Anda
akan sukses memimpin bila Anda memiliki kemampuan manajerial. Jika Anda menjadi
manajer tanpa kecakapan memimpin, maka Anda akan sangat mudah terjebak menjadi
seorang birokrat.
Peter F. Drucker, pakar
kepemimpinan
MULANYA,
Sangatta
cuma sebuah dusun kecil nan sunyi di pinggiran wilayah Kabupaten Kutai,
Kalimantan Timur. Namun, lantaran sebagian wilayahnya berada di pesisir pantai
dan menghadap langsung ke Selat Makassar, menjadikan Sangatta demikian
strategis. Dan, sangatlah beralasan bila kemudian Sangatta diproyeksikan
sebagai kota masa depan.
Tahun 1999, Sangatta mulai
berbenah. Terlebih lagi, semenjak Kutai Timur dimekarkan dari induknya
Kabupaten Kutai (kini Kutai Kartanegara) dan
Sangatta pada saat itu ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kutai Timur.
Secara yuridis, pemekaran itu dikukuhkan berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1999.
Peresmian pemekaran kabupaten baru tersebut dilakukan langsung oleh ad interim Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia, Jenderal Feisal Tanjung, pada tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta.
Selanjutnya, pada tanggal 28 Oktober 1999, Gubernur Kalimantan Timur meresmikan
wilayah pemekaran baru itu dan dipusatkan di Sangatta, yang kemudian ditetapkan
sebagai ibukota Kabupaten Kutai Timur.
Dan, di kala itu (1999),
Pemerintah lalu menunjuk Awang Faroek Ishak sebagai penjabat Bupati Kutai
Timur. Sejak itu pula, slowly but sure,
geliat Kota Sangatta sangat terasa. Selimut kesunyian mulai tersingkap. Dan
Awang Faroek sangat berperan membuka selimut kesenyapan yang senantiasa
menyergap Sangatta di saat lembayung petang datang. Bagaimana perjalanan Awang
Faroek sampai di sebuah dusun kecil Sangatta? Berikut sekelumit noktah
perjalannya:
A.
Jalan
Panjang Menuju Kampung Halaman
Usai menuntaskan
pendidikan sarjananya di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang, Jawa Timur,
tahun 1973 pada usia 25 tahun, Awang Faroek muda memutuskan pulang ke
Kalimantan Timur. Dengan spirit pengabdian yang tinggi dan bekal ilmu yang
cukup, dia melamar dan kemudian diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Kalimantan Timur. Oleh atasannya, Awang
Faroek ditempatkan sebagai pegawai pada Staf Biro Pembangunan di Kantor
Gubernur Kalimantan Timur dengan honor cuma Rp6.000 per bulan ketika itu.
Meski hanya membawa pulang
honor Rp6.000 per bulan, Awang Faroek tidak lantas berkecil hati. Dia justru
sangat bersyukur lantaran berhasil lolos seleksi PNS di Pemerintah Provinsi
Kaltim. Niatnya cuma satu: mengabdikan segenap tenaga, pikiran dan kemampuannya
serta bekerja sebaik-baiknya demi kemajuan daerah kelahirannya Kalimantan
Timur. Sebab itu, ditempatkan di mana pun, dia tidak pernah menolak. Bahkan,
lebih dari itu, dia selalu menerobos dan meninggalkan para sejawatnya karena
senantiasa mengukir prestasi terbaik di bidangnya.
Benar saja, baru beberapa
tahun bekerja, Gubernur Kaltim (saat itu) Abdul Wahab Syahranie sangat terkesan
melihat kinerja dan konduite terbaik yang ditunjukkan oleh Awang Faroek. Sosok
pemuda cerdas yang berhaluan progresif ini sangat menyita perhatian sang
Gubernur. Genap tiga tahun bekerja, tepatnya tahun 1976, Gubernur Kaltim
memanggil Awang Faroek. Rupanya, Gubernur Syahranie meminta kesediaan Awang
Faroek untuk membantunya mengembangkan kampus Universitas Mulawarman (Unmul).
Apalagi, waktu itu, kampus negeri satu-satunya dan menjadi kebanggaan
masyarakat Kaltim tersebut masih sangat kekurangan tenaga akademik (dosen).
Setelah diseleksi, terdapat 14 orang terpilih dari Pemerintah Daerah Kaltim
–termasuk Awang Faroek—yang kemudian diserahi mandat dan tanggung jawab oleh
Gubernur Kaltim untuk mengembangkan kampus Unmul.
Tentu saja, Awang Faroek
menerima mandat itu dengan tulus dan senang hati. Baginya, penugasan dari
pimpinan merupakan amanah yang tidak mungkin disia-siakan. Maka, sejak itu,
mulailah hari-harinya diisi dengan aktivitas kampus: mengajar, meneliti, dan
mengabdikan diri pada masyarakat, sebagai realisasi Tridarma Perguruan Tinggi. “Sejak tahun 1976 itulah, saya mulai
mengabdi dan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi Unmul,” cerita Awang Faroek.
Sebagai dosen muda, dia
menjalani tugas baru dengan spirit baru, bekerja keras, berpikir cerdas, serta
beramal ikhlas. Tidak mengherankan, bila dua tahun berselang, karir Awang
Faroek terus meningkat, sehingga dia pun dipercaya sebagai Pembantu Dekan III
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman. Kiprah dan
pengabdiannya terus berlanjut. Pada tahun 1977 dia diangkat menjadi Kepala
Bagian Kemahasiswaan. Setahun berikutnya, tahun 1978, di usianya yang masih
muda, 31 tahun, Awang Faroek bahkan sudah dipromosikan untuk memangku jabatan
Pembantu Rektor III Universitas Mulawarman. Pada tahun 1980, dia diangkat
sebagai Dekan (Eselon I/b) di FKIP. Sukses menangani FKIP, sejak tahun 1984,
dia kemudian bergeser ke Fakultas Ekonomi (FE) dan diberi tanggung jawab penuh
sebagai Lektor.
Di luar tugas-tugas
akademik, Awang Faroek yang selalu melahirkan ide-ide segar ini merasa
terpanggil untuk membuat terobosan penting bagi peningkatan mutu dan masa depan
kampus Unmul. Karena melihat masih minimnya tenaga akademik (dosen) di FKIP
Unmul, dia pun mengusulkan kepada Rektor agar menyekolahkan sebanyak mungkin dosen-dosen
FKIP Unmul ke jenjang yang lebih tinggi,
setingkat magister (S-2) hingga doktoral (S-3). Usul itu direspon positif oleh
pihak universitas. Sejak itulah, secara bertahap, puluhan dosen muda FKIP Unmul
dikirim untuk melanjutkan studi di sejumlah kampus terkenal di Pulau Jawa,
seperti Universitas Airlangga (Surabaya), Universiyas Gajah Mada (Yogyakarta),
dan Universtas Padjadjaran (Bandung).
Sukses di karir akademik
belum membuat Awang Faroek merasa puas. Dia ingin suatu nilai lebih dari
sekadar karir di jalur akademis. Terlebih lagi, semasa di kampus, dia sempat
aktif berorganisasi. Kondisi ini agaknya kian memacu spirit Awang Faroek untuk
terus mengembangkan karirnya ke ranah politik. Apalagi latar belakang dan
kompetensinya di dunia politik tidak diragukan lagi. Sewaktu kuliah di IKIP
Malang misalkan, dia pernah berkecimpung sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) periode 1968-1974. Hampir bersamaan dengan itu,
1969-1972, dia terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan
Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Malang. Sebelum lulus sarjana tahun 1973, dia juga
sudah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan di IKIP Malang.
Modal dan pondasi awal
bagi Awang Faroek untuk memasuki ranah politik boleh dikatakan telah dia semai jauh-jauh
hari saat dia masih bergiat sebagai aktivis kampus. Suatu ketika, hampir
bersamaan waktunya dengan Peristiwa Malari 1975, Awang Faroek dan kawan-kawan
turut hadir memenuhi undangan dalam pertemuan Dewan Mahasiswa di kampus
Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Penggagasnya saat
itu adalah Ketua Dewan Mahasiswa Unhas Tadjuddin Noor Said.
Pertemuan Dewan Mahasiswa
kala itu dimaksudkan agar para mahasiswa
dari luar Pulau Jawa mencari terobosan alternatif gerakan mahasiswa.
Artinya, gerakan mahasiswa Indonesia diharapkan tidak melulu identik dan hanya
didominasi beberapa universitas ternama di Pulau Jawa.
“Saat itu saya kebetulan
dipercaya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Unhas dan melakukan pertemuan Dewan
Mahasiswa di Makassar. Nah, Pak Awang Faroek juga datang. Jadi, dia sudah bisa
menjiwai semangat dari kegiatan pergerakan di masa itu,” cerita Tadjuddin Noer
Said, anggota KPPU yang juga aktif di Partai Golkar. Penegasan Tadjuddin ini
boleh dikatakan sebagai penegas kronika masa muda Awang Faroek yang memang telah
kenyang ditempa berbagai aktivitas pergerakan beraroma politik.
Kemudian, demi untuk
melihat talenta politik Awang Faroek yang cukup besar namun masih ‘terpendam’ membuat
Gubernur Kaltim (waktu itu) H. Soewandi memanggil Awang Faisjal (kakak kandung
Awang Faroek). Tujuannya untuk membantu mengarahkan karir politik adiknya itu.
“Sekitar tahun 1984,
almarhum H. Soewandi, Gubernur Kaltim saat itu, memanggil saya agar bersedia mendukung
keinginan beliau untuk mengorbitkan dan mengarahkan adik saya Awang Faroek di
bidang politik. Tampaknya kemampuan adik kami ketika itu dibaca oleh beliau
yang memang memerlukan kader-kader muda potensial dalam pembangunan,” Awang
Faisjal berkisah. Keinginan Gubernur H. Soewandi tersebut rupanya klop dengan
latar belakang masa lalunya sebagai aktivis pergerakan serta obsesi Awang
Faroek yang memang berniat memasuki arena politik praktis. Apalagi, saat
mahasiswa dulu, dia sebenarnya sudah pernah terjun ke gelanggang politik dengan
menjadi anggota Golkar Kotamadya Malang pada tahun 1971-1973.
Sebab itulah bukan hal
aneh bila Awang Faroek kemudian memutuskan berkiprah dan memilih terjun ke
ranah politik praktis. Pada Pemilu 1987, DPD Tingkat I Golkar Kaltim mulai
mencalonkannya sebagai Calon Legislatif (Caleg) di DPR RI. Tidak sulit bagi
Awang Faroek buat meyakinkan konstituennya sampai terpilih dan dipercaya rakyat
menjadi anggota DPR/MPR RI selama dua periode (1987-1997). Sementara rekannya
sesama aktivis dari Unhas, Tadjuddin Noor Said, juga memilih terjun ke dunia
politik praktis dan sempat beberapa periode menjadi koleganya di DPR RI,
Senayan, Jakarta. ”Artinya, saya menilai Pak Awang Faroek yang kita lihat saat
ini bukanlah hasil politik karbitan dari sistem kekuasaan yang ada. Saya
melihat, saat itu Pak Awang Faroek aktif sekali,” kenang Tadjuddin.
