Sunday, August 4, 2013

Unilever Bawa Produk Lokal ke Kancah Global

* Enny Sampurno
Human Resources Director PT Unilever Indonesia Tbk


Siapa tak kenal produk-produk Unilever, mulai dari Rinso, Lux, Citra, kecap Bango sampai pelembab wajah Citra. Beberapa di antaranya adalah produk lokal Nusantar yang di-create menggobal. Dan, itulah salah satu kekuatan inovasi Unilever Indonesia menjawab persaingan bisnis consumer good yang kian ketat. Untuk lebih mengetahui kekuatan inovasi tersebut, kami dari Dunamis mewawancarai Human Resources Director PT Unilever Indonesia Tbk Anny Sampurno di kantornya Graha Unilever, Jakarta, akhir Mei 2013. Berikut petikannya:



T: Bagaimana tantangan yang dihadapi Unilever kini dan nanti?

J: Karena semuanya sudah bagus, yang paling berbahaya adalah kami jadi berpuas diri. Tantangannya adalah bagaimana kami tidak terjebak berpuas diri, kami harus tetap alert. Kami bagus begini, kompetitor juga bagus semua. Sebab itu, kami alert terus setiap hari, karena semakin lama semakin susah hidup di Indonesia ini.
Tantangan lainnya adalah competition yang ketat. Sebab itu, kami harus datang dengan inovasi-inovasi yang sesuai dan terus mengedukasi konsumen. Kemudian yang kalah menantang adalah bagaimana kami menyerasikan sumber daya manusia dengan pertumbuhan bisnis yang kian cepat. Dulu kami butuh waktu hampir 75 tahun untuk sampai rate 1 miliar Euro, dari satu miliar ke dua miliar cuma lima tahun. Di 2012, kami sudah berada pada rate 2 miliar Euro. Dan, kami mau ke 3 bilion Euro itu di 2015, makin pendek. Kami harus akselerasi dan persiapkan SDM menghadapi hal ini. Kami berusaha bagaimana people-nya siap dan teknologinya bisa membantu. Yang terpenting kami bagaimanya menyiapkan talent skill capability-nya lebih cepat daripada bisnisnya.


Tanya (T): Di sini, knowledge workers menjadi kunci penting memenangi kompetisi. Bagaimana knowledge management Unilever berkontribusi dalam membangun knowledge workers?

J: Salah satu kuncinya adalah sharing knowledge. Kami menciptakan sharing culture dan learning culture, di mana setiap orang boleh sharing apa saja. Misalkan waktu Sunlight sukses, growth-nya 50%, tim Sunlight sharing pengalaman. Tidak sekadar sharing kisah sukses, kami juga mendorong barrier sharing. Kalau kalian berbuat kesalahan nggak perlu takut. Buat kami, adanya barrier juga sangat berharga. Kalau hal ini tidak di-share, maka orang akan mengulangi kesalahan yang sama.
Kami encourage everybody to share. Kami mulai dari yang sederhana, informal, dengan diawali makan nasi Padang bersama, main organ tunggal. Sampai kemudian pda forum yang lebih formal. Dari forum-forum sharing ini kami sekarang punya modul-mudl yang dibuat oleh karyawan. Banyak sekali jumlahnya, sekitar 42.000. Misalkan ada mesin atau produk baru, langsung mereka bikinkan modul dimasukkan ke digital library. Kami punya modul sudah sampai 42.000. Kami mulai yang kecil-kecil dan jalan. Akhirnya orang merasa senang sharing, apalagi kalau ada pengakuan (recognize).

T: Tentu tidak sebatas modul, adakah inovasi yang juga muncul?

J: Biasanya kelihatan dari hasil. Kami punya Kompas Award yang digelar tiap tahun. Ada winning with the brand, winning with market placed, dan winning with people. Semua apa yang karyawan lakukan boleh dimasukkan ke kompetisi ini. Setiap tahun kami pilih pemenangnya. Nah, dari sinilah banyak muncul inovasi. Ini semua didokumentasikan di digital library dan siapa saja bisa membuka.

T: Dapat dicontohkan inovasi yang bisa dinikmati konsumen?

