Oleh Agustianto
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia (IAEI)
Jaminan
sosial (at-takaful al-ijtima’iy) adalah salah satu rukun ekonomi Islam yang
paling asasi (mendasar dan esensial) di antara tiga rukun ekonomi Islam
lainnya. Prof Dr Ahmad Muhammad ‘Assal, Guru Besar Universitas Riyadh, Arab
Saudi, dalam buku An-Nizam al-Iqtishadity al-Islami, menyebutkan, rukun paling
mendasar dari ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan (al-milkiyyah),
kebebasan (al-hurriyyah), dan jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).
Jaminan
sosial, dengan demikian, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam.
Karena itu, secara substansial, program pemerintah Indonesia menerapkan sistem
jaminan sosial di Indonesia melalui konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang sudah diundangkan pada 2004 dan melalui pembentukan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang diundangkan pada 2011 sesungguhnya merupakan
tuntutan dan imperatif dari ajaran syariah. Maka, kita patut mengapresiasi
kepada negara atau ulil amri (pengelola
negara) yang telah menerapkan program kesejahteraan masyarakat melalui
pembentukan BJPS ini, baik BJPS Kesehatan maupuan BJPS Ketenagakerjaan.
Namun harus
dicatat, jaminan sosial dalam studi Islam terdiri dari dua macam. Pertama,
jaminan sosial tradisional, yaitu tanggung jawab negara untuk menjamin
kebutuhan dasar rakyatnya melalui instrumen-instrumen filantropi, seperti
zakat, infak, sedekah, waqaf, dan bahkan termasuk pajak. Alquran sering
menyebut doktrin jaminan sosial dalam bentuk instrumen zakat, infak, sedekah,
dan wakaf yang dananya digunakan untuk kepentingan penjaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan
kualitas hidup yang minimum bagi seluruh masyarakat, khususnya fakir miskin dan
asnaf lainnya.
Jaminan
sosial dalam pengertian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang memerlukan bantuan negara. Jaminan sosial dalam bentuk ini bertujuan
humanis (filantropis) serta tujuan-tujuan bermanfaat sosial lainnya menurut
syariat Islam, seperti pendidikan dan kesehatan bahkan sandang dan pangan.
Jaminan sosial dalam definisi ini tidak mewajibkan rakyat membayar sejumlah
iuran (premi) ke lembaga negara (BPJS) karena sumber dananya berasal dari
zakat, infak, sedekah, wakaf, diyat, kafarat, warisan berlebih, dan lainnya.
Kedua,
jaminan sosial yang berbentuk asuransi sosial (at-takmin al-ta’awuniy). Dalam
konsep jaminan sosial, baik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua, dan
kematian, seluruh rakyat diwajibkan untuk membayar premi secara terjangkau.
Konsep
jaminan sosial dalam bentuk at-takmin at-ta’awuniy ini merupakan implementasi
dari perintah Alquran agar hamba-Nya saling menolong (ta’awun) dan saling
melindungi. Cukup banyak ayat Alquran, apalagi hadits Nabi Saw yang
memerintahkan agar manusia saling menolong, saling melindungi, saling
menyayangi. Implementasi dari doktrin syariah tersebut diwujudkan dalam bentuk
asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS
sesungguhnya adalah penerapan at-takmin at-ta’awuniy yang sangat didukung dan
didorong oleh ajaran syariah Islam. Konsep Islam mengenai jaminan sosial ini
sejalan pula dengan UUD 45. Landasan konstitusional negara Indonesia ini dengan
jelas menginstruksikan salah satu tugas negara adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya untuk mencapainya dengan mengembangkan
suatu sistem jaminan sosial (at-takaful al-ijtima’iy).
Dalam UU
BPJS Nomor 40/2011 disebutkan, Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program
negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat. Menurut UU BPJS tersebut, jaminan sosial adalah
salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Pasal 3 UU BPJS menyebutkan, BPJS
bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan, terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya.
Sebelum UU
BPJS lahir, pemerintah sudah mengeluarkan UU mengenai Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), yakni UU Nomor 40/2004. UU tentang JKN ini adalah seruan
imperatif dari UUD 1945. Untuk merealisasikan sistem jaminan sosial itu
pemerintah menerbitkan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).
Namun,
kalau dilihat jarak tahun antara kedua UU tersebut, implementasi UU JKN ini memakan
waktu yang sangat panjang karena baru pada 2011 pemerintah mengeluarkan UU
Nomor 24/2011 tentang BPJS. Berarti selang waktunya tujuh tahun. Melalui UU
Nomor 40/2004 tentang JKN, negara ini sesungguhnya telah memiliki sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya. Walaupun implementasinya terlambat dan
lama baru bisa dirasakan masyakakat.
Berdasarkan
UU BPJS itu, maka dibentuklah dua BPJS. Pertama, BPJS Kesehatan, transformasi
dari PT Askes—yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Kedua, BPJS
Ketenagakerjaan—transformasi dari PT Jamsostek—yang menyelenggarakan program
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian.
BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ini telah resmi terbentuk dan mulai
beroperasi 1 Januari 2014 setelah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada 31 Desember 2013. Dengan terbentuknya kedua BPJS itu, jangkauan
kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap ke seluruh
lapisan masyarakat.
Pelayanan
kesehatan menduduki posisi yang sangat penting dalam syariah. Pelayanan
kesehatan adalah bagian dari maqashid syariah, yaitu memelihara diri (jiwa)
yang disebut oleh ulama dengan istilah hifz al-nafs. Risiko-risiko
ketenagakerjaan yang mungkin dialami oleh para karyawan juga harus dilindungi,
termasuk jaminan hari tua dan kematian para karyawan. Semuanya merupakan
perintah syariah.
Oleh karena
itu, masyarakat ekonomi syariah sangat mendukung kehadiran BPJS. Dengan
kehadiran BPJS, persoalan layanan kesehatan yang masih menjadi beban berat bagi
sebagian besar warga diharapkan bisa teratasi sedikit demi sedikit. Secara
total, badan tersebut akan mengelola jaminan bagi sekitar 176,84 juta penduduk.
Dari jumlah itu, negara menjamin 86,4 juta warga miskin Indonesia dengan
subsidi dari APBN. Warga negara yang mampu akan membayar iuran kepesertaan.
Bagi warga
miskin yang berjumlah 86,4 juta, pemerintah menyediakan anggaran subsidi.
Khusus untuk subsidi premi warga miskin, pemerintah melalui APBN 2014 akan
mengalokasikan anggaran Rp 19,93 triliun. Jumlah itu merupakan sebagian dari
total Rp 26 triliun yang dianggarkan pemerintah untuk seluruh jaminan sosial
nasional.
Selain
jaminan kesehatan, pemerintah juga akan memberikan perhatian yang serius pada
jaminan ketenagakerjaan dan menjanjikan agar asas manfaat bagi pengusaha dan
pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan harus melebihi manfaat yang diterima pada
saat menjadi peserta Jamsostek. Itu berarti manfaat tambahan yang diterima
peserta juga tidak boleh berkurang, bahkan sebaliknya harus memberikan yang
lebih baik dibandingkan saat dana pengusaha dan pekerja masih dikelola PT Jamsostek.
Selama ini,
pengelolaan PT Jamsostek memberikan manfaat bagi peserta tidak hanya yang wajib
berupa jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, dan jaminan kematian, tetapi juga manfaat tambahan lainnya seperti beasiswa
untuk anak pekerja, pinjaman uang muka perumahan, pembangunan rumah susun sewa,
dan pinjaman lunak bagi koperasi.
Kebijakan
negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia ini merupakan tonggak baru di
Indonesia, di mana negara semakin menunjukkan perannya dalam pembangunan
kesejahteraan rakyat, seperti dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.
Secara konsepsional, keberadaan BPJS benar-benar mulia dan syar’iy, sebagaimana
tecermin pada Pasal 4 UU BPJS Nomor 24/2011.
Semua
prinsip di atas merupakan prinsip syariah yang wajib dijunjung tinggi.
Kegotongroyongan (at-ta’wun), nirlaba (tabarru’), keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, dana amanat, dan pernyataan hasil pengelolaan dana
jaminan sosial digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk
sebesar-besar kepentingan peserta. Oleh karena kandungan kemaslahatan dan
maqashid syariah yang demikian nyata, maka semua warga negara Indonesia harus
mengikuti program ini demi terciptanya tolong-menolong (at-ta’awun) nasional. n
ed: nur hasan murtiaji
BPJS
menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip:
a.
kegotongroyongan
b. nirlaba
c.
keterbukaan
d.
kehati-hatian
e.
akuntabilitas
f.
portabilitas
g.
kepesertaan bersifat wajib
h. dana
amanat, dan
i. hasil
pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
(www.republika.co.id)
No comments:
Post a Comment