Wednesday, March 19, 2014

Aibnya Kiamat



 Shaikh al-Murri mengisahkan, "Aku melihat seorang jariyah bernyanyi dengan rebana, lalu pada suatu hari dia melewati seorang yang membaca ayat:
"Dan Sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir." (QS At-Taubah [9]: 49).
Lalu dia melemparkan rebana dari tangannya, berteriak dan jatuh pingsan ke tanah. Ketika sadar, dia menghancurkan rebananya dan mulai melakukan ibadah dengan giat. Dia berkata, "Oh… betapa banyak aib yang akan terungkap pada hari kiamat!" Kemudian dia berteriak dan menangis dan tidak ada seorang pun yang ada di tempat itu yang tidak pingsan karena mendengar tangisannya atas dosa-dosa yang telah dia lakukan, kemudian dia bersenandung:
Demi Dzat yang telah menetapkan kejauhan antara kita
Dan yang mengadzabku dengan rasa rindu yang teramat sangat
Dia mengkhususkan kalian dengan sabar, tidak kepadaku
Dia mengkhususkan dengan kesedihan yang dimulai dan kembali kepada kalian
Dia membuatku sabar meskipun aku mencium wangi kalian
Kesenangan hatiku lebih lama
Hati tidak mencair dari air mataku pada kalian
Yang telah beku pada musibah-musibah
Oh.. apakah yang akan kutemui
Aku lebih menderita dengan perpisahan
Seandainya hubungan itu atau sebagiannya kembali
Aku akan mengunjunginya dengan bahagia
Takdir telah menjauhkan pemuda
Dari yang dekat dan mendekatnya ketika dia jauh

Wanita Gurun Pasir
Sejarah telah mencatat kejadian-kejadian besar yang memancarkan cahaya Ilahi, yaitu cahaya Islam, di tangan Rasul yang terpercaya, Muhamad bin Abdullah. Setelah itu, sejarah mencatat pula bahwa Islam mulai merambah jazirah Arab, bersinggungan dengan keadaan orang-orang badui antara satu lembah dan lembah lainnya. Saat menempuh perjalanan antara Madinah al-Munawwarah dan Makkah al-Mukarramah, sejarah juga melihat satu kemah yang berdiri di pinggir bukit. Lalu sejarah mengubah jalan dan condong ke kemah itu untuk mengungkap keadaannya. Lantas dia berada di depan kemah. Berhari-hari bahkan tahunan, dia merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Sejarah berkata, "Kemah ini milik seorang Arab Badui yang bernama Abu Amir yang dia dirikan di samping jalan. Di sana dia tinggal bersama istrinya, Ummu Habib."
Kemudian sejarah meriwayatkan tentang suami dan istri itu, bahwa keduanya hidup susah. Mereka menggembala beberapa ekor kambing milik mereka di padang yang tidak jauh dari kemah. Mereka menggiring kambing-kambing itu saat pagi sudah terang dan kembali saat malam tiba. Mereka menghabiskan siangnya bersama kambing-kambing itu dengan ridha dan qana'ah atas apa yang telah ditakdirkan untuk mereka. Mereka tidak memiliki pintu rezeki selain kambing-kambing itu. Kecuali kalau ada kafilah yang datang dan pergi, dari Madinah ke Makkah atau dari Makkah ke Madinah, mereka menjual anak kambing, susu, atau bulu. Jika tanah di sekelilingnya gersang, mereka akan pindah ke tempat lain buat menggembala kambing-kambing itu. Demikianlah kehidupan mereka. Mereka amat ingin dekat dengan jalan agar mereka bisa berhubungan dengan kafilah-kafilah, menemani mereka dan menjual apa yang mereka miliki serta mendapat barang baru dari kafilah tersebut.
Sejarah mencatat bahwa mereka berdua tinggal di tempat itu beberapa tahun. Mereka telah melewati masa muda, lalu masa dewasa sampai masa tua. Masa tua berjalan lambat untuk keduanya. Mereka tetap kuat dan giat. Mereka terus bergerak, bekerja dan berusaha mencari rezeki dari sumbernya. Hari-hari terus mereka lalui, kadang sempit, kadang sulit, tetapi mereka dikejutkan dengan apa yang menimpa kambing-kambing mereka. Tidak ada yang selamat kecuali seekor kambing kecil yang kurus. Mereka memeras susunya jika diperlukan untuk makan.
