Wednesday, August 28, 2013

Pemimpin Transformatif yang Unggul


Pemimpinlah yang mampu membangun organisasi secara lebih efektif, kuat, kompetitif serta meningkatkan kehidupan kerja, bahkan pada kesempatan tertentu, untuk kehidupan keluarga.
Andrew E.B. Tani, penulis buku Get Real (2003)

Globalisasi dan otonomi daerah merupakan dua arus besar yang tidak bisa dielakkan oleh semua wilayah di muka bumi ini. Otonomi daerah dapat menjadi peluang sekaligus tantangan. Peluang karena daerah diberi kesempatan untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Tantangannya adalah bagaimana daerah melakukan adaptasi dalam waktu relatif singkat, padahal masih dibutuhkan proses pembelajaran.
Pada era otonomi daerah, setiap daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi sumber daya daerah masing-masing. Ini dilakukan guna meningkatkan daya saing daerah (regional competitiveness). Sebab itu, harus ada perubahan paradigma dari pendekatan biaya (cost approach) kepada pendekatan pendapatan (revenue approach).
Dengan begitu perlu ada perubahan paradigma atau pola manajerial dari pola manajemen birokrat kepada korporat. Untuk menuju ke sana mesti dilakukan tiga hal, pertama, strategi membangun capacity building dengan melakukan peningkatan sumber daya manusia (SDM), yakni melalui reeducation.
Kedua, institutional building, yaitu penataan organisasi. Kelembagaan perlu ditata kembali dari pendekatan cost kepada pendekatan revenue. Karena di era sentralistik dulu, pemerintah daerah hanya menerima anggaran dan menghabiskannya dalam proyek yang telah disepakati. Kini, perlu dilakukan pendekatan kebutuhan (need). Dalam poin ini, yang terpenting adalah kemampuan daerah untuk mengembangkan kebijakan peningkatan investasi dan pengembangan dunia usaha. Pemerintah bukan lagi menjadi pemain bisnis tapi cukup sebagai fasilitator saja. Sehingga, terjadi hubungan yang baik antara pemerintah dan dunia usaha.
Dan ketiga, resource management (badan-badan usaha) perlu dikembangkan. Minimal, terdapat lima lembaga ekonomi yang harus dikembangkan di daerah: BUMA (Badan Usaha Milik Asing), BUMS (Badan Usaha Milik Swasta), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), dan BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat).

A.    Sosok Pemimpin Penggerak Perubahan
 Untuk mengimplementasikan ketiga poin tadi, kita membutuhkan seorang pemimpin yang unggul. Pemimpin yang dapat membangun organisasi secara lebih efektif, efisien, kuat, kompetitif serta meningkatkan kehidupan kerja. Pemimpin yang profesional, yang memiliki pendidikan, keterampilan dan pengalaman di atas rata-rata. Awang Faroek Ishak boleh dikatakan telah memenuhi persyaratan sebagai sosok pemimpin profesional yang berpikir jauh ke depan (visioner).
Awang Faroek layak dikatakan sebagai pemimpin yang mampu menggerakkan perubahan atau pemimpin penggerak perubahan demi suatu keberhasilan. Seorang pemimpin yang benar-benar berniat dan berupaya mengubah keadaan wilayah Kutai Timur, dan kini Kalimantan Timur, menjadi lebih baik (change to be better).
Awang Faroek menggelorakan prinsip bahwa daerah atau wilayah harus mampu mengusung misi memberdayakan potensi agar mampu terus hidup berkelanjutan dan membawa rakyat menuju kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. Sebab itu, Awang berusaha memaksimalkan potensi yang ada.
Salah satunya, Awang Faroek menangkap tiga poin di awal bab ini untuk dijadikan pilar dan pondasi pembangunan wilayah Kutai Timur dan Kalimantan Timur. Yakni, meningkatan kualitas SDM, menata organisasi, dan memberdayakan kelembagaan ekonomi yang ada. Sebagai seorang profesional, di mata Menteri Negara Pendayagunaan BUMN 1998-1999 Tanri Abeng, Awang Faroek  sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan bupati atau kepala daerah pada umumnya. Dia mampu melahirkan konsep dan ide-ide brilian yang variatif dan menjangkau jauh ke masa depan. Tanri Abeng mencermati bahwa apa yang telah dilakukan oleh Awang Faroek dalam mengelola dan mengatur Kutai Timur merupakan sebuah revolusi pemikiran dan paradigma baru manajemen pemerintahan. “Tak terbayang buat saya, Awang Faroek demikian cepat menangkap dan menyadari bahwa dia membutuhkan paradigma baru. Ini pola pikir yang luar biasa,” puji Tanri Abeng tanpa reserve. Karena itu, Tanri Abeng tak ragu-ragu menempelkan predikat “Bupati CEO” kepada Awang Faroek.  
Guna terus membawa daerah mampu hidup berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, Awang Faroek berusaha memberdayakan segenap sumber daya dan kekuatan (modal capital) yang dimiliki wilayah Kutai Timur. Mulai dari modal SDM (humat capital), modal ekonomi (economic capital), sampai modal sosial (social capital). Istilah kerennya, Awang Faroek ingin menjadi pemimpin yang manajer dan manajer yang pemimpin. Manager leader. Begitulah sosok Awang Faroek sebagai pemimpin perubahan. Dia adalah seseorang yang memperoleh kewenangan formal untuk melakukan tugas-tugasnya bersama orang lain dalam sebuah organisasi (pemerintahan), buat menghasilkan kinerja yang bagus secara berkelanjutan dengan cara menggerakkan dan membawa orang-orang yang dipimpinnya pada keyakinan bahwa sebenarnya mereka bekerja demi kepentingan diri mereka sendiri ketika memberikan yang terbaik kepada tim dan kepada pelayanan (masyarakat) yang membuat mereka terus bekerja dan berkarya.
Mengkombinasikan kecakapan memimpin dan manajerial itulah sesungguhnya yang dapat menghasilkan kompetensi optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di sini, kata pakar kepemimpin Peter F. Drucker, “Anda akan sukses memimpin jika Anda memiliki kemampuan manajerial. Namun, jika Anda menjadi manajer tanpa kecakapan memimpin, Anda akan sangat mudah terjebak menjadi seorang birokrat.” Jadi, manager leader bukanlah pemain biola tunggal. Tapi, layaknya seorang konduktor dalam sebuah orkestra. Gerakan tangannya menginstruksikan penabuh gendang, pemain biola, pemetik gitar, peniup terompet dan lainnya buat menyajikan harmoni musik yang indah dan menyentuh hati. Irama yang menggetarkan setiap sudut ruang dan relung hati setiap orang. Irama yang melambangkan keteraturan dan keharmonisan. Saling mendukung, saling mengisi dan saling melengkapi guna menggapai hasil yang baik dengan cara yang benar.
Sebagai sosok pemimpin perubahan, Awang Faroek memiliki unsur-unsur prototipe seorang pemimpin yang kuat. Bukan pemimpin yang kuat dalam arti otoriter (apalagi diktator), tapi pemimpin yang kuat dalam visi, hati dan aksi (tindakan, keteladanan). Pemimpin yang betul-betul memahami akar masalah pemerintahan daerah beserta solusinya, berani dan tegas serta konsisten dan teguh dalam melakukan perubahan. Pemimpin yang senantiasa mendorong perubahan, obyektif, berpikir positif, berwawasan luas, memiliki ide cemerlang, motivasi tinggi, enerjik, intelek serta berorientasi kepada tindakan dan kerja nyata. Tegas dan berani mengambil keputusan, mampu berorganisasi, sigap membaca kondisi wilayah, memiliki kemampuan manajerial, serta mampu menjadi motivator, inspirator dan komunikator yang baik.
