Saturday, January 18, 2014

BPJS dan Jaminan Sosial Syariah



Oleh Agustianto
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)

Jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy) adalah salah satu rukun ekonomi Islam yang paling asasi (mendasar dan esensial) di antara tiga rukun ekonomi Islam lainnya. Prof Dr Ahmad Muhammad ‘Assal, Guru Besar Universitas Riyadh, Arab Saudi, dalam buku An-Nizam al-Iqtishadity al-Islami, menyebutkan, rukun paling mendasar dari ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan (al-milkiyyah), kebebasan (al-hurriyyah), dan jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).

Jaminan sosial, dengan demikian, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Karena itu, secara substansial, program pemerintah Indonesia menerapkan sistem jaminan sosial di Indonesia melalui konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah diundangkan pada 2004 dan melalui pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diundangkan pada 2011 sesungguhnya merupakan tuntutan dan imperatif dari ajaran syariah. Maka, kita patut mengapresiasi kepada negara atau ulil amri  (pengelola negara) yang telah menerapkan program kesejahteraan masyarakat melalui pembentukan BJPS ini, baik BJPS Kesehatan maupuan BJPS Ketenagakerjaan.

Namun harus dicatat, jaminan sosial dalam studi Islam terdiri dari dua macam. Pertama, jaminan sosial tradisional, yaitu tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen filantropi, seperti zakat, infak, sedekah, waqaf, dan bahkan termasuk pajak. Alquran sering menyebut doktrin jaminan sosial dalam bentuk instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang dananya digunakan untuk kepentingan  penjaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan kualitas hidup yang minimum bagi seluruh masyarakat, khususnya fakir miskin dan asnaf lainnya.

Jaminan sosial dalam pengertian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan negara. Jaminan sosial dalam bentuk ini bertujuan humanis (filantropis) serta tujuan-tujuan bermanfaat sosial lainnya menurut syariat Islam, seperti pendidikan dan kesehatan bahkan sandang dan pangan. Jaminan sosial dalam definisi ini tidak mewajibkan rakyat membayar sejumlah iuran (premi) ke lembaga negara (BPJS) karena sumber dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, wakaf, diyat, kafarat, warisan berlebih, dan lainnya.

Kedua, jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (at-takmin al-ta’awuniy). Dalam konsep jaminan sosial, baik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua, dan kematian, seluruh rakyat diwajibkan untuk membayar premi secara terjangkau.

Konsep jaminan sosial dalam bentuk at-takmin at-ta’awuniy ini merupakan implementasi dari perintah Alquran agar hamba-Nya saling menolong (ta’awun) dan saling melindungi. Cukup banyak ayat Alquran, apalagi hadits Nabi Saw yang memerintahkan agar manusia saling menolong, saling melindungi, saling menyayangi. Implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS sesungguhnya adalah penerapan at-takmin at-ta’awuniy yang sangat didukung dan didorong oleh ajaran syariah Islam. Konsep Islam mengenai jaminan sosial ini sejalan pula dengan UUD 45. Landasan konstitusional negara Indonesia ini dengan jelas menginstruksikan salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya untuk mencapainya dengan mengembangkan suatu sistem jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).

Dalam UU BPJS Nomor 40/2011 disebutkan, Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Menurut UU BPJS tersebut, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Pasal 3 UU BPJS menyebutkan, BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

Sebelum UU BPJS lahir, pemerintah sudah mengeluarkan UU mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni UU Nomor 40/2004. UU tentang JKN ini adalah seruan imperatif dari UUD 1945. Untuk merealisasikan sistem jaminan sosial itu pemerintah menerbitkan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Namun, kalau dilihat jarak tahun antara kedua UU tersebut, implementasi UU JKN ini memakan waktu yang sangat panjang karena baru pada 2011 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 24/2011 tentang BPJS. Berarti selang waktunya tujuh tahun. Melalui UU Nomor 40/2004 tentang JKN, negara ini sesungguhnya telah memiliki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya. Walaupun implementasinya terlambat dan lama baru bisa dirasakan masyakakat.