Pada malam yang indah, udara yang bagus, bulan bersinar dan cahayanya yang bersinar memenuhi bumi. Abu Amir merebahkan badannya di pasir dan di sampingnya istrinya Ummu Habib duduk setelah dia memeras susu kambing. Dia meletakkan susu itu dalam gelas besar. Mereka berdua berbicara tentang beragam pembicaraan yang penuh warna kecuali kesulitan dan kesusahan hidup, mereka tidak pernah memikirkannya. Seakan-akan mereka tidak ingin membuat susah pada saat suami berduaan dengan istrinya, mereka terus begitu sampai tertidur.
Abu Amir terbangun dari tidurnya ketika pagi telah terang seakan-akan dia menyimpan sesuatu dalam dirinya yang tidak dia buka pada istrinya. Saat istrinya bangun, dia tidak mendapati suaminya, karena suaminya pergi pagi-pagi tanpa membangunkannya. Mungkin dia kasihan pada istrinya, tidak mau mengganggu tidurnya, dengan harapan dia akan kembali segera sambil membawa rezeki yang baru.
Ummu Habib terbangun dari tidurnya dan dia segera melakukan pekerjaan pagi yang biasa dia kerjakan. Lalu dia memeras kambingnya dan menunggu kedatangan suaminya. Kemudian dia menyendiri dan berpikir mudah-mudahan Abu Amir kembali dari perjalanannya yang mendadak itu. Waktu dhuha telah tiba dan siang hampir di pertengahan, Abu Amir belum kembali juga. Dia mulai menengok ke segala arah mencari suaminya, tetap tanpa hasil.
Saat dia demikian, dia melihat debu tebal yang datang dari arah Madinah al-Munawwarah yang menyerupai debu kafilah yang pulang pergi, namun ini bukan waktunya sampai debu itu menyingkap kafilah haji yang ingin ke Makkah al-Mukarramah. Dia yakin bahwa suaminya tahu kedatangan kafilah itu sehingga dia pagi-pagi dia sudah meninggalkan tempatnya untuk menemui kafilah itu di jalan dan mencari rezeki dari mereka.
Kafilah itu berlalu dan Abu Amir belum juga kembali. Lantas muncul bisikan-bisikan. Dalam hatinya dia ragu dengan keadaan suaminya, lalu semua sangkaan itu hilang dan dia berdiri tegak tidak merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Kemudian dia menyandarkan kepalanya untuk beristirahat sesaat di waktu siang, dia berpikir dan menakar. Ketika dia dalam keadaan itu, waktu itu dzuhur, tiba-tiba tiga orang datang. Dia tidak tahu dari mana mereka datang lantaran dia tenggelam dalam pikiran yang dalam. Mereka datang mencari berita kafilah yang lewat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai kembali, kemudian dia memperhatikan pada mereka seakan-akan dia mencari suaminya, lalu dengan suara yang lirih dia berkata, "Kalian bertanya kepadaku tentang kafilah? Aku melihatnya menempuh jalan ini ke arah itu saat dhuha. Apa urusan kalian dengan kafilah itu?" Mereka menjawab, "Itu kafilah kami. Kami bagian darinya dan dia yang kami cari. Kafilah itu kehilangan kami saat kami sibuk dengan kesulitan mendadak yang dialami oleh musafir yang tidak terduga dan barang kami ada dalam kafilah itu."
Ummu Habib mengucap, "Aku lihat kesulitan jauh dari kalian, aku tidak bisa memperkirakan kalian akan menemuinya kecuali saat mereka bermalam di tempat anu. Jika kalian cepat, maka kalian akan menemukannya."
