Wednesday, August 28, 2013

Memimpin di Tanah Kelahiran




Anda akan sukses memimpin bila Anda memiliki kemampuan manajerial. Jika Anda menjadi manajer tanpa kecakapan memimpin, maka Anda akan sangat mudah terjebak menjadi seorang birokrat.
Peter F. Drucker, pakar kepemimpinan

MULANYA, Sangatta cuma sebuah dusun kecil nan sunyi di pinggiran wilayah Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Namun, lantaran sebagian wilayahnya berada di pesisir pantai dan menghadap langsung ke Selat Makassar, menjadikan Sangatta demikian strategis. Dan, sangatlah beralasan bila kemudian Sangatta diproyeksikan sebagai kota masa depan.
Tahun 1999, Sangatta mulai berbenah. Terlebih lagi, semenjak Kutai Timur dimekarkan dari induknya Kabupaten Kutai (kini Kutai Kartanegara) dan  Sangatta pada saat itu ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kutai Timur. Secara yuridis, pemekaran itu dikukuhkan berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1999. Peresmian pemekaran kabupaten baru tersebut dilakukan langsung oleh ad interim Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Jenderal Feisal Tanjung, pada tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta. Selanjutnya, pada tanggal 28 Oktober 1999, Gubernur Kalimantan Timur meresmikan wilayah pemekaran baru itu dan dipusatkan di Sangatta, yang kemudian ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kutai Timur.
Dan, di kala itu (1999), Pemerintah lalu menunjuk Awang Faroek Ishak sebagai penjabat Bupati Kutai Timur. Sejak itu pula, slowly but sure, geliat Kota Sangatta sangat terasa. Selimut kesunyian mulai tersingkap. Dan Awang Faroek sangat berperan membuka selimut kesenyapan yang senantiasa menyergap Sangatta di saat lembayung petang datang. Bagaimana perjalanan Awang Faroek sampai di sebuah dusun kecil Sangatta? Berikut sekelumit noktah perjalannya:

A.    Jalan Panjang Menuju Kampung Halaman
Usai menuntaskan pendidikan sarjananya di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang, Jawa Timur, tahun 1973 pada usia 25 tahun, Awang Faroek muda memutuskan pulang ke Kalimantan Timur. Dengan spirit pengabdian yang tinggi dan bekal ilmu yang cukup, dia melamar dan kemudian diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Kalimantan Timur. Oleh atasannya, Awang Faroek ditempatkan sebagai pegawai pada Staf Biro Pembangunan di Kantor Gubernur Kalimantan Timur dengan honor cuma Rp6.000 per bulan ketika itu.
Meski hanya membawa pulang honor Rp6.000 per bulan, Awang Faroek tidak lantas berkecil hati. Dia justru sangat bersyukur lantaran berhasil lolos seleksi PNS di Pemerintah Provinsi Kaltim. Niatnya cuma satu: mengabdikan segenap tenaga, pikiran dan kemampuannya serta bekerja sebaik-baiknya demi kemajuan daerah kelahirannya Kalimantan Timur. Sebab itu, ditempatkan di mana pun, dia tidak pernah menolak. Bahkan, lebih dari itu, dia selalu menerobos dan meninggalkan para sejawatnya karena senantiasa mengukir prestasi terbaik di bidangnya.
Benar saja, baru beberapa tahun bekerja, Gubernur Kaltim (saat itu) Abdul Wahab Syahranie sangat terkesan melihat kinerja dan konduite terbaik yang ditunjukkan oleh Awang Faroek. Sosok pemuda cerdas yang berhaluan progresif ini sangat menyita perhatian sang Gubernur. Genap tiga tahun bekerja, tepatnya tahun 1976, Gubernur Kaltim memanggil Awang Faroek. Rupanya, Gubernur Syahranie meminta kesediaan Awang Faroek untuk membantunya mengembangkan kampus Universitas Mulawarman (Unmul). Apalagi, waktu itu, kampus negeri satu-satunya dan menjadi kebanggaan masyarakat Kaltim tersebut masih sangat kekurangan tenaga akademik (dosen). Setelah diseleksi, terdapat 14 orang terpilih dari Pemerintah Daerah Kaltim –termasuk Awang Faroek—yang kemudian diserahi mandat dan tanggung jawab oleh Gubernur Kaltim untuk mengembangkan kampus Unmul.
Tentu saja, Awang Faroek menerima mandat itu dengan tulus dan senang hati. Baginya, penugasan dari pimpinan merupakan amanah yang tidak mungkin disia-siakan. Maka, sejak itu, mulailah hari-harinya diisi dengan aktivitas kampus: mengajar, meneliti, dan mengabdikan diri pada masyarakat, sebagai realisasi Tridarma Perguruan Tinggi. “Sejak tahun 1976 itulah, saya mulai mengabdi dan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Unmul,” cerita Awang Faroek.
Sebagai dosen muda, dia menjalani tugas baru dengan spirit baru, bekerja keras, berpikir cerdas, serta beramal ikhlas. Tidak mengherankan, bila dua tahun berselang, karir Awang Faroek terus meningkat, sehingga dia pun dipercaya sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman. Kiprah dan pengabdiannya terus berlanjut. Pada tahun 1977 dia diangkat menjadi Kepala Bagian Kemahasiswaan. Setahun berikutnya, tahun 1978, di usianya yang masih muda, 31 tahun, Awang Faroek bahkan sudah dipromosikan untuk memangku jabatan Pembantu Rektor III Universitas Mulawarman. Pada tahun 1980, dia diangkat sebagai Dekan (Eselon I/b) di FKIP. Sukses menangani FKIP, sejak tahun 1984, dia kemudian bergeser ke Fakultas Ekonomi (FE) dan diberi tanggung jawab penuh sebagai Lektor.
Di luar tugas-tugas akademik, Awang Faroek yang selalu melahirkan ide-ide segar ini merasa terpanggil untuk membuat terobosan penting bagi peningkatan mutu dan masa depan kampus Unmul. Karena melihat masih minimnya tenaga akademik (dosen) di FKIP Unmul, dia pun mengusulkan kepada Rektor agar menyekolahkan sebanyak mungkin dosen-dosen FKIP Unmul ke jenjang yang lebih  tinggi, setingkat magister (S-2) hingga doktoral (S-3). Usul itu direspon positif oleh pihak universitas. Sejak itulah, secara bertahap, puluhan dosen muda FKIP Unmul dikirim untuk melanjutkan studi di sejumlah kampus terkenal di Pulau Jawa, seperti Universitas Airlangga (Surabaya), Universiyas Gajah Mada (Yogyakarta), dan Universtas Padjadjaran (Bandung).
Sukses di karir akademik belum membuat Awang Faroek merasa puas. Dia ingin suatu nilai lebih dari sekadar karir di jalur akademis. Terlebih lagi, semasa di kampus, dia sempat aktif berorganisasi. Kondisi ini agaknya kian memacu spirit Awang Faroek untuk terus mengembangkan karirnya ke ranah politik. Apalagi latar belakang dan kompetensinya di dunia politik tidak diragukan lagi. Sewaktu kuliah di IKIP Malang misalkan, dia pernah berkecimpung sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 1968-1974. Hampir bersamaan dengan itu, 1969-1972, dia terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Malang. Sebelum lulus sarjana tahun 1973, dia juga sudah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan di IKIP Malang.
Modal dan pondasi awal bagi Awang Faroek untuk memasuki ranah politik boleh dikatakan telah dia semai jauh-jauh hari saat dia masih bergiat sebagai aktivis kampus. Suatu ketika, hampir bersamaan waktunya dengan Peristiwa Malari 1975, Awang Faroek dan kawan-kawan turut hadir memenuhi undangan dalam pertemuan Dewan Mahasiswa di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Penggagasnya saat itu adalah Ketua Dewan Mahasiswa Unhas Tadjuddin Noor Said.
Pertemuan Dewan Mahasiswa kala itu dimaksudkan agar para mahasiswa  dari luar Pulau Jawa mencari terobosan alternatif gerakan mahasiswa. Artinya, gerakan mahasiswa Indonesia diharapkan tidak melulu identik dan hanya didominasi beberapa universitas ternama di Pulau Jawa.
“Saat itu saya kebetulan dipercaya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Unhas dan melakukan pertemuan Dewan Mahasiswa di Makassar. Nah, Pak Awang Faroek juga datang. Jadi, dia sudah bisa menjiwai semangat dari kegiatan pergerakan di masa itu,” cerita Tadjuddin Noer Said, anggota KPPU yang juga aktif di Partai Golkar. Penegasan Tadjuddin ini boleh dikatakan sebagai penegas kronika masa muda Awang Faroek yang memang telah kenyang ditempa berbagai aktivitas pergerakan beraroma politik.
Kemudian, demi untuk melihat talenta politik Awang Faroek yang cukup besar namun masih ‘terpendam’ membuat Gubernur Kaltim (waktu itu) H. Soewandi memanggil Awang Faisjal (kakak kandung Awang Faroek). Tujuannya untuk membantu mengarahkan karir politik adiknya itu.
“Sekitar tahun 1984, almarhum H. Soewandi, Gubernur Kaltim saat itu, memanggil saya agar bersedia mendukung keinginan beliau untuk mengorbitkan dan mengarahkan adik saya Awang Faroek di bidang politik. Tampaknya kemampuan adik kami ketika itu dibaca oleh beliau yang memang memerlukan kader-kader muda potensial dalam pembangunan,” Awang Faisjal berkisah. Keinginan Gubernur H. Soewandi tersebut rupanya klop dengan latar belakang masa lalunya sebagai aktivis pergerakan serta obsesi Awang Faroek yang memang berniat memasuki arena politik praktis. Apalagi, saat mahasiswa dulu, dia sebenarnya sudah pernah terjun ke gelanggang politik dengan menjadi anggota Golkar Kotamadya Malang pada tahun 1971-1973.
Sebab itulah bukan hal aneh bila Awang Faroek kemudian memutuskan berkiprah dan memilih terjun ke ranah politik praktis. Pada Pemilu 1987, DPD Tingkat I Golkar Kaltim mulai mencalonkannya sebagai Calon Legislatif (Caleg) di DPR RI. Tidak sulit bagi Awang Faroek buat meyakinkan konstituennya sampai terpilih dan dipercaya rakyat menjadi anggota DPR/MPR RI selama dua periode (1987-1997). Sementara rekannya sesama aktivis dari Unhas, Tadjuddin Noor Said, juga memilih terjun ke dunia politik praktis dan sempat beberapa periode menjadi koleganya di DPR RI, Senayan, Jakarta. ”Artinya, saya menilai Pak Awang Faroek yang kita lihat saat ini bukanlah hasil politik karbitan dari sistem kekuasaan yang ada. Saya melihat, saat itu Pak Awang Faroek aktif sekali,” kenang Tadjuddin.
