Dari Husyraj bin Ziyad al-Asyja'i dari neneknya, ibu ayahnya (Ummu Ziyad al-Asyja'iyyah), bahwa pada perang Khaibar dia keluar bersama Nabi Saw dan lima orang wanita lainnya. Ketika Nabi Saw tiba, beliau menemui mereka dan bertanya, "Apa yang membuat kalian keluar dan dengan perintah siapa kalian keluar?"
Lalu Ummu Ziyad dan kawan-kawan menjawab, "Kami keluar membawa
obat-obatan untuk mengobati yang terluka, kami akan mencabut anak panah, memberi
minum, melantunkan syair dan membantu berjuang di jalan Allah."
Rasulullah
Saw berpesan,
"Berdirilah dan pulanglah." Ketika Allah SWT memberi kemenangan di Khaibar, Rasulullah Saw membagi kurma untuk
mereka seperti buat
laki-laki.[1]
Dari
al-Rabi' binti Mi'wadz, dia berkata, "Kami berperang bersama Nabi Saw.
Kami memberi minum pasukan, membantu mereka, mengobati yang terluka dan membawa
yang tewas ke Madinah."[2]
Riwayat lain dari Anas ra, dia berkata, "Rasulullah Saw pernah berperang
bersama Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar. Saat perang, mereka memberi
minum dan mengobati yang terluka."[3]
Ummu
Athiyah berkisah, "Aku berperang bersama Rasulullah
Saw dalam beberapa peperangan. Aku mengobati yang terluka, membuatkan makanan
dan mengiringi rombongan mereka."[4]
Ibnu
Ishaq menyebutkan bahwa ketika Sa'ad bin Mu'adz terluka pada perang Khandaq, Rasulullah
Saw memerintahkan, "Bawalah dia ke kemah Rafidah
di masjid sampai aku menjenguknya nanti." Rafidah al-Anshariyyah atau
al-Aslamiyyah adalah seorang wanita yang mengobati orang yang terluka dan dia
selalu membantu orang Islam yang terlantar.[5]
Dari Mahmud bin Labid, Al-Bukhari
meriwayatkan dalam "al-Adab al-Mufrad", dia bercerita, "Ketika Sa'ad bin Mu'adz
terluka pada Perang Khandaq, dikatakan kepadanya, ‘Bawalah dia ke tempat seorang wanita yang dipanggil Rafidah, dia
mengobati orang-orang yang terluka.’ Jika Rasulullah Saw melewatinya, baik sore ataupun pagi, beliau
bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Lalu Sa'ad memberitahu keadaannya.”
Abu
Umar bin Abdil Bar mengisahkan,
"Ka'biyah binti Said al-Aslamiyah ikut dalam perang Khaibar bersama Rasulullah
Saw. Lalu beliau memberinya panah. Ibnu Sa'ad berkata, ‘Dialah yang berada di masjid untuk mengobati orang sakit dan orang
yang terluka.’ Sa'ad bin Mu'adz ketika terkena
panah, dibawa ke tempatnya, lalu dia merawat lukanya sampai Sa'ad meninggal
dunia."
Dari
Umayyah binti Abi al-Shalt, seorang wanita dari Bani
Ghifar berujar, "Aku datang menemui Rasulullah Saw bersama beberapa orang
wanita dari Bani Ghifar. Kami memohon, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin ikut
bersamamu ke arah timur Khaibar. Kami akan mengobati yang terluka dan membantu
pasukan Islam semampu kami.’ Lalu Rasulullah Saw menjawab, ‘Semoga Allah memberkati kalian’.”
Wanita dari Bani Ghifar berkata, "Lalu kami berangkat bersama beliau,
saat itu aku masih sangat muda. Lalu Rasulullah Saw menempatkan aku pada tas
yang membawa keperluan pasukan. Demi Allah, Rasulullah Saw turun pada waktu
pagi dan aku turun dari tas itu. Tiba-tiba aku melihat darah dari tubuhku dan
itu adalah awal haidku. Aku menyingkir ke unta dan malu. Ketika Rasulullah Saw.
melihat keadaanku dan beliau melihat darah, beliau bertanya, ‘Kenapa engkau?
Kau haid?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu beliau berucap, ‘Bersihkan dirimu, ambillah
air, taburkan garam ke dalamnya lalu cucilah tas yang terkena darah, kemudian
kembalilah ke rombonganmu’."
Lebih lanjut wanita dari Bani Ghifar ini mengatakan, "Ketika Rasulullah
Saw memperoleh kemenangan, beliau membagikan kami harta ghanimah dan beliau memberiku
kalung yang aku pakai ini dan aku tidak akan melepaskannya." Wanita dari
Bani Ghifar ini mengaku tidak bersuci dari haid, kecuali mandi dengan air garam,
dan dia berwasiat untuk dimandikan dengan air garam ketika dia wafat."[6]
Tawanan dan Kalung
Abu al-Ash bin al-Rabi’ menikahi Zainab binti Muhamad Saw sebelum beliau
diangkat menjadi Rasul. Disebutkan saat itu dia berusia 10 tahun dan Abu al-Ash adalah anak
bibinya, Halah binti Khuwailid.
Ketika
Rasulullah Saw. diangkat menjadi rasul dan Quraisy menampakkan permusuhannya
pada beliau, mereka mendatangi Abu al-Ash dan berkata, "Ceraikan anak Muhamad,
kami akan menikahkanmu dengan wanita Quraisy yang kau inginkan." Abu al-Ash
menjawab, "Tidak, aku tidak akan menceraikan istriku dan aku tidak mau
memadunya dengan wanita dari Quraisy."
Rasulullah
Saw tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan hubungan mereka berdua –sesuai dengan
perintah Allah SWT– di Makkah sehingga Islam lah yang memisahkan antara Zainab binti Rasulullah Saw ketika dia
memeluk Islam dan Abu al-Ash. Namun Rasulullah Saw tidak kuasa memisahkan mereka,
sehingga Zainab yang telah masuk Islam tetap tinggal bersama Abu al-Ash yang
masih musyrik sampai Rasulullah Saw hijrah.
Ketika
Allah SWT memberi kemenangan pada kaum Muslimin pada perang Badar, beberapa orang Quraisy ditawan, termasuk
Abu al-Ash bin al-Rabi’ dan dia berada di Madinah bersama Rasulullah Saw
sebagai tawanan.
Saat penduduk Makkah mengirim tebusan
untuk para tawanan, Zainab binti Rasulullah Saw mengirimkan sebuah kalung yang
dulu menjadi milik Khadijah r.a. Khadijah memberikannya pada Abu al-Ash saat
mereka menikah. Zainab mengirimkan kalung itu untuk menebus suaminya yang
ditawan oleh kaum Muslimin.
Tatkala Rasulullah Saw melihat kalung itu, beliau
mengenalinya dan membuatnya sangat bersedih. Beliau berkata kepada para sahabatnya,
"Jika kalian pikir akan melepaskan tawanan itu dan mengembalikan hartanya,
maka lakukanlah."
Mereka
kemudian berkata, "Ya, wahai Rasulullah Saw." Lalu mereka
melepaskannya dan mengembalikan hartanya. Kemudian Nabi Saw membuat perjanjian
dengan Abu al-Ash bin al-Rabi’ untuk melepaskan (menceraikan) Zainab.
Rupanya Zainab tinggal bersama wanita-wanita miskin di Makkah. Rasulullah Saw
menyembunyikan hal itu dari Abu al-Ash dan mengirim
Zaid bin Haritsah dan seorang dari Anshar. Beliau berkata kepada mereka berdua,
"Kalian tinggallah di Ya'juj sampai Zainab lewat, lalu temani dan bawa dia
ke sini."
Selang
satu bulan dari perang Badar, keduanya berangkat. Ketika Abu al-Ash tiba di Makkah,
dia menyuruh Zainab menyusul ayahnya, lalu Zainab bersiap-siap. Kemudian
saudara suaminya, Kinanah bin al-Rabi’, memberinya seekor unta, lalu dia menungganginya. Dia
membawa busur dan panahnya lalu keluar sambil menunggang unta dan Zainab
bersamanya.[7]
Orang-orang
Quraisy membicarakan hal itu. Lalu mereka keluar mencari Zainab sampai
menemukannya di Dzi Thuwa. Orang pertama yang menyusulnya adalah Habbar bin
al-Aswad. Dia menakut-nakuti Zainab yang sedang hamil dan berada di atas unta
dengan panahnya. Ketika dia ketakutan, dia mengalami keguguran. Kinanah marah
lalu membentangkan busurnya lantas mengucap, "Demi Allah,
aku akan memanah orang yang mencoba mendekatiku."
Maka mereka mundur dan kembali ke Makkah.
Kemudian
Abu Sufyan bersama beberapa pembesar Quraisy datang dan berkata, "Tahan
sebentar, kami ingin bicara padamu."
Kinanah pun menahan diri. Abu Sufyan datang menghampirinya dan bertutur,
"Kau tidak benar. Kau keluar membawa wanita di depan orang-orang Quraisy secara terang-terangan. Kau tahu kekalahan kami dan apa yang telah
ditimbulkan oleh Muhamad. Orang-orang menyangka itu kehinaan yang menimpa kami.
