Shutterstock
Ilustrasi BPJSBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak lagi ikut serta dalam tata laksana penyediaan obat untuk peserta asuransi sosial tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksanaan asuransi sebelumnya, misal ASKES, yang menempatkan PT. ASKES sebagai penyedia dan penanggung jawab obat.
"Masalah obat saat ini diserahkan sepenuhnya pada rumah sakit.
Rumah sakit yang menentukan terpenuhinya kebutuhan obat pasien dengan
menggunakan standar formularium nasional (fornas)," ujar Direktur
Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, dalam temu media yang membahas
tata laksana pelayanan obat pada Rabu (26/2/2014) kemarin.
BPJS dalam era JKN hanya bertanggung jawab pada pemenuhan klaim
yang diajukan fasilitas kesehatan. Klaim diajukan berdasarkan
ketersediaan dalam fornas, dengan harga berdasarkan e-katalog dan Daftar
Penyediaan Harga Obat (DPHO) 2013. Fornas dan DPHO ditentukan
Kementerian Kesehatan RI. Penyedia obat melakukan tender dan menjalin
kerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI.
Pengaturan ini berbeda dengan berbagai bentuk asuransi terdahulu.
Sebelumnya PT. ASKES bertanggung jawab melakukan kerja sama dengan
produsen obat. Selanjutnya,instalasi farmasi layanan kesehatan yang
bekerja sama dengan ASKES mendapat distribusi obat. Instalasi farmasi
kemudian bisa mengambil untung dari penjualan obat.
"Dengan kondisi ini, maka kondisi internal rumah sakit menentukan
ketersediaan obat. Rumah sakit harus memiliki manajemen berkualitas
sehingga memiliki cash flow yang baik. Cash flow
inilah yang menentukan ketersediaan obat, terlebih pada masa transisi,
seperti saat ini, dengan jumlah peserta selalu meningkat," kata
Fajriadi.
Sementara untuk puskesmas penyediaan obat diatur instalasi farmasi
yang ada di kabupaten atau kota. Instalasi inilah yang kemudian
mendistribusikan obat pada tiap puskesmas, sesuai klaim yang diajukan
secara periodik. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan primer lain,
misalnya klinik atau dokter praktik berjejaring, obat akan langsung
didistribusikan pada instalasi farmasi.
"Untuk puskemas pemerintah daerah biasanya membantu ketersediaan
obat melalui APBD atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini tentu membantu
kapitasi layanan primer.Besarnya berbeda pada tiap daerah," kata
Direktur Pelayanan Kefarmasian, Kementerian Kesehatan RI, Bayu Teja
Muliawan.
Menurut Bayu, ketersediaan obat di instalasi farmasi kabupaten dan
kota sudah mencapai 93 persen. Hal ini mengindikasikan masyarakat tidak
perlu khawatir pada pemenuhan kebutuhan obat di fasilitas kesehatan
primer. Pemenuhan obat biasanya hanya menghabiskan 30-40 persen total
kapitasi, sehingga puskesmas tidak perlu khawatir pada besaran sisa yang
digunakan untuk keperluan lain.
Menurut Fajriadi walau tak lagi mengurusi ketersediaan, BPJS tetap
memantu tata laksana penyediaan obat di masyarakat. Apalagi komponen
obat tergabung dalam besaran tarif INA-CBG's maupun kapitasi.
"Kalau masyarakat menemukan keluhan bisa dikirim ke
keluhan.obat@bpjs-kesehatan.go.id. Sama seperti masalah lain dalam
pelaksanaan JKN, ketersediaan obat juga memerlukan pantauan bersama,"
jelas Fajriadi.
(www.health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment