Saturday, May 10, 2014

Pertaubatan Artis Syams al-Barudi

Untuk menjawab pertanyaan tentang penyebab hidayahnya, dia bertutur, "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam untuk Rasulullah. Awal permulaannya adalah saat aku remaja. Masa remaja memiliki peran yang penting. Ayahku adalah seorang yang taat beragama yang sederhana dan biasa, ibuku pun demikian. Dulu aku mengerjakan shalat, namun tidak teratur lantaran sebagian kewajiban shalat aku lewatkan. Aku tidak merasa berdosa meninggalkan satu kewajiban shalat. Sayangnya, materi pelajaran agama di sekolah bukan materi pokok, tentunya tidak ada murid yang tidak lulus. Agama tidak menjadi ilmu yang pokok seperti ilmu duniawi lainnya.
Ketika aku berada di jenjang SMA, aku ingin masuk di fakultas hukum atau studi seni. Tetapi semua orang tidak mendukung keduanya. Lalu aku masuk Institut Seni Drama, tapi aku tidak menyelesaikannya karena aku telah terjun di dunia akting. Namun sinar seni, artis, sinema dan televisi telah memperdayai setiap remaja seusiaku (saat itu umurku sekitar 16-17 tahun), khususnya dengan pengetahuan yang kurang baik. Saat aku berkecimpung di dunia akting, aku merasakan sesuatu di dalam hatiku menolak pekerjaan ini sampai-sampai aku vakum selama 2 atau 3 tahun, sehingga beberapa orang menyangka aku telah mundur.
Alhamdulillah, keluargaku berkecukupan dari segi materi, jadi aku bekerja bukan karena materi. Aku belanjakan hasil pekerjaanku untuk membeli pakaian, make up dan sebagainya. Keadaan terus begitu sampai aku merasa aku tidak menemukan diriku dalam pekerjaan ini. Aku merasa kecantikanku adalah sesuatu yang dieksploitasi dalam pekerjaanku. Saat itu aku menolak peran-peran yang merendahkanku dan yang hanya terfokus pada kecantikan yang dianugerahkan Allah kepadaku.
Saat itu pekerjaanku amat sedikit, aku bekerja seperti orang yang pingsan. Aku merasa ada pemisahan antara pribadiku sesungguhnya dan keadaanku. Aku duduk memikirkan pekerjaanku yang dilihat banyak orang. Aku merasa itu tidak menggambarkan diriku, namun hal yang dibuat-buat. Aku merasa keluar dari kulitku dan aku bersama suamiku, Hasan Yusuf, mulai memainkan peran-peran yang dekat dengan diriku. Sedikit ada perubahan dari yang hanya berisi fisikku menjadi ada sisi yang lain. Aku mulai melakukan shalat di mana bila aku meninggalkan satu shalat fardhu, aku banyak meminta ampunan pada Allah SWT. Setelah aku mengerjakan shalat qadha' ternyata hal itu sangat membuatku sedih. Semua itu aku lakukan, meskipun aku belum berpakaian Islami.
Sebelum aku menikah, aku membeli pakaianku dari rumah mode terbaru di Mesir. Dan setelah aku menikah, suamiku menemaniku pergi ke luar Mesir untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin. Sekarang aku mengingatnya dengan perasaan sedih lantaran segala urusan yang sepele telah menyibukkanku. Kemudian aku mulai membeli pakaian yang agak sopan. Kalau ada pakaian berlengan pendek yang membuatku kagum, aku akan membelinya dengan jaket untuk menutupi bagian tubuhku yang tampak. Ada satu keinginan dalam hatiku, aku mulai ada keinginan mengenakan hijab. Tetapi orang-orang di sekitarku berkata kepadaku, "Engkau yang sekarang lebih bagus." Aku mulai membaca al-Quran lebih banyak karena sampai saat itu aku belum pernah mengkhatamkan al-Quran dan aku mengkhatamkannya bersama teman-temanku belajar.
Alhamdulillah, aku tidak memiliki teman dari dunia seni, teman-temanku adalah teman masa kecil. Aku dan teman-temanku berkumpul – setelah aku menikah– pada bulan Ramadhan di sebuah rumah untuk membaca al-Quran sampai khatam. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang disiplin memakai pakaian Islami. Saat itu aku dan suami bekerja terus-menerus, baik dia bermain bersamaku ataupun dia menyutradarai peran yang aku mainkan. Aku ceritakan ini sekarang bukan gara-gara itu sesuatu yang indah dalam diriku, namun aku berbicara dari masa di mana saat aku mengingatnya aku ingin itu dihapus dari kehidupanku. Kalau aku bisa kembali ke belakang, sama sekali aku tidak berangan-angan ingin berkecimpung di dunia akting. Dulu aku bercita-cita ingin menjadi seorang muslimah yang taat sebab itulah yang benar. Allah SWT berfirman:  
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Adz- Dzariyât [51]: 56).