Sungguh, kami tidak perlu menawannya. Bawalah dia kembali. Nanti kalau keadaan
sudah reda dan orang-orang mengatakan akan mengembalikannya, bawalah dia
diam-diam dan kembalikan dia ke ayahnya."
Kinanah
menuruti kata-kata Abu Sufyan dan dia kembali membawanya balik. Beberapa malam kemudian, Kinanah menyerahkan Zainab kepada Zaid dan temannya. Lalu Zaid dan temannya membawa Zainab ke Rasulullah Saw.
Sebelum Fathu Makkah, Abu al-Ash pergi berdagang ke Syam. Dia adalah
seorang yang dipercaya membawa titipan dan harta penduduk Makkah untuk
diperdagangkan. Ketika dia kembali dari berdagang, pasukan Rasulullah Saw
bertemu dengannya, lalu mengambil semua yang ada padanya dan dia sendiri lari
ketakutan. Saat pasukan itu datang dengan membawa semua
hartanya, Abu al-Ash datang di kegelapan malam sampai dia menemui Zainab binti Rasulullah
Saw. Lalu dia minta perlindungan Zainab dan Zainab pun melindunginya.
Tatkala Rasulullah Saw keluar hendak menunaikan shalat Subuh, beliau
bertakbir lalu orang-orang ikut bertakbir. Tapi Zainab tiba-tiba berteriak dari
kamar wanita, "Wahai kaum Muslimin, aku melindungi Abu al-Ash bin al-Rabi’."
Sewaktu Rasulullah Saw memberi salam, beliau menghadap ke orang-orang dan
bertanya, "Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?" Mereka
menjawab, "Ya."
Lalu
Rasulullah Saw mengatakan, "Demi Allah,
aku tidak tahu masalah itu sampai aku mendengar apa yang kalian dengar.
Sesungguhnya Dia melindungi orang Islam yang paling rendah." Kemudian Rasulullah
Saw pulang dan menemui putrinya. Beliau bernasehat,
"Anakku, muliakanlah dia dan relakan dia. Kau ini tidak halal
untuknya."
Selanjutnya Rasulullah mengirim utusan ke pasukan yang mengambil harta Abu
al-Ash dan berpesan, "Laki-laki ini dari kita
seperti yang kalian tahu, kalian telah mengambil hartanya. Kalau kalian berbaik
hati dan mengembalikan hartanya, kita menyukai itu. Kalau kalian tidak mau, itu
adalah harta ghanimah yang Allah berikan pada kalian dan kalian lebih berhak
atas harta itu."
Mereka (utusan) menjawab, "Wahai Rasulullah, kami akan mengembalikannya." Lantas mereka mengembalikan harta Abu
al-Ash tiada yang kurang. Dan Abu al-Ash membawa harta itu ke Makkah
dan membagikannya pada pemiliknya dan pada orang yang menitipkan barang
dagangan padanya. Kemudian dia bertanya, "Wahai orang Quraisy! Adakah
yang belum mengambil hartanya?" Orang-orang Quraisy menjawab,
"Tidak ada. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kau ini memang orang
yang menepati janji dan orang yang mulia."
Abu
al-Ash mengatakan, "Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhamad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, tidak
ada yang menahanku masuk Islam di depan Rasulullah Saw, kecuali aku takut kalian akan menyangka bahwa aku akan memakan
harta kalian. Dan ketika Allah SWT memberikannya pada kalian dan aku terlepas dari
harta itu, aku masuk Islam." Setelah itu, dia pergi berhijrah dan
tiba di hadapan Rasulullah Saw.
Ibnu
Abbas mengungkapkan, "Rasulullah Saw mengulangi
akad nikahnya (Abu al-Ash dengan Zainab) yang tidak dia perbarui selama enam
tahun."[8]
Kemudian
Zainab hidup sampai tahun 8 Hijriah dan meninggal pada masa Nabi Saw. Beliau
amat mencintainya dan sering memujinya. Abu al-Ash tetap mencintainya sampai
dia menyusul Zainab pada bulan Dzulhijjah tahun 12 Hijriah pada masa
kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq r.a.
Tidak
mengherankan kalau Anda mendengar suami yang penyayang ini melantunkan syair
dalam perjalanannya ke Syam:
Aku
mengingat Zainab saat aku menunggang
unta
Aku
berkata, berilah minum untuk orang yang tinggal di tanah suci
Putri
al-Amin, semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan
Setiap suami akan
memuji apa yang dia ketahui[9]
No comments:
Post a Comment