Awang Faroek merupakan sosok yang disegani, didukung dan menjadi figur rujukan (role model) serta mempercayai dan dipercaya oleh orang-orang yang dipimpin sehingga kestabilan dan pertumbuhan daerah dapat terjaga secara baik. Dengan begitu agenda pemerintahan yang dirancang dan ditargetkan dapat berjalan secara terarah dan terukur. Kepercayaan adalah vital. Kepercayaan merupakan lem perekat antara pemimpin dan mereka yang dipimpin. Tanpa kepercayaan, pemimpin dan kepemimpinan akan hilang. Dalam hal ini pakar kepemimpinan John C. Maxwell mengatakan, ”Semakin bisa dipercaya diri Anda, maka semakin besar pula kepercayaan orang lain yang ditempatkan pada diri Anda. Dengan demikian memungkinkan Anda memiliki hak istimewa mempengaruhi kehidupan mereka. Semakin kurang kepercayaan diri Anda, semakin kurang pula kepercayaan yang ditempatkan orang lain pada diri Anda, dan makin cepat Anda kehilangan kedudukan untuk mempengaruhi.”
Memang mengagumkan bila orang-orang yang dipimpin percaya kepada sang pemimpin. Lebih mengagumkan lagi kalau sang pemimpin juga percaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ketika keduanya terjadi, terciptalah saling kepercayaan (mutual trust). Semakin orang mempercayai pemimpinnya maka semakin bersedialah mereka menerima perubahan-perubahan yang diusulkan oleh sang pemimpin. Dan model ini pula yang terus dikembangkan oleh Awang Faroek sebagai pemimpin daerah.
Untuk itulah, Awang Faroek berusaha tampil sebagai pemimpin yang mampu menjalin komunikasi secara baik dan jelas. Pemimpin yang memiliki seni dalam berkomunikasi. Baik komunikasi verbal (tertulis) maupun non-verbal (lisan). Walhasil, transformasi nilai-nilai budaya pemerintahan yang unggul yang dicanangkan dan digulirkan menjadi lebih mudah dimengerti, dipahami dan  dilaksanakan oleh orang-orang yang dipimpinnya maupun mereka yang terkait dan berhubungan dengan pemerintahan. Dengan komunikasi yang baik dan jelas, tentu akan memberi inspirasi dan motivasi terutama kepada aparatur pemerintahan agar membuat sasaran, proyeksi, tugas dan tanggung jawab serta keputusan yang baik dan benar dalam sebuah tim kerja (team work). Terlebih lagi dalam proses perubahan paradigma atau pola manajerial dari pola manajemen birokrat kepada manajemen korporat di lingkungan pemerintahan daerah.
Sebagai sosok pemimpin perubahan, Awang Faroek termasuk pemimpin yang memiliki komitmen yang tinggi. Komitmen adalah janji untuk mengerjakan apa yang telah dikatakan hingga akhirnya mencapai tujuan. Komitmen adalah kesanggupan untuk bertanggung-jawab pada apa yang dipercayakan kepadanya.  Bila kedua makna dan arti tadi digabung, komitmen berarti janji atau kesanggupan untuk menggerakkan tindakan dalam meraih tujuan yang menjadi tanggung-jawabnya. Tiada kesuksesan yang dapat digapai tanpa perjuangan dan pengorbanan. Itulah jati diri pemimpin yang berkomitmen, siap berjuang dan berkorban demi  kepentingan dan kemajuan pemerintahan.
Komitmen menyangkut keseimbangan dari karakter dan kompetensi. Khususnya menyangkut integritas (karakter) dan kemampuan melakukan apa yang dikatakan dan apa yang akan dilakukan (kompetensi). Pemimpin yang berintegritas berarti pemimpin yang satunya kata dengan perbuatan/tindakan. Integritas inilah yang harus selalu ada pada diri seorang pemimpin. Bahkan banyak pakar kepemimpinan menyebut bahwa integritas merupakan faktor kepemimpinan yang paling penting. Di sinilah, pemimpin penggerak perubahan juga berani meletakkan jabatan dan kedudukannya sekiranya komptensi dan integritas dirinya terbukti rendah. Awang Faroek bukanlah tipikal pemimpin yang mencari aman atau menghindar dari berbagai tekanan atau persoalan besar dan berat.
Dengan bercermin pada berbagai prestasi yang telah diapresiasi oleh banyak kalangan, Awang Faroek layak disebut sebagai pemimpin penggerak perubahan yang mampu menciptakan sistem dan memiliki kemampuan dalam mengelola sistem. Dan sistem itu yang kemudian menyetir pemimpin (Awang Faroek) dan segenap orang yang ada di dalam pemerintahan Kabupaten Kutai Timur. Sistem itu dibangun dan dipersiapkan untuk mewujudkan organisasi (pemerintahan) yang lebih efektif, berfokus pada pelayanan masyarakat, aparatur yang kompeten serta sistem manajemen pemerintahan yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance). Istilah kerennya organizing for governance excellence. Sebuah organisasi pembelajaran (learning organization) di mana dan kapan saja setiap aparatur yang ada di dalamnya mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi pekerjaan, wewenang dan tanggung-jawabnya sesuai dengan peran dan fungsinya serta jabatannya masing-masing. On the right man on the right place.

B.     Nakhoda Sebuah Kapal
Pemimpin suatu pemerintahan layaknya seorang nakhoda sebuah kapal. Sebuah kapal yang membawa banyak penumpang yang harus dilayani dengan baik dan benar. Sebab itu, kapal mesti dilengkapi dengan berbagai fasilitas sehingga para penumpang terpuaskan dan kembali menggunakan kapal itu untuk bepergian. Fasilitas itu (antara lain) tempat duduk, tempat makan, tempat tidur, kamar mandi, sarana olah raga sampai panggung hiburan.
Penumpang kapal memang harus dijamu secara paripurna. Sebab, mereka sudah membayar tiket perjalanan yang relatif mahal. Mahal namun sepadan dengan pelayanan yang telah diberikan. Dan, kepuasan penumpang memang menjadi faktor kunci keberhasilan bisnis kapal penumpang. Pelayanan yang baik dan benar sangat menentukan penuh-tidaknya penumpang (occupancy). Kapal penumpang yang pelayanannya bagus jelas akan menjadi pilihan penumpang. Dengan occupancy yang selalu tinggi, tentu bisnis kapal penumpang tersebut dapat terus beroperasi, bahkan tumbuh dan berkembang.
Di dalam sebuah kapal penumpang, peran dan fungsi seorang nakhoda demikian menentukan. Seorang nakhoda harus mau dan mampu membuat sistem manajemen dan organisasi yang terencana secara baik dan benar kepada penumpang. Dalam hal ini sang nakhoda tentu harus mau dan mampu memberdayakan seluruh ABK (Awak Buah Kapal) yang bekerja selama dalam perjalanan sebuah kapal. Untuk itu, seluruh ABK juga mesti terlibat secara aktif sebagai sebuah tim di bawah komando nakhoda. Bukan bekerja sendiri-sendiri.
Sang nakhoda  harus mau dan mampu memberdayakan seluruh ABK sehingga arah dan sasaran (visi dan misi) perjalanan serta pelayaran kapal yang membawa begitu banyak penumpang agar kondisinya tetap nyaman, aman dan selamat sampai tujuan (pelabuhan). Nakhoda mesti mau dan mampu memberdayakan ABK guna menggerakkan segenap sumber daya yang terdapat di dalam kapal. Mulai dari manusia, mesin, material, bahan bakar hingga seperangkat aturan beserta nilai-nilai yang harus ditaati dan dijalankan oleh seluruh ABK, termasuk diri sang nakhoda. Kuncinya, mereka (para ABK) harus bekerja secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Setiap ABK harus ditempatkan sesuai kapasitas dan deskripsi pekerjaan (job description) yang jelas. Orang yang tepat di tempat yang tepat. The right man on the right place. Siapapun ABK yang tidak menjalankan fungsi dan tugasnya secara baik dan benar, maka harus diberi sanksi (punishment). Begitu pun sebaliknya, ABK yang telah menjalankan fungsi dan tugasnya secara baik dan benar, apresiasi (reward) harus diberikan.