Bila ditelisik lebih jauh, relatif banyak aktivis mahasiswa di negeri ini yang kemudian memilih terjun ke gelanggang politik praktis –baik di legislatif maupun eksekutif. Awang Faroek hanya salah satu contoh. Beberapa aktivis mahasiswa lain yang bisa disebut ‘seangkatan’ dengan Awang Faroek, antara lain Syamsul Muarif, Tadjuddin Noor Said, Akbar Tanjung, Sarwono Kusumaatmadja, Siswono Yudhohusodo, Fahmi Idris, dan Theo L. Sambuaga. Mereka adalah kader Golkar yang potensial dan sempat cukup lama berkiprah di tingkat nasional serta pernah ‘mewarnai’ parlemen dengan kapabilitas dan kompetensinya masing-masing. Ada pula dari PDI (sekarang PDI Perjuangan) seperti Jacob Tobing, Tjahjo Kumolo, Soerjadi, Taufik Kiemas, dan masih banyak lagi aktivis kampus lain seangkatan Awang Faroek yang rasanya tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini.
Di tingkat lokal Kaltim, nama Awang Faroek juga demikian mengakar ketika dia didaulat sebagai ketua pada sejumlah organisasi. Di organisasi kepemudaan misalkan, dia sempat diberi amanah sebagai Ketua DPD AMPI Tingkat I Kaltim (1979-1982) dan Ketua Umum DPD KNPI Kaltim (1982-1996). Di organisasi Korpri, dia juga dipercaya sebagai Ketua Korpri Unit Universitas Mulawarman (1981-1986), Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka Kaltim (1983-1987), termasuk ketua pada sejumlah organisasi kepemudaan dan profesi.
Di organisasi politik, namanya kembali mengakar semasa dia menjabat Sekretaris DPD Tingkat I Golkar Kaltim (1983-1988). Dari embrio organisasi politik terbesar inilah, daerah Kaltim membidani kelahiran seorang tokoh politik yang cukup vokal dan membanggakan di pentas nasional. Hal itu dia buktikan ketika selama sepuluh tahun diberi amanah sebagai anggota DPR/MPR RI mewakili daerah pemilihan Kaltim, periode 1987-1992 dan 1992-1997.
Berkat kompetensi dan kapabilitasnya, di parlemen dia pernah dipercaya oleh para koleganya untuk mengemban tanggung jawab dan amanah yang cukup besar, yakni Wakil Ketua Komisi II dan Komisi X. Pada saat itu sangat jarang tokoh dari kalangan sipil, apalagi dari luar Pulau Jawa, yang bisa memegang posisi bergengsi semisal ketua komisi ataupun ketua fraksi. Kalaupun ada yang berhasil duduk, itu memang karena kompetensi dan kapabilitas tokoh yang bersangkutan. Hal ini diakui pula oleh sejawatnya di Partai Golkar yang juga berasal dari luar Pulau Jawa, Syamsul Muarif. Tokoh Partai Golkar asal Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang menjadi salah satu Ketua DPP Partai Golkar ini mengakui bahwa dia pribadi tidak meragukan lagi kompetensi dan kapabilitas seorang Awang Faroek. Menurut Syamsul, karir politik Awang Faroek senada di DPR/MPR RI kala itu hingga dia dipercaya sebagai Wakil Ketua Komisi II dan Komisi X menjadi salah satu parameter bahwa secara kelembagaan, value, kompetensi, dan kapabilitasnya memang diakui. “Terlebih lagi, saat itu orang daerah seperti kita ini sangat jarang bisa muncul memegang posisi ketua komisi,” cerita Syamsul.
Di gedung wakil rakyat di kawasan Senayan, Jakarta, selama tujuh tahun dia dipercaya sebagai Wakil Ketua Komisi II yang membidangi masalah-masalah Pemerintahan dan Sekretariat Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Pertanahan, Kepegawaian, BP-7 dan BPKP. Tiga tahun berikutnya, Awang Faroek ditugaskan di Komisi X di mana karena tugasnya dia kerapkali bermitra dengan Menristek (waktu itu) Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, Meneg Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusumaatmadja, juga lembaga terkait seperti Bappenas, LIPI, BATAN, dan LAPAN.
Selama di gedung wakil rakyat Senayan itu pula, Awang Faroek membuktikan kemampuannya sebagai legislator ulung. Oleh para koleganya, dia dipercaya sebagai Ketua Pansus Undang-undang (UU) Lingkungan Hidup, UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, UU Ketenaga-nukliran, UU di Bidang Keuangan, Perpajakan, Kepabeanan, dan lain-lain. Selama bertugas di DPR/MPR RI waktu itu minimal dia terlibat dalam pembuatan sekitar 50 jenis UU. Dari rangkaian pengalamannya itulah Awang Faroek jelas mengetahui persis bagaimana suatu kebijakan nasional digodok dan dilahirkan, sekaligus dia bisa secara leluasa menyampaikan aspirasi rakyat di daerahnya. “Menurut saya, sejak dulu Pak Awang Faroek itu adalah representasi otentik dari daerahnya, Kalimantan Timur. Sejak saya kenal, Pak Awang Faroek adalah representasi daerah, meski pada masa Orde Baru saat itu sistemnya masih dikendalikan dari pusat, karena kiprahnya menggambarkan representasi yang kuat bagi daerahnya. Dapat dikatakan, dia adalah tokoh nasional dengan identitas aspirasi regional,” ujar mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman, tentang peran sahabatnya Awang Faroek Ishak selama di parlemen.
Mendekati penghujung 1990-an, tepatnya secara resmi tanggal 12 Oktober 1999, Awang Faroek melihat kampung halamannya Kabupaten Kutai mekar: Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur. Tergerak oleh kondisi Kutai Timur yang kemudian berpusat ibukota di Sangatta yang masih amat sederhana namun berlimpah sumber daya alam, Awang Faroek pun tidak menampik tatkala Pemerintah menunjuk dirinya untuk menjadi penjabat Bupati Kutai Timur, sampai terbentuk pemerintahan yang stabil dan lengkap dengan segenap perangkat kepemerintahan. Arti kata, sampai ada mekanisme pemilihan bupati kepala daerah sebagaimana lazimnya di daerah-daerah lain yang ketika itu melalui pemilihan lewat wakil rakyat di DPRD.
Awang Faroek melihat Kutai Timur membutuhkan sentuhan seorang pemimpin yang tidak sekadar birokrat. Tapi, seorang pemimpin yang mampu menggerakkan dan mengelola segenap potensi yang ada, seorang pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial.

B.     Pulang ke Kutai Timur Membawa Tujuh Prinsip
Berkat pengalamannya, baik di ranah politik maupun di lingkungan birokrasi, Awang Faroek tak banyak menemui kesulitan saat mulai memimpin Kabupaten Kutai Timur di tahun 1999. Dia pun meretas segala jalan untuk membawa Kutai Timur, khususnya ibukota Sangatta, ke arah kemajuan yang lebih berpengharapan. Dalam tempo dua tahun (1999-2001), warga Kutai Timur pun sangat merasakan sentuhan seorang Awang Faroek. Sebab itu, ketika mulai dibuka keran pemilihan melalui wakil rakyat DPRD Kabupaten Kutai Timur tahun 2001, suara wakil rakyat langsung merapat ke Awang Faroek.
Di tengah perjalanan memimpin Kabupaten Kutai Timur, tahun 2003, Awang Faroek tergelitik untuk naik peringkat mengikuti Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur. Namun, ketika itu, dengan lapang dada dia menerima kekalahan.
Sekali lagi berkat kompetensi dan prestasinya, menjelang Pilkada langsung Bupati Kutai Timur tahun 2005, banyak komponen masyarakat yang memintanya untuk kembali memimpin Kutai Timur guna membenahi kesemrawutan dan kemandekan pembangunan di daerah yang pernah dipimpinnya itu.
Semula Awang Faroek merasa ragu dan berpikir berulang-ulang untuk kembali ‘pulang’ ke Kutai Timur. “Tadinya saya belum yakin, sehingga belum berani mengiyakan. Lantas, saya katakan ke mereka, oke saya bersedia dengan catatan ini benar-benar murni dikehendaki oleh rakyat,” kata Awang Faroek menjawab aspirasi rakyat. Persoalannya, lanjut Awang Faroek, “Saya tidak mau kalau ini cuma direkayasa buat menyenangkan saja.”
Dijelaskan Awang Faroek bahwa sekarang ini eranya jauh berbeda karena sudah menggunakan sistem pemilihan langsung, sehingga rakyatlah yang berdaulat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Sebab itu, Awang Faroek memohon berbagai komponen masyarakat yang memintanya pulang agar membuktikannya lebih dulu. Caranya? Awang Faroek justru diminta turun langsung bersama mereka guna menyerap aspirasi riil masyarakatnya. Hasilnya? “Kesan yang saya tangkap, ternyata mayoritas masyarakat memang mengharapkan saya tampil kembali. Nah, setelah merasa yakin betul, akhirnya saya menerima aspirasi mereka,” tutur Awang Faroek.
Sikapnya ini membuktikan bahwa Awang Faroek bukanlah sosok yang haus tahta dan kuasa. Dia tidak mau permintaan masyarakat itu cuma direkayasa oleh segelintir orang yang notabene bakal menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran. Prinsipnya, lebih baik Awang Faroek memusatkan diri dengan aktif mengajar di kampus ketimbang masuk perangkap avonturir. Dia sangat percaya, bahwa apa yang telah digariskan Tuhan dan hukum alam yang menyebutkan, garis hidup dan sejarah manusia yang linier itu ada masanya untuk bangkit, sehingga orang hidup itu tidak perlu tergesa-gesa mendahului zamannya. Itulah sebabnya, dalam rotasi roda kehidupan ini, Awang Faroek tidak pernah bersikap frontal dan radikal menghadapi sesuatu. Semua sikap dan tindakannya senantiasa dia perhitungkan dengan cermat dan matang agar tidak mendapatkan goncangan dari lawan-lawan politiknya.
