Oleh Tasroh
Pegiat
Banyumas Policy Watch, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
MULAI 1
Januari 2014 rakyat Indonesia menapaki lembaran baru sistem jaminan sosial
nasional dengan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ada
dua lembaga di bawah pengawasan Presiden yang hadir pada awal 2014, yakni BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Publik ramai memperdebatkan reposisi dan
reorientasi BPJS Kesehatan (kerap disebut BPJSKes).
Lembaga
yang dulu bernama PT Asuransi Kesehatan (Askes) dan berada langsung dibawah
Kementerian BUMN, kini bereposisi di bawah naungan Presiden dengan koordinasi
langsung Kemenkes. Perubahan posisi tersebut tentu berimplikasi terhadap peran,
tupoksi, dan kewenangan lembaga pada masa mendatang.
Dulu
berorientasi bisnis dan mulai 1 Januari 2014 wajib lebih berorientasi sosial,
sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Layanan Jaminan Sosial. Debat
tentang reposisi dan reorientasi PT Askes ke BPJSKes tentu disambut suka-cita
oleh rakyat Indonesia, khususnya pasien.
Mau
mengakui atau tidak, selama puluhan tahun, silih berganti rezim, khususnya
rezim reformasi yang melahirkan bayi neolib, semua derita berkait pelayanan
kesehatan dirasakan oleh seluruh rakyat, para pasien, yang benar-benar mencekik
leher, khususnya warga miskin. Sudah bukan rahasia lagi, layanan kesehatan
dibisniskan sesuai harga pasar sebagai manifestasi dari sistem jaminan sosal
kesehatan nasional yang kian profit oriented. Ketika itu, bisnis layanan
kesehatan berkembang supaya bisa mengeruk sebesar-besarnya keuntungan tanpa
pandang bulu yang akhirnya menciptakan diskriminasi layanan kesehatan.
Kegiatan
hulu hingga hilir bisnis kesehatan, baik yang diselenggarakan pemerintah (rumah
sakit, puskesmas, dan klinik) maupun swasta (nasional dan asing) punya kesamaan
orientasi: mengeruk setinggi-tingginya keuntungan ekonomi dari semua pasien:
mampu, kurang mampu, atau tidak mampu sekalipun.
Di sisi
lain, nasib pasien, baik kelas premium apalagi kelas tak mampu, kian
terabaikan. Semasa menjadi PT Askes, pasien
berduit dari dalam negeri ternyata juga tidak benar-benar dilayani secara prima
oleh penyelenggara kesehatan nasional sehingga memicu ketidakpercayaan pasien
kepada layanan kesehatan produk nasional.
Maka wajar
bila banyak pasien kita, terutama kalangan berduit, menjadi pasien layanan
kesehatan asing, baik layanan yang beroperasi di Indonesia maupun di luar
negeri. Jelasnya, meskipun secara bisnis penyelenggara kesehatan nasional
berbentuk perseroan yang berorientasi bisnis, faktanya mutu layanan kesehatan
tak paralel dengan kinerja bisnis mereka.
Nasib lebih
tragis terjadi pada layanan kesehatan bagi pasien kurang mampu hingga miskin.
Terjadidiversifikasi layanan kesehatan bagi kelompok ini hingga muncul berbagai
bentuk asuransi kesehatan tanpa kendali negara.
Apalagi belakangan asuransi kesehatan mulai dipolitisasi di daerah
sesuai dengan visi misi kepala daerah sehingga rakyat/warga memiliki jaminan
kesehatan sendiri-sendiri.
Kita bisa
menyebutnya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), atau Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMS), dan
sebutan primordial lainnya. Namun
lantaran negara tak memiliki sistem proteksi yang jelas maka layanan kesehatan
nasional pun tak memiliki standar yang berasaskan kemanusiaan, keadilan bagi
seluruh rakyat. Realitasnya, sebelum ada BPJSKes maka keadilan sosial adalah
bagi mereka yang mampu membayar lebih. Ada uang berarti ada pelayanan baik.
Konsistensi
Reorientasi
Karena itu,
kelahiran BPJS Kesehatan diharapkan bisa membangun sistem jaminan kesehatan
nasional, yang memenuhi 9 prinsip jaminan sosial kesehatan (gotong royong,
nirlaba, keterbukaan, akuntabel, portabel, kepesertaan wajib, dana amanat,
kemanusiaan, keadilan, dan demokratis) sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun
2011.
Selain itu,
sekaligus secara konsisten mau dan mampu mengimplementasikan reorientasi misi
dan target layanan kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, kaya atau
miskin. Konsistensi reorientasi dari bisnis ke sosial itu tidak hanya
disepakati secara konseptual oleh pengambil keputusan publik bidang kesehatan
an sich, tetapi yang lebih substantif pengaplikasiannya pada level akar rumput.
Terutama
manajemen rumah sakit, puskesmas, termasuk sumber daya kesehatan nasional di
mana pun dan kapan pun. Misi ini perlu segera dipraksiskan oleh segenap tenaga
di lapangan, khususnya dokter, bidan, perawat dan tenaga paramedis lain.
Argumennya adalah menetapkan pesan sosial tak semudah membalikkan telapak
tangan, khususnya pada kalangan tenaga dokter dan paramedis lainnya. Pakar
kesehatan (psikiater) Limas Sutanto mengingatkan bahwa masalah terbesar dalam
transformasi kelembagaan layanan kesehatan bukan pada level kelembagaan atau
regulatif melainkan justru pada level operator kesehatan itu sendiri, khususnya
dokter dan tenaga paramedis.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa bisnis medis para dokter akan berubah dari masa-masa
sebelumnya. Jasa medis dokter yang dalam sistem lama (PT Askes) disesuaikan
dengan ’’harga pasar’’ mulai tahun 2014 semua dokter wajib mengikuti prosedur
jasa medis yang dikeluarkan BPJSKes. Ini
tentu berimplikasi kepada mutu layanan kesehatan yang diberikan, yang suka atau
tidak, akan berdampak langsung kepada masyarakat/pasien. (www.suaramerdeka.com)
No comments:
Post a Comment