Sesaat mereka diam seakan-akan mereka kebingungan dan ragu-ragu. Mereka saling berbisik, lalu seorang di antara mereka melihat ke Ummu Habib dan bertanya, "Ibu, apakah kau punya susu untuk kami minum? Kami kehausan." Ummu Habib menjawab, "Di belakang kalian ada kambing, perahlah dan minum susunya." Lalu mereka memerah dan meminum susunya. Kemudian yang lain bertanya, "Apakah kau punya makanan? Kami kelaparan" Ummu Habib menjawab, "Tidak ada. Kecuali kambing itu, sembelihlah kambing itu. Aku akan menyiapkan makan untuk kalian." Lalu salah seorang di antara mereka menyembelihnya dan mengulitinya. Selanjutnya wanita itu menyiapkan makanan untuk mereka. Mereka tinggal sampai penat mereka hilang.
Ketika mereka akan berangkat, mereka bertutur kepada Ummu Habib, "Kami orang dari Quraisy ingin berhaji. Kalau kami pulang dalam keadaan selamat, tandai kami, kami akan berbuat baik padamu, Insyaallah." Kemudian mereka pergi. Mereka membicarakan kemurahan, kedermawanan, dan perbuatan mulia Ummu Habib.
Tidak lama berselang, Abu Amir pulang. Hilang kegelisahan Ummu Habib dengan kedatangannya, dia senang berkat kepulangannya. Saat dia menanyakan kambingnya, Ummu Habib berkata, "Aku harus berbuat apa? Beberapa orang dari Quraisy datang ke mari, mereka kehausan, mereka kelaparan. Lalu aku beri mereka susu kambing dan aku beri mereka makan dagingnya. Aku hanya sanggup melakukan itu." Abu Amir marah dan berkata, "Celaka kau, aku belum pernah melihat seperti hari ini seorang yang teramat dungu, kau menyembelih kambingku sedangkan dia pegangan hidup kita setelah Allah, untuk kaum yang tidak kita kenal. Kau bilang orang dari Quraisy, siapa yang tahu? Mungkin mereka hanya orang Arab yang tidak jelas. Mereka menipumu sehingga mereka mendapat keuntungan yang tidak mereka dapatkan kecuali dari orang yang bodoh. Kemudian mereka pergi dengan aman dan tenang, tidak kesulitan seperti kita."
Ummu Habib menyela, "Mereka benar-benar dari pemimpin Quraisy, tidak diragukan lagi. Aku melihat tanda kepemimpinan dan bekas kenikmatan dalam diri mereka. Kalau kau melihat mereka kehausan dan kelaparan, kau pasti tidak ragu-ragu untuk berbuat seperti yang aku perbuat." Abu Amir ingin menjawab ucapan itu, tetapi Ummu Habib tidak memberi kesempatan. Dia berkata, "Biarlah yang telah lewat, sambut sisa harimu dengan optimis. Ceritakan kepadaku apa yang telah kau lakukan, semoga Allah  membalasnya."
Kata Abu Amir, "Baiklah, jika itu bukan urusanku." Kemudian dia melemparkan sisa makanan yang didapatnya. Lalu keduanya makan dan menyimpan sisanya untuk saat yang dibutuhkan. Saat pagi terang, Abu Amir mengucap, "Setelah hari ini, kita tidak tinggal di sini lagi, Ummu Habib. Kita harus pergi. Kita berjalan di muka bumi untuk mencari kehidupan dan rezeki." Lantas keduanya pergi dan mulai berjalan tak tentu arah, kadang ke Timur, kadang ke Barat, kadang ke Utara, kadang ke Selatan. Mereka terus berjalan sampai berbulan-bulan. Mereka menemukan kesulitan dan kesusahan hidup. Kemudian setelah putus asa, mereka bertolak ke Madinah al-Munawwarah. Setelah kebutuhan menuntut mereka dan dunia sempit untuk mereka, mereka mencari unta. Mereka menjualnya dan hidup dengan uang hasil penjualan itu. Kita tinggalkan mereka di Madinah dan kita akan kembali kepada mereka setelah ini.