Walhasil, sepak terjangnya sebagai politisi senior hingga saat ini relatif tidak tercemar oleh kalkulasi-kalkulasi pragmatis sebagaimana jamak terjadi di ranah politik praktis. Sosoknya yang relatif bersih justru berhasil berkelit dari kecenderungan persepsi umum tentang politisi negeri ini yang sangat kompromistis dan terlalu berorientasi pada kekuasaan belaka. Politisi yang lazimnya dikonotasikan negatif sebagai profesi yang dekat dengan ambisi, keserakahan, menghalalkan secara cara, dan sangat haus kekuasaan, tidak dapat dilekatkan pada sosok Awang Faroek. Sebab, dia sosok politisi sekaligus akademisi yang mampu menampilkan citra dirinya secara elegan, menjunjung tinggi moralitas, menghargai etika dan mengedepakan nilai-nilai hati nurani dalam berpolitik.
Setelah merasa yakin dengan dukungan masyarakat, Awang Faroek memutuskan niatnya untuk ‘pulang’ kembali ke Kabupaten Kutai Timur, tentunya dengan berbekal konsep, gagasan dan pemikiran-pemikiran besarnya buat melanjutkan pembangunan yang sempat mandek di daerah itu. Dalam konteks inilah, sang konseptor Awang Faroek kembali membawa gagasan berupa tujuh nilai (value) prinsip yang dia terapkan dalam membangun wilayahnya. Dia berharap, prinsip yang sama jua dia terapkan manakala diberikan mandat oleh rakyat dan amanah oleh Tuhan dalam memimpin Provinsi Kalimantan Timur. Ketujuh nilai prinsip itu adalah:
Prinsip pertama, Awang Faroek berniat kembali ke Kutai Timur dengan mengemban prinsip dasar kasih sayang. Dia menempatkan betapa pentingnya prinsip kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa? “Karena saya pribadi tidak pernah membeda-bedakan suku bangsa, ras, agama dan label-label lainnya. Sebab, yang ada di dalam diri saya adalah bagaimana saya bisa memperlakukan semua orang itu dengan proporsi yang sama, sejajar, dan baik. Jadi, yakinlah saya tidak akan melahirkan mana anak emas, anak loyang, anak perak, dan seterusnya. Semua suku bangsa di Kutai Timur akan saya perlakukan secara sama rata. Demikian pula umat semua agama, akan saya perlakukan dengan kasih sayang yang sama,” ujar Awang Faroek.
Prinsip kedua, dia kembali lantaran mengedepankan kejujuran. Sebab, terus terang saja, kata Awang Faroek, tanpa nilai kejujuran, bagaimana mungkin kita dapat membangun Kutai Timur dengan baik. Jadi, modal pertama dan utama seorang pejabat publik itu adalah kejujuran. “Dalam setiap aktivitas saya  pribadi, saya mencoba berlaku jujur, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kepemimpinan Baginda Rasulullah saw, yaitu siddiq, amanah, fatonah dan tabliq, di mana pondasi dasarnya adalah kejujuran,” terang Awang Faroek.
Prinsip ketiga, Awang Faroek kembali dengan prinsip rasa tanggung jawab. Karena, menurut dia, apapun kebijakan yang telah dia laksanakan di Kabupaten Kutai Timur, semuanya itu harus bisa dipertanggung-jawabkan. Misalkan saja, mengapa dulu Awang Faroek tidak bersedia memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar kepada para pengusaha dan mengapa pula dia tidak memberikan izin tambang batubara skala kecil. Awang Faroek tahu persis bahwa hal itu akan merusak lingkungan. “Saya tidak mau hal itu terjadi di wilayah saya. Sebab, baik-buruk masa depan Kutai Timur ini nantinya merupakan tanggung jawab saya juga. Begitu pula terhadap pengelolaan keuangan dan sebagainya, saya akan bertanggung-jawab penuh,” Awang Faroek menandaskan.
Prinsip keempat, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur lantaran ingin mengedepankan prinsip kebersamaan. Yakni, bagaimana kebersamaan ini mampu diwujudkan di masyarakat Kutai Timur dan tidak sebatas slogan semata. Dia berkeyakinan, prinsip kebersamaan akan mampu membangun Kutai Timur menjadi lebih baik. Contohnya, begitu Awang Faroek bersedia pulang ke Kutai Timur, maka dalam tempo relatif singkat ada puluhan partai politik yang bersedia mengusungnya dalam Pilkada. Demikian halnya banyak elemen masyarakat, paguyuban masyarakat, kelompok adat dan berbagai macam organisasi memberi dukungan, di mana semua itu menjadi modal awal bagi Awang Faroek untuk membangun Kutai Timur ke depan, sekaligus merealisasikan nilai-nilai kebersamaan. Itulah sebabnya, untuk menampung aspirasi masyarakat yang mendukungnya, Awang Faroek mendirikan wadah Kerukunan Warga Kutai Timur Pro Pembangunan (KWKTPP). Dengan terbentuknya KWKTPP, dia menjadi lebih leluasa dan efektif menggalang dukungan semua lapisan masyarakat guna mewujudkan kebersamaan, tanpa memandang latar belakang suku, bangsa, ras, agama dan lain-lain. Faktanya, menjelang Pilkada langsung Kutai Timur 12 Desember 2005, wadah ini menjadi suatu kekuatan besar yang sinergis. Dalam konteks inilah, Awang Faroek berupaya menghilangkan munculnya sekat-sekat egoisme sektoral dan kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan lain-lain. “Sebab, tujuan kita cuma satu, yakni bagaimana Kutai Timur menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera,” tegas Awang Faroek.
Prinsip kelima, Awang Faroek kembali dengan komitmen. Komitmennya, dia ingin membangun Kutai Timur dan bertekad menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Menurut dia, bagaimana mungkin kita bisa melaksanakan butir-butir agenda reformasi secara baik di Kutai Timur, kalau tidak ada tata kelola pemerintahan yang baik yang telah beberapa kali dia tulis dan dihimpun dalam sejumlah buku karyanya. Tata kelola pemerintahan yang baik mencakup unsur: partisipasi, penegakan hukum, transparan, kesetaraan, responsif, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme (Awang Faroek, 2003).
“Saya yakin kesepuluh prinsip good governance itu sudah saya laksanakan secara bertahap di Kutai Timur. Bahkan, setiap aktivitas apel 17 Agustus, kesepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik itu selalu diucapkan sehingga dalam diri setiap aparatur Pemerintah Kabupaten (Pemkab) makna kesepuluh prinsip itu benar-benar diresapi dan dilaksanakan saat mereka bertugas sehari-hari,” tutur Awang Faroek.
Prinsip keenam, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur berpinsip pada keadilan. Memang, pada dasarnya kita susah bertindak adil, tapi minimal kita berupaya menciptakan keadilan itu pada semua orang. Prinsip keadilan ini dia akan terapkan tanpa pandang bulu, supaya tidak ada lagi rasa kecewa atau tidak puas pada sebagian warga masyarakat di Kutai Timur. Misalkan, dalam proses penerimaan (recruitment) dan pengangkatan calon PNS, termasuk promosi jabatan, semuanya harus mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku, yakni aturan Kepegawaian dan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). “Dengan kata lain siapa yang berprestasi, berdedikasi, dan loyalitasnya tidak diragukan, maka dialah yang kita hargai, tanpa memandang apakah ia keluarga saya, keponakan, sepupu dan sebagainya,” tutur Awang Faroek.
Prinsip ketujuh, Awang Faroek kembali ke Kutai Timur ingin mengembangkan sikap disiplin. Dia berpendapat, tanpa disiplin maka kita semua akan susah. Terus terang saja, bagaimana mungkin kita menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kalau disiplin di dalam organisasi tidak ada. Awang berharap disiplin itu tidak hanya miliknya pribadi namun juga harus diterapkan pada lingkungan keluarga masing-masing. Terlebih lagi bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai pemimpin birokrasi, maka disiplin menjadi sebuah keniscayaan.
Berangkat dari tujuh prinsip nilai itu, Awang Faroek memantapkan niatnya untuk ‘pulang’ ke Kabupaten Kutai Timur. Sebetulnya, masih banyak lagi prinsip-prinsip lain yang juga turut mendorongnya pulang kampung. Tapi, menurut Awang Faroek, “Ketujuh prinsip itulah yang terpenting dan secara bertahap akan saya terapkan di wilayah Kutai Timur, termasuk kelak bilamana rakyat memberi amanah kepada saya untuk memimpin Provinsi Kalimantan Timur.”

C.    Reformasi Birokrasi Mengasah Potensi
Garda terdepan kinerja birokrasi adalah pelayanan kepada masyarakat (public). Kata kuncinya, menurut Awang Faroek (2006), adalah melakukan reformasi sekaligus revitalisasi birokrasi untuk mengurangi keruwetan birokrasi yang ada saat ini. Dalam cetak biru (blue print) kebijakan pendayagunaan aparatur negara, kondisi birokrasi yang diharapkan adalah terbentuknya organisasi yang kaya fungsi, ramping struktur, efisien dan efektif, dengan aparatur yang profesional, netral, sejahtera dan akuntabel, serta ketatalaksanaan yang tertib, terkoordinasi secara baik dan bebas KKN. Birokrasi berkualitas semacam itulah yang pada akhirnya diharapkan berujung pada perwujudan pelayanan prima bagi warga masyarakat.
Untuk mengejar kemajuan lantaran negara kita tertinggal dari negara-negara  lain dalam percaturan internasional, maka penting dibutuhkan birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneur). Mengapa? “Jika kita tidak ingin menjadi negara yang berdaya saing rendah, kita harus membangun birokrasi entrepreneur. Pada dasarnya, setiap orang dapat menjadi entrepreneur bila organisasi dibangun kondusif untuk itu. Sebaliknya, wirausahawan bisa jadi birokrat jika organisasi didesain untuk mengembangkan perilaku birokratis,” kata Deputi Menneg PAN Komarudin sebagaimana dikutip Kompas (2004).
Pertanyaannya kemudian, seperti apakah wajah birokrasi berjiwa entrepreneur itu? Birokrasi yang berjiwa wirausaha digambarkan sebagai birokrasi yang ramping dan memberdayakan, memfasilitasi dan menguatkan masyarakat. Kemampuan wirausaha merupakan kemampuan memanfaatkan sumber daya dengan cara inovatif untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja.
