Indonesia
harus belajar dari negara-negara lain dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah
rakyat. Amerika Serikat dan Singapura adalah contoh yang bisa ditiru. Kedua
negara ini memiliki sebuah badan yang khusus bertugas membangun rumah rakyat
dan disokong penuh oleh pemerintah.
Menteri
Perumahan Rakyat masa bakti 2009-2011, Suharso Monoarfa, mengatakan hal
tersebut di Jakarta, Selasa (24/9/2013).
Ia
membandingkan sistem pengambilan kebijakan di Indonesia dengan bentuk pengambilan
kebijakan di Amerika Serikat (AS). Kendati AS merupakan Negara Federal,
kebijakan nasionalnya mengikat seluruh negara bagian untuk satu kesatuan. Salah
satu instrumen kebijakan mereka adalah menyediakan dana bagi negara bagian
untuk membeli tanah (landbanking).
Ketika
Detroit bangkrut, kekuatan yang mereka miliki hanya landbanking. Pemerintah
pusat tinggal memberikan uang pada negara bagian guna memastikan ketersediaan
lahan untuk hunian dan infrastruktur.
Sementara
untuk kebijakan moneter, prinsip independensi sangat dipegang teguh Gubernur
Bank Sentral atau The Fed. Lembaga ini tidak bisa dikendalikan pasar.
Sebaliknya, pasar justru mereka didikte.
"Indonesia,
kalau mau beres, harusnya seperti itu. Sebagai otoritas moneter, tidak bisa
diatur oleh market. Lucunya, kebijakan kita di Indonesia malah kompromis dan
permisif dengan pasar. Di manakah sebenarnya peran dan intervensi negara?"
ujar Suharso.
Padahal,
lanjutnya, Indonesia sudah punya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan
(FLPP). Meski sangat terbatas, kalau ditambah Undang-Undang Perumahan bisa
mendorong produksi rumah rakyat lebih cepat dan banyak.
Suharso
juga membandingkan dengan perangkat perumahan rakyat yang dibentuk Pemerintah
Singapura. Negara kecil ini memiliki Housing Development Board (HDB) dan
Central Provident Fund (CPF). Keduanya bahu membahu bekerja sama merealisasikan
kebijakan perumahan nasional.
"Kementerian
Sosial harus dirangkul, Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial dilapori dan
Menteri Koordinator Perekonomian diajak berembuk. CPF semuanya konvergen. Masak
kita tidak bisa, ini kan sangat aneh. Sumber dana ada, tapi produksi rumah
masih minim," ujarnya.
Sebagai
catatan, CPF adalah rencana simpanan wajib yang komprehensif bagi para pekerja
Singapura dan penduduk tetap negara tersebut. Fungsi dana ini adalah untuk
membiayai pensiun, kesehatan, dan kebutuhan hunian.
Sejatinya,
esensi fungsi CPF sama dengan Bapertarum. Bayangkan bila aktiva Jamsostek,
Askes, Dana Pensiun, dan Bapertarum disatukan, hasilnya bakal luar biasa. Dari
Pegawai Negeri Sipil sendiri bisa menghasilkan Rp 1 triliun hingga Rp 3
triliun. Jamsostek, bisa puluhan triliun. Bila dikapitalisasi, bisa jadi Rp 300
triliun dalam tiga tahun.
"Sayangnya,
kita punya kerajaan sendiri-sendiri dengan otoritas masing-masing. Lagipula
sumber pembiayaan untuk membangun perumahan rakyat justru bersifat jangka
pendek dan mahal. Ini yang membuat produksi rumah tersendat," sindir
Suharso.
Hal senada
disampaikan Ketua Kajian Studi Permukiman UGM Budi Prayitno. Budi mengatakan,
koordinasi masih menjadi barang mewah. Urusan perumahan ditangani oleh 19
kementerian dan lembaga. Masing-masing tidak hanya tumpang tindih, tapi
tabrakan. (properti.kompas.com)
No comments:
Post a Comment