Bila ditelisik lebih jauh,
relatif banyak aktivis mahasiswa di negeri ini yang kemudian memilih terjun ke
gelanggang politik praktis –baik di legislatif maupun eksekutif. Awang Faroek
hanya salah satu contoh. Beberapa aktivis mahasiswa lain yang bisa disebut
‘seangkatan’ dengan Awang Faroek, antara lain Syamsul Muarif, Tadjuddin Noor
Said, Akbar Tanjung, Sarwono Kusumaatmadja, Siswono Yudhohusodo, Fahmi Idris,
dan Theo L. Sambuaga. Mereka adalah kader Golkar yang potensial dan sempat
cukup lama berkiprah di tingkat nasional serta pernah ‘mewarnai’ parlemen
dengan kapabilitas dan kompetensinya masing-masing. Ada pula dari PDI (sekarang
PDI Perjuangan) seperti Jacob Tobing, Tjahjo Kumolo, Soerjadi, Taufik Kiemas,
dan masih banyak lagi aktivis kampus lain seangkatan Awang Faroek yang rasanya
tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini.
Di tingkat lokal Kaltim,
nama Awang Faroek juga demikian mengakar ketika dia didaulat sebagai ketua pada
sejumlah organisasi. Di organisasi kepemudaan misalkan, dia sempat diberi
amanah sebagai Ketua DPD AMPI Tingkat I Kaltim (1979-1982) dan Ketua Umum DPD
KNPI Kaltim (1982-1996). Di organisasi Korpri, dia juga dipercaya sebagai Ketua
Korpri Unit Universitas Mulawarman (1981-1986), Ketua Kwartir Daerah (Kwarda)
Gerakan Pramuka Kaltim (1983-1987), termasuk ketua pada sejumlah organisasi
kepemudaan dan profesi.
Di organisasi politik,
namanya kembali mengakar semasa dia menjabat Sekretaris DPD Tingkat I Golkar
Kaltim (1983-1988). Dari embrio organisasi politik terbesar inilah, daerah
Kaltim membidani kelahiran seorang tokoh politik yang cukup vokal dan
membanggakan di pentas nasional. Hal itu dia buktikan ketika selama sepuluh
tahun diberi amanah sebagai anggota DPR/MPR RI mewakili daerah pemilihan
Kaltim, periode 1987-1992 dan 1992-1997.
Berkat kompetensi dan
kapabilitasnya, di parlemen dia pernah dipercaya oleh para koleganya untuk
mengemban tanggung jawab dan amanah yang cukup besar, yakni Wakil Ketua Komisi
II dan Komisi X. Pada saat itu sangat jarang tokoh dari kalangan sipil, apalagi
dari luar Pulau Jawa, yang bisa memegang posisi bergengsi semisal ketua komisi
ataupun ketua fraksi. Kalaupun ada yang berhasil duduk, itu memang karena
kompetensi dan kapabilitas tokoh yang bersangkutan. Hal ini diakui pula oleh
sejawatnya di Partai Golkar yang juga berasal dari luar Pulau Jawa, Syamsul
Muarif. Tokoh Partai Golkar asal Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan, yang menjadi salah satu Ketua DPP Partai Golkar ini
mengakui bahwa dia pribadi tidak meragukan lagi kompetensi dan kapabilitas
seorang Awang Faroek. Menurut Syamsul, karir politik Awang Faroek senada di
DPR/MPR RI kala itu hingga dia dipercaya sebagai Wakil Ketua Komisi II dan
Komisi X menjadi salah satu parameter bahwa secara kelembagaan, value, kompetensi, dan kapabilitasnya
memang diakui. “Terlebih lagi, saat itu orang daerah seperti kita ini sangat
jarang bisa muncul memegang posisi ketua komisi,” cerita Syamsul.
Di gedung wakil rakyat di
kawasan Senayan, Jakarta, selama tujuh tahun dia dipercaya sebagai Wakil Ketua
Komisi II yang membidangi masalah-masalah Pemerintahan dan Sekretariat Negara,
Lembaga Administrasi Negara (LAN), Pertanahan, Kepegawaian, BP-7 dan BPKP. Tiga
tahun berikutnya, Awang Faroek ditugaskan di Komisi X di mana karena tugasnya
dia kerapkali bermitra dengan Menristek (waktu itu) Prof. Dr. Ing. B.J.
Habibie, Meneg Lingkungan Hidup Ir. Sarwono Kusumaatmadja, juga lembaga terkait
seperti Bappenas, LIPI, BATAN, dan LAPAN.
Selama di gedung wakil
rakyat Senayan itu pula, Awang Faroek membuktikan kemampuannya sebagai
legislator ulung. Oleh para koleganya, dia dipercaya sebagai Ketua Pansus
Undang-undang (UU) Lingkungan Hidup, UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, UU
Ketenaga-nukliran, UU di Bidang Keuangan, Perpajakan, Kepabeanan, dan
lain-lain. Selama bertugas di DPR/MPR RI waktu itu minimal dia terlibat dalam
pembuatan sekitar 50 jenis UU. Dari rangkaian pengalamannya itulah Awang Faroek
jelas mengetahui persis bagaimana suatu kebijakan nasional digodok dan
dilahirkan, sekaligus dia bisa secara leluasa menyampaikan aspirasi rakyat di
daerahnya. “Menurut saya, sejak dulu Pak Awang Faroek itu adalah representasi otentik
dari daerahnya, Kalimantan Timur. Sejak saya kenal, Pak Awang Faroek adalah
representasi daerah, meski pada masa Orde Baru saat itu sistemnya masih
dikendalikan dari pusat, karena kiprahnya menggambarkan representasi yang kuat
bagi daerahnya. Dapat dikatakan, dia adalah tokoh nasional dengan identitas
aspirasi regional,” ujar mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman, tentang peran
sahabatnya Awang Faroek Ishak selama di parlemen.
Mendekati penghujung
1990-an, tepatnya secara resmi tanggal 12 Oktober 1999, Awang Faroek melihat
kampung halamannya Kabupaten Kutai mekar: Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Kabupaten Kutai Timur. Tergerak oleh kondisi Kutai Timur yang kemudian berpusat
ibukota di Sangatta yang masih amat sederhana namun berlimpah sumber daya alam,
Awang Faroek pun tidak menampik tatkala Pemerintah menunjuk dirinya untuk
menjadi penjabat Bupati Kutai Timur, sampai terbentuk pemerintahan yang stabil
dan lengkap dengan segenap perangkat kepemerintahan. Arti kata, sampai ada
mekanisme pemilihan bupati kepala daerah sebagaimana lazimnya di daerah-daerah
lain yang ketika itu melalui pemilihan lewat wakil rakyat di DPRD.
Awang Faroek melihat Kutai
Timur membutuhkan sentuhan seorang pemimpin yang tidak sekadar birokrat. Tapi,
seorang pemimpin yang mampu menggerakkan dan mengelola segenap potensi yang
ada, seorang pemimpin yang memiliki kemampuan manajerial.
B.
Pulang
ke Kutai Timur Membawa Tujuh Prinsip
Berkat pengalamannya, baik
di ranah politik maupun di lingkungan birokrasi, Awang Faroek tak banyak
menemui kesulitan saat mulai memimpin Kabupaten Kutai Timur di tahun 1999. Dia
pun meretas segala jalan untuk membawa Kutai Timur, khususnya ibukota Sangatta,
ke arah kemajuan yang lebih berpengharapan. Dalam tempo dua tahun (1999-2001),
warga Kutai Timur pun sangat merasakan sentuhan seorang Awang Faroek. Sebab
itu, ketika mulai dibuka keran pemilihan melalui wakil rakyat DPRD Kabupaten
Kutai Timur tahun 2001, suara wakil rakyat langsung merapat ke Awang Faroek.
Di tengah perjalanan
memimpin Kabupaten Kutai Timur, tahun 2003, Awang Faroek tergelitik untuk naik
peringkat mengikuti Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur. Namun, ketika itu,
dengan lapang dada dia menerima kekalahan.
Sekali lagi berkat
kompetensi dan prestasinya, menjelang Pilkada langsung Bupati Kutai Timur tahun
2005, banyak komponen masyarakat yang memintanya untuk kembali memimpin Kutai
Timur guna membenahi kesemrawutan dan kemandekan pembangunan di daerah yang
pernah dipimpinnya itu.
Semula Awang Faroek merasa
ragu dan berpikir berulang-ulang untuk kembali ‘pulang’ ke Kutai Timur.
“Tadinya saya belum yakin, sehingga belum berani mengiyakan. Lantas, saya
katakan ke mereka, oke saya bersedia dengan catatan ini benar-benar murni
dikehendaki oleh rakyat,” kata Awang Faroek menjawab aspirasi rakyat.
Persoalannya, lanjut Awang Faroek, “Saya tidak mau kalau ini cuma direkayasa
buat menyenangkan saja.”
Dijelaskan Awang Faroek
bahwa sekarang ini eranya jauh berbeda karena sudah menggunakan sistem
pemilihan langsung, sehingga rakyatlah yang berdaulat untuk menentukan siapa
yang bakal menjadi pemimpinnya. Sebab itu, Awang Faroek memohon berbagai
komponen masyarakat yang memintanya pulang agar membuktikannya lebih dulu. Caranya?
Awang Faroek justru diminta turun langsung bersama mereka guna menyerap
aspirasi riil masyarakatnya. Hasilnya? “Kesan yang saya tangkap, ternyata
mayoritas masyarakat memang mengharapkan saya tampil kembali. Nah, setelah
merasa yakin betul, akhirnya saya menerima aspirasi mereka,” tutur Awang
Faroek.
Sikapnya ini membuktikan
bahwa Awang Faroek bukanlah sosok yang haus tahta dan kuasa. Dia tidak mau
permintaan masyarakat itu cuma direkayasa oleh segelintir orang yang notabene
bakal menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran. Prinsipnya, lebih baik Awang
Faroek memusatkan diri dengan aktif mengajar di kampus ketimbang masuk
perangkap avonturir. Dia sangat percaya, bahwa apa yang telah digariskan Tuhan
dan hukum alam yang menyebutkan, garis hidup dan sejarah manusia yang linier itu
ada masanya untuk bangkit, sehingga orang hidup itu tidak perlu tergesa-gesa
mendahului zamannya. Itulah sebabnya, dalam rotasi roda kehidupan ini, Awang
Faroek tidak pernah bersikap frontal dan radikal menghadapi sesuatu. Semua
sikap dan tindakannya senantiasa dia perhitungkan dengan cermat dan matang agar
tidak mendapatkan goncangan dari lawan-lawan politiknya.