Jiwa entrepreneurship adalah jiwa di mana individu atau kelompok dalam organisasi mampu mengelola sumber-sumber yang berupa kesempatan dan tantangan menjadi hasil (Mas’ud, 2004). Sementara itu makna entrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk mengambil risiko usaha dan meminimalisasi risiko tersebut menjadi keuntungan. John G. Burch menerjemahkan entrepreneurship sebagai aktivitas seorang wiraswasta, diambil dari istilah Bahasa Prancis entreprenoire, yang berarti mengambil peran, mengambil suatu kesempatan; memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui inovasi. Pada saat sekarang, entrepreneurship menjadi kebutuhan bagi setiap orang, karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan pengelolaan input menjadi output organisasi yang diselenggarakan dengan mengusung prinsip-prinsip organisasi, efektivitas dan produktivitas.
Dulu, jiwa entrepreneurship ini lebih banyak dibutuhkan oleh kalangan industriawan dan businessman, atau bahkan usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk organisasi dan pegawai publik, seperti pegawai pemerintah (baca: PNS). Namun, dengan perkembangan sekarang ini, sektor pemerintahan pun harus pula mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis, baik secara langsung maupun melalui kerjasama mereka dengan para pengusaha. Bahkan, ada keniscayaan bagi negara (pegawai), terutama negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang sektornya, untuk mengoptimalkan secara efisien untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Seperti dikatakan Peter F. Drucker dalam The Sage of Theory: “The most entrepreneurial, innovative people be have like the worst time surving bureaucrat of power hungry politicion six month after they have taken over the management of public service institution.” Selanjutnya dia mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi entreprenur bila organisasinya menyelenggarakan sistem manajemen entrepreneurship. Sebaliknya, hampir semua entrepreneur berubah menjadi seorang birokrat jika organisasinya menyelenggarakan kebiasaan birokratik (Mas’ud, 2006).
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa entrepreneurship melekat dan amat dipengaruhi oleh model organisasinya. Dulu, peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan sedikit meninggalkan orientasi input. Namun, sekarang ini pemerintah daerah disyaratkan untuk memikirkan input-input dalam kerangka memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan mengoptimalkan semua sumberdaya alam, lingkungan, teknologi, dan sumberdaya manusia yang ada.
Sebagaimana studi David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transformation the Public Sector, maka pemerintahan di era reformasi sekarang ini dan di masa yang akan datang dituntut untuk mengevaluasi dan mengembangkan metode kerja dan cara kerja yang efisien sekaligus memberikan public servicer yang memiliki jiwa entrepreneur, bukan cuma pandai menghabiskan anggaran moneter dan fiskal yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa organisasi pemerintahan saat ini dan di masa mendatang sangat membutuhkan nilai-nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Dalam konteks ini, niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang positif, sesuai dengan aturan kelembagaan dalam melaksanakan tugas-tugas  pelayanan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam kerangka memperkuat organisasi daerahnya. Sebutlah misalkan, beberapa kebijakan pemerintah yang diajukan pada dekade ini berupa otonomi daerah, eselonisasi bupati, deregulasi investasi di daerah, pemangkasan pungutan non-Perda dan kebijakan stream-linning aparatur di tingkat pusat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kelembagaan struktur birokrasi yang ada agar menjadi lebih efektif dan efisien.
Boleh jadi demikianlah gambaran birokrasi ideal negeri ini yang ingin dibangun dengan semangat reformasi. Hal yang sama juga secara bertahap mulai dikembangkan Awang Faroek ketika mulai memimpin Kabupaten Kutai Timur. “Di Kutai Timur, saya mendesain organisasi birokrasi yang efektif dan efisien, dengan penempatan aparatur yang profesional di bidangnya,” ungkap pria yang awal mula meniti karir birokrasinya dari bawah ini.
Secara umum, dijelaskan Awang Faroek, upaya meningkatkan kualitas SDM Kutai Timur melalui aparatur birokrasi pemerintahan dilakukan dengan cara-cara berikut:
·         Menyediakan aparatur pemerintahan yang terampil dan memiliki profesionalisme, etos kerja, moralitas, integratif dan koordinatif yang tinggi sesuai dengan kebutuhan daerah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang mandiri, bersih dan berwibawa, serta bebas KKN.
·         Meningkatkan pelayanan prima dan kinerja aparatur pemerintah.
·         Mewarnai birokrasi dengan nilai-nilai wirausaha.
Harapan selanjutnya, kata Awang Faroek, segera terbentuk organisasi birokrasi daerahnya sesuai dengan blue print kebijakan pusat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dengan kualitas birokrasi semacam itu diharapkan akan bermuara pada perwujudan pelayanan prima kepada masyarakat, yakni pelayanan yang mudah, murah, cepat dan bebas KKN. Contoh mutakhir, terobosan pelayanan birokrasi yang dia lakukan, yakni dengan menerapkan e-Government lewat kebijakan SIMTAP (Sistem Informasi Manajemen Satu Atap) secara online antardinas dengan sistem computerized. Terobosan penting ini kemudian memperoleh penghargaan dari Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (2003) sekaligus menempatkan Kutai Timur sebagai pionir e-Government pertama dan terbaik di Indonesia.
Tak cukup berhenti di situ saja. Implementasi e-Government di Kutai Timur ini juga sangat monumental karena tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI). Kisahnya, berawal dari pengusaha dan pemilik PT Jamu Jago, Jaya Suprana, yang sengaja datang ke Sangatta pada tanggal 27 Januari 2003 yang lalu. Rencananya, Jaya Suprana saat itu akan mengembangkan bahan baku jamu miliknya di Kutai Timur. Sedianya, dia akan mengurus sendiri proses perizinan dan layanan birokrasi di daerah tersebut. Terbukti, hanya dalam tempo relatif singkat (36 menit), semua perizinan sudah selesai dia kantongi. Demikian cepatnya birokasi proses perizinan di Kutai Timur tersebut, sehingga membuat Jaya Suprana sempat terkagum-kagum. Walhasil, kesan bahwa birokrasi selama ini yang cenderung bertele-tele, mahal dan melelahkan, terpatahkan sudah. Tanpa banyak komentar, Jaya Suprana lantas memberikan sertifikat MURI kepada Awang Faroek Ishak dan jajaran Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dan mencatat rekor selaku bupati tercepat di Indonesia dalam memberikan perizinan.
Tiga tahun berselang, tepatnya tanggal 1 September 2006, terobosan e-Government Kutai Timur melalui kebijakan SIMTAP tersebut kembali mencatat prestasi membanggakan. Adalah Kementerian Pedayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) bekerjasama dengan Majalah Leadership Park (Jakarta) menganugerahkan lagi dua penghargaan sekaligus, yakni Leadership Award 2006 kepada Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak untuk Kategori Bidang Pelayanan Publik dan Pemimpin Bangsa di Daerah. Penghargaan ini sebagai wujud nyata pengakuan Pemerintah Pusat atas realitas birokrasi dan output pelayanan publik yang prima di Kabupaten Kutai Timur.
Menurut Awang Faroek, penerapan e-Government dan model layanan birokrasi di Kabupaten Kutai Timur tersebut sebagai salah satu jawaban atas keraguan banyak pihak, bahwa otonomi daerah yang diimplementasikan pada tahun 2001 lalu diduga hanya akan memindahkan praktik KKN baru ke daerah, justru tidak beralasan. Di sisi lain, pengembangan e-Government justru mampu membawa Pemerintah Daerah (Pemda) kepada satu bentuk institusi yang berorientasi kepada pelanggan (customer driven).
Apa yang dilakukan oleh jajaran birokrasi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tersebut merupakan gambaran awal idealita sebuah institusi birokrasi yang sehat, memberdayakan, dan senantiasa berorientasi kepada pelanggan (customer driven). Intinya, bagaimana kepedulian, itikad dan kesungguhan Pemerintah Daerah membenahi dan menata struktur birokrasi di daerahnya.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi (2006), ada beberapa RUU menyangkut reformasi birokrasi pelayanan publik yang harus diselesaikan DPR RI, yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggara Negara, serta RUU Pengawasan Negara. Dalam RUU-RUU tersebut di mana salah satunya mengatur masalah sanksi kepada pejabat publik yang tidak mampu atau menyalahi wewenang sehingga tidak berhasil memberikan pelayanan kepada publik.
RUU Administrasi Negara akan mengatur pembatasan wewenang pemerintah dan memberikan ruang kepada publik. “UU tersebut akan mengikat ‘kaki’ pemerintah. Kalau gubernur, bupati dan menteri membuat keputusan salah, maka dikenakan sanksi administrasi, perdata dan pidana,” jelas Taufiq (Jurnal Indonesia, 2006).
Sementara itu UU Pelayanan Publik juga mendorong birokrasi pemerintah untuk secara maksimal memberikan pelayanan kepada publik. Bilamana pelayanan tidak maksimal maka rakyat dapat menuntut. Dan pejabat yang gagal memberikan pelayanan prima kepada publik akan dikenakan sanksi, baik administratif, perdata maupun pidana.
Ditambahkan Taufiq, nantinya semua pejabat publik jika tidak berhasil melayani kebutuhan masyarakat, berarti telah melakukan tindak pidana. “Tidak melayani dan menunda pelayanan, itu adalah kejahatan. Karena mereka makan duit dari APBN, maka ada sanksi pidana macam-macam, ada yang dipecat dan dihukum,” tuturnya,
Dia menyebutkan bahwa pemerintah kini bersama DPR RI tengah mempersiapkan sejumlah perundang-undangan yang mengatur pelayanan birokrasi. Saat ini banyak peraturan namun tak ada satu pun yang berguna.
Menurut dia, keberadaan Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) telah lama tidak berjalan maksimal dan tidak pernah bersidang. Kendati begitu, Taufiq  mengatakan, dari 10 kali persidangan, sudah lebih dari 500 orang yang dipecat secara tidak hormat. “Karena terbukti terlibat sejumlah kasus seperti percaloan, masuk seenaknya dewe, dan narkoba,” jelas Taufiq Effendi.
Sekali lagi tumpukan aturan tentang PNS itu sudah lebih dari cukup. Yang terpenting adalah kepedulian, itikad dan kesungguhan dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk meng-up-grade kompetensi dan membenahi karut-marut birokrasi di negeri ini.