Sebagaimana kita pahami, pekerjaan di dalam sebuah kapal itu sendiri harus dilaksanakan oleh seluruh awak kapal. Antara lain terdiri dari nakhoda dan ABK. Nakhoda disebut juga sebagai sang kapten (master), yang merupakan pimpinan puncak (komandan) di atas kapal. Nakhoda bertanggung-jawab atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan seluruh isi kapal: ABK, para penumpang dan muatannya. Sebab itu, nakhoda harus memiliki arah (visi) dan sasaran (misi) dalam suatu pelayaran. Pemetaan samudera dan kemampuan memimpin sang nakhoda dalam menggerakkan dan memberdayakan seluruh ABK menjadi kunci kenyamanan, keamanan dan keselamatan sebuah pelayaran sampai tujuan (pelabuhan). Sang nakhoda harus tahu di mana kapal sedang melaju dan ke arah mana kapal harus menuju. Di laut tenang atau di tengah samudera yang penuh tantangan. Sang nakhoda harus tahu persis apakah kapal telah melaju sesuai jalur yang ditetapkan atau tidak. Bukan apa-apa, alam terkadang menunjukkan keperkasaannya berupa gelombang dan angin besar yang bisa mengubah arah pelayaran kapal. Menjawab tantangan seperti itu, seorang nakhoda tentu harus mampu mengendalikan sehingga pelayaran kapal tetap nyaman, aman dan selamat sampai tujuan. Nakhoda sejati adalah sosok yang lahir dan tumbuh dari tempaan dan terjangan gelombang samudera yang dahsyat.
Nakhoda dibutuhkan dalam sebuah pelayaran kapal berkat pengalamannya yang berhasil serta mampu melewati gelombang dahsyat dan cuaca yang kurang bersahabat. Bukan pangkat yang melekat pada dirinya. Pengalaman dan kamatangan berpikir sehingga mampu menciptakan sistem dan organisasi kapal yang baik dan benar itulah yang menjadikan seorang nakhoda menjadi tangguh. Laiknya tokoh-tokoh penjelajah samudera legendaris seperti William Bligh (Inggris), Columbus (Portugis), Laksamana Cheng Ho (China), Laksamana Nala (Kerajaan Majapahit) dan lain-lain. Seorang nakhoda yang bukan hanya bekerja untuk sebuah jabatan, namun benar-benar mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kapal dan seluruh penumpang. Kisah kapal pesiar Titanic yang menghantam bongkahan es telah menjadi cerita tersendiri. Keselamatan seluruh penghuni kapal menjadi prioritas utama. Sang nakhoda memilih menjadi orang terakhir yang turut tenggelam bersama kapal legendaris itu.
Struktur di bawah nakhoda adalah ABK yang terdiri dari para perwira dan bawahan. ABK terbagi dalam pekerjaan dan tugas bagian dek, bagian mesin, radio operator, bagian makanan dan pelayanan. Setiap bagian dipimpin oleh perwira. Perwira bagian dek misalkan, terdiri dari Chief Mate atau Mualim, Mualim satu hingga empat. Kemudian di bawahnya ada juru mudi (sailor) yang bertugas memegang kendali kemudi selama kapal berlayar di lautan. Lalu ada kelasi yang bekerja merawat kapal.
Perwira bagian mesin terdiri dari Masinis atau Engineer. Mereka terbagi menjadi Chief Engineer, kepala kamar mesin satu sampai lima (tadang mereka disebut juga asisten masinis), dan bawahan seperti Mandor, Foreman atau Oulier Number One yang berfungsi sebagai pemimpin bagian mesin. Di kapal-kapal besar biasanya juga terdapat Electrisen yang bertugas merawat peralatan listrik. Juga ada Radio Officer yang bertugas menerima dan mengirim berita dari kapal. Untuk bagian makanan dan pelayanan dipimpin oleh Chief Steward atau Hoff Mister, yang membawahi Botelir (bertugas menjaga bahan makanan), juru masak atau koki, pelayan ruang makan dan pelayan akomodasi perwira. Melajunya sebuah kapal di tengah lautan atau samudera merupakan hasil dari kerjasama tim seluruh awak kapal. Masing-masing berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Satu sama lain bekerja saling terkait dan saling menguatkan. Tidak boleh ada satu sisi bagian pun yang lemah, yang pada akhirnya dapat membahayakan keselamatan kapal dan seisi penumpangnya.
Layaknya seorang nakhoda, seorang pemimpin pemerintahan juga dituntut untuk terlebih dulu mengetahui secara jelas potensi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) atau SWOT pemerintahan yang dipimpinnya. Berbekal analisa SWOT, seorang kepala pemerintahan mulai merentang visi (arah) dan misi (tujuan) pemerintahan. Visi dan misi lantas diterjemahkan ke dalam rencana utama (grand strategy) yang menjadi pedoman bagi segenap aparatur pemerintahan, baik yang pimpinan maupun yang dipimpin, dalam melajukan atau menakhodai sebuah pemerintahan. Dari rencana utama lalu dijabarkan ke dalam perancanaan strategis dan fungsional yang menjadi pedoman bagi pimpinan dalam bekerja. Semua perencanaan itu harus terukur dan senantiasa dievaluasi guna mengetahui apakah tujuan yang ditetapkan tercapai atau tidak.
Sebagai nakhoda sebuah pemerintahan, Awang Faroek menyadari, bahwa kemampuan memimpin dan menggerakkan SDM menjadi kunci guna mewujudkan visi dan misi pemerintahan. Sebab itu, Awang Faroek merentang visi membangun Kalimantan Timur secara jelas dan tegas: mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Kalimantan Timur sesuai dengan jatidiri, karakteristik dan nilai-nilai budaya lokal. Berangkat dari visi ini, Awang Faroek menggerakkan segenap aparatur di bawahnya untuk bekerja sesuai dengan kompetensi masing-masing dan memiliki job description yang jelas. Prinsipnya harus the right man on the right place. Perhatian yang besar terhadap pengelolaan dan penempatan SDM menjadi demikian penting dan strategis apakah pemerintahan dalam tahap perkenalan, pertumbuhan atau kematangan (mature).
Mengapa harus demikian? Karena, sikluspemerintahan membutuhkan SDM yang inovatif, kreatif, dan berorientasi kepada hasil. Tanpa pengelolaan dan penempatan SDM yang unggul tentu akan menjadikan pemerintahan berjalan lambat, bahkan stagnan di tempat. SDM yang unggul akan melahirkan produk atau jasa sesuai dengan keinginan masyarakat.
Seluruh unsur pemerintahan, mulai dari gubernur, bupati, para kepala dinas, kepala biro, dan segenap aparatur harus tunduk pada sistem manajemen dan organisasi yang telah dibuat oleh kepala pemerintahan. Dengan demikian tampilan sistem manajemen dan organisasi menjadi tertata rapi dan jelas wewenang serta tanggung-jawabnya. Antara kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala biro, kepala dinas, dan aparatur yang bersinggungan langsung dengan pelayanan masyarakat bekerja sama secara tim, terpadu dan saling menguatkan. Jika semua unsur tadi bersinergi, secara otomatis tujuan pemerintahan yang transparan, akuntabel, profesional dan memenuhi keinginan masyarakat akan lebih mudah tercapai. Kemudahan dan keberlanjutan pelayanan masyarakat adalah satu hal yang mengiringi berjalannya sebuah sistem manajemen dan organisasi dalam sebuah pemerintahan.
Pada akhirnya, seorang nakhoda pemerintahan harus mau dan mampu membangun iklim kerja yang kondusif serta memberdayakan SDM sehingga mereka dapat bekerja secara prima. Seorang pemimpin pemerintahan yang mau dan mampu membangkitkan kepercayaan serta menatap masa depan yang lebih baik dan berpengharapan. Seorang pemimpin pemerintahan yang betul-betul mempertaruhkan hati, pikiran dan langkahnya serta siap mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya kepada masyarakat.

C.    Belajar dari Burung Elang yang Ingin Terus Hidup
Secara ideal, kita memang harus senantiasa berada di dalam pusaran perubahan dan melakukan perubahan agar kehidupan terus berjalan menjadi lebih baik dan lebih berpengharapan. Untuk berubah menjadi lebih baik kadang terasa perih, pedih dan penuh rintih. Namun, seperih, sepedih dan serintih apapun kita harus berubah agar kita tidak mati di usia muda. Berikut ini kisah burung elang yang ingin terus hidup, yang sudah barang tentu dapat kita jadikan sebagai sebuah cermin pembelajaran yang sangat berharga.