Walhasil, sepak terjangnya
sebagai politisi senior hingga saat ini relatif tidak tercemar oleh
kalkulasi-kalkulasi pragmatis sebagaimana jamak terjadi di ranah politik
praktis. Sosoknya yang relatif bersih justru berhasil berkelit dari
kecenderungan persepsi umum tentang politisi negeri ini yang sangat
kompromistis dan terlalu berorientasi pada kekuasaan belaka. Politisi yang
lazimnya dikonotasikan negatif sebagai profesi yang dekat dengan ambisi,
keserakahan, menghalalkan secara cara, dan sangat haus kekuasaan, tidak dapat
dilekatkan pada sosok Awang Faroek. Sebab, dia sosok politisi sekaligus
akademisi yang mampu menampilkan citra dirinya secara elegan, menjunjung tinggi
moralitas, menghargai etika dan mengedepakan nilai-nilai hati nurani dalam
berpolitik.
Setelah merasa yakin
dengan dukungan masyarakat, Awang Faroek memutuskan niatnya untuk ‘pulang’
kembali ke Kabupaten Kutai Timur, tentunya dengan berbekal konsep, gagasan dan
pemikiran-pemikiran besarnya buat melanjutkan pembangunan yang sempat mandek di
daerah itu. Dalam konteks inilah, sang konseptor Awang Faroek kembali membawa
gagasan berupa tujuh nilai (value)
prinsip yang dia terapkan dalam membangun wilayahnya. Dia berharap, prinsip
yang sama jua dia terapkan manakala diberikan mandat oleh rakyat dan amanah
oleh Tuhan dalam memimpin Provinsi Kalimantan Timur. Ketujuh nilai prinsip itu
adalah:
Prinsip pertama, Awang Faroek berniat kembali ke
Kutai Timur dengan mengemban prinsip dasar kasih
sayang. Dia menempatkan betapa pentingnya prinsip kasih sayang dalam
kehidupan bermasyarakat. Mengapa? “Karena saya pribadi tidak pernah
membeda-bedakan suku bangsa, ras, agama dan label-label lainnya. Sebab, yang
ada di dalam diri saya adalah bagaimana saya bisa memperlakukan semua orang itu
dengan proporsi yang sama, sejajar, dan baik. Jadi, yakinlah saya tidak akan
melahirkan mana anak emas, anak loyang, anak perak, dan seterusnya. Semua suku
bangsa di Kutai Timur akan saya perlakukan secara sama rata. Demikian pula umat
semua agama, akan saya perlakukan dengan kasih sayang yang sama,” ujar Awang
Faroek.
Prinsip kedua, dia kembali lantaran
mengedepankan kejujuran. Sebab, terus
terang saja, kata Awang Faroek, tanpa nilai kejujuran, bagaimana mungkin kita
dapat membangun Kutai Timur dengan baik. Jadi, modal pertama dan utama seorang
pejabat publik itu adalah kejujuran. “Dalam setiap aktivitas saya pribadi, saya mencoba berlaku jujur, dengan
mengedepankan prinsip-prinsip kepemimpinan Baginda Rasulullah saw, yaitu siddiq, amanah, fatonah dan tabliq, di mana pondasi dasarnya adalah
kejujuran,” terang Awang Faroek.
Prinsip ketiga, Awang Faroek kembali dengan
prinsip rasa tanggung jawab. Karena,
menurut dia, apapun kebijakan yang telah dia laksanakan di Kabupaten Kutai
Timur, semuanya itu harus bisa dipertanggung-jawabkan. Misalkan saja, mengapa
dulu Awang Faroek tidak bersedia memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100
hektar kepada para pengusaha dan mengapa pula dia tidak memberikan izin tambang
batubara skala kecil. Awang Faroek tahu persis bahwa hal itu akan merusak
lingkungan. “Saya tidak mau hal itu terjadi di wilayah saya. Sebab, baik-buruk
masa depan Kutai Timur ini nantinya merupakan tanggung jawab saya juga. Begitu
pula terhadap pengelolaan keuangan dan sebagainya, saya akan bertanggung-jawab
penuh,” Awang Faroek menandaskan.
Prinsip keempat, Awang Faroek kembali ke Kutai
Timur lantaran ingin mengedepankan prinsip
kebersamaan. Yakni, bagaimana kebersamaan ini mampu diwujudkan di
masyarakat Kutai Timur dan tidak sebatas slogan semata. Dia berkeyakinan,
prinsip kebersamaan akan mampu membangun Kutai Timur menjadi lebih baik.
Contohnya, begitu Awang Faroek bersedia pulang ke Kutai Timur, maka dalam tempo
relatif singkat ada puluhan partai politik yang bersedia mengusungnya dalam
Pilkada. Demikian halnya banyak elemen masyarakat, paguyuban masyarakat,
kelompok adat dan berbagai macam organisasi memberi dukungan, di mana semua itu
menjadi modal awal bagi Awang Faroek untuk membangun Kutai Timur ke depan,
sekaligus merealisasikan nilai-nilai kebersamaan. Itulah sebabnya, untuk
menampung aspirasi masyarakat yang mendukungnya, Awang Faroek mendirikan wadah Kerukunan Warga Kutai Timur Pro Pembangunan
(KWKTPP). Dengan terbentuknya KWKTPP, dia menjadi lebih leluasa dan efektif
menggalang dukungan semua lapisan masyarakat guna mewujudkan kebersamaan, tanpa
memandang latar belakang suku, bangsa, ras, agama dan lain-lain. Faktanya,
menjelang Pilkada langsung Kutai Timur 12 Desember 2005, wadah ini menjadi suatu
kekuatan besar yang sinergis. Dalam konteks inilah, Awang Faroek berupaya
menghilangkan munculnya sekat-sekat egoisme sektoral dan kepentingan pribadi,
golongan, kelompok dan lain-lain. “Sebab, tujuan kita cuma satu, yakni bagaimana
Kutai Timur menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih sejahtera,” tegas Awang
Faroek.
Prinsip kelima, Awang Faroek kembali dengan komitmen. Komitmennya, dia ingin
membangun Kutai Timur dan bertekad menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Menurut dia,
bagaimana mungkin kita bisa melaksanakan butir-butir agenda reformasi secara
baik di Kutai Timur, kalau tidak ada tata kelola pemerintahan yang baik yang
telah beberapa kali dia tulis dan dihimpun dalam sejumlah buku karyanya. Tata
kelola pemerintahan yang baik mencakup unsur: partisipasi, penegakan hukum, transparan, kesetaraan, responsif,
wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme (Awang Faroek, 2003).
“Saya yakin kesepuluh
prinsip good governance itu sudah
saya laksanakan secara bertahap di Kutai Timur. Bahkan, setiap aktivitas apel
17 Agustus, kesepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik itu selalu
diucapkan sehingga dalam diri setiap aparatur Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
makna kesepuluh prinsip itu benar-benar diresapi dan dilaksanakan saat mereka
bertugas sehari-hari,” tutur Awang Faroek.
Prinsip keenam, Awang Faroek kembali ke Kutai
Timur berpinsip pada keadilan.
Memang, pada dasarnya kita susah bertindak adil, tapi minimal kita berupaya
menciptakan keadilan itu pada semua orang. Prinsip keadilan ini dia akan
terapkan tanpa pandang bulu, supaya tidak ada lagi rasa kecewa atau tidak puas
pada sebagian warga masyarakat di Kutai Timur. Misalkan, dalam proses
penerimaan (recruitment) dan
pengangkatan calon PNS, termasuk promosi jabatan, semuanya harus mengikuti
prosedur dan aturan yang berlaku, yakni aturan Kepegawaian dan Baperjakat
(Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). “Dengan kata lain siapa yang
berprestasi, berdedikasi, dan loyalitasnya tidak diragukan, maka dialah yang
kita hargai, tanpa memandang apakah ia keluarga saya, keponakan, sepupu dan
sebagainya,” tutur Awang Faroek.
Prinsip ketujuh, Awang Faroek kembali ke Kutai
Timur ingin mengembangkan sikap disiplin.
Dia berpendapat, tanpa disiplin maka kita semua akan susah. Terus terang saja, bagaimana
mungkin kita menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kalau disiplin di
dalam organisasi tidak ada. Awang berharap disiplin itu tidak hanya miliknya
pribadi namun juga harus diterapkan pada lingkungan keluarga masing-masing.
Terlebih lagi bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai pemimpin birokrasi,
maka disiplin menjadi sebuah keniscayaan.
Berangkat dari tujuh
prinsip nilai itu, Awang Faroek memantapkan niatnya untuk ‘pulang’ ke Kabupaten
Kutai Timur. Sebetulnya, masih banyak lagi prinsip-prinsip lain yang juga turut
mendorongnya pulang kampung. Tapi, menurut Awang Faroek, “Ketujuh prinsip
itulah yang terpenting dan secara bertahap akan saya terapkan di wilayah Kutai
Timur, termasuk kelak bilamana rakyat memberi amanah kepada saya untuk memimpin
Provinsi Kalimantan Timur.”
C.
Reformasi
Birokrasi Mengasah Potensi
Garda terdepan kinerja
birokrasi adalah pelayanan kepada masyarakat (public). Kata kuncinya, menurut Awang Faroek (2006), adalah
melakukan reformasi sekaligus revitalisasi birokrasi untuk mengurangi keruwetan
birokrasi yang ada saat ini. Dalam cetak biru (blue print) kebijakan pendayagunaan aparatur negara, kondisi
birokrasi yang diharapkan adalah terbentuknya organisasi yang kaya fungsi,
ramping struktur, efisien dan efektif, dengan aparatur yang profesional,
netral, sejahtera dan akuntabel, serta ketatalaksanaan yang tertib, terkoordinasi
secara baik dan bebas KKN. Birokrasi berkualitas semacam itulah yang pada
akhirnya diharapkan berujung pada perwujudan pelayanan prima bagi warga
masyarakat.
Untuk mengejar kemajuan
lantaran negara kita tertinggal dari negara-negara lain dalam percaturan internasional, maka
penting dibutuhkan birokrasi yang berjiwa wirausaha (entrepreneur). Mengapa? “Jika kita tidak ingin menjadi negara yang
berdaya saing rendah, kita harus membangun birokrasi entrepreneur. Pada dasarnya, setiap orang dapat menjadi entrepreneur bila organisasi dibangun
kondusif untuk itu. Sebaliknya, wirausahawan bisa jadi birokrat jika organisasi
didesain untuk mengembangkan perilaku birokratis,” kata Deputi Menneg PAN
Komarudin sebagaimana dikutip Kompas
(2004).
Pertanyaannya kemudian,
seperti apakah wajah birokrasi berjiwa entrepreneur
itu? Birokrasi yang berjiwa wirausaha digambarkan sebagai birokrasi yang
ramping dan memberdayakan, memfasilitasi dan menguatkan masyarakat. Kemampuan
wirausaha merupakan kemampuan memanfaatkan sumber daya dengan cara inovatif
untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja.