Dalam memimpin Kabupaten Kutai Timur, Awang Faroek berusaha menampilkan birokrasi yang ramah usaha dengan aparatur yang profesional atau akrab diistilahkan birokrasi entrepreneur. Bila di daerah lain birokrasi semacam ini masih sebatas wacana, di Kutai Timur sudah bisa dilihat secara langsung praktik birokrasi entrepreneur tersebut. Pengalaman Awang Faroek yang cukup lama berkiprah dalam lingkaran birokrasi dan pemerintahan dikombinasikan sentuhan dunia politik, membuatnya sangat paham untuk mengurai benang kusut keruwetan birokrasi di daerahnya, Kabupaten Kutai Timur.
“Kami akui kalau zaman dulu para birokrat memang bertindak seperti pangrehpraja, bukan pamongpraja. Maka sekarang bukan zamannya lagi. Birokrat harus betul-betul menjadi pamongpraja yang memberikan pelayanan prima dan berkualitas kepada masyarakat,” tandas Awang Faroek.
Labih jauh, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Awang Faroek menyesuaikannya dengan mengadopsi kemajuan teknologi informasi. “Kami akan terus mengembangkan kerjasama dengan Divisi Risti (Riset dan Teknologi) PT Telkom Tbk untuk membuat dan menerapkan SIMTAP (Sistem Informasi Manajemen Satu Atap) dan dikembangkan menjadi SIMPEKAB (Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Pemerintah Kabupaten), yang semuanya dilakukan dengan sistem computerized,” papar Awang Faroek panjang-lebar.
Hingga kini terdapat 75 jenis pelayanan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, meliputi sistem informasi manajemen keuangan daerah, perlengkapan daerah, kepegawaian daerah, kependudukan, geografis, pariwisata, tenaga kerja, pendidikan, agribisnis, lingkungan hidup dan statistik.
Sejak dilantik sebagai penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2000), Bupati definitif (2001-2003) dan terpilih lagi pada 2006-2011, Awang betul-betul bekerja keras membangun kompetensi aparaturnya sehingga mampu menghasilkan kinerja birokrasi yang prima bagi pelayanan publik yang bermuara pada kemajuan daerahnya. Awang Faroek berusaha menerapkan e-Government secara baik dalam birokrasi pelayanan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Penerapan e-Guvernment akan menciptakan pelayanan pemerintahan yang efisien, efektif dan transparan. “Dengan adanya transparansi maka akan tumbuh kepercayaan yang tinggi dari masyarakat,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam suatu kesempatan (Warta Ekonomi, 2002).
Di era globalisasi dan reformasi ini, penerapan e-Government tersebut dirasa penting dan sangat krusial mengingat masyarakat modern senantiasa menempatkan informasi (data) sebagai salah satu kebutuhan yang memperoleh prioritas tinggi –baik kalangan birokrat, politisi, pengusaha, maupun akademisi. Signifikansinya adalah semakin lengkap, akurat, dan cepat informasi (data) bisa tersedia secara otomatis akan sangat membantu pengambil kebijakan (policy making), baik kalangan birokrat maupun usahawan, dalam setiap pengambilan keputusan (decision making).
Secara global, saat ini cukup banyak negara yang sudah menerapkan e-Government, antara lain Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Malaysia, dan Taiwan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh World Market Research Center (WMRC). Peringkat e-Government tertinggi ditempati oleh Amerika Serikat dengan tingkat penetrasi 57,2 persen, berikutnya Taiwan 52,5 persen, Australia 50,7 persen, dan Kanada 49,6 persen. Sementara Indonesia berada di urutan ke-88 dengan tingkat penetrasi 30 persen. Urutan lumayan dari 196 jumlah negara yang dinilai WMRC (Warta Ekonomi, 2002).           
Sampai saat ini, penerapan e-Government di Indonesia telah berjalan di sejumlah Pemerintah Daerah. Boleh dikatakan, sudah ada bibit-bibit penerapan e-Government di berbagai lembaga, baik di tingkat departemen, lembaga non-departemen, pemerintah provinsi, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Sayangnya, baik sumber dana, model bisnis, standardisasi dan tata laksana maupun content management belum ada pengintegrasian, sehingga perlu regulasi khusus untuk mengatur hal ini.
Tidak dapat dielakkan, seiring dengan dinamika dan mobilitas masyarakat modern yang demikian tinggi di masa yang akan datang tentu juga harus dibarengi dengan kesiapan aparatur Pemerintah Daerah beserta perangkatnya dalam memberikan pelayanan yang mudah, murah, cepat, akurat dan lengkap (Awang Faroek, 2003). Menyadari pula tantangan pembangunan yang kian kompleks dan adanya keterbukaan yang makin meningkatkan persaingan, baik antardaerah, antarnegara maupun antarregional, maka Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di era kepemimpinan Awang Faroek berupaya untuk menyesuaikan tantangan eksternal dengan lingkungan strategis yang pergerakannya sangat cepat itu, khususnya melalui SIMPEKAB yang berfungsi mengkoordinasikan, baik sistem informasi maupun pelayanan perizinan.
Dengan penerapan e-Government ini diharapkan akan memotivasi Pemerintah Daerah kepada satu bentuk institusi birokrasi modern yang berorientasi kepada pelanggan (customer driven).
Sementara itu bagi kalangan dunia usaha atau sektor swasta (private sector) selaku mitra pembangunan Pemerintah Daerah, bahwa e-Government yang diterapkan pada SIMTAP akan membuat kegiatan investasi di daerah menjadi bersih, murah, transparan dan bebas KKN. Sekadar contoh, di Kutai Timur, untuk melakukan investasi di perkebunan kelapa sawit, calon investor bisa secara mudah memperoleh data lahan yang cocok untuk kelapa sawit dari menu layanan Sistem Informasi Geografis (SIG) atau informasi agribisnis. Berbekal informasi tersebut, di kantor yang sama pula, calon investor dapat memperoleh sejumlah informasi persyaratan yang diperlukan guna membuka usaha perkebunan, baik perizinan lokasi, pendaftaran perusahaan, maupun sejumlah perizinan lain dari loket yang telah disediakan Pemerintah Daerah (Pemda).
Penerapan teknologi e-Government telah mengubah persepsi masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan yang sebelumnya diberikan melalui antrean panjang, birokrasi yang tampak sulit dan berbelit-belit, bahkan kerapkali membuat orang putus asa. Selain itu, penerapan e-Government akan membawa Pemerintah Daerah pada suatu bentuk institusi yang berorientasi kepada pelanggan: Customer - Centric Government – The Citizen is Costumer.
Era otnomi daerah yang kini hadir bersamaan dengan era globalisasi menuntut Pemerintah Daerah bekerja secara cerdas merumuskan suatu strategi dalam pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan daya saing aset (competitiveness of the asset) dan peningkatan daya saing proses (competitiveness of the process). Menurut Awang Faroek, peningkatan daya saing aset hendaknya dilakukan melalui empat kebijakan utama:
·         Peningkatan kualitas SDM.
·         Peningkatan kapasitas Iptek.
·         Penyediaan infrastruktur industri dan perdagangan.
·         Peningkatan akses terhadap sumber keuangan.
Sedangkan untuk peningkatan daya saing proses, dilaksanakan melalui penciptaan good governance, peningkatan hubungan internasional dan peningkatan manajemen.
Penciptaan good governance merupakan hal yang penting dalam pembangunan ekonomi. Dengan pemerintahan yang baik diharapkan akan terjadi kesamaan peluang dalam masyarakat untuk mendaya-gunakan potensi ekonomi. Arti kata, masyarakat akan memiliki akses yang sama dalam memanfaatkan SDA tersebut. Selain itu, peran pemerintah akan semakin mengarah sebagai pelindung terhadap komponen masyarakat yang lemah untuk mewujudkan kesetaraan.
Lebih jauh, Awang Faroek menegaskan, bahwa peningkatan daya saing bagi daerah diharapkan terjadi melalui perubahan secara bertahap (incremental change) yang bermula dari upaya mengurangi ketergantungan dari pusat (dependence) menuju kemandirian daerah (independence) yang pada akhirnya mencapai suatu bentuk ideal berupa saling ketergantungan (interdependence) antara daerah dan pusat serta antara daerah satu dan daerah lainnya. Dalam jangka panjang, bila hal ini dilakukan maka akan terjadi seleksi alam antardaerah dalam mengembangkan produk unggulan dan andalan yang berdasar pada keunggulan kompetitif masing-masing. Dengan modal demikian maka akan terjadi aliansi antardaerah yang berbasis pada kebersamaan, keuntungan bersama, keunggulan dan daya saing, sekaligus menyelesaikan ketimpangan (disparitas) pembangunan antardaerah.
Upaya peningkatan daya saing daerah otonom hendaknya diarahkan memasuki pasar global dalam konteks semangat kebersamaan dan interdependensi. Jika hal ini dapat diwujudkan maka dapat dipastikan akan terjadi persaingan yang sangat ketat antardaerah dalam menguasai sumber daya dan perebutan pasar produk masing-masing.
Kompetisi atau persaingan adalah baik selama bertujuan untuk saling meningkatkan daya saing masing-masing daerah. Jika tidak demikian maka yang terjadi adalah adanya proses saling melemahkan antardaerah dalam memasuki pasar global. Strategi bersaing yang didasarkan pada proses saling melemahkan sangat tidak sesuai dengan iklim persaingan global. Karena di era globalisasi, persaingan-persaingan yang terjadi justru mengarah pada terwujudnya aliansi strategis antarperusahaan dan lintas negara dalam rangka optimalisasi pendayagunaan keunggulan kompetitif masing-masing negara. Intinya, bahwa persaingan tersebut didasarkan pada saling ketergantungan dan keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Dalam konteks transformasi birokrasi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang adaptif saat ini, Awang Faroek (2006) telah menyusun arah kebijakan dan prioritas pembangunan daerahnya, di mana salah satunya adalah peningkatan profesionalitas di bidang kelembagaan Pemerintah Daerah. Strategi dan kebijakan yang dikembangkan meliputi pengembangan dan peningkatan kemampuan sumber daya, pengembangan etos dan moralitas kerja menuju performa yang lebih profesional. Dengan demikian, prioritas pembangunan dan kelembagaan dari aparatur Pemerintah Daerah dikembangkan sebagai berikut:
·         Peningkatan kualitas aparatur Pemerintah Daerah sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi pekerjaan.