Elang dikenal sebagai burung yang mampu terbang paling tinggi. Elang dikenal pula sebagai jenis unggas (burung) yang mempunyai umur paling panjang atau paling lama dibandingkan jenis burung yang lain. Umur hewan berdarah panas ini dapat mencapai 70 tahun. Tapi, buat mencapai umur sepanjang itu, seekor burung elang harus membuat sebuah keputusan yang sangat berat dan menyakitkan saat umurnya mencapai 40 tahun. Pasalnya, ketika memasuki umur 40 tahun, cakar kakinya yang kuat dan tajam, yang biasa digunakan untuk mencengkeram mangsa, tampak menua dan tumpul. Pun begitu dengan paruhnya, yang berfungsi buat mengoyak-ngoyak daging si mangsa, menjadi semakin panjang dan membengkok sampai hampir menyentuh dada, sehingga membuatnya kesulitan menyantap makanan. Sayapnya juga menjadi demikian berat lantaran bulunya semakin lebat dan tebal, menyulitkan sang elang terbang.
Begitu memilukan kondisi burung elang waktu berumur sekitar 40 tahun. Pada saat itulah, seekor burung elang justru harus memilih dua hal penting dalam hidupnya. Menunggu kematian secara perlahan-lahan; atau Melakukan perubahan agar dapat terus bertahan hidup. Bila seekor burung elang memutuskan untuk memilih yang pertama, menunggu kematian secara perlahan-lahan, maka ia tidak perlu bersusah-payah melakukan apapun. Ia tinggal berdiam diri dengan keadaan tubuhnya yang telah renta dan tidak berfungsi secara baik, hingga perlahan-lahan ajal datang menjemputnya.
Sementara itu apabila seekor elang memutuskan memilih yang kedua (ingin terus bertahan hidup), maka ia mesti menjalani fase yang begitu perih, pedih, dan penuh rintih. Untuk itu, di tengah kondisi tubuhnya yang sudah demikian mengenaskan, ia harus berusaha ekstra keras sekuat tenaga terbang ke atas puncak gunung bebatuan penuh cadas. Lantas, di sana, ia harus membuat sebuah sarang tepat di tepian tebing jurang sebagai tempat berhenti dan ‘rumah’ selama proses perubahan dilakukan. Cadas bebatuan di tepian tebing puncak gunung memang dikenal keras. Dan, di ‘rumah derita’ itulah sang elang melakukan perubahan nan menyakitkan.
Selama berada di sana, ia mesti melakukan beberapa fase perubahan. Awalnya, ia harus mematuk-matukkan atau membentur-benturkan paruhnya yang mulai membengkok panjang dan kurang berfungsi tadi pada batu cadas dan keras hingga paruh itu betul-betul terlepas dari mulutnya. Dalam proses yang begitu perih, pedih dan penuh rintih itu hampir selalu bagian mulut sang elang mengalami luka berdarah-darah. Dan, di ‘rumah derita’ itu pula ia mengerang kesakitan.
Di tengah nestapa itu, sang elang mesti bersabar beberapa waktu, menunggu tumbuhnya paruh baru. Kemudian, dengan paruh yang baru itulah sang elang mematuk dan mencabut satu per satu cakar kakinya yang sudah tidak tajam lagi. Dalam proses yang demikian perih, pedih dan penuh rintih itu tak jarang kaki sang elang luka parah berdarah-darah. Pun dalam derita, burung elang mesti bersabar lagi menunggu tumbuhnya cakar kakinya yang baru. Lalu, setelah tumbuh cakar kaki baru yang tajam, dengan cakar baru yang tajam itulah, ia mencabuti bulu badannya satu demi satu. Dalam proses yang perih dan pedih itu juga bagian-bagian sayap sang elang harus mengeluarkan darah yang demikian banyak. Dalam kenestapaan, burung elang masih mesti bersabar menunggu bulu sayapnya tumbuh yang baru. Penderitaan yang sungguh luar biasa.
Selama sekitar 150 hari atau lima bulan, kondisi yang perih, pedih dan penuh rintih harus dialami oleh seekor elang yang masih ingin bertahan hidup. Ketika semua itu mampu dilewati, burung elang pun dapat kembali terbang tinggi dan menjalani kehidupan baru dengan penuh energi. Dengan paruh dan cakar serta bulu baru, burung elang bisa hidup 30 tahun lagi. Elang bisa mencari makan kembali dengan paruh dan cakar kakinya yang tajam bagaikan pisau yang baru diasah. Dengan sayapnya yang baru, ia pun mampu terbang setinggi langit guna mengintai dan menangkap mangsanya. Jadi, perubahan menjadi lebih baik memang sangat perih dan pedih. Namun, bila kita mampu melewatinya, tentu saja kehidupan kita benar-benar menjadi lebih baik dan penuh energi bak burung elang.
Belajar dari kisah burung elang, kita memang harus berubah, betatapun perih, pedih dan penuh rintih. Kita mesti melepaskan masa lampau dan membangun masa datang yang lebih berpengharapan. Kita harus membuat keputusan untuk membuang masa silam yang kelam guna membangun masa mendatang yang cemerlang. Kita mesti berani dan mau membuang semua kebiasaan dan kenangan lama untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Sebagai sosok manusia ataupun sebuah pemerintahan yang ingin maju secara berkelanjutan, kita harus rela untuk bercermin dan mawas diri pada masa lampau buat menjangkau masa depan yang penuh harapan. Kita harus membuka diri untuk berubah (belajar) terhadap hal-hal yang baru, jikalau kita tidak ingin mati di usia belia.
Sebagai pemimpin transformatif yang unggul, Awang Faroek berusaha menyelami nilai-nilai yang melekat pada kekuatan sang burung elang yang tak ingin mati di umur 40 tahun. Dia ingin membangun diri dan masyarakatnya dengan penuh nilai-nilai keadaban di masa depan dengan melepaskan dendam dan dusta di antara sesama, baik sesama manusia maupun sesama tokoh-tokoh politik yang bertarung di pesta pemilihan kepala daerah secara langsung di era otonomi daerah ini.
Tak lama setelah terpilih sebagai Gubernur Kalimantan Timur tahun 2008 lalu, tentang hubungannya dengan sesama calon gubernur, Awang Faroek tegas mengatakan, “Hubungan saya tetap baik. Sebab di hari pertama sudah saya katakan saya akan bekerja sama dengan Pak Ahmad Amins (peserta Pilkada Kaltim 2008 yang juga Walikota Samarinda). Sebagai Gubernur, insyaallah saya wajib membantu Pak Ahmad Amins mengatasi  sejumlah persoalan pembangunan di Samarinda. Gubernur kan memang wajib membantu walikota. Dan, ini saya pegang betul omongan saya.”
Yang paling mendesak, demikian kata Awang Faroek, “Adalah membantu beliau menyelesaikan pembangunan Bandara Samarinda, membantu menyelesaikan Jembatan Mahulu, membantu pemindahan Pelabuhan Palaran, penyelesaian Mahkota, juga penyelesaian masalah banjir. Untuk itu, saya datangkan tim ahli dari Belanda, serta sebentar lagi membenahi kesemrawutan di Karang Mumus. Jadi, persaingan dalam Pilkada telah berlalu. Kini saatnya kita bekerja bersama untuk kepentingan masyarakat.”
Sebelumnya, Awang Faroek telah pula menjalin komunikasi politik dan silaturahmi secara intens dengan para mantan pesaingnya di Pilkada Kaltim langsung 2008 seperti pasangan Yusuf Serang Kasim – Luther Kombong dan Nusyirwan Ismail – Heru Bambang. Dengan mengajak semua peserta Pilkada Gubernur/Wagub Kaltim 2008 yang sebelumnya sempat berkompetisi head to head guna meraih kursi KT-1, Awang Faroek ingin menyatukan kembali seluruh komponen dan kekuatan masyarakat Kaltim yang sempat terpecah-pecah dan ini sekaligus menunjukkan bahwa dia sangat menghormati reputasi dan keandalan masing-masing mantan rivalnya. Tak gampang memang. Butuh kebesaran hati dan mengusir dendam kesumat.