Berdasarkan UU BPJS itu, maka dibentuklah dua BPJS. Pertama, BPJS Kesehatan, transformasi dari PT Askes—yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Kedua, BPJS Ketenagakerjaan—transformasi dari PT Jamsostek—yang menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ini telah resmi terbentuk dan mulai beroperasi 1 Januari 2014 setelah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Desember 2013. Dengan terbentuknya kedua BPJS itu, jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap ke seluruh lapisan masyarakat.

Pelayanan kesehatan menduduki posisi yang sangat penting dalam syariah. Pelayanan kesehatan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu memelihara diri (jiwa) yang disebut oleh ulama dengan istilah hifz al-nafs. Risiko-risiko ketenagakerjaan yang mungkin dialami oleh para karyawan juga harus dilindungi, termasuk jaminan hari tua dan kematian para karyawan. Semuanya merupakan perintah syariah.

Oleh karena itu, masyarakat ekonomi syariah sangat mendukung kehadiran BPJS. Dengan kehadiran BPJS, persoalan layanan kesehatan yang masih menjadi beban berat bagi sebagian besar warga diharapkan bisa teratasi sedikit demi sedikit. Secara total, badan tersebut akan mengelola jaminan bagi sekitar 176,84 juta penduduk. Dari jumlah itu, negara menjamin 86,4 juta warga miskin Indonesia dengan subsidi dari APBN. Warga negara yang mampu akan membayar iuran kepesertaan.

Bagi warga miskin yang berjumlah 86,4 juta, pemerintah menyediakan anggaran subsidi. Khusus untuk subsidi premi warga miskin, pemerintah melalui APBN 2014 akan mengalokasikan anggaran Rp 19,93 triliun. Jumlah itu merupakan sebagian dari total Rp 26 triliun yang dianggarkan pemerintah untuk seluruh jaminan sosial nasional.

Selain jaminan kesehatan, pemerintah juga akan memberikan perhatian yang serius pada jaminan ketenagakerjaan dan menjanjikan agar asas manfaat bagi pengusaha dan pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan harus melebihi manfaat yang diterima pada saat menjadi peserta Jamsostek. Itu berarti manfaat tambahan yang diterima peserta juga tidak boleh berkurang, bahkan sebaliknya harus memberikan yang lebih baik dibandingkan saat dana pengusaha dan pekerja masih dikelola PT Jamsostek.

Selama ini, pengelolaan PT Jamsostek memberikan manfaat bagi peserta tidak hanya yang wajib berupa jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, tetapi juga manfaat tambahan lainnya seperti beasiswa untuk anak pekerja, pinjaman uang muka perumahan, pembangunan rumah susun sewa, dan pinjaman lunak bagi koperasi.

Kebijakan negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia ini merupakan tonggak baru di Indonesia, di mana negara semakin menunjukkan perannya dalam pembangunan kesejahteraan rakyat, seperti dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Secara konsepsional, keberadaan BPJS benar-benar mulia dan syar’iy, sebagaimana tecermin pada Pasal 4 UU BPJS Nomor 24/2011.

Semua prinsip di atas merupakan prinsip syariah yang wajib dijunjung tinggi. Kegotongroyongan (at-ta’wun), nirlaba (tabarru’), keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, dana amanat, dan pernyataan hasil pengelolaan dana jaminan sosial digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Oleh karena kandungan kemaslahatan dan maqashid syariah yang demikian nyata, maka semua warga negara Indonesia harus mengikuti program ini demi terciptanya tolong-menolong (at-ta’awun) nasional. n ed: nur hasan murtiaji

BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip:

a. kegotongroyongan
b. nirlaba
c. keterbukaan
d. kehati-hatian
e. akuntabilitas
f. portabilitas
g. kepesertaan bersifat wajib
h. dana amanat, dan
i. hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
(www.republika.co.id)

No comments:

Post a Comment