Tahun 2014 pemerintah meluncurkan sistem dan institusi baru dalam penanganan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu dengan lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Pro dan kontra terus bergulir. Aroma neoliberal pun
tercium dalam peluncuran sistem baru ini. Komersialisasi pelayanan
kesehatan menjadi bayang-bayang menakutkan yang membuat warga negara
meragukan janji JKN.
Betapa tidak, JKN sesungguhnya merupakan konsep yang dipaksakan World
Trade Organization (WTO) kepada negara-negara di dunia, termasuk
Indonesia. WTO memasukkan layanan kesehatan sebagai layanan yang
tercantum dalam kesepakatan perdagangan. Dua abad lebih Indonesia itu di
bawah naungan kapitalisme. Bencana kemanusiaan akibat tata kelola
sistem kesehatan liberalistik terus mengancam masyarakat.
Industrialisasi pelayanan kesehatan kian diperparah oleh perubahan
institusi komponen utama sistem kesehatan milik pemerintah menjadi
korporasi. Seperti dijadikannya rumah sakit sebagai Badan Layanan Umum
(BLU) yang berbuah pahit harga pelayanan kesehatan yang terus melangit.
Setiap tahun terjadi kenaikan biaya kesehatan lebih dari nilai inflasi.
Survei Global Medical Trends oleh Towers Watson 2011 menunjukkan
kenaikan biaya kesehatan di Indonesia mencapai 10-13%. Kondisi
memprihatinkan ini terindikasi dari tingginya pengeluaran biaya
kesehatan out of pocket/OOP (pembayaran tunai) di mana pada tahun 2011
OOP Indonesia lebih dari 50% dari pengeluaran kesehatan keseluruhan.
Sementara menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), OOP 15-20% saja sudah
berisiko mengakibatkan bencana finansial.
Ironisnya, propaganda jaminan kesehatan yang sangat kapitalistik
bernama Universal Health Coverage (Jaminan Kesehatan Semesta) kian
gencar menyerbu. Yang sesungguhnya terjadi dengan model jaminan
kesehatan kapitalistik tersebut adalah pengambilan paksa uang rakyat.
Dan, ini adalah pemalakan terhadap rakyat karena kepesertaan yang
bersifat wajib. Padahal semestinya bukan menjadi kewajiban rakyat
memikul tanggung jawab pembiayaan tersebut.
Dalam berbagai dokumen tampak jelas adanya pembatasan peran pemerintah
dalam JKN dengan diliriknya swasta sebagai institusi penyelenggara
asuransi sosial. Ada keinginan untuk mengalihkan tanggung jawab
penyelenggaraan layanan kesehatan dari pemerintah kepada swasta dengan
dalih swasta merupakan institusi yang memiliki kemampuan lebih tinggi
dalam membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.
Meski sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, tata kelola korporasi/swasta
selalu lebih efisien. Review terhadap sejumlah penelitian tidak
mendukung asumsi tersebut.
Dalam praktiknya, BPJS Kesehatan dibenarkan mengambil paksa (memalak)
sejumlah uang masyarakat (pengusaha, pekerja, maupun non pekerja) setiap
bulan selama hidup dan tidak akan dikembalikan, kecuali berupa
pelayanan kesehatan sesuai tarif BPJS Kesehatan, yaitu saat sakit. Tak
hanya itu, pemalakan tersebut kian dipertegas dengan adanya sanksi bagi
peserta wajib yang telat membayar iuran.
Akibatnya, kesengsaraan masyarakat pasti bertambah karena mereka pun
harus membayar listrik, air bersih, telepon, transportasi, pendidikan
anak, biaya tempat tinggal, pangan, pakaian yang harganya terus
melangit. Tentu saja tidak dapat dikatakan, "Itu lebih baik daripada
harus mengeluarkan biaya yang nilainya jutaan bahkan puluhan juta di
saat sakit' atau hitung-hitung menabung. Karena, sejatinya masyarakat
harus dijamin pemerintah untuk pelayanan kesehatan berkualitas dengan
biaya minim bahkan gratis.
Belum lagi persoalan iuran bila jumlah anak atau anggota keluarga lebih
dari 5 orang bagi PNS dan persoalan tidak dijaminnya pelayanan
kesehatan untuk penyakit yang terkategori wabah. Sehingga pasien demam
berdarah tidak akan mendapat pelayanan kesehatan gratis meski ia
membayar premi karena demam berdarah terkategori penyakit yang mewabah.
Potensi diskriminasi dan buruknya kualitas pelayanan juga terlihat
jelas dari pemisahan manfaat medis dan non medis. Karena dari aspek
kemanusiaan, siapa pun yang sakit sejatinya tidak saja membutuhkan
pelayanan medis terbaik tetapi juga pelayanan non medis yang memadai
seperti ruang perawatan yang nyaman, waktu tunggu yang singkat, dan
sebagainya. Seringkali perolehan manfaat medis dipengaruhi akses
terhadap manfaat nonmedis. Misal, akses layanan transportasi akan
mempengaruhi perolehan manfaat medis.
Potensi diskriminasi semakin besar dengan konsep minimalisnya iuran
yang dibayarkan pemerintah bagi kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI),
yaitu per kepala per bulan yang hanya Rp 19.225. Ikatan Dokter Indonesia
menilai iuran PBI yang sesuai dengan nilai keekonomian adalah Rp 60.000
per kepala per bulan. Itu pun kelompok PBI hanya boleh mengakses
ambulance dan akomodasi kelas III.
Tentu tak boleh berkata, "Kalau mau gratis ya kelas III atau masih
untung digratiskan pemerintah. Hal ini karena menjamin pelayanan
kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi seluruh masyarakat harusnya
menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara.
Meskipun BPJS merupakan badan hukum publik, namun aroma bisnis jaminan
sosial ini tampak terang dari prinsip korporasi yang dijadikan dasar
tata kelolanya. Dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS butir b pasal 11
dinyatakan bahwa BPJS memiliki wewenang untuk menempatkan dana jaminan
sosial untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan
dana, dan hasil yang memadai. Logika pasar bebas kental bermain di
sini.
Jika diasumsikan setiap orang harus membayar Rp 22 ribu maka akan
terkumpul dana Rp 5,28 triliun per bulan. Sesuai kewenangan yang diatur
UU, maka dana tersebut boleh diinvestasikan dalam bentuk investasi
finansial di pasar finansial, bisa berupa Surat Utang Negara (SUN),
deposito perbankan baik on call atau berjangka, obligasi korporasi, dan
surat-surat berharga lainnya. ***
Penulis adalah dosen dan peneliti di
Universitas Teuku Umar, Aceh Barat.
Universitas Teuku Umar, Aceh Barat.
No comments:
Post a Comment