Awang Faroek betul-betul bertekad melepaskan beban masa lalu untuk melangkah ringan ke masa depan. Terlahir kembali sebagai sosok yang tak mau dibebani oleh kendala-kendala masa silam yang kelam dan kadang seram. Dia ingin mengembangkan atmosfir baru dalam kepemimpinannya, yakni merangkul dan menggandeng semua pihak –termasuk yang pernah berseberangan dengannya—demi kemajuan dan kejayaan Kaltim ke depan. Dia tidak ingin seperti banyak pemimpin daerah lainnya di Republik ini, bahwa setelah memenangi pertarungan Pilkada lantas menjatuhkan diri mereka yang pernah dikalahkannya.
Tidak sebatas menjalin komunikasi dengan para mantan rival di saat pesta demokrasi Pilkada. Awang Faroek ingin pula menjawab keraguan banyak pihak bahwa pilihannya berpasangan dengan Wakil Gubernur Farid Wadjdy bukanlah langkah yang tepat. Banyak kalangan menilai pilihan Awang Faroek tidak akan menciptakan sinergitas kerja yang ritmik dan apik. Namun, seiring perjalanan sang waktu, Farid ternyata mampu mendampingi Awang Faroek menggerakkan masyarakat Kaltim yang lebih prospektif.
Farid Wadjdy memiliki kekuatan dalam menggerakkan masyarakat dari sisi keagamaan sementara Awang Faroek memperkuat pada sisi-sisi yang lain. Banyak kalangan kini mengakui bahwa pasangan ini sebagai sebuah sinergitas dan energi baru –sinergi umara dan ulama-- untuk membangun Kalimantan Timur.
Spirit meretas hidup baru yang lebih berenergi berkat ikatan sapu lidi yang baru ini merupakan nilai yang hendak dikembangkan oleh Awang Faroek di institusi pemerintahannya. Dengan kata lain, semangat seperti sang elang yang tak ingin mati di usia 40 tahun itu pula yang dibutuhkan oleh negeri ini. Rakyat akan senang tatkala melihat para pemimpinnya kompak dan bersatu padu, bergandengan tangan menghadapi persoalan bangsa dan daerah, bukan sebaliknya saling menyimpan dendam dan beban masa lampau yang membuat risau dan galau.

D.    Manusia adalah Kuncinya, Organisasi Jadi Penentu
Adalah sebuah keniscayaan bila setiap pemerintahan daerah di era otonomi (daerah) harus siap berkompetisi. Karena itu, segala lini harus dikerahkan untuk meraih kemenangan dalam kompetisi, untuk meraih kemajuan. Dan, agar menjadi “pemenang” dalam abad kreativitas sekarang ini, tentunya pemerintahan harus memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage), atau setidaknya keunggulan komparatif (comparative advantage). Keunggulan itu, terutama terletak pada kompetensi dan karakter SDM-nya. Pemerintahan harus mampu memberdayakan SDM-nya menjadi aset paling berharga dan vital guna mendayagunakan segenap sumber daya dan kekuatan lain yang dimiliki pemerintahan menjadi bernilai tambah tinggi (high added value) dan memiliki nilai pasar yang tinggi pula (high market value). Juga, dalam rangka meningkatkan kinerja dan performa organisasi beserta sistem manajemen dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan benar, serta sehat.
SDM (selain sistem dan organisasi manajemen) memang menjadi salah satu kunci keunggulan dalam mewujudkan kesuksesan pemerintahan di era milenium. Seperti dikatakan Kathrin Connor, Wakil Presiden SDM di Liz Claiborne, multinasional di bidang fashion, bahwa kekuatan dan kelebihan manusia cukup sulit ditiru oleh para pesaing. Kathrin menambahkan, SDM merupakan aset vital dalam kehidupan pemerintahan. SDM adalah bagian terpenting dalam proses perencanaan strategis dan pengembangan kebijakan pemerintahan. Sebab itu, pemerintahan harus mau dan mampu meningkatkan SDM yang terampil, berkemampuan adaptasi yang tinggi serta mampu menghadapi kerancuan-kerancuan (ambiguitas) dunia bisnis yang juga mau tak mau harus dihadapi. Dengan begitu, pemerintahan akan selalu memenuhi unsur-unsur kinerja dan performa pemerintahan yang kuat, sehat dan bagus seperti probisnis, mampu hidup secara berkelanjutan, berdaya saing tinggi serta mampu beradaptasi dan fleksibel dalam mengarungi gelombang zaman yang penuh ketidakpastian.
Dunia pemerintahan di era globalisasi pun layaknya sebuah “Perang Bintang”. Pemerintahan yang tidak memiliki SDM (kepala biro, kepala dinas dan aparatur) dalam kategori “Bintang”, pastinya akan mudah tereliminasi, tersisih bahkan terlempar dari arena kompetisi. Tak ada investor yang bersedia masuk wilayah pemerintahan tersebut. Sebab itu, pemerintahan harus benar-benar mempersiapkan SDM-nya dengan ”senjata canggih” yang berupa kompetensi serta pola pikir dan pola perilaku yang unggul.
Secara umum, kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan atau tugas yang dilandasi ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap kerja yang positif (positive working-attitude). Ketiga unsur itu saling menunjang dalam menghasilkan kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, kompetensi merupakan karakter dasar seseorang yang menjadikan dirinya sanggup dan mampu memberikan kinerja yang efektif, bahkan superior dalam suatu pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya. Singkat kata, kompetensi adalah karakter seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya berbeda dengan orang lain yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa-biasa saja. Semakin kompeten seseorang, semakin tinggi pula kinerjanya.
Dalam hal ini, kita dapat mengambil beberapa teladan pada orang yang memiliki kompetensi besar seperti Benyamin Franklin, pemain golf fenomenal Tiger Wood, CEO legendaris Jack Welch, pebisnis kreatif Bill Gates, atau proklamator kemerdekaan Bung Karno. Mereka adalah orang-orang yang selalu konsisten dalam mengembangkan kompetensinya. Seperti mereka, kita pun seharusnya selalu meningkatkan kompetensi diri agar tidak tertinggal atau tergilas oleh kemajuan (perubahan) zaman. Dalam kehidupan pemerintahan, kompetensi merupakan salah satu nilai utama (core value). Nilai kompetensi memiliki pemahaman bahwa setiap SDM harus mempunyai semangat untuk maju, rasa tanggung jawab serta berkeinginan kuat untuk selalu mengambil inisiatif. Termasuk, melakukan pengembangan diri dari waktu ke waktu guna meningkatkan kompetensinya.
Kompetensi itu sendiri harus dimiliki oleh para eksekutif (pimpinan), kepala biro, kepala dinas dan aparatur. Secara lebih gamblang, berikut kami coba tuturkan mengenai makna kompetensi yang mesti dipenuhi oleh SDM perusahaan yang boleh jadi dapat dijadikan cermin kalangan aparatur pemerintahan. Hal ini kami sadur dari Andi Kirana dalam bukunya yang berjudul Etika Manajemen: Ancangan Abad 21 (1997). Tentu dengan beberapa penyerasian agar lebih mudah dipahami tanpa mengurangi esensinya.
“Apa saja yang dapat diungkapkan mengenai kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dan jenis-jenis organisasi baru di tempat kerja di masa datang? Dari Lyle & Signe Spencer bersama Davis McClelland (1990) dapat diperoleh profil kompetensi yang penting bagi eksekutif, manajer dan karyawan pada perusahaan masa depan yang semakin kompetitif.
Para eksekutif setidaknya harus memiliki tiga kompetensi penting, yakni: (a). Pemikiran strategis. Kemampuan memahami kecenderungan perubahan lingkungan yang cepat, peluang pasar, ancaman kompetisi, kekuatan dan kelemahan perusahaan, serta sanggup mengindentifikasi respon strategis terhadap semua tantangan secara optimal; (b). Kepemimpinan dalam perubahan. Kemampuan mengkomunikasikan visi strategis perusahaan kepada seluruh pihak yang terkait (stakeholders), menciptakan komitmen dan motivasi yang tulus dari mereka, bertindak sebagai penggerak inovasi dan semangat kewirausahaan serta mampu mengalokasikan sumber daya perusahaan secara optimal untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi; (c). Manajemen hubungan. Kemampuan membina hubungan dan juga mempengaruhi di tengah-tengah jejaring kerja yang kompleks dengan mitra usaha terkait, termasuk dengan pihak yang tidak memiliki otoritas formal namun cukup berpengaruh seperti pelanggan, serikat buruh, anggota parlemen dan lembaga swadaya masyarakat.
Sementara itu, para manajer perlu memiliki kompetensi (antara lain): (a). Keluwesan. Kesediaan dan kemampuan mengubah struktur dan proses manajerial bila hal itu diperlukan untuk mendukung implementasi strategi perubahan perusahaan secara keseluruhan; (b). Implementasi perubahan. Kompetensi yang serupa dengan “kepemimpinan dalam perubahan” untuk tingkat eksekutif yang merupakan kemampuan mengkomunikasikan perubahan perusahaan kepada segenap mitra kerja, dan juga sanggup menerapkan perubahan-perubahan tersebut ke dalam kelompok kerjanya melalui media komunikasi internal, pelatihan, proses fasilitasi kelompok dan sebagainya; (c). Inovasi perusahaan. Motivasi untuk memenangkan persaingan melalui penemuan jasa-jasa, produk dan proses-proses produksi yang baru; (d). Pemahaman antar-pribadi. Kemampuan memahami dan menghargai masukan serta pikiran dari berbagai pihak; (e). Pemberdayaan. Keterampilan manajerial untuk saling membagi informasi, menggali ide-ide dari para mitra kerja secara signifikan, memberikan umpan balik yang konstruktif, menyampaikan harapan-harapan positif kepada bawahan, yang kesemua itu akan membuat karyawan lebih berdaya dan termotivasi untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar; (f). Fasilitasi kelompok. Keterampilan mengajak segenap personil dari kelompok yang berlainan untuk bekerja sama secara efektif dalam rangka mencapai tujuan bersama antara lain merumuskan peran dan tanggung jawab masing-masing secara jelas, mengendalikan mereka yang banyak omong dan hiperaktif, membangkitkan si pelit omong dan superpasif untuk aktif berpartisipasi, menyelesaikan konflik yang muncul; dan (g). Portabilitas. Kemampuan menyesuaikan diri secara cepat dan sekaligus berfungsi secara efektif dalam lingkungan yang masih asing sehingga manajer menjadi portabel untuk ditempatkan di manapun.
Sedangkan para karyawan yang bekerja di dalam ”organisasi (perusahaan) masa depan” harus memiliki kompetensi seperti berikut ini: (a). Keluwesan, yaitu memandang perubahan sebagai peluang yang menarik ketimbang sebagai ancaman. Misalnya, penerapan teknologi baru harus dilihat sebagai “bermain dengan alat-alat baru, paling mutakhir dan paling baik”; (b). Selalu mencari informasi, motivasi dan kemampuan belajar yang tulus terhadap peluang-peluang untuk mempelajari keterampilan dan hubungan antar-pribadi baru. Misalnya, seorang staf teknik jika diminta belajar menggunakan program komputer untuk menangani perhitungan struktur bangunan hendaknya ia menerima hal tersebut sebagai keserbanekaan kerja dan tidak menganggapnya sebagai beban tambahan. Kompetensi ini akan dapat mengatasi buta pengetahuan dan keterampilan-keterampilan teknik khusus di masa depan. Hal tersebut hendaknya menjadi pendorong untuk selalu mempelajari setiap pengetahuan dan keterampilan baru yang dituntut oleh persyaratan kerja yang berubah-ubah; (c). Motivasi untuk berprestasi yang merupakan pendorong bagi inovasi, yaitu peningkatan mutu dan produktivitas secara terus-menerus yang dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang terus meningkat; (d) Motivasi kerja di bawah tekanan waktu yang merupakan gabungan antara keluwesan, motivasi untuk berprestasi, daya tahan terhadap tekanan dan komitmen terhadap perusahaan yang memungkinkan seseorang bekerja di bawah tuntutan akan produk dan jasa-jasa (baru) dalam jangka waktu yang lebih singkat lagi; (e). Kesediaan bekerjasama dalam kelompok-kelompok multi-disipliner dengan rekan kerja yang berbeda-beda: penghargaan positif bagi orang lain, saling pengertian antar-pribadi dan komitmen terhadap perusahaan; (f). Orientasi pelayanan kepada pelanggan yang merupakan kegiatan tulus untuk membantu orang lain, saling pengertian antar-pribadi yang memadai untuk kebutuhan dan suasana emosional pelanggan serta cukup inisiatif untuk mengatasi rintangan-rintangan dalam perusahaan guna memecahkan masalah pelanggan.”
Mengingat betapa pentingnya kompetensi, maka lembaga pemerintahan harus menjadikan SDM sebagai sumber kekuatan, bukan sumber beban. Caranya, antara lain, jadikan kompetensi sebagai dasar dan kompas arah pengembangan SDM. Asah kompetensi mereka secara terus-menerus sehingga semakin bertambah tajam. Sebab, seperti dikatakan oleh Larry Bossidy dalam buku Corporate Turnaround (2002), “Pada akhirnya, Anda bertaruh pada orang dan bukan pada strategi.” Juga Stephen H. Rhinesmith dalam buku A Manager’s Guide to Globalization (1993) menegaskan, “Tantangan fundamental di era globalisasi adalah bagaimana perusahaan mempersiapkan pendekatan pengembangan dan implementasi yang terintegrasi tidak hanya menyangkut strategi dan struktur perusahaan, tapi juga budaya perusahaan, pola pikir manusia dan kompetensinya.”
Selain kompetensi, di era globalisasi, SDM pemerintahan juga dituntut untuk memiliki pola pikir dan pola perilaku yang unggul. Pola pikir mereka harus mengglobal, kritis, namun tetap jernih serta memiliki kepercayaan diri tinggi dan menjunjung etika. Menjadi SDM yang unggul. Menjadi manusia yang memiliki prinsip, nilai-nilai dan etos kerja sesuai dengan era global. Prinsip-prinsip itu, antara lain, melaksanakan proses pelayanan yang terbaik (excellent), yang dicerminkan dari produk berkualitas dan memiliki daya saing tinggi. Kemudian, prinsip pelayanan yang memuaskan (satisfaction) serta bernilai pelanggan tinggi (high customer value).
SDM pemerintahan pun harus memiliki daya juang yang tinggi. Daya juang menyangkut tindakan disiplin, loyalitas, kerjasama, serta saling percaya dan menghargai. Juga mesti berintegritas, yang merefleksikan sikap dan komitmen tinggi dalam bekerja dengan dasar kejujuran dan etika. Satunya kata dengan perbuatan. Segenap SDM harus mampu mengendalikan diri, menolak komisi, suap, menghindari manipulasi, korupsi dan pemberian apapun yang dapat merusak moral, mengganggu pekerjaan dan merugikan kinerja pemerintahan.
SDM yang harus pula memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpin yang selalu tanggap terhadap perubahan dan menjadi kunci keberhasilan bagi tumbuh-berkembangnya budaya pemerintahan dan sikap kerja yang baik. Juga, pemimpin yang penuh keteladanan dan keadilan. Maklum, pemimpin adalah panutan dalam cara berpikir dan bertindak bagi seluruh bawahannya. Pun, SDM harus memiliki jiwa kewirausahaan. Entrepreneurship menyangkut bekerja secara mandiri, kreatif dan inovatif, bekerja keras, tekun dan ulet. Termasuk, berdaya-guna, tepat janji dan spirit kemajuan untuk terus mengembangkan potensi serta peka, teliti dan taktis dalam memanfaatkan peluang di tengah-tengah semakin ketatnya persaingan antarpemerintah-daerah dalam menggaet investor. Innovation and Entrepreneurship, demikian ditegaskan oleh pakar manajemen dan kepemimpinan Peter F. Drucker.
Tak kalah pentingnya adalah prinsip bekerja sebagai bagian dari ibadah. Sebagai bakti kepada Tuhan dan bermanfaat atau diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak. Bekerja sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan yang dimiliki dengan sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki daya saing berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Sebuah prinsip yang mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan bekerja lebih kompeten serta profesional.
