Paliatif
berkembang sejak zaman perang di Inggris. Namun di Indonesia layanan bagi
pasien penderita penyakit yang mengancam jiwa dan keluarga, ini baru diterima
sebagian masyarkat Indonesia.
"Pemahaman
keluarga pasien, kematian itu menakutkan dan masih banyak yang menolak kondisi
paliatif pasien," ujar Susi Susilowati, suster di Yayasan Rumah Rachel
dalam acara Sehati Bersama di kantor Novartis, Selasa, 16 Juli 2013. Yayasan
Rumah Rachel merupakan pegiat layanan paliatif anak sejak 2006.
Paliatif,
menurut Badan Kesehatan Dunia, merupakan asuhan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah penyakit yang mengancam
jiwa. Bahasa kasarnya, perawatan menjelang kematian. Memang konsep kematian
masih tabu di Indonesia. Akibatnya layanan paliatif masih dipahami secara
berbeda antara keluarga, masyarakat, dan pemangku kepentingan.
Perbedaan
pemahaman itu bisa diselesaikan apabila tahu kuncinya. Susi mengatakan pengasuh
pasien utama merupakan kunci layanan paliatif agar bisa diterima oleh
keluarga. Karena itu, Susi menyarankan
adanya pendekatan terhadap pengasuh pasien utama. "Pegang kuncinya yaitu
orang yang merawat pasien secara langsung," kata perempuan yang sudah
terjun ke layanan paliatif sejak 2006 itu.
Kunci
tersebut memudahkan jalur perawatan diterima keluarga. Walaupun belum semua
keluarga di Indonesia menggunakan pengasuh pasien utama untuk penyakit semacam
itu. Namun bagi keluarga yang sudah menggunakan jasanya, pemegang keputusan
dalam keluarga bisa menerima metode paliatif bagi pasien atas masukan mereka.
Dengan begitu pasien tidak perlu lagi menjalani layanan kuratif yang
dimaksudkan sebagai upaya penyembuhan. Mereka hanya berfokus pada persiapan
menjelang kematian.
Kondisi
pasien paliatif memang beragam. Namun rata-rata, pasien merupakan penderita
kanker yang berujung kematian. Untuk pasien HIV positif, ada perubahan kondisi usia harapan hidup.
Perbaikan gizi buruk dan terapi ARV yang lebih rutin menjadikan kondisi pasien
lebih normal.
Namun ada
persoalan lain yang muncul dalam penerapan paliatif ini. Penderita kanker
stadium akhir atau penderita AIDS biasanya kesakitan di atas rata-rata oleh
penyakit yang menyerangnya. Morfin merupakan pendekatan yang biasanya dipakai
untuk mengurangi rasa nyeri. Pasien membutuhan dosis yang tepat untuk
mengirangi rasa nyeri itu. "Sayangnya di Jakarta, morfin hanya ditemukan
di satu rumah sakit, " kata Rina Wahyuni, suster paliatif lain.
Padahal
penggunaan morfin sering kali menjadi kontroversi dalam keluarga. Lagi-lagi,
keluarga menganggap morfin sebagai barang yang menakutkan.
Pengampu
layanan inipun tak lepas dari tantangan. Dekatnya hubungan layanan ini dengan
kematian membuat para pekerjanya harus terbiasa bertatapan langsung dengan
korban yang meninggal. Karena itu, Program Manajer Yayasan Rumah Rachel,
Nurhanita menganggap pentingnya memastikan anggota timnya benar-benar siap
mental menghadapinya. "Kami punya selfcare untuk membuat anggota tim tetap
terjaga kewarasannya," ujar dia. (www.tempo.co)
No comments:
Post a Comment