Saat kekhalifahan berada di tangan khalifah Abu
Bakar al-Sidiq, Bilal pernah bersiap-siap pergi ke negeri Syam. Beliau berkata padanya,
“Wahai Bilal, aku tidak pernah melihatmu menyeru kami dalam keadaan semacam
ini. Jika engkau tinggal bersama kami, maka engkau akan lebih bermanfaat bagi
kami.”
Bilal kemudian menjawab, “Aku ini telah
dimerdekakan Allah. Ia kemudian memanggilku, maka aku pergi karena-Nya. Jika
engkau yang membebaskanku, maka perlakukanlah aku sesuai keinginanmu.”[1]
Abu Bakar pun mengizinkan Bilal pergi ke negeri
Syam. Beliau kemudian wafat di sana. Hanya saja, para sejarawan berbeda pendapat
mengenai tempat wafatnya Bilal. Sebagian
mengatakan ia wafat di kota Damaskus, dan sebagian lain mengatakan ia wafat di
kota Halb.
Sa’id bin Abdul Aziz bercerita, “Saat
Bilal dalam keadaan sakaratul maut, ia berkata, ‘Besok aku akan bertemu
Rasulullah dan kaum Muslimin yang mencintainya.’ Istrinya menjawabnya, ‘Oh,
alangkah celakanya!’ Bilal berkata, ‘Oh, alangkah bahagianya!’”[2]
Dalam riwayat lain Bilal mengatakan, “Oh, alangkah senangnya, besok aku akan
bertemu Rasulullah dan kaum Muslimin yang mencintainya.”
Semoga Allah selalu meridhai Bilal dan
memberikannya tempat yang tinggi dan mulia di sisi-Nya. Aamiin.
[9] Abdullah bin Rawahah Menjelang Ajal
Saat tentara Islam telah bersiap pergi ke medan
perang, salah satu sahabat berkata pada mereka, “Semoga Allah selalu menemani
dan melindungi kalian.” Mendengar ini, Ibn Rawahah menyenandungkan tiga bait
syair sebagai berikut:
“Aku
lebih memilih memohon ampunan pada Allah. Juga memohon lindungan dari bencana
yang sekali terjadi langsung menghempaskan sampah-sampah.”
“Atau
tikaman dengan tangan yang sangat berhasrat. Jika ingin menyobek isi perut dan
hati.”
“Dan
jika mereka berkata sambil jalan di pemakamanku, aku akan berkata, semoga Allah
memberimu sebenar-benar petunjuk dari tempat yang dituju.”
Setelah itu, para tentara Islam itu pergi sampai
mereka tiba di negeri Syam. Sesampai di sana,
terdengar kabar bahwa kota Balqa’ telah dihujani dengan ratusan
ribu anak panah dari negeri Romawi. Tentara kaum Muslimin ini kemudian membersihkan kota
ini dan mengumpulkan anak-anak panah yang jatuh secara berserakan itu. Sehingga, mereka tinggal di kota
ini selama dua malam. Kemudian, mereka berkata, “Apakah
kita akan melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah seraya memberitahunya
perihal apa yang terjadi di sini?”
Ibn Rawahah mendengar apa yang mereka cakapkan, lantas ia berkata,
“Wahai saudaraku seiman, kita tidak memerangi musuh karena dorongan hawa nafsu.
Kita juga tidak memaksa mereka memeluk agama ini, apalagi berniat membinasakan
mereka. Sungguh, kita sekali-kali tidak memerangi mereka kecuali karena Allah
telah memuliakan kita dengan agama ini. Berangkatlah kalian ke medan perang!
Sungguh itu merupakan salah satu di antara dua kebaikan, baik kebaikan itu tampak
maupun tidak.”
Mereka berkata, “Sungguh benar apa yang dikatakan
Ibn Rawahah.” Mereka akhirnya berangkat pergi menuju medan perang.
Hakam bin Abdussalam mengatakan, “Ketika Ja’far bin
Abi Thalib sedang terluka parah, ia memanggil-manggil, ‘Wahai Ibn Rawahah..
Wahai Ibn Rawahah’.” Saat itu, Abdullah Ibn Rawahah berada di samping
pasukan dengan membawa tulang rusuk unta dan menggigitnya. Karena sebelum itu,
ia tidak merasakan makanan selama tiga hari. Ja’far kemudian melempari Ibnu
Rawahah dengan tulung rusuk unta yang telah dibuangnya sendiri dan berucap, “Kamu
ini malah enak-enakan makan. Ayo maju dan berperang!” Setelah lemparan tadi,
salah satu jarinya terluka. Ia lalu menyenandungkan syair:
“Apakah
tanganmu tidak pernah terluka saat berjuang di jalan Allah?
Wahai
jiwa, walaupun kalian tidak berperang, kalian juga akan mati
Ini
adalah darah kematian yang akan membakar semangat kalian
Walaupun
engkau tidak pernah membayangkannya, tapi engkau pasti akan merasakannya
Jika
kalian berperang, maka kalian akan mendapatkan hadiah surga
Akan
tetapi jika kalian terlambat, maka kalian akan merasa sedih.”
Kemudian ia berkata, “Wahai jiwa, kepada siapa kamu
akan berlindung? Kepada Fulanah yang ditalak tiga kali oleh suaminya? Atau
kepada Fulan dan Fulan yang merdeka itu? Atau kepada dinding pelindung milik
Allah dan Rasul-Nya?”[3]
Tak lama setelah itu, Ibn Rawahah kemudian wafat.
Tetapi sebelum ajal menjemputnya, ia sempat menyenandungkan syair yang berbunyi:
“Wahai
Malik, apakah engkau benci dengan surga?
Aku bersumpah kepada Allah, bahwa engkau mau
tidak mau akan dikeluarkan dari surga
Engkau
juga tidak akan lama merasakan kenyamanan dunia
Ingatlah,
bukankah engkau ini hanya air nutfah dalam wadah kecil
Telah banyak manusia yang berbuat gaduh sepertimu lalu berteriak
dengan keras meminta tolong”
[1]Hadits shahih, HR Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’
dan Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 440.
[2]HR Ibn Abi Dunya dalam ‘al-Muhtadhirûn’
seperti tertera dalam ‘Ittihâd al-Sâdah’,
Juz XIV, hlm. 208, Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’ dengan sanad yang terputus.
[3]HR. Abu Na’im dalam ‘Hilyat
al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 120, Ibn
al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz
I, hlm. 484-485, Ibn Abi Dunya dalam ‘Ittihâd
al-Sâdah’, Juz XIV, hlm. 209, Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz III, hlm. 237, Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-nubalâ’, Juz I, hlm.
239-240. Hadits ini shahih dari seluruh jalurnya.
No comments:
Post a Comment