Tuesday, April 1, 2014

Tawanan Wanita Anak Orang Besar


Abu Syu'aib al-Baratsi adalah orang yang pertama tinggal di Baratsi di sebuah gubuk untuk beribadah di sana. Lalu seorang gadis dari anak orang besar dan diasuh di istana raja melewati gubuknya. Dia melihat Abu Syu'aib dan memuji keadaan dan perbuatannya. Lalu dia menjadi seperti tawanannya. Dia ingin meninggalkan dunia dan berhubungan dengan Abu Syu'aib. Lantas dia mendatanginya dan memohon, "Aku ingin menjadi pembantumu."
Abu Syu'aib menjawab, "Jika kau menginginkan itu, ubah dandananmu dan lepaskan apa yang kamu pakai agar kau bisa memperbaiki apa yang kau inginkan." Lantas gadis itu melepas semua miliknya dan mengenakan pakaian ahli ibadah lalu datang kepada Abu Syu'aib yang kemudian menikahi gadis itu.
Ketika dia masuk ke dalam gubuk, dia melihat potongan bejana di majlis Abu Syu'aib. Dia berkata, "Aku tidak mau tinggal di sini sampai kau keluarkan apa yang ada di bawahmu karena aku mendengarmu berkata, ‘Sesungguhnya bumi berkata, wahai anak Adam! Hari ini kau buat hijab antara aku dan engkau. Bukankah besok kau akan ada di perutku?’ Maka aku tidak mau ada hijab antara aku dan bumi."
Lalu Abu Syu'aib mengambil potongan-potongan bejana itu dan melemparnya. Dia tinggal bersama Abu Syu'aib selama beberapa tahun dan beribadah dengan baik. Keduanya wafat saling tolong menolong dalam ibadah.[1]

Sebaik-Baiknya Ucapan
Nuh al-Aswad berkata, "Aku melihat seorang wanita mendatangi Abu Abdullah al-Baratsi, lalu dia duduk dan mendengar ucapannya. Dia nyaris tidak berbicara dan bertanya tentang sesuatu.”
Pada suatu hari, Nuh bertanya kepada wanita itu, "Aku tidak melihatmu berbicara dan tidak menanyakan sesuatu?"
Wanita itu menjawab, "Sedikit bicara lebih baik daripada banyak bicara, kecuali saat berdzikir kepada Allah SWT dan orang yang diam lebih memahami nasehat. Janganlah seorang yang tidak menasehati dirinya menasehatimu. Ringkasnya, jika kau menginginkan Allah dengan ketaatan, Allah  akan menginginkanmu dengan rahmat. Kalau kau menempuh jalan orang-orang yang melanggar, maka janganlah mencela kecuali dirimu. Karena besok kau akan berada pada rombongan orang yang merugi."
Kemudian wanita itu menangis, lalu bangkit dan Nuh mendengar wanita itu menasehati anaknya, "Anakku, celaka kau. Hati-hatilah pada orang-orang yang menganggur siang dan malam, karena mereka akan menghabiskan umurmu dan kau tidak memperhatikan dirimu dan tidak siap untuk perjalananmu. Anakku, celaka kau. Surga tidak ada gantinya dan pada pundak orang-orang yang bermaksiat tidak ada harga untuk lepas dari neraka. Anakku, celaka kau. Siapkan dirimu sebelum kau dihadapkan dengannya di hadapan Allah SWT. Bersungguh-sungguhlah sebelum kau dapati hari kiamat. Berhati-hatilah pada pengaruh zaman dan tipu daya iblis saat dia menyerang dunia dengan fitnah dan membalikkannya dengan kata-kata, saat itu orang yang bertakwa akan memperhatikan bagaimana dia selamat dari ujiannya. Anakku, alangkah buruknya dirimu jika kau bermaksiat kepada Allah SWT sedangkan kau mengenal-Nya dan mengenal kebaikan-Nya dan kau taat pada Iblis, sementara kau mengenalnya dan mengenal pembangkangannya." 