Jiwa entrepreneurship adalah jiwa di mana individu atau kelompok dalam
organisasi mampu mengelola sumber-sumber yang berupa kesempatan dan tantangan
menjadi hasil (Mas’ud, 2004). Sementara itu makna entrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk berkarya dengan
semangat kemandirian termasuk keberanian untuk mengambil risiko usaha dan
meminimalisasi risiko tersebut menjadi keuntungan. John G. Burch menerjemahkan entrepreneurship sebagai aktivitas
seorang wiraswasta, diambil dari istilah Bahasa Prancis entreprenoire, yang berarti mengambil peran, mengambil suatu
kesempatan; memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui inovasi. Pada saat
sekarang, entrepreneurship menjadi
kebutuhan bagi setiap orang, karena hampir semua jenis organisasi besar
berhubungan dengan pengelolaan input
menjadi output organisasi yang
diselenggarakan dengan mengusung prinsip-prinsip organisasi, efektivitas dan
produktivitas.
Dulu, jiwa entrepreneurship ini lebih banyak
dibutuhkan oleh kalangan industriawan dan businessman,
atau bahkan usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk organisasi dan pegawai
publik, seperti pegawai pemerintah (baca: PNS). Namun, dengan perkembangan
sekarang ini, sektor pemerintahan pun harus pula mengambil peran aktif dalam
pengelolaan bidang-bidang bisnis, baik secara langsung maupun melalui kerjasama
mereka dengan para pengusaha. Bahkan, ada keniscayaan bagi negara (pegawai),
terutama negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang sektornya,
untuk mengoptimalkan secara efisien untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
masyarakat. Seperti dikatakan Peter F. Drucker dalam The Sage of Theory: “The most entrepreneurial, innovative people be
have like the worst time surving bureaucrat of power hungry politicion six
month after they have taken over the management of public service institution.”
Selanjutnya dia mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi entreprenur bila organisasinya
menyelenggarakan sistem manajemen entrepreneurship.
Sebaliknya, hampir semua entrepreneur berubah
menjadi seorang birokrat jika organisasinya menyelenggarakan kebiasaan
birokratik (Mas’ud, 2006).
Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa entrepreneurship
melekat dan amat dipengaruhi oleh model organisasinya. Dulu, peran organisasi
publik dan pegawai pemerintah lebih diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan sedikit
meninggalkan orientasi input. Namun,
sekarang ini pemerintah daerah disyaratkan untuk memikirkan input-input dalam kerangka memperbesar
pendapatan asli daerah (PAD) dengan mengoptimalkan semua sumberdaya alam,
lingkungan, teknologi, dan sumberdaya manusia yang ada.
Sebagaimana studi David
Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing
Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transformation the Public Sector,
maka pemerintahan di era reformasi sekarang ini dan di masa yang akan datang
dituntut untuk mengevaluasi dan mengembangkan metode kerja dan cara kerja yang
efisien sekaligus memberikan public
servicer yang memiliki jiwa entrepreneur,
bukan cuma pandai menghabiskan anggaran moneter dan fiskal yang ada.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa organisasi pemerintahan saat ini dan di masa mendatang sangat
membutuhkan nilai-nilai entrepreneurship
ke dalam sistem manajemennya. Dalam konteks ini, niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang positif, sesuai
dengan aturan kelembagaan dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk di
dalamnya mencari input-input yang sah
dalam kerangka memperkuat organisasi daerahnya. Sebutlah misalkan, beberapa
kebijakan pemerintah yang diajukan pada dekade ini berupa otonomi daerah,
eselonisasi bupati, deregulasi investasi di daerah, pemangkasan pungutan
non-Perda dan kebijakan stream-linning
aparatur di tingkat pusat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan
kelembagaan struktur birokrasi yang ada agar menjadi lebih efektif dan efisien.
Boleh jadi demikianlah
gambaran birokrasi ideal negeri ini yang ingin dibangun dengan semangat
reformasi. Hal yang sama juga secara bertahap mulai dikembangkan Awang Faroek
ketika mulai memimpin Kabupaten Kutai Timur. “Di Kutai Timur, saya mendesain
organisasi birokrasi yang efektif dan efisien, dengan penempatan aparatur yang
profesional di bidangnya,” ungkap pria yang awal mula meniti karir birokrasinya
dari bawah ini.
Secara umum, dijelaskan
Awang Faroek, upaya meningkatkan kualitas SDM Kutai Timur melalui aparatur
birokrasi pemerintahan dilakukan dengan cara-cara berikut:
·
Menyediakan aparatur pemerintahan yang
terampil dan memiliki profesionalisme, etos kerja, moralitas, integratif dan
koordinatif yang tinggi sesuai dengan kebutuhan daerah dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang mandiri, bersih dan berwibawa, serta bebas KKN.
·
Meningkatkan pelayanan prima dan kinerja
aparatur pemerintah.
·
Mewarnai birokrasi dengan nilai-nilai
wirausaha.
Harapan selanjutnya, kata
Awang Faroek, segera terbentuk organisasi birokrasi daerahnya sesuai dengan blue print kebijakan pusat sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya. Dengan kualitas birokrasi semacam itu diharapkan
akan bermuara pada perwujudan pelayanan prima kepada masyarakat, yakni
pelayanan yang mudah, murah, cepat dan bebas KKN. Contoh mutakhir, terobosan pelayanan
birokrasi yang dia lakukan, yakni dengan menerapkan e-Government lewat kebijakan SIMTAP (Sistem Informasi Manajemen
Satu Atap) secara online antardinas
dengan sistem computerized. Terobosan
penting ini kemudian memperoleh penghargaan dari Kementerian Negara Komunikasi
dan Informasi (2003) sekaligus menempatkan Kutai Timur sebagai pionir e-Government pertama dan terbaik di
Indonesia.
Tak cukup berhenti di situ
saja. Implementasi e-Government di
Kutai Timur ini juga sangat monumental karena tercatat pada Museum Rekor
Indonesia (MURI). Kisahnya, berawal dari pengusaha dan pemilik PT Jamu Jago,
Jaya Suprana, yang sengaja datang ke Sangatta pada tanggal 27 Januari 2003 yang
lalu. Rencananya, Jaya Suprana saat itu akan mengembangkan bahan baku jamu
miliknya di Kutai Timur. Sedianya, dia akan mengurus sendiri proses perizinan
dan layanan birokrasi di daerah tersebut. Terbukti, hanya dalam tempo relatif
singkat (36 menit), semua perizinan sudah selesai dia kantongi. Demikian
cepatnya birokasi proses perizinan di Kutai Timur tersebut, sehingga membuat
Jaya Suprana sempat terkagum-kagum. Walhasil, kesan bahwa birokrasi selama ini
yang cenderung bertele-tele, mahal dan melelahkan, terpatahkan sudah. Tanpa
banyak komentar, Jaya Suprana lantas memberikan sertifikat MURI kepada Awang
Faroek Ishak dan jajaran Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dan mencatat rekor
selaku bupati tercepat di Indonesia dalam memberikan perizinan.
Tiga tahun berselang, tepatnya
tanggal 1 September 2006, terobosan e-Government
Kutai Timur melalui kebijakan SIMTAP tersebut kembali mencatat prestasi
membanggakan. Adalah Kementerian Pedayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN)
bekerjasama dengan Majalah Leadership
Park (Jakarta) menganugerahkan lagi dua penghargaan sekaligus, yakni Leadership Award 2006 kepada Bupati
Kutai Timur Awang Faroek Ishak untuk Kategori
Bidang Pelayanan Publik dan Pemimpin
Bangsa di Daerah. Penghargaan ini sebagai wujud nyata pengakuan Pemerintah
Pusat atas realitas birokrasi dan output
pelayanan publik yang prima di Kabupaten Kutai Timur.
Menurut Awang Faroek,
penerapan e-Government dan model
layanan birokrasi di Kabupaten Kutai Timur tersebut sebagai salah satu jawaban
atas keraguan banyak pihak, bahwa otonomi daerah yang diimplementasikan pada
tahun 2001 lalu diduga hanya akan memindahkan praktik KKN baru ke daerah,
justru tidak beralasan. Di sisi lain, pengembangan e-Government justru mampu membawa Pemerintah Daerah (Pemda) kepada
satu bentuk institusi yang berorientasi kepada pelanggan (customer driven).
Apa yang dilakukan oleh
jajaran birokrasi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tersebut merupakan gambaran
awal idealita sebuah institusi birokrasi yang sehat, memberdayakan, dan
senantiasa berorientasi kepada pelanggan (customer
driven). Intinya, bagaimana kepedulian, itikad dan kesungguhan Pemerintah
Daerah membenahi dan menata struktur birokrasi di daerahnya.
Menurut Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi (2006), ada beberapa RUU
menyangkut reformasi birokrasi pelayanan publik yang harus diselesaikan DPR RI,
yaitu RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika
Penyelenggara Negara, serta RUU Pengawasan Negara. Dalam RUU-RUU tersebut di
mana salah satunya mengatur masalah sanksi kepada pejabat publik yang tidak
mampu atau menyalahi wewenang sehingga tidak berhasil memberikan pelayanan
kepada publik.
RUU Administrasi Negara
akan mengatur pembatasan wewenang pemerintah dan memberikan ruang kepada
publik. “UU tersebut akan mengikat ‘kaki’ pemerintah. Kalau gubernur, bupati
dan menteri membuat keputusan salah, maka dikenakan sanksi administrasi,
perdata dan pidana,” jelas Taufiq (Jurnal
Indonesia, 2006).
Sementara itu UU Pelayanan
Publik juga mendorong birokrasi pemerintah untuk secara maksimal memberikan
pelayanan kepada publik. Bilamana pelayanan tidak maksimal maka rakyat dapat
menuntut. Dan pejabat yang gagal memberikan pelayanan prima kepada publik akan
dikenakan sanksi, baik administratif, perdata maupun pidana.
Ditambahkan Taufiq,
nantinya semua pejabat publik jika tidak berhasil melayani kebutuhan
masyarakat, berarti telah melakukan tindak pidana. “Tidak melayani dan menunda
pelayanan, itu adalah kejahatan. Karena mereka makan duit dari APBN, maka ada
sanksi pidana macam-macam, ada yang dipecat dan dihukum,” tuturnya,
Dia menyebutkan bahwa
pemerintah kini bersama DPR RI tengah mempersiapkan sejumlah perundang-undangan
yang mengatur pelayanan birokrasi. Saat ini banyak peraturan namun tak ada satu
pun yang berguna.
Menurut dia, keberadaan
Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) telah lama tidak berjalan maksimal dan
tidak pernah bersidang. Kendati begitu, Taufiq mengatakan, dari 10 kali persidangan, sudah
lebih dari 500 orang yang dipecat secara tidak hormat. “Karena terbukti
terlibat sejumlah kasus seperti percaloan, masuk seenaknya dewe, dan narkoba,” jelas Taufiq Effendi.
Sekali lagi tumpukan
aturan tentang PNS itu sudah lebih dari cukup. Yang terpenting adalah
kepedulian, itikad dan kesungguhan dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk
meng-up-grade kompetensi dan
membenahi karut-marut birokrasi di negeri ini.