J: Sebagai perusahaan multinasional, kebanyakan inovasi kami datang dari luar. Walaupun demikian, consumer insight-nya kami dapat godok dalam bentuk yang khas Indonesia, menarik buat orang Indonesia. Kalau nggak, maka kami akan kesulitan menggarap konsumen. Apalagi, daerah yang satu berbeda dengan daerah yang lain.
Contoh paling populer adalah fesival jajanan Bango. Hampir semua makanan tradisional di nusantara ini tidak lepas dari kecap, kam pun memproduksi kecap dan difestivalkan. Festival jajanan Bango ini sangat Indonesia. Makanannya khas daerah masing-masing. Sampai pertengahan 2013, kami sudah gelar di lima kota, masing-masing Bandung, Surabaya, Malang, Semarang dan Jakarta.
Di produk food, kami memang leluasa berinovasi. Food itu sangat lokalistik. Dulu, produk teh Sariwangi cuma dipasarkan di Jawa. Belakangan, ternyata Sumatera itu juga merupakan pasar yang potensial. Di Sumatera, yang laku adalah varian vanila tea. Di Jawa sendiri,  berbeda dari provinsi ke provinsi. Orang Jateng lebih suka jasmine tea. Insight consumer bisa tertangkap.
Untuk produk kosmetik dapat dicontohkan pembersih muka Citra. Produk asli Indonesia ini sekarang jadi produk global Unilever. Kosmetik ini relevan dengan face orang Asia, jadi bisa masuk ke Thailand, Malaysia dan China.

T: Pendistribusian prouk Unilever ini kan mengandalkan distributor yang dapat dikatakan tidak satu bahasa. Bagaimana agar mereka satu bahasa?

J: Memang, selain kami sebagai distributor, juga ada distributor lain yang bekerjasama. Untuk menatukan bahasa distributor, orang sales Unilever mengedukasi distributor atau langsung ke user. Bisa pula orang sales duduk di distributor lalu mengajari distributor. Kami punya tenaga representatif yang duduk di distributor. Mereka melakukan morning breefing, ya seperti business consultant-nya distributor. Mereka mengedukasi sampai setiap distributor memiliki laporan dinding, tahu jumlah outlet yang di-cover, sampai produk-produk yang didistribusikan. Kami punya dokumen berapa line, SOP yang harus dipatuhi, dan lain-lain.
Bagian marketing harus menguasai hal ini. Selama satu tahun sudah ada agenda yang cukup padat. Setiap vice president (VP) dan direktur akan berikan satu topik, seperti saya HR for HR, karyawan perlu belajar organization for efectiveness. Ini materi yang non-skill. Sedangkan menyangkut skill, kadang kami harus datangkan pengajar dari luar.

T: Dalam hal materi seperti apa, narasumber dari luar diundang?

J: Kalau ada topik yang kira-kira kami tidak menguasai, baru kami panggil dari luar, supaya ada external perspective. Kami pernah undang Pak Emirsyah Satar (Dirut Garuda), Phillia Wibowo, Direktur McKinsey & Co. Karyawan kan kadang naya bagaimana punya anak-anak kecil perempuan. Phillia kan dari McKinsey dan dia juga punya anak kecil lalu sharing. Kami lihat topiknya dulu, baru oh perlu external speaker. Pernah undang Pak Anis Baswedan.
Kami combine, agar tidak terlalu Unileverian banget. Di Unilever Leadership Forum selalu kami tampilkan public speaker. Supaya, orang-orang kami minimal punya perspektif dari eksternal. Juga agar bisa belajar banyak dari sana. Beberapa waktu kami mengundang Martin, pemenang olimpiade renang di sungai, dia menang karena mengambbil jalur lain dan tidak diperhitungkan. Urutan satu-dua bertarung, dia ngambil jalur lain dan ternyata menang. Kebetulan dia orang Unilever. Bukan renangnya sebagai pembelajaran, tapi upayanya berbeda dari yang lain itulah menjadi inspirasi.

T: Bagaimana kiat Unilever menemukan talenta-talenta inovatif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?

J: Kami di Unilever membicarakan atau menilai orang dua kali setahun dan dilakukan secara berlapis. Misalkan board, 4-5 orang, setiap Juni dan November membicarakan orang satu level di bawah kami. Itu dilakukan terhadap orang per orang. Misalkan si A itu sudah berapa lama di situ, bagus ataukah tidak,  retensinya bagaimana. Nanti yang satu level di bawah board membicarakan orang-orang satu level di bawahnya lagi. Dengan beitu, semua orang itu ada di radar pemantauan. Tahun lalu misalnya ada chairman award, yang memperoleh orang dari Palu.
Tantangannya itu worker kami banyak sekali, biasanya hanya 10% yang punya talenta kuat. Kami tidak membicarakan semua orang di satu level bawah board, cukup banyak juga. Intinya 10% talenta itu. Di bawahnya name by name, ke bawahnya top 10. Semua yang bagus tuh, meski di Papua, akan terlihat. Kami juga punya talent facebook tapi tidak di-share bebas ke setiap orang, karena itu confidential. Yang talent facebook, satu orang di satu page. Siapa nama, gaji, kompetensi, semua ada di page. Yang tahu atasannya saja karena dia share ke atasan. Itu sangat private. ***


No comments:

Post a Comment