Dalam bekerja, SDM pemerintahan tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence Quotient) semata. Lebih penting dari itu adalah “kecerdasan hati dan spiritual” (EQ, Emotional Quotient dan SQ, Spiritual Quotient). Pasalnya, IQ tanpa diimbangi dengan EQ dan SQ dapat merusak segalanya. Bekerja dengan hanya mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ akan (antara lain) tercipta bisnis tanpa moralitas (business without morality). Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya akan melahirkan SDM dengan watak yang kurang beretika.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University dalam buku Emotional Intelligence (1995), IQ sejatinya hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi kesuksesan seseorang. Sedangkan 80 persen justru ditentukan oleh EQ dan SQ. Jadi, manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki kecerdasan emosional tinggi. Goleman menambahkan bahwa Robert Kelley dan Janet Caplan pernah melakukan sebuah studi di Bell Labs, pusat penelitian ilmiah tersohor di dunia yang berpusat Princeton, Amerika Serikat, terhadap sejumlah insinyur berotak cemerlang. Hasilnya, mereka yang disebut para “Bintang” ternyata bukanlah para insinyur yang tergolong ber-IQ paling tinggi. Para “Bintang” itu adalah mereka yang ber-IQ tinggi serta memiliki EQ dan SQ yang tinggi pula. Mereka tidak sombong dan tidak malas untuk mengangkat panggilan telepon dan selalu menjawab e-mailnya. Mereka adalah orang-orang yang efektif dalam kerjasama tim, mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang lain, mempunyai kemampuan persuasif, mampu meningkatkan kerjasama serta menghindari konflik. Mereka juga bersedia memotivasi diri untuk memikul tanggung jawab di luar tugas-tugas resmi, pintar dalam membagi waktu dan memiliki komitmen tinggi dalam bekerja. “They are not the lone-wolf geniuses,” ungkap Goleman (Andi Kirana, 1997).
Seiring dengan prinsip-prinsip kerja di atas, SDM pemerintahan juga dituntut memiliki nilai-nilai budaya pemerintahan bersih dan etos kerja yang baik. Di antaranya adalah berorientasi kepada pelayanan dengan sikap tindak yang andal, responsif, jujur dan dapat dipercaya. Juga, bekerja secara profesional yang dinafasi dengan integritas, meningkatkan keahlian, mengedepankan kualitas dan kerjasama tim. Kemudian respek kepada masyarakat dan lingkungan sekitar dengan landasan sikap dan tindakan yang lebih peduli, progresif dan pro-aktif. Termasuk nilai-nilai budaya disiplin: disiplin manusianya, disiplin tindakannya dan disiplin perilakunya.
SDM pun harus memiliki etos kerja keras, pikir cerdas dan amal ikhlas. Bekerja keras dalam arti bahwa dalam bekerja buat kepentingan pemerintahan (yang berarti juga untuk kepentingan diri sendiri, aparatur lain dan orang banyak) tidak boleh mengenal batas ruang dan waktu. Banyak bekerja lebih baik ketimbang banyak bicara. Bekerja keras terlebih dulu dengan sepenuh integritas, tanggung jawab dan disiplin, baru setelah berhasil berbicara. Kemudian, berpikir cerdas. Bahwa dalam bekerja harus menggunakan kemampuan berpikir, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengatasi masalah dengan tepat melalui metode yang terprogram. Bukan dengan tenaga otot.
Segenap SDM harus memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan, langkah dan strategi yang handal, serta mampu memprediksi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul. Dan, agar menjadi cerdas, SDM harus terus belajar. Menjadi insan ”pembelajar”. Belajar kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Pengetahuan dan kemampuan seseorang, jika tidak terus diasah dengan cara belajar atau menganggap dirinya sudah pintar, pasti akan berhenti dan tidak berkembang. Melalui proses belajar, SDM yang cerdas akan terus mampu mengevaluasi, membenahi dan mengambil langkah dan strategi serta kebijakan dan program yang tepat bagi perusahaan.
Lantas, beramal ikhlas. Para karyawan harus bekerja sebaik mungkin, komitmen tinggi dan bertanggung-jawab. Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah Tuhan. Tuhan selalu mengawasi setiap saat. Karena itu, pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan amal yang ditujukan demi kebaikan diri sendiri dan orang banyak. Bekerja dalam konteks amal ikhlas untuk melengkapi ibadah. Kalau ibadah ritual masih kurang, maka bekerja ikhlas dimaksudkan sebagai amal pelengkap. Dengan bekerja dalam perasaan yang tulus-ikhlas, segenap aparatur dalam bekerja tak pernah kenal waktu. Apapun hasilnya, selalu disyukuri. Prinsip kerja ikhlas itulah sesungguhnya yang membuat segenap SDM pemerintahan menjadi selalu optimis dan tak pernah ragu dalam bersikap.
Persaingan (bisnis) di era global memang sangat ditentukan oleh kompetisi di sektor manusianya: etos kerja, kualitas dan produktivitasnya. SDM yang memiliki kompetensi, pola pikir, pola perasaan dan pola perilaku unggul itulah yang bisa dikatakan sebagai manusia yang efektif dan kreatif. Dalam buku Seven Habits of Highly Effective People (1993), Steven R. Covey menjelaskan tentang kebiasaan manusia yang efektif. Pertama, jadilah pro-aktif. Berarti bertanggung-jawab terhadap setiap tindakan dan perilaku yang kita lakukan. Pro-aktif lebih dari sekadar mengambil inisiatif. Orang-orang pro-aktif yang mengedepankan pemikiran positif (positive thinking), yang merupakan para pelaku perubahan menuju kemajuan dan keberhasilan. Mereka juga tidak bersikap reaktif dengan menyalahkan orang lain.
Kedua, merujuk pada tujuan akhir. Orang-orang yang memiliki visi dan tujuan dengan mengindentifikasi prinsip-prinsip, nilai-nilai dan selalu membuat komitmen terhadap diri sendiri untuk melakukannya. Ketiga, dahulukan yang utama. Maksudnya, mendahulukan apa yang sudah digariskan seperti visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang menjadi prioritas, serta membuat tujuan dan sasaran alternatif. Keempat, berpikir menang. Cara berpikir yang berusaha mencapai keuntungan bersama dan didasarkan pada sikap saling menghormati dalam setiap interaksi.
Kelima, berusaha memahami lebih dulu, baru dipahami. Memulai komunikasi positif dengan memahami dan menghargai orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan keberanian, kemurahan dan kemauan untuk membuka diri dan kesediaan untuk mendengarkan. Setelah itu, barulah dipahami oleh orang lain. Keenam, wujudkan sinergi. Sikap saling menghargai atau tidak mengutamakan “cara kita” atau “cara dia” melainkan “cara kita bersama-sama” yang lebih baik. Ketujuh, mengasah gergaji. Terus memperbaiki empat bidang dasar diri manusia: fisik, sosial (emosional), mental dan rohaniah guna meningkatkan kapasitas dan kebiasaan yang lebih baik.
Secara umum, tujuh kebiasaan manusia yang efektif tadi dapat dibagi menjadi dua kriteria. Yakni, kebiasaan primer yang terdiri dari kesadaran diri atau pengetahuan akan diri, imajinasi dan suara hati, serta kehendak bebas atau niat. Berikutnya adalah kebiasaan sekunder yang terdiri dari mentalitas berkelimpahan, keberanian dan pertimbangan, serta kreativitas dan pembaharuan diri. Kebiasaan kesadaran diri dengan menumbuhkan kemampuan menjadi proaktif dalam memilih respon sebaiknya dilakukan dalam kondisi tenang dan bertanggung-jawab. Sedangkan kebiasaan imajinasi dan suara hati sebaiknya memulai dengan mengacu pada tujuan. Sementara itu, kebiasaan niat berkaitan dengan mendahulukan yang utama. Setelah melalui tiga kebiasaan primer itu, tentunya akan timbul berpikir menang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti; dan melahirkan kreativitas yang dikaitkan dengan sinergi untuk membuat perbaikan yang berkelanjutan atau pembaharuan diri.