·         Melakukan restrukturisasi organisasi dan revitalisasi aparatur Pemerintah Daerah sesuai dengan keahlian dan pengalaman di bidang kerjanya masing-masing (the right man on the right place). Refungsionalisasi sistem mekanisme dan kelembagaan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
·         Melakukan rekrutmen aparatur Pemerintah Daerah sesuai dengan kebutuhan unit-unit pelayanan birokrasi mulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten dengan pola-pola yang transparan dan bebas KKN.
·         Mengembangkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah melalui pendidikan formal sampai jenjang pendidikan magister (S-2) dan doktoral (S-3) dan pendidikan perjenjangan struktural dan fungsional guna meningkatkan kualitas pelayanan publik yang adil dan transparan, efektif dan efisien.
·         Penerapan sistem pembinaan kepegawaian yang adil berdasarkan sistem meritokrasi diikuti jenjang karir.
·         Mengembangkan moral dan etos kerja sebagai pedoman dalam kinerja aparatur.
·         Mengembangkan dan merumuskan sistem akuntabilitas aparatur sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas.
Guna mencapai koridor semacam ini, menurut Awang Faroek (2006), dibutuhkan birokrasi yang mampu memfasilitasi berlangsungnya mekanisme ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang sistemik. Dengan begitu akan terjadi penguatan politik rakyat yang juga dapat diartikan adanya penguatan ekonomi, sosial dan budaya rakyat sebagai dasar dari model birokrasi pemerintahan yang demokratis serta mengabdi kepada pelayanan publik yang adil, transparan, ikhlas dan bertanggung-jawab.
Sementara itu Tjokrowinoto (2001) mencermati, posisi birokrat yang demikian dipandang sangat strategis dalam mewujudkan good governance yang merupakan suatu conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan dewasa ini. Dalam kaitan itu, profesionalisme mutlak diperlukan buat mewujudkan good governance dimaksud. Tjokrowinoto menyatakan bahwa kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan birokrasi entrepreneurship:
·         Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang muncul.
·         Tidak terpaku dalam kegiatan rutin tapi mampu melakukan terobosan.
·         Mempunyai wawasan futuristik.
·         Mempunyai kemampuan mengantisipasi, menghitung dan meminimalkan risiko.
·         Jeli terhadap sumber-sumber dan peluang yang baru.
·         Mempunyai kemampuan menggabungkan sumber-sumber yang ada menjadi produktif.
·         Mempunyai kemampuan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia.
Karena itu, Awang Faroek kembali menjelaskan bahwa birokrat dalam pengabdian kepada tugasnya dan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, haruslah berbudaya, selalu menjunjung harkat dan martabatnya. “Selain itu, birokrat tersebut harus memiliki kepedulian yang tinggi, memegang prinsip keprofesionalan, ulet, niat dan tekad yang kuat serta tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Awang Faroek.

D.    Menjawab Kepercayaan dengan Kreativitas Karya
Di tengah kepercayaan rakyat yang menguat, pada tahun 2005 melalui Pilkada langsung, Awang Faroek menjawab dengan langkah-langkah nyata. Dimulai dari langkah pembenahan. Bersama dengan legislatif daerah, Awang Faroek merentang visi, misi dan strategi pembangunan memaksimalkan potensi daerah buat kemakmuran kesejahteraan rakyat. Dia berkeyakinan visi, misi dan strategi pembangunan itu menjadi guidance penting bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan jajaran aparaturnya agar pembangunan tidak salah arah.
Realitas menunjukkan, dengan dukungan keunggulan komparatif (comparative advantage) Kabupaten Kutai Timur, maka pengejawantahan dari visi, misi dan strategi yang telah disepakati eksekutif-legislatif daerah itu relatif tidak mengalami kendala yang berarti. Apalagi seperti dimaklumi, wilayah baru ini dikaruniai limpahan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar berupa deposit bahan tambang dan galian yang melimpah, mulai dari batubara, emas, minyak bumi, gas alam, serta aneka bahan mineral lainnya, sampai hijaunya hamparan hutan alam yang masih luas. Hasil aneka kekayaan SDA tersebut telah memberikan kontribusi positif bagi dana perimbangan yang besar pada APBD daerah ini. Pada tahun 2006 misalkan, APBD daerah seluas 47.653 kilometer persegi atau setara dengan 17 persen luas keseluruhan Provinsi Kalimantan Timur ini menembus angka Rp1,133 triliun.
Dengan APBD sebesar itu, wajar kiranya pembangunan daerah ini berjalan relatif cepat, kalau boleh menyebutnya bahkan langsung bangkit dan berlari. Contohnya, ketika pemekaran wilayah berjalan 10 tahun (2009), geliat pembangunan di Kutai Timur menunjukkan perkembangan sangat pesat dan signifikan. Seni kepemimpinan dan kemampuan manajerial sang visioner Bupati Awang Faroek Ishak terbukti mampu memberikan sentuhan pembangunan yang pesat bagi wajah Kutai Timur, sehingga Sangatta tampil menjadi kota nan elok laksana gadis cantik yang bersolek.
Di sisi lain, nafas otonomi daerah juga telah mendorong secara drastis perubahan wajah Kutai Timur saat ini. Bila Anda menyempatkan diri bertandang ke Kota Sangatta misalkan, dipastikan terbersit perasaan kagum yang tak terbantahkan. Jika melewati jalur darat maka pengunjung akan menjumpai jalan-jalan beraspal hotmix terbentang mulus, tumbuhnya beberapa ruas jalan baru dan jembatan penghubung yang membuka isolasi daerah-daerah pedalaman, pembangunan pusat perkantoran modern Pemerintah Kabupaten Kutai Timur berbasis new cyber city di Rainbow Hill (Bukit Pelangi), tersedianya fasilitas telekomunikasi, fasilitas rumah sakit, sekolah, sarana air bersih, adanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta berbondong-bondongnya para investor untuk berinvestasi ke daerah ini, munculnya hotel-hotel kelas menengah untuk para tamu, yang pada akhirnya melambungkan nilai jual harga tanah warga di ruas-ruas jalan protokol. Pendek kata, kondisi ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan wilayah Kutai Timur sebelum pemekaran tahun 1999.
Sekadar contoh kehidupan Munajad, salah seorang warga yang telah puluhan tahun berdomisili di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur. Dia sangat bangga atas pemekaran wilayahnya, lantaran secara langsung turut mendongkrak perekonomian keluargnya. “Di sini enak Pak, karena biaya pendidikan anak-anak sudah ditanggung semua oleh Pemerintah Kabupaten,” tutur Munajad, bapak dua anak asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang sejak tahun 1999 mengelola rumah makan di kawasan Jalan Yos Sudarso, Sangatta.
Dijelaskan Munajad, ketika daerah itu baru menjadi kabupaten pada tahun 1999, tak terbayang sedikit pun di benaknya bahwa Kutai Timur bakal menjadi daerah yang populer hingga dibicarakan orang di tingkat nasional, dengan pembangunannya yang sangat pesat dan spektakuler. Semua itu tak lepas dari terobosan kebijakan dan lompatan kuantum yang digulirkan Bupati Awang Faroek. Padahal, jujur saja, sebelum pemekaran Sangatta cuma sebuah desa kecil lagi terpencil nun jauh di pinggiran Kutai. Jangankan berharap didatangi orang luar, melirik pun banyak yang enggan kala itu.
Tokoh adat sekaligus tokoh masyarakat Kutai Timur, H. Meranen Pital, memiliki kesan yang tak jauh berbeda dengan Munajad. Menurut dia, selama Kutai Timur dimekarkan, dan bupatinya dijabat Awang Faroek, banyak perubahan drastis yang dirasakan warga masyarakat. “Sebagai tokoh masyarakat Kutai Timur, saya merasakan banyak sekali perubahan dan kemajuan yang terjadi. Kehidupan dan ekonomi masyarakat meningkat, akses ke kota-kota lain makin terbuka, dan kita hidup di Sangatta ini makin enak,” tutur Meranen (2006). Apalagi, tambah Meranen, tipikal pemimpin seperti Awang Faroek adalah sosok yang sangat mengayomi dan terbuka dengan rakyatnya. “Kami rakyat kecil ini tidak pernah kesulitan menemuinya kapan saja, karena beliau sangat merakyat dan tidak pernah memisahkan diri dengan rakyatnya.”
Mantan Ketua MUI Kutai Timur H. Japri Zamzam (2006) pun merasakan hal yang senada. Dia mengakui pesatnya pembangunan di Kutai Timur, khususnya di Sangatta, sebagian besar karena sentuhan kebijakan Awang Faroek yang secara jitu menggulirkan program pembangunan visioner dan membumi, serta mampu menjawab kebutuhan Kutai Timur dalam menatap masa depan. “Jujur saya akui, dalam program, selama ini belum pernah saya menemukan program sebagus yang digulirkan Pak Awang Faroek. Programnya luar biasa bagus, visioner, dan berjangka panjang. Begitu pula pemahamannya tentang syariat Islam cukup mendalam,” puji H. Japri Zamzam, yang sekarang jadi teladan sukses petani Kutai Timur berkat keberhasilannya mengembangkan agribisnis perkebunan di wilayahnya.
Testimoni tiga warga Sangatta itu minimal sudak cukup menggambarkan kondisi Sangatta saat ini. Namun, bertitik tolak pada tiga rencana strategis wilayah –yaitu pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan agribisnis—Pemerintah Kabupaten Kutai Timur secara nyata dan bertahap mencanangkan visi pembangunan daerahnya, yakni: ”Pembangunan daerah yang bertumpu pada pembangunan yang berkeadilan menuju masyarakat Kutai Timur yang sejahtera dengan memanfaatkan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources) dan menjadikan daerah Kabupaten Kutai Timur sebagai Pusat Agrobisnis dan Agroindustri di Kalimantan Timur.
Dari tahun ke tahun, pendapatan per kapita penduduk Kutai Timur yang di tahun 2006 berjumlah 214.000 jiwa juga terus mengalami peningkatan. Misalkan di tahun 1999 pendapatan per kapita hanya Rp18,06 juta lalu pada akhir 2001 meningkat menjadi Rp24,76 juta atau naik sekitar 35 persen dalam tempo tak lebih dari dua tahun.