Dalam memimpin Kabupaten
Kutai Timur, Awang Faroek berusaha menampilkan birokrasi yang ramah usaha
dengan aparatur yang profesional atau akrab diistilahkan birokrasi entrepreneur. Bila di daerah lain
birokrasi semacam ini masih sebatas wacana, di Kutai Timur sudah bisa dilihat
secara langsung praktik birokrasi entrepreneur
tersebut. Pengalaman Awang Faroek yang cukup lama berkiprah dalam lingkaran
birokrasi dan pemerintahan dikombinasikan sentuhan dunia politik, membuatnya
sangat paham untuk mengurai benang kusut keruwetan birokrasi di daerahnya,
Kabupaten Kutai Timur.
“Kami akui kalau zaman
dulu para birokrat memang bertindak seperti pangrehpraja,
bukan pamongpraja. Maka sekarang bukan
zamannya lagi. Birokrat harus betul-betul menjadi pamongpraja yang memberikan pelayanan prima dan berkualitas kepada
masyarakat,” tandas Awang Faroek.
Labih jauh, untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Awang Faroek menyesuaikannya dengan
mengadopsi kemajuan teknologi informasi. “Kami akan terus mengembangkan
kerjasama dengan Divisi Risti (Riset dan Teknologi) PT Telkom Tbk untuk membuat
dan menerapkan SIMTAP (Sistem Informasi Manajemen Satu Atap) dan dikembangkan
menjadi SIMPEKAB (Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Pemerintah Kabupaten),
yang semuanya dilakukan dengan sistem computerized,”
papar Awang Faroek panjang-lebar.
Hingga kini terdapat 75
jenis pelayanan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, meliputi
sistem informasi manajemen keuangan daerah, perlengkapan daerah, kepegawaian
daerah, kependudukan, geografis, pariwisata, tenaga kerja, pendidikan,
agribisnis, lingkungan hidup dan statistik.
Sejak dilantik sebagai
penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2000), Bupati definitif (2001-2003) dan
terpilih lagi pada 2006-2011, Awang betul-betul bekerja keras membangun
kompetensi aparaturnya sehingga mampu menghasilkan kinerja birokrasi yang prima
bagi pelayanan publik yang bermuara pada kemajuan daerahnya. Awang Faroek
berusaha menerapkan e-Government
secara baik dalam birokrasi pelayanan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Penerapan e-Guvernment akan menciptakan pelayanan
pemerintahan yang efisien, efektif dan transparan. “Dengan adanya transparansi
maka akan tumbuh kepercayaan yang tinggi dari masyarakat,” ujar Menko Perekonomian
Hatta Rajasa dalam suatu kesempatan (Warta
Ekonomi, 2002).
Di era globalisasi dan
reformasi ini, penerapan e-Government
tersebut dirasa penting dan sangat krusial mengingat masyarakat modern senantiasa
menempatkan informasi (data) sebagai salah satu kebutuhan yang memperoleh
prioritas tinggi –baik kalangan birokrat, politisi, pengusaha, maupun
akademisi. Signifikansinya adalah semakin lengkap, akurat, dan cepat informasi
(data) bisa tersedia secara otomatis akan sangat membantu pengambil kebijakan (policy making), baik kalangan birokrat
maupun usahawan, dalam setiap pengambilan keputusan (decision making).
Secara global, saat ini
cukup banyak negara yang sudah menerapkan e-Government,
antara lain Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Malaysia, dan Taiwan. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh World
Market Research Center (WMRC). Peringkat e-Government tertinggi ditempati oleh Amerika Serikat dengan
tingkat penetrasi 57,2 persen, berikutnya Taiwan 52,5 persen, Australia 50,7
persen, dan Kanada 49,6 persen. Sementara Indonesia berada di urutan ke-88
dengan tingkat penetrasi 30 persen. Urutan lumayan dari 196 jumlah negara yang
dinilai WMRC (Warta Ekonomi, 2002).
Sampai saat ini, penerapan
e-Government di Indonesia telah
berjalan di sejumlah Pemerintah Daerah. Boleh dikatakan, sudah ada bibit-bibit
penerapan e-Government di berbagai
lembaga, baik di tingkat departemen, lembaga non-departemen, pemerintah
provinsi, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Sayangnya, baik sumber
dana, model bisnis, standardisasi dan tata laksana maupun content management belum ada pengintegrasian, sehingga perlu
regulasi khusus untuk mengatur hal ini.
Tidak dapat dielakkan,
seiring dengan dinamika dan mobilitas masyarakat modern yang demikian tinggi di
masa yang akan datang tentu juga harus dibarengi dengan kesiapan aparatur
Pemerintah Daerah beserta perangkatnya dalam memberikan pelayanan yang mudah,
murah, cepat, akurat dan lengkap (Awang Faroek, 2003). Menyadari pula tantangan
pembangunan yang kian kompleks dan adanya keterbukaan yang makin meningkatkan
persaingan, baik antardaerah, antarnegara maupun antarregional, maka Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur di era kepemimpinan Awang Faroek berupaya untuk
menyesuaikan tantangan eksternal dengan lingkungan strategis yang pergerakannya
sangat cepat itu, khususnya melalui SIMPEKAB yang berfungsi mengkoordinasikan,
baik sistem informasi maupun pelayanan perizinan.
Dengan penerapan e-Government ini diharapkan akan
memotivasi Pemerintah Daerah kepada satu bentuk institusi birokrasi modern yang
berorientasi kepada pelanggan (customer
driven).
Sementara itu bagi
kalangan dunia usaha atau sektor swasta (private
sector) selaku mitra pembangunan Pemerintah Daerah, bahwa e-Government yang diterapkan pada SIMTAP
akan membuat kegiatan investasi di daerah menjadi bersih, murah, transparan dan
bebas KKN. Sekadar contoh, di Kutai Timur, untuk melakukan investasi di
perkebunan kelapa sawit, calon investor bisa secara mudah memperoleh data lahan
yang cocok untuk kelapa sawit dari menu layanan Sistem Informasi Geografis
(SIG) atau informasi agribisnis. Berbekal informasi tersebut, di kantor yang
sama pula, calon investor dapat memperoleh sejumlah informasi persyaratan yang
diperlukan guna membuka usaha perkebunan, baik perizinan lokasi, pendaftaran
perusahaan, maupun sejumlah perizinan lain dari loket yang telah disediakan
Pemerintah Daerah (Pemda).
Penerapan teknologi e-Government telah mengubah persepsi
masyarakat terhadap pelayanan pemerintahan yang sebelumnya diberikan melalui
antrean panjang, birokrasi yang tampak sulit dan berbelit-belit, bahkan kerapkali
membuat orang putus asa. Selain itu, penerapan e-Government akan membawa Pemerintah Daerah pada suatu bentuk
institusi yang berorientasi kepada pelanggan: Customer - Centric Government – The Citizen is Costumer.
Era otnomi daerah yang
kini hadir bersamaan dengan era globalisasi menuntut Pemerintah Daerah bekerja
secara cerdas merumuskan suatu strategi dalam pembangunan ekonomi, yaitu
peningkatan daya saing aset (competitiveness
of the asset) dan peningkatan daya saing proses (competitiveness of the process). Menurut Awang Faroek, peningkatan
daya saing aset hendaknya dilakukan melalui empat kebijakan utama:
·
Peningkatan kualitas SDM.
·
Peningkatan kapasitas Iptek.
·
Penyediaan infrastruktur industri dan
perdagangan.
·
Peningkatan akses terhadap sumber keuangan.
Sedangkan untuk
peningkatan daya saing proses, dilaksanakan melalui penciptaan good governance, peningkatan hubungan
internasional dan peningkatan manajemen.
Penciptaan good governance merupakan hal yang
penting dalam pembangunan ekonomi. Dengan pemerintahan yang baik diharapkan
akan terjadi kesamaan peluang dalam masyarakat untuk mendaya-gunakan potensi
ekonomi. Arti kata, masyarakat akan memiliki akses yang sama dalam memanfaatkan
SDA tersebut. Selain itu, peran pemerintah akan semakin mengarah sebagai
pelindung terhadap komponen masyarakat yang lemah untuk mewujudkan kesetaraan.
Lebih jauh, Awang Faroek
menegaskan, bahwa peningkatan daya saing bagi daerah diharapkan terjadi melalui
perubahan secara bertahap (incremental
change) yang bermula dari upaya mengurangi ketergantungan dari pusat (dependence) menuju kemandirian daerah (independence) yang pada akhirnya
mencapai suatu bentuk ideal berupa saling ketergantungan (interdependence) antara daerah dan pusat serta antara daerah satu
dan daerah lainnya. Dalam jangka panjang, bila hal ini dilakukan maka akan
terjadi seleksi alam antardaerah dalam mengembangkan produk unggulan dan
andalan yang berdasar pada keunggulan kompetitif masing-masing. Dengan modal
demikian maka akan terjadi aliansi antardaerah yang berbasis pada kebersamaan,
keuntungan bersama, keunggulan dan daya saing, sekaligus menyelesaikan
ketimpangan (disparitas) pembangunan antardaerah.
Upaya peningkatan daya
saing daerah otonom hendaknya diarahkan memasuki pasar global dalam konteks
semangat kebersamaan dan interdependensi. Jika hal ini dapat diwujudkan maka
dapat dipastikan akan terjadi persaingan yang sangat ketat antardaerah dalam
menguasai sumber daya dan perebutan pasar produk masing-masing.
Kompetisi atau persaingan
adalah baik selama bertujuan untuk saling meningkatkan daya saing masing-masing
daerah. Jika tidak demikian maka yang terjadi adalah adanya proses saling
melemahkan antardaerah dalam memasuki pasar global. Strategi bersaing yang
didasarkan pada proses saling melemahkan sangat tidak sesuai dengan iklim
persaingan global. Karena di era globalisasi, persaingan-persaingan yang
terjadi justru mengarah pada terwujudnya aliansi strategis antarperusahaan dan
lintas negara dalam rangka optimalisasi pendayagunaan keunggulan kompetitif
masing-masing negara. Intinya, bahwa persaingan tersebut didasarkan pada saling
ketergantungan dan keunggulan kompetitif (competitive
advantage).
Dalam konteks transformasi
birokrasi Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang adaptif saat ini, Awang Faroek
(2006) telah menyusun arah kebijakan dan prioritas pembangunan daerahnya, di
mana salah satunya adalah peningkatan profesionalitas di bidang kelembagaan
Pemerintah Daerah. Strategi dan kebijakan yang dikembangkan meliputi
pengembangan dan peningkatan kemampuan sumber daya, pengembangan etos dan
moralitas kerja menuju performa yang lebih profesional. Dengan demikian,
prioritas pembangunan dan kelembagaan dari aparatur Pemerintah Daerah
dikembangkan sebagai berikut:
·
Peningkatan kualitas aparatur Pemerintah
Daerah sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi pekerjaan.
·
Melakukan restrukturisasi organisasi dan
revitalisasi aparatur Pemerintah Daerah sesuai dengan keahlian dan pengalaman
di bidang kerjanya masing-masing (the
right man on the right place). Refungsionalisasi sistem mekanisme dan
kelembagaan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dan
kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
·
Melakukan rekrutmen aparatur Pemerintah
Daerah sesuai dengan kebutuhan unit-unit pelayanan birokrasi mulai dari tingkat
desa sampai tingkat kabupaten dengan pola-pola yang transparan dan bebas KKN.
