Sunday, January 19, 2014

Perempuan Mulia Pertama yang Dinikahi Nabi Setelah Khadijah r.a.




Perempuan pertama yang dinikahi Nabi Saw setelah Khadijah wafat adalah Saudah binti Zam'ah bin Qays. Perempuan ini tidak dimadu hingga sekitar tiga tahun, sebelum kemudian Nabi menikahi Aisyah.[1]
Ada sebuah hadits yang diceritakan langsung oleh Aisyah, ketika Khadijah wafat, Khaulah binti Hakim datang menemui Nabi Saw dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak menikah lagi?"
Nabi balik bertanya, "Dengan siapa?"
Khaulah menjawab, "Silakan pilih, mau yang gadis atau janda?"
Kembali Nabi bertanya, "Siapa yang gadis dan siapa yang janda?"
Khaulah menjelaskan, "Yang gadis adalah Aisyah, putri sahabat yang paling engkau cintai, Abu Bakar. Adapun yang janda adalah Saudah binti Zam'ah, dia telah beriman dan mengikuti ajaranmu."[2]                        
Nabi Saw kemudian memutuskan untuk melamar keduanya. Aisyah ketika itu masih berumur enam tahun. Sebab itu Nabi terlebih dulu menikah dengan Saudah binti Zam'ah hingga Aisyah mencapai usia sembilan tahun dan dinikahi secara resmi.[3] Ini terjadi persis tiga tahun setelah pernikahan Nabi dengan Khaulah binti Zam'ah.
Adapun hikmah dari pernikahan Nabi Saw dengan Saudah –padahal ketika itu Saudah jauh lebih tua daripada Nabi– adalah bahwa perempuan mulia ini termasuk di antara perempuan yang beriman dan ikut hijrah ke Madinah. Suami pertamanya meninggal setelah pulang dari Ethiopia (Habsyah) bersama rombongan yang hijrah ke sana untuk kedua kalinya. Karenanya Saudah pun menyendiri dan kesepian. Seandainya dia memaksa kembali ke keluarganya niscaya akan dipaksa kembali ke jurang kemusyrikan atau akan disiksa secara kejam agar menyesali keputusannya masuk Islam. Lalu Nabi Saw memutuskan untuk menikahinya. Itulah puncak kebaikan bagi perempuan ini. Semua berkat keteguhan iman dan keikhlasannya pada agama Allah dan Rasul-Nya.[4]    
Begitulah Saudah menghabiskan waktu tiga tahun di rumah Nabi Saw, ikut menjaga dan merawat sang suami. Nabi juga menjaganya dengan penuh tanggung jawab. Sampai kemudian Nabi menikah dengan Aisyah. Tatkala itu Saudah sudah semakin tua dan sudah semakin lemah, maka dia memberikan jatah malamnya kepada Aisyah.
Aisyah berkisah, "Saya tidak menemukan perempuan yang paling saya sayangi dan ingin saya tiru selain Saudah binti Zam'ah. Dia perempuan yang tabah dan cerdas. Ketika umurnya semakin bertambah dia menghadiahkan jatah harinya kepadaku. Saudah berkata kepada Nabi Saw, ‘Wahai Rasulullah, saya hadiahkan jatah hariku kepada Aisyah.’ Sebelumnya Nabi membagi hari antara mereka berdua."[5] 
Imam al-Tirmidzi[6] menulis cerita dari Ibnu Abbas bahwa suatu waktu Saudah merasa khawatir akan diceraikan oleh Nabi Saw. Karena itu, dia memberanikan diri mengatakan kepada Nabi, "Jangan ceraikan saya. Saya akan hadiahkan jatah hariku untuk Aisyah." Dan Nabi melaksanakannya. Bersamaan dengan peristiwa itu turunlah sebuah ayat yang berbunyi:
  
"… Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang engkau kerjakan." (QS an-Nisaa' [4]: 128).
Dalam Thabaqât Ibnu Sa'ad, Saudah mengaku, "Saya sudah tidak berhasrat lagi terhadap hubungan suami-istri. Saya hanya mengharap semoga Allah membangkitkanku di hari kiamat kelak sebagai istrimu, wahai Rasulullah."[7]


[1]Siyar A'lâm Al-Nubalâ (3/315).
[2]Ahmad (6/210-211), at-Thabari (23).
[3]Bukhari (3894-3896), Siyar A'lâm Al-Nubalâ (3/442-443).
[4]Syaikh Muhamad Ali As-Shabuni, Subhât wa Abâthil Haula Ta’adud Zaujât al-Rasûl, hal. 38.
[5]Muslim (1463).
[6]Sunan Tirmidzi (3040).
[7]Ibnu Sa'ad (8/54) Al-Ishâbah (4/338).

No comments:

Post a Comment