Sebagaimana diketahui, Kutai Timur memiliki kekayaan SDA, terutama di sektor pertambangan yang luar biasa melimpah. Khusus batubara sekadar contoh, depositnya mencapai 5,4 miliar ton. Selain itu masih terdapat migas, emas, kaolin, phosfat, limstone, pasir kwarsa dan bijih besi. Perusahaan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang beroperasi sejak 1991 sampai 2001 misalkan, telah mengeruk sekitar 150 juta ton batubara kualitas prima dan terbaik di dunia. Dari KPC saja, telah memberi kontribusi yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan daerah baru ini. KPC bukanlah satu-satunya perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kutai Timur. Masih ada lagi PT Indominco Mandiri, PT Perkasa Inakerta, serta perusahaan lain yang totalnya berjumlah 115 perusahaan yang mengeksploitasi potensi emas hitam itu, terdiri dari 69 perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) untuk areal 625 ribu hektar dan 47 perusahaan pemegang PKP2B untuk areal 1,82 juta hektar. Untuk pertambangan umum tersebut, dana bagi hasil yang diperoleh Kutai Timur mencapai Rp319,87 miliar (2007).
Selain batubara, ditemukan pula lapangan minyak bumi seluas 18 ribu hektar dan lapangan gas bumi seluas 39 ribu hektar. Juga tersimpan kandungan emas di Muara Wahau, Muara Ancalong dan Busang, besi (19,7 juta ton), batu gamping (18,6 miliar ton), lempung (satu miliar ton), gipsum (12 juta ton), serta pasir kwarsa dengan cadangan deposit 30,5 juta ton. Bahkan, berdasarkan penelitian awal, Kutai Timur disebut-sebut memiliki potensi baja. Tak heran, di tahun 2006 Wakil Presiden (waktu itu) H.M. Jusuf Kalla mengimbau PT Krakatau Steel untuk memperluas jaringan usahanya ke daerah ini. Bila hasil penelitian benar, produsen baja terbesar di Tanah Air ini pun dapat menambah catatan perusahaan raksasa yang bakal menambang mesin uang di sini.
Di luar SDA bahan tambang, di Kutai Timur juga terhambar hutan seluas 2,78 juta hektar. Kawasan hutan seluas ini terdiri dari hutan produksi seluas 1,12 juta hektar, hutan lindung 211 ribu hektar, hutan wisata 198 ribu hektar dan hutan konversi seluas satu juta hektar. Ditambah lagi cadangan lahan seluas 1,3 juta hektar yang cocok dan siap dikembangkan untuk lahan penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi sebagai basis agribisnis berikut agroindustrinya, seperti kelapa sawit, kakao, karet, lada, vanili, kedelai, nenas, jarak pagar dan komoditas lainnya dengan prospek pasar internasional yang menjanjikan. Demikian pula di sektor peternakan, antara lain sapi, kambing, babi, serta budidaya perikanan darat dan laut.
Dari kekayaan SDA yang melimpah ruah tadi, Kabupaten Kutai Timur memberi kontribusi revenue kepada Pemerintah Pusat rata-rata Rp15 triliun per tahun, sedangkan yang kembali ke derah ini relatif kecil cuma sekitar Rp1 triliun. “Jadi, negara ini utang budi kepada Kutai Timur. Bayangkan kerajaan tertua di Indonesia ini adalah Tanah Kutai. Dalam sejarahnya, sebagai kerajaan tidak pernah bikin macam-macam kepada negara. Sudah seharusnya Pusat itu memberikan perhatian kepada daerah yang kontribusinya besar kepada negara,” jelas Wakil Bupati Kutai Timur H. Isran Noor MSc sebagaimana dilansir Bisnis Internasional (2006). Jadi, menurut dia, “Pusat harus menilai secara riil dan obyektif, daerah yang berperan kepada negara harus diperhatikan, karena di situ orang miskinnya juga masih banyak.”
Meski Kutai Timur berlimpah SDA, Awang Faroek tidak serta merta mengeksploitasi habis-habisan. Dia menyadari bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berbasis SDA yang tidak terbarukan (unrenewable resources), dipastikan tidak bakal menguntungkan masyarakat dan pemerintah dalam konteks jangka panjang. Selain itu, pembangunan ekonomi yang semata-mata mengandalkan ketersediaan SDA belaka ternyata tidak memberikan pendapatan berarti bagi wilayah berpenduduk 3.550.586 jiwa (2010) yang tersebar pada 18 kecamatan serta 135 desa, di mana 47 persen di antaranya masih dalam kategori Desa Tertinggal.
Realitas inilah yang menggugah nurani Awang Faroek. Dia menyadari bahwa SDA bahan tambang dan galian itu merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) oleh manusia. Dengan begitu, SDA jenis ini tidak bisa dijadikan andalan (leading sector), apalagi dikembangkan untuk jangka panjang.
Berbeda halnya dibandingkan dengan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources), seperti sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan (agribisnis), dan perikanan. Jenis SDA ini dapat diperbarui dan akan langgeng sepanjang masa, tidak terpengaruh oleh adanya umur teknis. Terutama sektor perkebunan, ke depan, wilayah Kutai Timur diproyeksikan sentra produksi kelapa sawit di Kalimantan Timur. Tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menargetkan minimal sudah tertanam 350 ribu hektar lahan sawit. Target ini lebih dulu dicanangkan dibandingkan target tingkat provinsi yakni hanya satu juta hektar pada tahun 2018.
Walau demikian bukan berarti SDA bahan tambang yang tidak dapat diperbarui itu tidak memberikan arti dan manfaat bagi perkembangan Kutai Timur. Pada saat ini justru SDA yang tidak dapat diperbarui itulah yang memberikan kontribusi cukup besar bagi dana pembangunan sebagaimana tercermin dari APBD. Kini, langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur adalah mengelola dan memanfaatkan secara bijaksana hasil-hasil SDA tersebut untuk kemudian dikelola untuk menciptakan peluang ekonomis substitusi baru dan berkelanjutan (sustainability) bagi masyarakatnya. Apalagi, bercermin dari pengalaman daerah lain, bahwa SDA yang tidak dapat diperbarui itu terbukti hanya memiliki umur teknis relatif pendek, rata-rata sekitar 20-25 tahun.
Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur setelah SDA bahan tambang itu habis? Pertanyaan ini harus menjadi bahan renungan kita bersama, termasuk aparatur Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang kini dipercaya mengelola pemerintahan. Terlebih lagi, mencermati pengalaman kurang menguntungkan daerah-daerah lain yang juga kaya SDA bahan tambang, seperti Bangka-Belitung, Singkep dan Sanga-Sanga. Kini, kondisi lingkungan kota-kota eks daerah pertambangan tersebut sangat mengenaskan laksana kota mati lantaran ditinggalkan para investor yang terpaksa hengkang menyusul berhentinya kegiatan pertambangan di daerah-daerah itu.
Orang bijak bernasihat bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Mengantisipasi kondisi itulah, didukung oleh legislatif, masyarakat dan multistakeholder daerah, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur berupaya mencari terobosan pembangunan berdimensi jangka panjang, yakni dengan menjadikan Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis (Gerdabangagri) sebagai suatu grand strategy masa depan bagi pembangunan di Kutai Timur.
Menurut Awang Faroek, rakyat Kutai Timur patut bersyukur karena wilayahnya dikaruniai Tuhan dengan limpahan kekayaan SDA yang sangat besar. Jadi, limpahan migas dan mineral itu harus lebih banyak dialokasikan dalam kebijakan yang pro-rakyat. Singkat kata, kaya belum tentu maju namun maju sudah pasti kaya. Boleh jadi inilah prinsip berpikir progresif yang dikembangkan Awang Faroek dan jajaran eksekutifnya di Kutai Timur. Sebab itu, kekayaan daerahnya yang tercermin dari formulasi APBD diarahkan pada tuntutan pemenuhan bagi pembentukan wilayah pemekaran lainnya, yaitu pemerataan pembangunan, pengelolaan SDA menjadi lebih baik dan bertanggung-jawab, peningkatan kualitas SDM dan percepatan pertumbuhan demokrasi.
Prinsipnya, sungguh sangat sayang dan sia-sia bilamana potensi kekayaan alam tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Seperti pada masa saya di Kutai Timur dulu, saya menempatkan Gerdabangagri sebagai grand strategy dari visi pembangunan daerah. Program-program yang merupakan implementasi Gerdabangagri tersebut sudah banyak menyentuh langsung dan dirasakan warga masyarakat,” kata Awang Faroek yang pernah tercatat sebagai bupati pertama di Indonesia dalam menerbitkan kebijakan populis, yakni Wajib Belajar 12 Tahun serta menerapkan pendidikan gratis di Kutai Timur, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi, seiring berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah Kepala Daerah lain, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara (Kaltim), Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Padang Pariaman (Sumbar), dan Kabupaten Sumbawa Besar (NTB).
Dalam rangka peningkatan kualitas SDM itu pula direalisasikan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBD. Kutai Timur menjadi pionir kabupaten pertama di Indonesia yang memulainya sejak tahun 2001. Artinya, kebijakan tersebut lahir sebelum amanah konstitusi disahkan dalam bentuk UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada tahun 2006 lalu misalkan, alokasi anggaran sektor pendidikan di Kutai Timur mencapai Rp202 miliar, sementara pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp262 miliar.
Dana sebesar itu digunakan untuk menerapkan kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari SD, SMP, sampai SMA. Jika ingin bebas biaya kuliah, siswa Kutai Timur yang lulus SMA dapat memilih kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER). Bebas biaya kuliah di STIPER ini terkait dengan prioritas pembangunan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menggalakkan sektor agribisnis dalam arti luas.
Selain itu, anggaran pendidikan dipakai pula untuk melaksanakan uji kompetensi guru, peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan kualitas guru, sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengharuskan setiap guru wajib mengantongi ijazah sarjana (S-1). Kebijakan lainnya adalah pemberian beasiswa (scholarship) kepada 2.222 orang, khususnya bagi mahasiswa berprestasi namun kurang mampu dari aspek ekonomi buat melanjutkan studi ke jenjang S-1 (sarjana), S-2 (pascasarjana) dan S-3 (doktoral).
Program lain yang juga dibiayai oleh sektor pendidikan, di antaranya peningkatan kesejahteraan guru, yakni memberikan insentif sekitar Rp700 ribu sampai Rp1,2 juta per bulan, memberikan fasilitas kendaraan roda empat kepada setiap kepala sekolah, serta meningkatkan kualitas infrastruktur pendidikan. Pengembangan infrastruktur pendidikan diwujudkan dalam program pembangunan sekolah baru, rehabilitasi sekolah-sekolah di semua jenjang pendidikan, pembangunan SMA unggulan berasrama (boarding school) berstandar nasional dan internasional, pembangunan kampus STIPER, pembangunan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS), pembangunan SMK Kelautan, pembangunan Education Centre, pembangunan SD, SMP dan SMA terpadu, dan pemberian bantuan kepada yayasan perguruan swasta (SDIT Darussalam, Yayasan Muhammadiyah, Yayasan Al Ma’arif, dan lain-lain).