·
Mengembangkan profesionalisme aparatur
Pemerintah Daerah melalui pendidikan formal sampai jenjang pendidikan magister
(S-2) dan doktoral (S-3) dan pendidikan perjenjangan struktural dan fungsional
guna meningkatkan kualitas pelayanan publik yang adil dan transparan, efektif
dan efisien.
·
Penerapan sistem pembinaan kepegawaian yang
adil berdasarkan sistem meritokrasi diikuti jenjang karir.
·
Mengembangkan moral dan etos kerja sebagai
pedoman dalam kinerja aparatur.
·
Mengembangkan dan merumuskan sistem
akuntabilitas aparatur sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas.
Guna mencapai koridor
semacam ini, menurut Awang Faroek (2006), dibutuhkan birokrasi yang mampu memfasilitasi
berlangsungnya mekanisme ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang sistemik. Dengan
begitu akan terjadi penguatan politik rakyat yang juga dapat diartikan adanya
penguatan ekonomi, sosial dan budaya rakyat sebagai dasar dari model birokrasi
pemerintahan yang demokratis serta mengabdi kepada pelayanan publik yang adil,
transparan, ikhlas dan bertanggung-jawab.
Sementara itu Tjokrowinoto
(2001) mencermati, posisi birokrat yang demikian dipandang sangat strategis
dalam mewujudkan good governance yang
merupakan suatu conditio sine qua non
bagi keberhasilan pembangunan dewasa ini. Dalam kaitan itu, profesionalisme
mutlak diperlukan buat mewujudkan good
governance dimaksud. Tjokrowinoto menyatakan bahwa kompetensi yang perlu
dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan birokrasi entrepreneurship:
·
Sensitif dan responsif terhadap peluang dan
tantangan baru yang muncul.
·
Tidak terpaku dalam kegiatan rutin tapi
mampu melakukan terobosan.
·
Mempunyai wawasan futuristik.
·
Mempunyai kemampuan mengantisipasi,
menghitung dan meminimalkan risiko.
·
Jeli terhadap sumber-sumber dan peluang
yang baru.
·
Mempunyai kemampuan menggabungkan
sumber-sumber yang ada menjadi produktif.
·
Mempunyai kemampuan mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia.
Karena itu, Awang Faroek
kembali menjelaskan bahwa birokrat dalam pengabdian kepada tugasnya dan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, haruslah berbudaya, selalu menjunjung harkat dan
martabatnya. “Selain itu, birokrat tersebut harus memiliki kepedulian yang
tinggi, memegang prinsip keprofesionalan, ulet, niat dan tekad yang kuat serta
tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Awang Faroek.
D.
Menjawab
Kepercayaan dengan Kreativitas Karya
Di tengah kepercayaan
rakyat yang menguat, pada tahun 2005 melalui Pilkada langsung, Awang Faroek menjawab
dengan langkah-langkah nyata. Dimulai dari langkah pembenahan. Bersama dengan
legislatif daerah, Awang Faroek merentang visi, misi dan strategi pembangunan
memaksimalkan potensi daerah buat kemakmuran kesejahteraan rakyat. Dia
berkeyakinan visi, misi dan strategi pembangunan itu menjadi guidance penting bagi Pemerintah
Kabupaten Kutai Timur dan jajaran aparaturnya agar pembangunan tidak salah
arah.
Realitas menunjukkan,
dengan dukungan keunggulan komparatif (comparative
advantage) Kabupaten Kutai Timur, maka pengejawantahan dari visi, misi dan
strategi yang telah disepakati eksekutif-legislatif daerah itu relatif tidak
mengalami kendala yang berarti. Apalagi seperti dimaklumi, wilayah baru ini
dikaruniai limpahan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar berupa
deposit bahan tambang dan galian yang melimpah, mulai dari batubara, emas,
minyak bumi, gas alam, serta aneka bahan mineral lainnya, sampai hijaunya
hamparan hutan alam yang masih luas. Hasil aneka kekayaan SDA tersebut telah
memberikan kontribusi positif bagi dana perimbangan yang besar pada APBD daerah
ini. Pada tahun 2006 misalkan, APBD daerah seluas 47.653 kilometer persegi atau
setara dengan 17 persen luas keseluruhan Provinsi Kalimantan Timur ini menembus
angka Rp1,133 triliun.
Dengan APBD sebesar itu,
wajar kiranya pembangunan daerah ini berjalan relatif cepat, kalau boleh
menyebutnya bahkan langsung bangkit dan berlari. Contohnya, ketika pemekaran
wilayah berjalan 10 tahun (2009), geliat pembangunan di Kutai Timur menunjukkan
perkembangan sangat pesat dan signifikan. Seni kepemimpinan dan kemampuan
manajerial sang visioner Bupati Awang Faroek Ishak terbukti mampu memberikan
sentuhan pembangunan yang pesat bagi wajah Kutai Timur, sehingga Sangatta
tampil menjadi kota nan elok laksana gadis cantik yang bersolek.
Di sisi lain, nafas
otonomi daerah juga telah mendorong secara drastis perubahan wajah Kutai Timur
saat ini. Bila Anda menyempatkan diri bertandang ke Kota Sangatta misalkan,
dipastikan terbersit perasaan kagum yang tak terbantahkan. Jika melewati jalur
darat maka pengunjung akan menjumpai jalan-jalan beraspal hotmix terbentang
mulus, tumbuhnya beberapa ruas jalan baru dan jembatan penghubung yang membuka
isolasi daerah-daerah pedalaman, pembangunan pusat perkantoran modern
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur berbasis new
cyber city di Rainbow Hill (Bukit
Pelangi), tersedianya fasilitas telekomunikasi, fasilitas rumah sakit, sekolah,
sarana air bersih, adanya peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta
berbondong-bondongnya para investor untuk berinvestasi ke daerah ini, munculnya
hotel-hotel kelas menengah untuk para tamu, yang pada akhirnya melambungkan
nilai jual harga tanah warga di ruas-ruas jalan protokol. Pendek kata, kondisi
ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan wilayah Kutai Timur sebelum
pemekaran tahun 1999.
Sekadar contoh kehidupan
Munajad, salah seorang warga yang telah puluhan tahun berdomisili di Sangatta,
ibukota Kabupaten Kutai Timur. Dia sangat bangga atas pemekaran wilayahnya,
lantaran secara langsung turut mendongkrak perekonomian keluargnya. “Di sini
enak Pak, karena biaya pendidikan anak-anak sudah ditanggung semua oleh
Pemerintah Kabupaten,” tutur Munajad, bapak dua anak asal Makassar, Sulawesi
Selatan, yang sejak tahun 1999 mengelola rumah makan di kawasan Jalan Yos
Sudarso, Sangatta.
Dijelaskan Munajad, ketika
daerah itu baru menjadi kabupaten pada tahun 1999, tak terbayang sedikit pun di
benaknya bahwa Kutai Timur bakal menjadi daerah yang populer hingga dibicarakan
orang di tingkat nasional, dengan pembangunannya yang sangat pesat dan spektakuler.
Semua itu tak lepas dari terobosan kebijakan dan lompatan kuantum yang
digulirkan Bupati Awang Faroek. Padahal, jujur saja, sebelum pemekaran Sangatta
cuma sebuah desa kecil lagi terpencil nun jauh di pinggiran Kutai. Jangankan
berharap didatangi orang luar, melirik pun banyak yang enggan kala itu.
Tokoh adat sekaligus tokoh
masyarakat Kutai Timur, H. Meranen Pital, memiliki kesan yang tak jauh berbeda
dengan Munajad. Menurut dia, selama Kutai Timur dimekarkan, dan bupatinya
dijabat Awang Faroek, banyak perubahan drastis yang dirasakan warga masyarakat.
“Sebagai tokoh masyarakat Kutai Timur, saya merasakan banyak sekali perubahan
dan kemajuan yang terjadi. Kehidupan dan ekonomi masyarakat meningkat, akses ke
kota-kota lain makin terbuka, dan kita hidup di Sangatta ini makin enak,” tutur
Meranen (2006). Apalagi, tambah Meranen, tipikal pemimpin seperti Awang Faroek
adalah sosok yang sangat mengayomi dan terbuka dengan rakyatnya. “Kami rakyat
kecil ini tidak pernah kesulitan menemuinya kapan saja, karena beliau sangat
merakyat dan tidak pernah memisahkan diri dengan rakyatnya.”
Mantan Ketua MUI Kutai
Timur H. Japri Zamzam (2006) pun merasakan hal yang senada. Dia mengakui
pesatnya pembangunan di Kutai Timur, khususnya di Sangatta, sebagian besar
karena sentuhan kebijakan Awang Faroek yang secara jitu menggulirkan program
pembangunan visioner dan membumi, serta mampu menjawab kebutuhan Kutai Timur
dalam menatap masa depan. “Jujur saya akui, dalam program, selama ini belum
pernah saya menemukan program sebagus yang digulirkan Pak Awang Faroek.
Programnya luar biasa bagus, visioner, dan berjangka panjang. Begitu pula
pemahamannya tentang syariat Islam cukup mendalam,” puji H. Japri Zamzam, yang
sekarang jadi teladan sukses petani Kutai Timur berkat keberhasilannya
mengembangkan agribisnis perkebunan di wilayahnya.
Testimoni tiga warga
Sangatta itu minimal sudak cukup menggambarkan kondisi Sangatta saat ini.
Namun, bertitik tolak pada tiga rencana strategis wilayah –yaitu pengembangan
infrastruktur, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan
agribisnis—Pemerintah Kabupaten Kutai Timur secara nyata dan bertahap
mencanangkan visi pembangunan daerahnya, yakni: ”Pembangunan daerah yang bertumpu pada pembangunan yang berkeadilan
menuju masyarakat Kutai Timur yang sejahtera dengan memanfaatkan SDA yang dapat
diperbarui (renewable resources) dan
menjadikan daerah Kabupaten Kutai Timur sebagai Pusat Agrobisnis dan
Agroindustri di Kalimantan Timur.”
Dari tahun ke tahun,
pendapatan per kapita penduduk Kutai Timur yang di tahun 2006 berjumlah 214.000
jiwa juga terus mengalami peningkatan. Misalkan di tahun 1999 pendapatan per
kapita hanya Rp18,06 juta lalu pada akhir 2001 meningkat menjadi Rp24,76 juta
atau naik sekitar 35 persen dalam tempo tak lebih dari dua tahun.
Sebagaimana diketahui,
Kutai Timur memiliki kekayaan SDA, terutama di sektor pertambangan yang luar
biasa melimpah. Khusus batubara sekadar contoh, depositnya mencapai 5,4 miliar
ton. Selain itu masih terdapat migas, emas, kaolin, phosfat, limstone, pasir
kwarsa dan bijih besi. Perusahaan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang beroperasi
sejak 1991 sampai 2001 misalkan, telah mengeruk sekitar 150 juta ton batubara
kualitas prima dan terbaik di dunia. Dari KPC saja, telah memberi kontribusi
yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan daerah baru ini. KPC bukanlah
satu-satunya perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kutai Timur. Masih ada
lagi PT Indominco Mandiri, PT Perkasa Inakerta, serta perusahaan lain yang
totalnya berjumlah 115 perusahaan yang mengeksploitasi potensi emas hitam itu,
terdiri dari 69 perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) untuk areal 625
ribu hektar dan 47 perusahaan pemegang PKP2B untuk areal 1,82 juta hektar.
Untuk pertambangan umum tersebut, dana bagi hasil yang diperoleh Kutai Timur
mencapai Rp319,87 miliar (2007).
Selain batubara, ditemukan
pula lapangan minyak bumi seluas 18 ribu hektar dan lapangan gas bumi seluas 39
ribu hektar. Juga tersimpan kandungan emas di Muara Wahau, Muara Ancalong dan
Busang, besi (19,7 juta ton), batu gamping (18,6 miliar ton), lempung (satu
miliar ton), gipsum (12 juta ton), serta pasir kwarsa dengan cadangan deposit
30,5 juta ton. Bahkan, berdasarkan penelitian awal, Kutai Timur disebut-sebut
memiliki potensi baja. Tak heran, di tahun 2006 Wakil Presiden (waktu itu) H.M.
Jusuf Kalla mengimbau PT Krakatau Steel untuk memperluas jaringan usahanya ke
daerah ini. Bila hasil penelitian benar, produsen baja terbesar di Tanah Air
ini pun dapat menambah catatan perusahaan raksasa yang bakal menambang mesin
uang di sini.
Di luar SDA bahan tambang,
di Kutai Timur juga terhambar hutan seluas 2,78 juta hektar. Kawasan hutan
seluas ini terdiri dari hutan produksi seluas 1,12 juta hektar, hutan lindung
211 ribu hektar, hutan wisata 198 ribu hektar dan hutan konversi seluas satu
juta hektar. Ditambah lagi cadangan lahan seluas 1,3 juta hektar yang cocok dan
siap dikembangkan untuk lahan penanaman komoditas pertanian bernilai tinggi
sebagai basis agribisnis berikut agroindustrinya, seperti kelapa sawit, kakao,
karet, lada, vanili, kedelai, nenas, jarak pagar dan komoditas lainnya dengan
prospek pasar internasional yang menjanjikan. Demikian pula di sektor
peternakan, antara lain sapi, kambing, babi, serta budidaya perikanan darat dan
laut.
Dari kekayaan SDA yang
melimpah ruah tadi, Kabupaten Kutai Timur memberi kontribusi revenue kepada Pemerintah Pusat
rata-rata Rp15 triliun per tahun, sedangkan yang kembali ke derah ini relatif
kecil cuma sekitar Rp1 triliun. “Jadi, negara ini utang budi kepada Kutai
Timur. Bayangkan kerajaan tertua di Indonesia ini adalah Tanah Kutai. Dalam sejarahnya,
sebagai kerajaan tidak pernah bikin macam-macam kepada negara. Sudah seharusnya
Pusat itu memberikan perhatian kepada daerah yang kontribusinya besar kepada
negara,” jelas Wakil Bupati Kutai Timur H. Isran Noor MSc sebagaimana dilansir Bisnis Internasional (2006). Jadi,
menurut dia, “Pusat harus menilai secara riil dan obyektif, daerah yang
berperan kepada negara harus diperhatikan, karena di situ orang miskinnya juga
masih banyak.”
Meski Kutai Timur
berlimpah SDA, Awang Faroek tidak serta merta mengeksploitasi habis-habisan.
Dia menyadari bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berbasis SDA yang tidak
terbarukan (unrenewable resources),
dipastikan tidak bakal menguntungkan masyarakat dan pemerintah dalam konteks
jangka panjang. Selain itu, pembangunan ekonomi yang semata-mata mengandalkan
ketersediaan SDA belaka ternyata tidak memberikan pendapatan berarti bagi
wilayah berpenduduk 3.550.586 jiwa (2010) yang tersebar pada 18 kecamatan serta
135 desa, di mana 47 persen di antaranya masih dalam kategori Desa Tertinggal.
Realitas inilah yang
menggugah nurani Awang Faroek. Dia menyadari bahwa SDA bahan tambang dan galian
itu merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) oleh manusia. Dengan begitu, SDA jenis ini
tidak bisa dijadikan andalan (leading
sector), apalagi dikembangkan untuk jangka panjang.
Berbeda halnya
dibandingkan dengan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources), seperti sektor kehutanan, pertanian, dan
perkebunan (agribisnis), dan perikanan. Jenis SDA ini dapat diperbarui dan akan
langgeng sepanjang masa, tidak terpengaruh oleh adanya umur teknis. Terutama
sektor perkebunan, ke depan, wilayah Kutai Timur diproyeksikan sentra produksi
kelapa sawit di Kalimantan Timur. Tahun 2011, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur
menargetkan minimal sudah tertanam 350 ribu hektar lahan sawit. Target ini
lebih dulu dicanangkan dibandingkan target tingkat provinsi yakni hanya satu
juta hektar pada tahun 2018.
Walau demikian bukan
berarti SDA bahan tambang yang tidak dapat diperbarui itu tidak memberikan arti
dan manfaat bagi perkembangan Kutai Timur. Pada saat ini justru SDA yang tidak
dapat diperbarui itulah yang memberikan kontribusi cukup besar bagi dana
pembangunan sebagaimana tercermin dari APBD. Kini, langkah antisipatif yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur adalah mengelola dan memanfaatkan
secara bijaksana hasil-hasil SDA tersebut untuk kemudian dikelola untuk
menciptakan peluang ekonomis substitusi baru dan berkelanjutan (sustainability) bagi masyarakatnya.
Apalagi, bercermin dari pengalaman daerah lain, bahwa SDA yang tidak dapat
diperbarui itu terbukti hanya memiliki umur teknis relatif pendek, rata-rata
sekitar 20-25 tahun.
Pertanyaannya kemudian,
apa yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur setelah SDA bahan
tambang itu habis? Pertanyaan ini harus menjadi bahan renungan kita bersama,
termasuk aparatur Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang kini dipercaya
mengelola pemerintahan. Terlebih lagi, mencermati pengalaman kurang
menguntungkan daerah-daerah lain yang juga kaya SDA bahan tambang, seperti
Bangka-Belitung, Singkep dan Sanga-Sanga. Kini, kondisi lingkungan kota-kota
eks daerah pertambangan tersebut sangat mengenaskan laksana kota mati lantaran
ditinggalkan para investor yang terpaksa hengkang menyusul berhentinya kegiatan
pertambangan di daerah-daerah itu.
Orang bijak bernasihat
bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Mengantisipasi kondisi itulah, didukung
oleh legislatif, masyarakat dan multistakeholder
daerah, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur berupaya mencari terobosan pembangunan
berdimensi jangka panjang, yakni dengan menjadikan Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis (Gerdabangagri) sebagai suatu
grand strategy masa depan bagi
pembangunan di Kutai Timur.
Menurut Awang Faroek,
rakyat Kutai Timur patut bersyukur karena wilayahnya dikaruniai Tuhan dengan
limpahan kekayaan SDA yang sangat besar. Jadi, limpahan migas dan mineral itu
harus lebih banyak dialokasikan dalam kebijakan yang pro-rakyat. Singkat kata,
kaya belum tentu maju namun maju sudah pasti kaya. Boleh jadi inilah prinsip
berpikir progresif yang dikembangkan Awang Faroek dan jajaran eksekutifnya di
Kutai Timur. Sebab itu, kekayaan daerahnya yang tercermin dari formulasi APBD
diarahkan pada tuntutan pemenuhan bagi pembentukan wilayah pemekaran lainnya,
yaitu pemerataan pembangunan, pengelolaan SDA menjadi lebih baik dan
bertanggung-jawab, peningkatan kualitas SDM dan percepatan pertumbuhan
demokrasi.
Prinsipnya, sungguh sangat
sayang dan sia-sia bilamana potensi kekayaan alam tersebut tidak dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Seperti pada masa saya
di Kutai Timur dulu, saya menempatkan Gerdabangagri sebagai grand strategy dari visi pembangunan
daerah. Program-program yang merupakan implementasi Gerdabangagri tersebut sudah
banyak menyentuh langsung dan dirasakan warga masyarakat,” kata Awang Faroek
yang pernah tercatat sebagai bupati pertama di Indonesia dalam menerbitkan
kebijakan populis, yakni Wajib Belajar 12 Tahun serta menerapkan pendidikan
gratis di Kutai Timur, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi,
seiring berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001. Kebijakan ini kemudian
diikuti oleh sejumlah Kepala Daerah lain, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara
(Kaltim), Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Padang
Pariaman (Sumbar), dan Kabupaten Sumbawa Besar (NTB).
Dalam rangka peningkatan
kualitas SDM itu pula direalisasikan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari
APBD. Kutai Timur menjadi pionir kabupaten pertama di Indonesia yang memulainya
sejak tahun 2001. Artinya, kebijakan tersebut lahir sebelum amanah konstitusi
disahkan dalam bentuk UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada tahun 2006
lalu misalkan, alokasi anggaran sektor pendidikan di Kutai Timur mencapai Rp202
miliar, sementara pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp262 miliar.
Dana sebesar itu digunakan
untuk menerapkan kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun dengan membebaskan biaya
pendidikan dari SD, SMP, sampai SMA. Jika ingin bebas biaya kuliah, siswa Kutai
Timur yang lulus SMA dapat memilih kampus Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
(STIPER). Bebas biaya kuliah di STIPER ini terkait dengan prioritas pembangunan
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menggalakkan sektor agribisnis dalam arti
luas.
Selain itu, anggaran
pendidikan dipakai pula untuk melaksanakan uji kompetensi guru, peningkatan
mutu pendidikan dan peningkatan kualitas guru, sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen yang mengharuskan setiap guru wajib mengantongi
ijazah sarjana (S-1). Kebijakan lainnya adalah pemberian beasiswa (scholarship) kepada 2.222 orang,
khususnya bagi mahasiswa berprestasi namun kurang mampu dari aspek ekonomi buat
melanjutkan studi ke jenjang S-1 (sarjana), S-2 (pascasarjana) dan S-3
(doktoral).
Program lain yang juga
dibiayai oleh sektor pendidikan, di antaranya peningkatan kesejahteraan guru,
yakni memberikan insentif sekitar Rp700 ribu sampai Rp1,2 juta per bulan,
memberikan fasilitas kendaraan roda empat kepada setiap kepala sekolah, serta
meningkatkan kualitas infrastruktur pendidikan. Pengembangan infrastruktur
pendidikan diwujudkan dalam program pembangunan sekolah baru, rehabilitasi
sekolah-sekolah di semua jenjang pendidikan, pembangunan SMA unggulan berasrama
(boarding school) berstandar nasional
dan internasional, pembangunan kampus STIPER, pembangunan kampus Sekolah Tinggi
Agama Islam Sangatta (STAIS), pembangunan SMK Kelautan, pembangunan Education Centre, pembangunan SD, SMP
dan SMA terpadu, dan pemberian bantuan kepada yayasan perguruan swasta (SDIT
Darussalam, Yayasan Muhammadiyah, Yayasan Al Ma’arif, dan lain-lain).