Amanah
Dahulu, di kota Baghdad, tinggal seorang pedagang kain yang memiliki harta kekayaan. Ketika dia sedang berada di tokonya, datang seorang gadis yang sedang mencari sesuatu untuk dibelinya. Saat gadis itu berbicara dengannya, wajahnya tersingkap. Dia bingung dan berkata, "Aku bingung dengan apa yang aku lihat."
Gadis itu mengucap, "Aku datang bukan untuk membeli sesuatu, tetapi sudah beberapa hari ini aku pergi ke pasar untuk meletakkan hatiku pada seorang laki-laki yang mau menikahiku dan kau telah meletakkan dirimu di hatiku. Aku ada uang, maukah kau menikahiku?"
Pedagang itu berujar, "Aku tinggal bersama anak pamanku yang menjadi istriku, aku telah berjanji padanya untuk tidak menduakannya dan aku memiliki seorang anak darinya."
Gadis itu menukas, "Aku rela kau datang kepadaku dua kali dalam seminggu." Pedagang itu pun rela, lalu dia pergi bersamanya, melakukan akad nikah kemudian pergi ke rumah gadis itu dan tinggal di sana.
Kemudian dia pulang ke rumahnya dan berkata pada istrinya, "Teman-temanku memintaku bersama mereka malam ini." Lalu dia pergi dan bermalam di tempat istri barunya. Setiap hari setelah dzuhur dia pergi ke istri barunya.
Hal itu berlangsung terus sampai 8 bulan. Istri pertamanya tidak mengetahui perilakunya, lalu dia berkata kepada jariyahnya, "Jika dia keluar, lihatlah ke mana dia pergi?" Kemudian jariyah itu mengikutinya. Dia datang ke toko dan ketika datang waktu dzuhur, dia bangun dan jariyah itu mengikuti tanpa sepengetahuannya, sampai dia masuk ke rumah istri barunya. Jariyah itu mendatangi tetangganya dan bertanya pada mereka siapa yang tinggal di rumah itu? Mereka menjawab, "Seorang gadis yang telah dinikahi oleh seorang pedagang kain." Lalu jariyah itu pulang ke majikannya dan memberitahunya. Lantas majikannya berkata, "Jangan sampai ada orang yang tahu tentang hal ini." Dia juga tidak menampakkan apa-apa pada suaminya.
Genap setahum, pedagang itu sakit, lalu meninggal dunia dan meninggalkan 8.000 dinar. Istri pertamanya memberikan anaknya warisan sebesar 7.000 dinar, lalu dia pisahkan dan 1.000 dinar sisanya dia bagi dua dan satu bagian dia taruh dalam kantung kemudian dia berkata kepada jariyahnya, "Ambillah kantung ini, lalu pergi ke rumah wanita itu dan beritahu dia bahwa suaminya telah meninggal dan meninggalkan 8.000 dinar. Anaknya mengambil 7.000 dinar sebagai haknya dan sisanya 1.000 dinar dibagi dua antara aku dan kau dan ini hakmu. Serahkan uang ini padanya."
Jariyah itu pergi dan mengetuk pintunya, lalu dia masuk dan memberitahukan tentang keadaan suaminya. Dia bercerita padanya tentang kematiannya dan keadaannya. Wanita itu menangis dan membuka kotaknya itu lalu mengeluarkan selembar surat dari dalamnya. Dia berkata kepada jariyah, "Kembalilah pada majikanmu, sampaikan salamku padanya dan beritahu dia bahwa laki-laki itu telah menceraikan aku dan menulis surat cerai ini. Kembalikan uang ini kepadanya karena aku tidak berhak atas harta warisannya."
Lalu jariyah itu pulang dan memberitahu majikannya apa yang disampaikan wanita itu.


[1]Al-Hilyah (10/323, 324), Shifat al-Shafwah (2/252), Al-Tawwâbûn (73).

No comments:

Post a Comment