Shaikh
al-Murri mengisahkan, "Aku melihat seorang jariyah
bernyanyi dengan rebana, lalu pada suatu hari dia melewati seorang yang membaca
ayat:
"Dan
Sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir." (QS
At-Taubah [9]: 49).
Lalu
dia melemparkan rebana dari tangannya, berteriak dan jatuh pingsan ke tanah.
Ketika sadar, dia menghancurkan rebananya dan mulai melakukan ibadah dengan
giat. Dia berkata, "Oh… betapa banyak aib yang akan terungkap pada hari
kiamat!" Kemudian dia berteriak dan menangis dan tidak ada seorang pun
yang ada di tempat itu yang tidak pingsan karena mendengar tangisannya atas
dosa-dosa yang telah dia lakukan, kemudian dia bersenandung:
Demi
Dzat yang telah menetapkan kejauhan antara kita
Dan
yang mengadzabku dengan rasa rindu yang teramat sangat
Dia
mengkhususkan kalian dengan sabar, tidak kepadaku
Dia
mengkhususkan dengan kesedihan yang dimulai dan kembali kepada kalian
Dia
membuatku sabar meskipun aku mencium wangi kalian
Kesenangan
hatiku lebih lama
Hati
tidak mencair dari air mataku pada kalian
Yang
telah beku pada musibah-musibah
Oh..
apakah yang akan kutemui
Aku
lebih menderita dengan perpisahan
Seandainya
hubungan itu atau sebagiannya kembali
Aku
akan mengunjunginya dengan bahagia
Takdir
telah menjauhkan pemuda
Dari
yang dekat dan mendekatnya ketika dia jauh
Wanita Gurun Pasir
Sejarah
telah mencatat kejadian-kejadian besar yang memancarkan cahaya Ilahi, yaitu
cahaya Islam, di tangan Rasul yang terpercaya, Muhamad bin Abdullah. Setelah
itu, sejarah mencatat pula bahwa Islam mulai merambah jazirah
Arab, bersinggungan dengan keadaan orang-orang badui antara satu lembah dan
lembah lainnya. Saat menempuh perjalanan antara Madinah al-Munawwarah dan
Makkah al-Mukarramah, sejarah juga melihat satu kemah yang berdiri di pinggir bukit.
Lalu sejarah mengubah jalan dan condong ke kemah itu
untuk mengungkap keadaannya. Lantas dia berada di depan kemah.
Berhari-hari bahkan tahunan, dia merasakan pahit dan manisnya kehidupan.
Sejarah berkata, "Kemah ini milik seorang Arab Badui yang bernama Abu Amir
yang dia dirikan di samping jalan. Di sana dia tinggal bersama istrinya, Ummu
Habib."
Kemudian sejarah meriwayatkan tentang suami dan istri itu,
bahwa keduanya hidup susah. Mereka menggembala beberapa ekor kambing milik
mereka di padang yang tidak jauh dari kemah. Mereka menggiring kambing-kambing
itu saat pagi sudah terang dan kembali saat malam tiba. Mereka menghabiskan
siangnya bersama kambing-kambing itu dengan ridha dan qana'ah atas apa yang telah ditakdirkan untuk mereka. Mereka tidak memiliki
pintu rezeki selain kambing-kambing itu. Kecuali kalau ada kafilah yang datang
dan pergi, dari Madinah ke Makkah atau dari Makkah ke Madinah, mereka menjual
anak kambing, susu, atau bulu. Jika tanah di
sekelilingnya gersang, mereka akan pindah ke tempat lain buat menggembala kambing-kambing itu.
Demikianlah kehidupan mereka. Mereka amat ingin dekat dengan jalan agar mereka
bisa berhubungan dengan kafilah-kafilah, menemani mereka dan menjual apa yang
mereka miliki serta mendapat barang baru dari kafilah tersebut.
Sejarah
mencatat bahwa mereka berdua tinggal di tempat itu beberapa tahun. Mereka telah melewati masa muda, lalu masa dewasa sampai masa tua. Masa
tua berjalan lambat untuk keduanya. Mereka tetap kuat dan giat. Mereka terus
bergerak, bekerja dan berusaha mencari rezeki dari sumbernya. Hari-hari terus
mereka lalui, kadang sempit, kadang sulit, tetapi mereka dikejutkan dengan apa
yang menimpa kambing-kambing mereka. Tidak ada yang selamat kecuali seekor
kambing kecil yang kurus. Mereka memeras susunya jika diperlukan untuk makan.