Demikianlah komitmen,
kesungguhan, dan karya nyata Awang Faroek yang sangat concern pada pengembangan kualitas SDM di daerahnya melalui
peningkatan pembangunan sektor pendidikan dan terbukti memperoleh apresiasi
positif dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Walhasil, pada Oktober 2007,
Awang Faroek dan beberapa kepala daerah lain yang dinilai sangat peduli pada
sektor pendidikan dianugerahi Satya
Lencana di Bidang Pendidikan (2007).
Khusus di Kalimantan, hanya dua kepala daerah yang memperoleh lencana dari
Presiden RI saat itu, yakni Bupati Kutai Timur Awang Faroek Ishak dan Gubernur
Kalimantan Selatan Rudi Ariffin. Sebelumnya, khusus di sektor pendidikan pula,
Awang Faroek pernah menerima award
dari Presiden RI (2002) sebagai Bupati Berprestasi pada Pendidikan Luar Sekolah (PLS), penghargaan Education Award dari FKIP Universitas Mulawarman (Unmul), serta
penghargaan sebagai Tokoh Peduli
Pendidikan dari DPW PKS Kalimantan Timur (2007).
Di bidang perekonomian,
Awang Faroek memperkuat basis perekonomian rakyat Kutai Timur melalui
revitalisasi pertanian dalam arti luas, meliputi revitalisasi tanaman pangan,
perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Termasuk dalam program ini
adalah penataan sistem produksi, serta reformasi agraria melalui kebijakan
redistribusi lahan produktif seluas lima hektar kepada setiap kepala keluarga
(KK) disertai pemberian sertifikat gratis, pemberian proteksi kepada petani,
perluasan akses pasar, permodalan melalui BPR Kutai Timur dan lembaga keuangan
mikro yang tersebar di 18 kecamatan dan 136 desa, pendirian Lembaga Penjamin
Kredit Daerah (LPKD) Kutai Timur dan implementasi grand strategy Gerdabangagri
(Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis) melalui SP2AB (Sarjana Penggerak
Pembangunan Agribisnis), Dai Pembangunan, kader-kader koperasi, Petugas
Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, PPL Perikanan dan PPL Peternakan. Dari
kebijakannya ini Awang Faroek kembali meraih sejumlah penghargaan, antara lain Bhumi Bhakti Adhiguna 2006 dari BPN
Pusat berkat keberhasilan mengembangkan redistribusi lahan lima hektar kepada
setiap kepala keluarga (KK) dan sertifikat gratis atas lahan tersebut untuk
pertanian dan perkebunan. Berikutnya, dia pun meraih Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi, Satya Lencana Pembangunan
Bidang Pertanian (2007), serta penghargaan dari Menteri Pertanian RI
sebagai Kepala Daerah Berprestasi di
Bidang Pertanian (2007).
Kemudian, untuk
menumbuhkan demokrasi yang sehat, Kabupaten Kutai Timur mendukung upaya
reformasi birokrasi dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan mencanangkan
daerahnya sebagai Island of Integrity.
Implementasinya adalah pembentukan Formonev (Forum Monitoring dan Evaluasi
Inpres tentang Tindak Pidana Korupsi), penandatanganan Pakta Integritas dan
peningkatan kualitas/integritas aparatur Pemerintah Daerah dengan penyelenggaraan
ESQ (Emotional Spiritual Quotient)
serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi pejabat struktural tentang
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Sebelumnya, pada tahun
2003, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah memelopori penerapan konsep e-Government (e-Gov) di Indonesia. Sehingga, standar pelayanan umum menjadi lebih
mudah, murah, cepat dan transparan. Berikutnya, dikembangkan pula sistem One Stop Service (OSS) atau Sistem
Pelayanan Satu Atap yang dilakukan oleh Badan Sistem Informasi Manajemen
Pemerintah Kabupaten (SIMPEKAB). Layanan ini mencakup 74 jenis layanan kepada
masyarakat, pelayanan informasi seperti informasi manajemen yang meliputi
bidang keuangan daerah, perlengkapan daerah, kepegawaian daerah, kependudukan,
geografi, pariwisata, tenaga kerja, pendidikan, agribisnis, lingkungan hidup
dan statistik.
Sebagai pionir, keberadaan
lembaga ini (e-Government melalui
OSS) atau Pelayanan Satu Atap berefek luar biasa bagi pelayanan publik di Kutai
Timur, sampai-sampai pernah memperoleh enam penghargaan sekaligus. Yaitu, penghargaan
dari Menteri Negara Komunikasi dan Informasi pada tahun 2003 berkat
keberhasilan Kutai Timur sebagai daerah pelopor e-Governmen; penghargaan peringkat pertama implementasi e-Government dari Majalah Pilarbisnis Jakarta; penghargaan
peringkat kedua pelayanan melalui One
Stop Service (OSS)/e-Government
dari Majalah Warta Ekonomi; penghargaan
Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Bupati Tercepat dalam pelayanan kepada
investor (36 menit); penghargaan e-Government
Award 2003 sebagai Lembaga Pemerintah Pengaplikasian e-Government Terbaik Pertama di Indonesia; dan penghargaan Leadership Award 2006 dalam kategori
Pelayanan Publik Terbaik dari Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara kerja
sama dengan Leadership Park Jakarta.
Lalu, terkait dengan
program Corporate Social Responsibility
(CSR). Daerah ini melakukan terobosan membangun Forum Multi Stakeholders CSR (MSH-CSR) Kabupaten Kutai Timur. Forum ini
bertugas dan mengemban tanggung jawab mengkoordinasikan, mensinergikan dan
memantau serta mengevaluasi penerapan CSR di Kutai Timur. Forum ini menjadi
fasilitator pengembangan sistem dan mekanisme penerapan CSR yang cepat, mudah
dan sederhana, dengan mengedepankan program dan kegiatan CSR yang langsung
menyentuh kepada kepentingan masyarakat, berdimensi jangka panjang dan
berkelanjutan (sustainability).
Forum Multi Stakeholders CSR (MSH-CSR) ini mengembangkan sistem
perencanaan CSR terpadu dan transparan melalui lokakarya atau musyawarah
perencanaan yang khusus dilakukan untuk merumuskan program CSR tahunan.
“Hasilnya, pada tahun 2006 CSR di Kutai Timur mencapai Rp97 miliar dan pada
tahun 2007 meningkat menjadi Rp163 miliar,” ungkap Awang Faroek. Program ini
biasanya dilaksanakan sebelum agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) Kabupaten Kutai Timur dilakukan. Dengan begitu, diharapkan
berlangsung sistem monitoring dan evaluasi CSR yang transparan dan akuntabel.
Di sisi lain, tujuan CSR untuk meningkatkan kapasitas masyarakat tercapai
secara partisipatif karena melibatkan seluruh pemangku kepentingan (multistakeholders). Alhasil, kebijakan
pro-rakyat tentang CSR ini membuat Awang Faroek dijuluki “The inspiring man behind the CSR” dari publiser La Tofi Enterprise (2008). Terobosan
Awang Faroek ini membuat dia lagi-lagi mengoleksi anugerah CSR Empowerment Award.
Singkat cerita, semua
program yang pro-rakyat tersebut pada akhirnya bermuara pada Tri Sukses Pembangunan yang diusung
Awang Faroek, yakni bagaimana jajaran Kepala daerah dan aparaturnya serta
didukung masyarakat Kutai Timur bahu-membahu menyukseskan program pembangunan
SDA, khususnya sukses pembangunan pertanian dalam arti luas, sukses pembangunan
SDM dan sukses pembangunan infrastruktur ekonomi.
Waktu terus laju berlalu.
Tanpa terasa, pembangunan perekonomian daerah, misalkan konsep ekonomi
kerakyatan di bawah payung Gerdabangagri-nya
–yang merupakan salah satu penjabaran Tri
Sukses Pembangunan—mulai dirasakan manfaatnya oleh rakyat Kutai Timur.
Beragam komoditas unggulan hasil pertanian dalam arti luas mulai dikembangkan
di daerah ini, antara lain tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman
biofarmaka, perkebunan, peternakan, perikanan (darat, laut dan tambak), dan
kehutanan. Strategi pembangunan pertanian inilah yang dikembangkan untuk jangka
panjang, ditunjang oleh dana pembangunan yang berasal dari pemanfaatan SDA yang
tidak dapat diperbarui serta bertujuan memperluas peluang dan kesempatan
ekonomi baru dan berkelanjutan di Kutai Timur.
Pepatah lama bernasihat:
siapa menanam pastilah memetik hasilnya. Kini, konsep pembangunan ekonomi Kutai
Timur berbasis agribisnis yang dikembangkan Bupati Awang Faroek mulai dirasakan
langsung oleh warga Kutai Timur. Tengoklah kehidupan Kabul Wiyono (43). Dia
adalah contoh sukses petani agribisnis di Kutai Timur saat ini. Ke mana-mana
dia tampak membawa dua buah telepon genggam trendi. Satu di antaranya jenis
komunikator, harganya mahal dan biasa dipakai para eksekutif muda di Jakarta
atau kota besar lainnya. Tapi, siapa sangka, lelaki ini ternyata hanyalah
seorang petani (Tani Merdeka, 2008).
Ya, Kabul Wiyono cuma
seorang petani. Dia memang sungguh-sungguh petani dari Desa Tanjung Labu,
Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Dia
punya lahan seluas dua hektar ditanami pohon rambutan, jambu dan jeruk sunkis.
Tiap kali panen, rambutannya menghasilkan dua ton, begitu pula jambunya.
Sedangkan jeruknya rata-rata tiap bulan menghasilkan dua kwintal. Dari kebun
itulah, Kabul Wiyono menghasilkan duit Rp15 juta per bulan. Sungguh
menggembirakan.
Kisah sukses sebagai
petani buah di Kutai Timur memberikan Kabul profesi sampingan sebagai konsultan
untuk petani bulah lainnya di sana. Dari situ, dia kembali meraih penghasilan
Rp5 juta per bulan. “Kan memproduksi jasa juga halal bagi petani Mas. Yang
penting, mereka puas dan ekonomi saya sehat,” kata Kabul sebagaimana dilansir Tani Merdeka akhir Maret 2008.
Kabul tentulah profil
seorang petani merdeka. Artinya, petani yang berkecukupan. Menjadikan petani
semacam itulah obsesi Awang Faroek Ishak, sejak dia dilantik menjadi penjabat
Bupati Kutai Timur (1999-2001), Bupati definitif pertama Kutai Timur
(2001-2003), sampai Bupati Kutai Timur hasil Pilkada langsung (2006-2008). Dan
Awang Faroek merasa tidak cukup berhenti di Kutai Timur saja, dia ingin ladang
amal yang lebih luas lagi: Provinsi Kalimantan Timur, ***
No comments:
Post a Comment