosa Hamungpranoto menilai, berbagai
aspek pertimbangan dilakukan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dalam
memosisikan sejumlah pejabat, di antaranya memiliki aspek kinerja dan politis
menjadi warna dalam penetapan komposisi kabinet yang akan membantu tugas
gubernur selaku kepala daerah yang disesuaikan dengan tugas, pokok dan fungsi
(Tupoksi). ”Kebijakan Gubernur Kaltim sepenuhnya tergantung kinerja dan
berbasis kemampuan dalam mendukung upaya pembangunan Kaltim lebih baik dan
maju. Meski tetap diwarnai kebijakan politis, namun tetap pada kompetensi dan
kemampuan,” tutur Sarosa.
Kendati penerapan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) di Kaltim melahirkan lima staf ahli sesuai dengan Tupoksi menjadi pejabat
struktural dan berperan membantu tugas Gubernur Kaltim, namun mereka juga
diharapkan berfungsi ekeftif dan maksimal. Sebab itu, staf ahli harus
memfungsikan dirinya sebagai staf yang mampu mengambil peranan penting sebagai
bahan masukan ke Gubernur Kaltim. “Lima staf ahli itu sudah dilantik dan mereka
wajib memberikan sesuatu yang terbaik untuk Kaltim, dengan menunjukkan kualitas
dan kemampuan serta pemahaman sesuai dengan bidang yang dikuasainya. Termasuk
wawasan lokal, nasional hingga internasional. Karena Kaltim tidak pernah
berpisah dengan kepentingan nasional,” Sarosa berharap.
Bahkan, beberapa kebijakan
Gubernur Kaltim sebaiknya dievaluasi oleh staf ahli, khususnya kebijakan yang
berpijak pada kepentingan masyarakat banyak. Seperti pelayanan publik,
aktivitas pembangunan, serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. “Saya
berharap, penempatan staf ahli itu sesuai dengan bidang kemampuannya sekaligus
menyesuaikan diri dengan tugasnya yang baru. Karena mereka sudah dilantik dan
harus sadar akan tugas dan tanggung-jawabnya untuk bekerja semaksimal mungkin
dalam memberikan masukan ke gubernur,” ujar Sarosa.
Disinggung soal keberadaan
staf ahli dan pejabat eselon II asal Unmul, seperti Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim H. Rusmadi sangat berperan dalam membawa
masa depan Kaltim ke arah yang lebih baik atau tidak, Sarosa bertutur,
“Kebijakan akademis tetap harus mewarnai pembangunan Kaltim khususnya pada
peningkatan kualitas SDM dengan cakrawala luas. Karena seorang staf ahli harus
dapat memberikan pemikiran dan pertimbangan terkait kebijakan yang disesuaikan
dengan bidangnya. Lantaran Gubernur Kaltim melantik kabinetnya untuk meraih
kesuksesan dalam kepemimpinnya hingga 2013 mendatang.”
Jauh sebelum menjadi
Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek sudah sangat menaruh perhatian pada
pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tidak sebatas memberi
pengalaman melalui mutasi dan promosi. Ketika masih menjadi Bupati Kutai Timur,
Awang Faroek sempat menjalin kerjasama pelatihan (coaching) dengan Allen Abeng
Institute dan Tanri Abeng Associate.
Dia memberi kesempatan kepada anggota DPRD, aparatur pemerintah daerah, dan
pengusaha daerah untuk secara intensif mengikuti pelatihan seputar manajemen
praktis di lembaga milik Menteri Negara Pendaya-gunaan BUMN periode 1998-1999
itu. Boleh jadi ini merupakan pelatihan manajemen praktis model baru dan
pertama kalinya di Indonesia.
Menurut pakar manajemen Tanri
Abeng, pemimpin seperti Awang Faroek jelas sangat membutuhkan orang-orang yang
mau belajar berpikir dengan paradigma korporasi. Yakni, belajar bagaimana
pentingnya melakukan transformasi pemikiran dari birokrat ke korporat.
Orang-orang yang berkualitas yang mampu mendukung dan menguatkan pemikiran
seorang pemimpin visioner.
Jelas bahwa SDM
berkualitas dan organisasi yang baik menjadi kunci keberhasilan jalannya
pemerintahan daerah di era globalisasi dan otonomi ini. Dan Awang Faroek sangat
menyadari hal itu lalu menggerakkan segenap aparaturnya untuk memenuhi
kualifikasi unggulan. ***
No comments:
Post a Comment