Pada
malam yang indah, udara yang bagus, bulan bersinar dan cahayanya yang bersinar memenuhi
bumi. Abu Amir merebahkan badannya di pasir dan di sampingnya istrinya Ummu
Habib duduk setelah dia memeras susu kambing. Dia meletakkan susu itu dalam gelas
besar. Mereka berdua berbicara tentang beragam pembicaraan yang penuh warna kecuali
kesulitan dan kesusahan hidup, mereka tidak pernah memikirkannya. Seakan-akan
mereka tidak ingin membuat susah pada saat suami berduaan dengan istrinya,
mereka terus begitu sampai tertidur.
Abu
Amir terbangun dari tidurnya ketika pagi telah terang seakan-akan dia menyimpan
sesuatu dalam dirinya yang tidak dia buka pada istrinya. Saat istrinya bangun,
dia tidak mendapati suaminya, karena suaminya pergi pagi-pagi tanpa
membangunkannya. Mungkin dia kasihan pada istrinya, tidak mau mengganggu
tidurnya, dengan harapan dia akan kembali segera sambil membawa rezeki yang
baru.
Ummu
Habib terbangun dari tidurnya dan dia segera
melakukan pekerjaan pagi yang biasa dia kerjakan. Lalu dia memeras kambingnya dan menunggu kedatangan suaminya.
Kemudian dia menyendiri dan berpikir mudah-mudahan Abu Amir kembali dari
perjalanannya yang mendadak itu. Waktu dhuha telah tiba dan siang hampir di
pertengahan, Abu Amir belum kembali juga. Dia mulai menengok ke segala arah mencari suaminya, tetap tanpa hasil.
Saat dia demikian, dia melihat debu tebal yang datang dari arah Madinah
al-Munawwarah yang menyerupai debu kafilah yang pulang pergi, namun ini bukan waktunya sampai debu itu menyingkap
kafilah haji yang ingin ke Makkah al-Mukarramah. Dia yakin bahwa suaminya tahu
kedatangan kafilah itu sehingga dia pagi-pagi dia sudah meninggalkan tempatnya
untuk menemui kafilah itu di jalan dan mencari rezeki dari mereka.
Kafilah itu berlalu dan Abu Amir belum juga kembali. Lantas muncul bisikan-bisikan. Dalam hatinya dia
ragu dengan keadaan suaminya, lalu semua sangkaan itu hilang dan dia berdiri
tegak tidak merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Kemudian dia
menyandarkan kepalanya untuk beristirahat sesaat di waktu siang, dia berpikir
dan menakar. Ketika dia dalam keadaan itu, waktu itu dzuhur, tiba-tiba tiga
orang datang. Dia tidak tahu dari mana mereka datang lantaran dia tenggelam dalam pikiran yang dalam. Mereka datang mencari
berita kafilah yang lewat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai kembali,
kemudian dia memperhatikan pada mereka seakan-akan dia mencari
suaminya, lalu dengan suara yang lirih dia berkata, "Kalian bertanya
kepadaku tentang kafilah? Aku melihatnya menempuh jalan ini ke arah itu saat
dhuha. Apa urusan kalian dengan kafilah itu?" Mereka menjawab, "Itu
kafilah kami. Kami bagian darinya dan dia yang kami cari. Kafilah itu
kehilangan kami saat kami sibuk dengan kesulitan mendadak yang dialami oleh
musafir yang tidak terduga dan barang kami ada dalam kafilah itu."
Ummu
Habib mengucap, "Aku lihat kesulitan jauh dari kalian, aku tidak bisa
memperkirakan kalian akan menemuinya kecuali saat mereka bermalam di tempat anu.
Jika kalian cepat, maka kalian akan menemukannya."
Sesaat
mereka diam seakan-akan mereka kebingungan dan ragu-ragu. Mereka saling
berbisik, lalu seorang di antara mereka melihat ke Ummu Habib
dan bertanya, "Ibu, apakah kau punya susu untuk kami minum? Kami kehausan."
