Friday, October 18, 2013

Mempromosikan Perlindungan Sosial Dasar di Indonesia



Di Indonesia, pekerja ekonomi informal dan pegawai tanpa kontrak umumnya tidak terlindungi oleh manfaat jaminan sosial. Diperkirakan sekitar 54 persen dari keseluruhan jumlah penduduk tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial kesehatan (sebagian besar merupakan pekerja ekonomi informal dan keluarga mereka) serta 83 persen pekerja tidak memiliki akses terhadap manfaat jaminan sosial lainnya (usia tua, kematian, kecelakaan kerja).

Perluasan cakupan asuransi sosial dan kesehatan terhadap pekerja ekonomi informal yang berada di atas garis kemiskinan masih menjadi tantangan. Namun, perluasan cakupan perlindungan sosial tidak dapat dicapai tanpa adanya komitmen dan kemauan yang kuat dari pemerintah nasional dan lokal. Di tengah ketiadaan landasan proteksi sosial yang memadai, mereka yang berhasil membebaskan diri dari kemiskinan berisiko untuk terjatuh kembali dalam kemiskinan.

Untuk membahas secara lebih lanjut upaya mempromosikan hak jaminan sosial dasar, termasuk layanan penting dalam ketenagakerjaan, kesehatan, air dan sanitasi, serta nutrisi, pendidikan dan dukungan keluarga, Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) menyelenggarakan pertemuan empat hari bertajuk “Pertemuan Para Pakar mengenai Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional” dari 12 hingga 15 Desember 2011 di Jakarta. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah mendukung penerapan Pakta Lapangan Kerja Indonesia mengenai perlindungan sosial dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40/2004 melalui berbagi informasi dan pengetahuan tentang perangkat dan inisiatif perlindungan sosial di tingkat global, regional dan nasional.

Pertemuan ini pun sejalan dengan laporan terbaru yang diterbitkan oleh ILO dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) berjudul “Social Protection Floor for Fair and Inclusive Globalization”, yang menekankan prinsip-prinsip Prakarsa Landasan Perlindungan Sosial (SPF). Laporan ini juga dikenal sebagai Laporan Bachelet mengingat laporan ini disusun di bawah kepemimpinan Michelle Bachelet, mantan Presiden Chile. Laporan ini pun dipergukan sebagai dokumen latar belakang dan advokasi untuk diskusi G20 mengenai jaminan sosial.

SPF mempromosikan keamanan pendapatan melalui sejumlah jaminan dasar bagi: (i) semua anggota masyarakat untuk memiliki akses terhadap layanan perawatan kesehatan di tingkat nasional dan provinsi; (ii) bagi semua anak untuk menikmati jaminan pendapatan melalui bantuan barang atau tunai guna memastikan akses terhadap nutrisi, pendidikan dan perawatan; (iii) bagi semua anggota masyarakat yang terbilang usia produktif namun tidak memiliki pendapatan yang mencukupi (atau tidak bisa, misalnya karena kehamilan) terhadap jaminan pendapatan minimum melalui skema bantuan tunai atau barang atau pekerjaan; dan (iv) bagi semua anggota masyarakat usia lanjut dan dengan disabilitas terhadap pensiun usia tua atau disabilitas atau transfer dalam bentuk lainnya.

Indonesia baru-baru ini membuat kemajuan besar dalam penciptaan cakupan jaminan sosial yang universal dengan mengesahkan Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang ini, sejalan dengan Undang-Undang SJSN Tahun 2004, menyatakan bahwa pekerja di perekonomian informal (63 juta pada 2009) akan dicakup di dalam sistem jaminan sosial di tahun-tahun mendatang.

ILO melakukan studi mendalam mengenai pelaksanaan SPF di Indonesia. Studi ini mengidentifikasi kebijakan khusus dan tantangan dalam pelaksanaan program perlindungan sosial. Studi pun memberikan sejumlah rekomendasi yang diterjemahkan ke dalam berbagai skenario perluasan dan/atau manfaat:

    Cakupan universal secara bertahap terhadap kesehatan akan menelan biaya 1 hingga 2 persen PDB atau 3 hingga 5 persen pengeluaran pemerintah pusat (tergantung pada paket manfaat yang ditawarkan dalam skema).
    Perluasan manfaat keluarga bagi semua keluarga miskin dengan anak (menggunakan skema Program Keluarga Harapan) hingga tahun 2015 akan menelan biaya 1 persen dari PBD.
    Pemerintah memiliki program bantuan tunai bagi penyandang disabilitas berat, namun cakupannya masih rendah. Perluasan bantuan tunai bagi semua penyandang disabilitas berat hingga 2015 akan menelan biaya 0,007 persen dari GDP atau kurang setengah persen dari anggaran pemerintah pusat.
    Pensiun (bagi semua kaum lanjut usia secara bertahap hingga 2020), ditetapkan di tingkat garis kemiskinan, akan menelan biaya 0,6 persen dari GDP atau sekitar 3 persen dari pengeluaran pemerintah.

Presiden French Civic Service Agency, Martin Hirsch, yang merupakan anggota SPF Advisory Group di bawah M. Bachelet mengatakan,“Jaminan sosial bukanlah sumbangan. Penting untuk menerapkan kebijakan dan program jaminan sosial di tingkat negara dan mengaitkannya dengan program penciptaan lapangan kerja ketimbang melakukannya secara terpisah. Hal ini akan berkontribusi pada keberlanjutan program dan pengurangan kemiskinan.”

Pertemuan juga memaparkan pelajaran dari sejumlah negara Asia, termasuk Thailand, China dan Kamboja. Thailand, misalnya, berbagi pengalaman mengenai skema pensiun universal 500 bath yang ditarik dari pajak; sementara Kamboja memaparkan strategi jaminan sosialnya, khususnya di bidang pertanian dan pembangunan pedesaan.

Selanjutnya, pertemuan ini menggelar sesi-sesi mengenai analisis komparatif tentang Konvensi ILO No. 102 tentang Jaminan Sosial, jaminan pendapatan bagi anak-anak, jaminan pendapatan bagi usia bekerja termasuk kompensasi bagi pekerja yang mengalami kecelakaan dan kecacatan serta bagi populasi kerja, terutama kaum usia lanjut.

Lokakarya ini menargetkan para pembuat kebijakan dari kementerian. Lokakarya ini pun akan melibatkan perwakilan dari organisasi pekerja dan pengusaha, lembaga nasional dan internasional, badan-badan PPB yang bergerak di bidang perlindungan sosial serta media massa. (www.ilo.org)

No comments:

Post a Comment