Jelas, bahwa Awang Faroek sangat menaruh prioritas tinggi pada peningkatan kualitas SDM aparatur pemerintahan yang dipimpinnya. Untuk membentuk SDM yang kaya kompetensi dan pengalaman, tak berapa lama setelah dilantik menjadi Gubernur Kalimantan Timur periode 2008-2013, pada tanggal 3 Februari 2009 dia melantik kabinet yang akan mendampinginya. Mereka adalah 49 pejabat eselon II/a dan II/b untuk mengemban jabatan penting di struktural pemerintahan, terdiri dari tiga orang asisten, lima orang staf ahli gubernur, kepala dinas, kepala biro, dan kepala badan di lingkungan Sekretariat Provinsi (Setprov) Kaltim. Terdapat sejumlah wajah lama yang masih mengemban amanah jabatan sebelumnya, namun pelantikan tersebut sekaligus mengukuhkannya. Terdapat pula wajah baru yang sebelumnya menjabat di SKPD tertentu kemudian ditarik menduduki jabatan asisten, staf ahli dan kepala badan.
“Mutasi ini dilakukan untuk penyegaran dan mengisi sejumlah lembaga baru sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pergantian dan perpindahan pejabat di birokrasi pemerintahan merupakan hal biasa,” jelas Awang Faroek sembari menambahkan bahwa mutasi jabatan sebagai upaya untuk memperkaya pengalaman seseorang sekaligus memberi suasana kerja baru yang lebih segar dalam organisasi.
Awang Faroek merasa gembira bahwa para pejabat yang baru dilantik siap menanda-tangani berkas Pakta Integritas dan bersedia mematuhi dan memenuhi tuntutan dan kewajiban untuk bekerja lebih baik serta mendukung komitmen pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Setprov Kaltim. Sehingga, mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta mengubah paradigma birokrasi yang semula sebagai penguasa menjadi pelayan masyarakat.
“Saya minta kita semua melakukan kerja keras dan mematuhi segala hal yang tercantum dalam Pakta Integritas, sehingga keinginan Kaltim sebagai Island of Integrity segera terwujud,” jelas Awang Faroek sembari menambahkan bahwa momentum pelantikan itu sekaligus untuk menyatukan komitmen bersama guna mendorong percepatan grand design “Kaltim Bangkit 2013”.
Sayangnya, beberapa pihak menilai pelantikan kabinet Awang Faroek tersebut sebagai pelantikan jabatan politis “balas jasa”. Sementara pemosisian orang-orang berjasa oleh Awang Faroek tersebut dinilai wajar oleh Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim. “Wajar saja jika Awang Faroek memberikan jabatan penting kepada orang-orang yang dinilai berjasa padanya. Saya pun akan berlaku sama jika menjadi gubernur,” ucap Herlan Agussalim sebagaimana dikutip Kaltim Post (2009).
Awang Faroek memberikan posisi penting kepada sejumlah orang anggota tim suksesnya itu bisa diibaratkan sebuah kapal di mana nakhoda sangat membutuhkan Awak Buah Kapal (ABK) yang mampu membantu menyukseskan program kerjanya. Ihwal susunan kabinet yang ada diharapkan oleh Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim dapat membawa angin segar untuk percepatan pembangunan di wilayah Kaltim. “Kabinet sebelumnya berjalan lambat. Tapi, dimaklumi karena gubernurnya tersangkut persoalan hukum. Ke depan, Awang Faroek bersama kabinetnya bisa membuat terobosan baru guna membangun Kaltim ke arah yang lebih baik,” ujar Agussalim.
Hal yang tak kalah penting adalah mutasi di level eselon I, karena yang memegang peran penting di pemerintahan daerah dan mampu menggerakkan roda organisasi adalah Sekretaris Provinsi (Sesprov). “Jabatan Sesprov sangat penting bagi motor penggerak pemerintahan. Karenanya, gubernur harus bisa menempatkan orang yang tepat agar roda organisasi berjalan secara baik dan lancar,” Herlan Agussalim menandaskan.
Pengamat sosial dan hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Prof. Sarosa Hamungpranoto menilai, berbagai aspek pertimbangan dilakukan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dalam memosisikan sejumlah pejabat, di antaranya memiliki aspek kinerja dan politis menjadi warna dalam penetapan komposisi kabinet yang akan membantu tugas gubernur selaku kepala daerah yang disesuaikan dengan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi). ”Kebijakan Gubernur Kaltim sepenuhnya tergantung kinerja dan berbasis kemampuan dalam mendukung upaya pembangunan Kaltim lebih baik dan maju. Meski tetap diwarnai kebijakan politis, namun tetap pada kompetensi dan kemampuan,” tutur Sarosa.
Kendati penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kaltim melahirkan lima staf ahli sesuai dengan Tupoksi menjadi pejabat struktural dan berperan membantu tugas Gubernur Kaltim, namun mereka juga diharapkan berfungsi ekeftif dan maksimal. Sebab itu, staf ahli harus memfungsikan dirinya sebagai staf yang mampu mengambil peranan penting sebagai bahan masukan ke Gubernur Kaltim. “Lima staf ahli itu sudah dilantik dan mereka wajib memberikan sesuatu yang terbaik untuk Kaltim, dengan menunjukkan kualitas dan kemampuan serta pemahaman sesuai dengan bidang yang dikuasainya. Termasuk wawasan lokal, nasional hingga internasional. Karena Kaltim tidak pernah berpisah dengan kepentingan nasional,” Sarosa berharap.
Bahkan, beberapa kebijakan Gubernur Kaltim sebaiknya dievaluasi oleh staf ahli, khususnya kebijakan yang berpijak pada kepentingan masyarakat banyak. Seperti pelayanan publik, aktivitas pembangunan, serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. “Saya berharap, penempatan staf ahli itu sesuai dengan bidang kemampuannya sekaligus menyesuaikan diri dengan tugasnya yang baru. Karena mereka sudah dilantik dan harus sadar akan tugas dan tanggung-jawabnya untuk bekerja semaksimal mungkin dalam memberikan masukan ke gubernur,” ujar Sarosa.
Disinggung soal keberadaan staf ahli dan pejabat eselon II asal Unmul, seperti Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim H. Rusmadi sangat berperan dalam membawa masa depan Kaltim ke arah yang lebih baik atau tidak, Sarosa bertutur, “Kebijakan akademis tetap harus mewarnai pembangunan Kaltim khususnya pada peningkatan kualitas SDM dengan cakrawala luas. Karena seorang staf ahli harus dapat memberikan pemikiran dan pertimbangan terkait kebijakan yang disesuaikan dengan bidangnya. Lantaran Gubernur Kaltim melantik kabinetnya untuk meraih kesuksesan dalam kepemimpinnya hingga 2013 mendatang.”  
Jauh sebelum menjadi Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek sudah sangat menaruh perhatian pada pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tidak sebatas memberi pengalaman melalui mutasi dan promosi. Ketika masih menjadi Bupati Kutai Timur, Awang Faroek sempat menjalin kerjasama pelatihan (coaching) dengan Allen Abeng Institute dan Tanri Abeng Associate. Dia memberi kesempatan kepada anggota DPRD, aparatur pemerintah daerah, dan pengusaha daerah untuk secara intensif mengikuti pelatihan seputar manajemen praktis di lembaga milik Menteri Negara Pendaya-gunaan BUMN periode 1998-1999 itu. Boleh jadi ini merupakan pelatihan manajemen praktis model baru dan pertama kalinya di Indonesia.
Menurut pakar manajemen Tanri Abeng, pemimpin seperti Awang Faroek jelas sangat membutuhkan orang-orang yang mau belajar berpikir dengan paradigma korporasi. Yakni, belajar bagaimana pentingnya melakukan transformasi pemikiran dari birokrat ke korporat. Orang-orang yang berkualitas yang mampu mendukung dan menguatkan pemikiran seorang pemimpin visioner.
Jelas bahwa SDM berkualitas dan organisasi yang baik menjadi kunci keberhasilan jalannya pemerintahan daerah di era globalisasi dan otonomi ini. Dan Awang Faroek sangat menyadari hal itu lalu menggerakkan segenap aparaturnya untuk memenuhi kualifikasi unggulan. ***
   

No comments:

Post a Comment