Demikianlah komitmen, kesungguhan, dan karya nyata Awang Faroek yang sangat concern pada pengembangan kualitas SDM di daerahnya melalui peningkatan pembangunan sektor pendidikan dan terbukti memperoleh apresiasi positif dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Walhasil, pada Oktober 2007, Awang Faroek dan beberapa kepala daerah lain yang dinilai sangat peduli pada sektor pendidikan dianugerahi Satya Lencana di Bidang Pendidikan (2007). Khusus di Kalimantan, hanya dua kepala daerah yang memperoleh lencana dari Presiden RI saat itu, yakni Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudi Ariffin. Sebelumnya, khusus di sektor pendidikan pula, Awang Faroek pernah menerima award dari Presiden RI (2002) sebagai Bupati Berprestasi pada Pendidikan Luar Sekolah (PLS), penghargaan Education Award dari FKIP Universitas Mulawarman (Unmul), serta penghargaan sebagai Tokoh Peduli Pendidikan dari DPW PKS Kalimantan Timur (2007).
Di bidang perekonomian, Awang Faroek memperkuat basis perekonomian rakyat Kutai Timur melalui revitalisasi pertanian dalam arti luas, meliputi revitalisasi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Termasuk dalam program ini adalah penataan sistem produksi, serta reformasi agraria melalui kebijakan redistribusi lahan produktif seluas lima hektar kepada setiap kepala keluarga (KK) disertai pemberian sertifikat gratis, pemberian proteksi kepada petani, perluasan akses pasar, permodalan melalui BPR Kutai Timur dan lembaga keuangan mikro yang tersebar di 18 kecamatan dan 136 desa, pendirian Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) Kutai Timur dan implementasi grand strategy Gerdabangagri (Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis) melalui SP2AB (Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis), Dai Pembangunan, kader-kader koperasi, Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, PPL Perikanan dan PPL Peternakan. Dari kebijakannya ini Awang Faroek kembali meraih sejumlah penghargaan, antara lain Bhumi Bhakti Adhiguna 2006 dari BPN Pusat berkat keberhasilan mengembangkan redistribusi lahan lima hektar kepada setiap kepala keluarga (KK) dan sertifikat gratis atas lahan tersebut untuk pertanian dan perkebunan. Berikutnya, dia pun meraih Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi, Satya Lencana Pembangunan Bidang Pertanian (2007), serta penghargaan dari Menteri Pertanian RI sebagai Kepala Daerah Berprestasi di Bidang Pertanian (2007).
Kemudian, untuk menumbuhkan demokrasi yang sehat, Kabupaten Kutai Timur mendukung upaya reformasi birokrasi dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan mencanangkan daerahnya sebagai Island of Integrity. Implementasinya adalah pembentukan Formonev (Forum Monitoring dan Evaluasi Inpres tentang Tindak Pidana Korupsi), penandatanganan Pakta Integritas dan peningkatan kualitas/integritas aparatur Pemerintah Daerah dengan penyelenggaraan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi pejabat struktural tentang tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Sebelumnya, pada tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah memelopori penerapan konsep e-Government (e-Gov) di Indonesia. Sehingga, standar pelayanan umum menjadi lebih mudah, murah, cepat dan transparan. Berikutnya, dikembangkan pula sistem One Stop Service (OSS) atau Sistem Pelayanan Satu Atap yang dilakukan oleh Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten (SIMPEKAB). Layanan ini mencakup 74 jenis layanan kepada masyarakat, pelayanan informasi seperti informasi manajemen yang meliputi bidang keuangan daerah, perlengkapan daerah, kepegawaian daerah, kependudukan, geografi, pariwisata, tenaga kerja, pendidikan, agribisnis, lingkungan hidup dan statistik.
Sebagai pionir, keberadaan lembaga ini (e-Government melalui OSS) atau Pelayanan Satu Atap berefek luar biasa bagi pelayanan publik di Kutai Timur, sampai-sampai pernah memperoleh enam penghargaan sekaligus. Yaitu, penghargaan dari Menteri Negara Komunikasi dan Informasi pada tahun 2003 berkat keberhasilan Kutai Timur sebagai daerah pelopor e-Governmen; penghargaan peringkat pertama implementasi e-Government dari Majalah Pilarbisnis Jakarta; penghargaan peringkat kedua pelayanan melalui One Stop Service (OSS)/e-Government dari Majalah Warta Ekonomi; penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Bupati Tercepat dalam pelayanan kepada investor (36 menit); penghargaan e-Government Award 2003 sebagai Lembaga Pemerintah Pengaplikasian e-Government Terbaik Pertama di Indonesia; dan penghargaan Leadership Award 2006 dalam kategori Pelayanan Publik Terbaik dari Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara kerja sama dengan Leadership Park Jakarta.
Lalu, terkait dengan program Corporate Social Responsibility (CSR). Daerah ini melakukan terobosan membangun Forum Multi Stakeholders CSR (MSH-CSR) Kabupaten Kutai Timur. Forum ini bertugas dan mengemban tanggung jawab mengkoordinasikan, mensinergikan dan memantau serta mengevaluasi penerapan CSR di Kutai Timur. Forum ini menjadi fasilitator pengembangan sistem dan mekanisme penerapan CSR yang cepat, mudah dan sederhana, dengan mengedepankan program dan kegiatan CSR yang langsung menyentuh kepada kepentingan masyarakat, berdimensi jangka panjang dan berkelanjutan (sustainability).
Forum Multi Stakeholders CSR (MSH-CSR) ini mengembangkan sistem perencanaan CSR terpadu dan transparan melalui lokakarya atau musyawarah perencanaan yang khusus dilakukan untuk merumuskan program CSR tahunan. “Hasilnya, pada tahun 2006 CSR di Kutai Timur mencapai Rp97 miliar dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp163 miliar,” ungkap Awang Faroek. Program ini biasanya dilaksanakan sebelum agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Kutai Timur dilakukan. Dengan begitu, diharapkan berlangsung sistem monitoring dan evaluasi CSR yang transparan dan akuntabel. Di sisi lain, tujuan CSR untuk meningkatkan kapasitas masyarakat tercapai secara partisipatif karena melibatkan seluruh pemangku kepentingan (multistakeholders). Alhasil, kebijakan pro-rakyat tentang CSR ini membuat Awang Faroek dijuluki “The inspiring man behind the CSR” dari publiser La Tofi Enterprise (2008). Terobosan Awang Faroek ini membuat dia lagi-lagi mengoleksi anugerah CSR Empowerment Award.
Singkat cerita, semua program yang pro-rakyat tersebut pada akhirnya bermuara pada Tri Sukses Pembangunan yang diusung Awang Faroek, yakni bagaimana jajaran Kepala daerah dan aparaturnya serta didukung masyarakat Kutai Timur bahu-membahu menyukseskan program pembangunan SDA, khususnya sukses pembangunan pertanian dalam arti luas, sukses pembangunan SDM dan sukses pembangunan infrastruktur ekonomi.
Waktu terus laju berlalu. Tanpa terasa, pembangunan perekonomian daerah, misalkan konsep ekonomi kerakyatan di bawah payung Gerdabangagri-nya –yang merupakan salah satu penjabaran Tri Sukses Pembangunan—mulai dirasakan manfaatnya oleh rakyat Kutai Timur. Beragam komoditas unggulan hasil pertanian dalam arti luas mulai dikembangkan di daerah ini, antara lain tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman biofarmaka, perkebunan, peternakan, perikanan (darat, laut dan tambak), dan kehutanan. Strategi pembangunan pertanian inilah yang dikembangkan untuk jangka panjang, ditunjang oleh dana pembangunan yang berasal dari pemanfaatan SDA yang tidak dapat diperbarui serta bertujuan memperluas peluang dan kesempatan ekonomi baru dan berkelanjutan di Kutai Timur.
Pepatah lama bernasihat: siapa menanam pastilah memetik hasilnya. Kini, konsep pembangunan ekonomi Kutai Timur berbasis agribisnis yang dikembangkan Bupati Awang Faroek mulai dirasakan langsung oleh warga Kutai Timur. Tengoklah kehidupan Kabul Wiyono (43). Dia adalah contoh sukses petani agribisnis di Kutai Timur saat ini. Ke mana-mana dia tampak membawa dua buah telepon genggam trendi. Satu di antaranya jenis komunikator, harganya mahal dan biasa dipakai para eksekutif muda di Jakarta atau kota besar lainnya. Tapi, siapa sangka, lelaki ini ternyata hanyalah seorang petani (Tani Merdeka, 2008).
Ya, Kabul Wiyono cuma seorang petani. Dia memang sungguh-sungguh petani dari Desa Tanjung Labu, Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Dia punya lahan seluas dua hektar ditanami pohon rambutan, jambu dan jeruk sunkis. Tiap kali panen, rambutannya menghasilkan dua ton, begitu pula jambunya. Sedangkan jeruknya rata-rata tiap bulan menghasilkan dua kwintal. Dari kebun itulah, Kabul Wiyono menghasilkan duit Rp15 juta per bulan. Sungguh menggembirakan.
Kisah sukses sebagai petani buah di Kutai Timur memberikan Kabul profesi sampingan sebagai konsultan untuk petani bulah lainnya di sana. Dari situ, dia kembali meraih penghasilan Rp5 juta per bulan. “Kan memproduksi jasa juga halal bagi petani Mas. Yang penting, mereka puas dan ekonomi saya sehat,” kata Kabul sebagaimana dilansir Tani Merdeka akhir Maret 2008.
Kabul tentulah profil seorang petani merdeka. Artinya, petani yang berkecukupan. Menjadikan petani semacam itulah obsesi Awang Faroek Ishak, sejak dia dilantik menjadi penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2001), Bupati definitif pertama Kutai Timur (2001-2003), sampai Bupati Kutai Timur hasil Pilkada langsung (2006-2008). Dan Awang Faroek merasa tidak cukup berhenti di Kutai Timur saja, dia ingin ladang amal yang lebih luas lagi: Provinsi Kalimantan Timur,  ***

No comments:

Post a Comment