Ummu Habib menjawab, "Di
belakang kalian ada kambing, perahlah dan minum susunya." Lalu mereka
memerah dan meminum susunya. Kemudian yang lain bertanya, "Apakah kau
punya makanan? Kami kelaparan" Ummu Habib menjawab, "Tidak ada.
Kecuali kambing itu, sembelihlah kambing itu. Aku akan menyiapkan makan untuk
kalian." Lalu salah seorang di antara
mereka menyembelihnya dan mengulitinya. Selanjutnya wanita itu
menyiapkan makanan untuk mereka. Mereka tinggal sampai penat mereka hilang.
Ketika
mereka akan berangkat, mereka bertutur kepada Ummu Habib, "Kami orang
dari Quraisy ingin berhaji. Kalau kami pulang dalam keadaan selamat, tandai
kami, kami akan berbuat baik padamu, Insyaallah." Kemudian mereka pergi.
Mereka membicarakan kemurahan, kedermawanan, dan perbuatan mulia Ummu Habib.
Tidak
lama berselang, Abu Amir pulang. Hilang kegelisahan Ummu Habib dengan
kedatangannya, dia senang berkat kepulangannya.
Saat dia menanyakan kambingnya, Ummu Habib berkata, "Aku harus berbuat
apa? Beberapa orang dari Quraisy datang ke mari, mereka kehausan, mereka kelaparan. Lalu aku beri mereka susu
kambing dan aku beri mereka makan dagingnya. Aku hanya sanggup melakukan itu."
Abu Amir marah dan berkata, "Celaka kau, aku belum pernah melihat seperti
hari ini seorang yang teramat dungu, kau menyembelih kambingku sedangkan dia
pegangan hidup kita setelah Allah, untuk kaum yang tidak kita kenal. Kau bilang
orang dari Quraisy, siapa yang tahu? Mungkin mereka hanya orang Arab yang tidak
jelas. Mereka menipumu sehingga mereka mendapat keuntungan yang tidak mereka
dapatkan kecuali dari orang yang bodoh. Kemudian mereka pergi dengan aman dan
tenang, tidak kesulitan seperti kita."
Ummu
Habib menyela, "Mereka benar-benar dari pemimpin Quraisy, tidak diragukan
lagi. Aku melihat tanda kepemimpinan dan bekas kenikmatan dalam diri mereka.
Kalau kau melihat mereka kehausan dan kelaparan, kau pasti tidak ragu-ragu
untuk berbuat seperti yang aku perbuat." Abu Amir ingin menjawab ucapan
itu, tetapi Ummu Habib tidak memberi kesempatan. Dia berkata, "Biarlah
yang telah lewat, sambut sisa harimu dengan optimis. Ceritakan kepadaku apa
yang telah kau lakukan, semoga Allah membalasnya."
Kata Abu Amir, "Baiklah, jika itu bukan urusanku." Kemudian
dia melemparkan sisa makanan yang didapatnya. Lalu keduanya makan dan menyimpan
sisanya untuk saat yang dibutuhkan. Saat pagi terang, Abu Amir mengucap, "Setelah hari ini, kita tidak tinggal di sini lagi, Ummu
Habib. Kita harus pergi. Kita berjalan di muka bumi untuk mencari kehidupan dan
rezeki." Lantas
keduanya pergi dan mulai berjalan tak tentu arah, kadang ke Timur, kadang ke
Barat, kadang ke Utara, kadang ke Selatan. Mereka terus berjalan sampai berbulan-bulan.
Mereka menemukan kesulitan dan kesusahan hidup. Kemudian setelah putus asa,
mereka bertolak ke Madinah al-Munawwarah. Setelah kebutuhan menuntut mereka dan
dunia sempit untuk mereka, mereka mencari unta. Mereka menjualnya dan hidup
dengan uang hasil penjualan itu. Kita tinggalkan mereka di Madinah dan kita
akan kembali kepada mereka setelah ini.
Adapun
orang-orang dari Quraisy, saat mereka kembali dari hajinya, mereka mencari Ummu
Habib di tempatnya, tetapi mereka tidak menemukannya. Bagaimana mereka bisa
begitu? Kenapa mereka tidak berusaha saat mereka menandai tempat Ummu Habib
saat mereka pulang dari Makkah untuk mereka berhenti sebentar atau lama. Kuat
dugaan, mereka yakin bahwa Ummu Habib tinggal di sana dan tidak akan
pindah. Lalu saat mereka selamat waktu pulang, mereka membalas kebaikannya yang
belum pernah ditulis oleh sejarah yang seumpama dengan itu. Mereka memberinya
apa yang mereka bawa karena mereka membawa banyak kebaikan untuknya yang akan
membuat dia dan suaminya kaya. Tetapi segala sesuatu akan indah pada waktunya.
Kafilah
melanjutkan perjalanannya dan orang-orang dari Quraisy juga melanjutkan
perjalanan bersama kafilah itu. Dalam perjalanan, mereka mencari berita tentang
Ummu Habib siang dan malam, tapi tanpa hasil. Mereka
telah tiba di tempat tinggalnya di Madinah al-Munawwarah. Dalam jiwa mereka ada
rasa sakit, dalam hati mereka ada rindu dan keinginan yang kuat berbuat baik
pada wanita Arab yang mulia itu. Barangkali
terlintas dalam pikiran mereka, apakah dia telah wafat? Jika demikian, semoga Allah
merahmatinya dan membaguskan balasannya dengan balasan yang setimpal. Bila tidak begitu, ya Allah pertemukan
aku dengannya agar aku bisa membalas kebaikannya." Allah menjawab doa mereka. Bagaimana tidak? Dia
berfirman:
"Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (QS Al-Mu’min [40]: 60).
Bagaimana tidak, yang berdoa adalah orang yang
paling ridha dan paling dekat dengan-Nya. Seorang di antara mereka adalah al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a. Dia
berdiri di depan pintu rumahnya di Madinah. Tiba-tiba dia melihat Ummu Habib di
beberapa jalan sedang mencari unta. Awalnya Ummu Habib mengingkari, dia
menyembunyikan dirinya lantaran malu. Dia amat
susah dan lelah. Lalu al-Hasan berkata, "Ibu, apakah kau mengenal
aku?" Wanita itu menjawab, "Tidak. Aku kira aku belum pernah
melihatmu." Lantas al-Hasan memperkenalkan dirinya,
"Aku tamumu pada hari itu. Kau ingat itu?" Ummu Habib berkata,
"Aku ingat dan tidak akan lupa. Demi ayah dan ibuku, wahai anak
orang-orang yang mulia, wahai cucu Rasul yang terpercaya."
Kemudian
al-Hasan bertanya, "Apa yang menimpamu sehingga kau seperti yang aku lihat
sekarang?" Ummu Habib menjawab, "Aku
seperti yang kau lihat sejak kau dan kedua temanmu meninggalkanku pada hari ini
dan itu.” Lalu al-Hasan menukas, "Jangan
menggembala lagi, Ibu." Lalu dia menyuruh pembantunya dan membawa Ummu
Habib masuk ke dalam rumahnya dan berkata kepada keluarganya, "Berbuat
baiklah padanya, karena dia telah berbuat baik pada kita." Ummu Habib dan
suaminya tinggal di tempat al-Hasan cukup lama, sampai ketika hak tamu habis,
al-Hasan membelikannya 100 kambing, ditambah uang 1.000 dinar.
Kemudian dia menyuruh budaknya untuk mengantarkan wanita itu pada
al-Husain. Lalu al-Husain memberi seperti yang diberi oleh al-Hasan. Kemudian
menyuruh budaknya mengantarkannya pada Abdullah bin Ja'far. Abdullah bertanya
kepada wanita itu, "Berapa al-Hasan dan al-Husain memberimu?" Ummu
Habib menjawab, "200 kambing dan 2.000 dinar.” Lalu Abdullah bin Ja'far bertutur, "Kalau kau memulai dariku,
aku pasti mengikuti jumlah pemberian mereka. Berilah wanita ini sebesar
pemberian mereka berdua!" Demikianlah, wanita tua itu pulang membawa 400 ekor
kambing dan 4.000 dinar, sebagai balasan atas perbuatannya, balasan atas kemuliaannya
dan segala sesuatu akan indah pada waktunya.
"Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki
yang sebaik-baiknya." (QS Sabâ [34]: 39).
No comments:
Post a Comment