Adapun orang-orang dari Quraisy, saat mereka kembali dari hajinya, mereka mencari Ummu Habib di tempatnya, tetapi mereka tidak menemukannya. Bagaimana mereka bisa begitu? Kenapa mereka tidak berusaha saat mereka menandai tempat Ummu Habib saat mereka pulang dari Makkah untuk mereka berhenti sebentar atau lama. Kuat dugaan, mereka yakin bahwa Ummu Habib tinggal di sana dan tidak akan pindah. Lalu saat mereka selamat waktu pulang, mereka membalas kebaikannya yang belum pernah ditulis oleh sejarah yang seumpama dengan itu. Mereka memberinya apa yang mereka bawa karena mereka membawa banyak kebaikan untuknya yang akan membuat dia dan suaminya kaya. Tetapi segala sesuatu akan indah pada waktunya.
Kafilah melanjutkan perjalanannya dan orang-orang dari Quraisy juga melanjutkan perjalanan bersama kafilah itu. Dalam perjalanan, mereka mencari berita tentang Ummu Habib siang dan malam, tapi tanpa hasil. Mereka telah tiba di tempat tinggalnya di Madinah al-Munawwarah. Dalam jiwa mereka ada rasa sakit, dalam hati mereka ada rindu dan keinginan yang kuat berbuat baik pada wanita Arab yang mulia itu. Barangkali terlintas dalam pikiran mereka, apakah dia telah wafat? Jika demikian, semoga Allah merahmatinya dan membaguskan balasannya dengan balasan yang setimpal. Bila tidak begitu, ya Allah pertemukan aku dengannya agar aku bisa membalas kebaikannya." Allah  menjawab doa mereka. Bagaimana tidak? Dia berfirman:
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (QS Al-Mu’min [40]: 60).
 Bagaimana tidak, yang berdoa adalah orang yang paling ridha dan paling dekat dengan-Nya. Seorang di antara mereka adalah al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a. Dia berdiri di depan pintu rumahnya di Madinah. Tiba-tiba dia melihat Ummu Habib di beberapa jalan sedang mencari unta. Awalnya Ummu Habib mengingkari, dia menyembunyikan dirinya lantaran malu. Dia amat susah dan lelah. Lalu al-Hasan berkata, "Ibu, apakah kau mengenal aku?" Wanita itu menjawab, "Tidak. Aku kira aku belum pernah melihatmu." Lantas al-Hasan memperkenalkan dirinya, "Aku tamumu pada hari itu. Kau ingat itu?" Ummu Habib berkata, "Aku ingat dan tidak akan lupa. Demi ayah dan ibuku, wahai anak orang-orang yang mulia, wahai cucu Rasul yang terpercaya."
Kemudian al-Hasan bertanya, "Apa yang menimpamu sehingga kau seperti yang aku lihat sekarang?" Ummu Habib menjawab, "Aku seperti yang kau lihat sejak kau dan kedua temanmu meninggalkanku pada hari ini dan itu. Lalu al-Hasan menukas, "Jangan menggembala lagi, Ibu." Lalu dia menyuruh pembantunya dan membawa Ummu Habib masuk ke dalam rumahnya dan berkata kepada keluarganya, "Berbuat baiklah padanya, karena dia telah berbuat baik pada kita." Ummu Habib dan suaminya tinggal di tempat al-Hasan cukup lama, sampai ketika hak tamu habis, al-Hasan membelikannya 100 kambing, ditambah uang 1.000 dinar.
Kemudian dia menyuruh budaknya untuk mengantarkan wanita itu pada al-Husain. Lalu al-Husain memberi seperti yang diberi oleh al-Hasan. Kemudian menyuruh budaknya mengantarkannya pada Abdullah bin Ja'far. Abdullah bertanya kepada wanita itu, "Berapa al-Hasan dan al-Husain memberimu?" Ummu Habib menjawab, "200 kambing dan 2.000 dinar. Lalu Abdullah bin Ja'far bertutur, "Kalau kau memulai dariku, aku pasti mengikuti jumlah pemberian mereka. Berilah wanita ini sebesar pemberian mereka berdua!" Demikianlah, wanita tua itu pulang membawa 400 ekor kambing dan 4.000 dinar, sebagai balasan atas perbuatannya, balasan atas kemuliaannya dan segala sesuatu akan indah pada waktunya.
"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah  akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (QS Sabâ [34]: 39).

No comments:

Post a Comment