Ketika aku liburan musim panas, aku terakhir turun ke laut setelah matahari terbenam dan semua orang telah meninggalkan tempatnya. Aku katakan ini lantaran ada orang yang menyangka bahwa di antara ketaatan beragama ada jurang yang luas. Alhamdulillah, hal ini amat mudah untukku, karena Allah  berfirman dalam hadits qudsi:
"Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa, barangsiapa mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.[1]
Pada masa itu aku membaca Brigson, Sartre, Freud dan filosof lainnya yang tidak ada ujung pangkalnya. Aku masuk dalam perbincangan dialektik filsafat. Aku memiliki perpustakaan, tapi berpaling dari bacaan-bacaan itu tanpa sebab yang jelas. Aku punya keinginan yang kuat untuk melaksanakan umrah dan aku berkata dalam hatiku, "Aku tidak bisa melaksanakan umrah kecuali kalau aku telah memakai hijab (jilbab). Karena tidak masuk akal aku pergi ke Baitullah dengan tidak mengenakan pakaian yang Islami." Tetapi ada yang mengatakan kepadaku, "Itu sama sekali bukan syarat." Itu adalah kebodohan mereka terhadap ajaran Islam sebab mereka tidak berubah setelah melaksanakan umrah.
Suamiku pergi melaksanakan umrah, aku tidak ikut karena aku takut anakku akan terlambat masuk sekolah kalau aku tidak ada. Ternyata dia terkena wabah penyakit, lalu wabah itu menyerang anak laki-lakiku kemudian aku, sehingga kami bertiga sakit. Aku memikirkan masalah ini, seakan-akan ini adalah balasan gara-gara aku menunda melaksanakan umrah. Tahun berikutnya aku pergi melaksanakan umrah, yaitu pada bulan Februari tahun 1982 saat aku kembali dari Paris sambil membawa pakaian paling baru dari rumah model di sana, pakaian sopan tetapi model terbaru. Ketika aku pergi dan membeli pakaian umrah yang putih, itulah untuk pertama kalinya aku memakai pakaian putih tanpa bedak di wajahku. Aku melihat aku lebih cantik dan untuk pertama kali aku bepergian tanpa rasa khawatir pada anak-anakku karena aku jauh dari mereka.
Dulu perjalananku membuatku bersedih hati dan takut lantaran khawatir pada mereka dan biasanya aku membawa mereka. Aku pergi melaksanakan umrah bersama utusan dari Perusahaan Terusan Suez. Ketika tiba di Masjid Nabawi, aku mulai membaca al-Quran tanpa aku memahaminya dengan sempurna, tetapi aku bertekad ingin mengkhatamkan al-Quran di Madinah dan Makkah. Beberapa temanku bertanya, "Apakah kau akan memakai hijab?" Aku menjawab, "Aku tidak tahu." Aku menggantungkan perkara itu pada suamiku, apakah dia setuju atau tidak. Aku belum tahu bahwa tidak ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Khaliq.
Di Masjidil Haram Makkah, aku bertemu dengan saudara-saudaraku sesama muslimah yang mengenakan kerudung. Aku lebih memilih berdiam di Masjidil Haram untuk membaca al-Quran. Pada satu waktu saat aku berada di sana antara ashar dan maghrib, aku bertemu dengan seorang muslimah, dia orang Mesir yang tinggal di Kuwait. Namanya Arwa, dia membacakan beberapa bait syair yang dia tulis, lalu aku menangis gara-gara aku merasa bait-bait syair itu menyentuh hatiku. Saat itu pikiran tentang hijab sering muncul, namun orang-orang di sekitarku berkata, "Tunggulah sampai kau tanya suamimu. Jangan tergesa-gesa. Kau masih muda dan lain-lain." Aku selalu ingin memakai hijab. Arwa berkata:
Mereka berkata tentang hijabku
Tidak, demi Tuhanku aku tidak akan peduli
Agamaku telah menjagaku
Dan hijabku dengan agung
Selamanya, perhiasanku adalah rasa maluku
Rasa malu adalah hartaku
Apakah karena aku berpaling
Dari perhiasan karena itu akan hilang
Orang mencelaku seakan-akan aku
Mencari keburukan untuk diriku
Betapa aku memandang sekejap celaan dari mereka
Dalam percakapan atau pertanyaan.
Aku menangis setiap kali mengingat qasidah yang panjang ini. Aku merasa qasidah ini berbicara tentang keadaanku. Qasidah ini menyentuh relung hatiku. Setelah itu aku pergi melaksanakan umrah untuk saudariku yang telah wafat, aku amat mencintainya, semoga Allah merahmatinya. Setelah melaksanakan umrah, aku tidak tidur malam itu. Aku merasa dadaku sesak dan ketakutan seakan-akan gunung-gunung di dunia berada di tengah nafasku, seakan-akan semua dosa manusia mencekikku, semua kegembiraan dunia yang pernah aku nikmati seakan-akan dosa yang mengikatku. Ayahku bertanya tentang sebab aku berkeringat, lalu aku berkata, "Aku ingin pergi ke Masjidil Haram sekarang. Itu bukan waktu yang bisa kami pergi ke sana. Tetapi ayahku menyiapkan dirinya menemaniku melakukan umrah.
Ketika kami sampai di Masjidil Haram, aku melakukan tahiyat masjid, yaitu thawaf. Pada awal putaran, Allah memberiku kemudahan untuk sampai di Hajar Aswad. Yang ada di mulutku hanya satu doa, untukku, suamiku, anak-anakku, keluargaku dan semua orang yang aku kenal, aku berdoa minta kekuatan iman. Air mataku berderai dalam diam tanpa henti. Sepanjang tujuh putaran aku hanya berdoa minta kekuatan iman. Selama tujuh putaran itu aku sampai di Hajar Aswad dan aku menciumnya. Di Maqam Ibrahim a.s., aku berhenti untuk shalat dua rakaat setelah thawaf. Lalu aku membaca surat al-Fatihah, seakan-akan aku belum pernah membacanya seumur hidupku. Aku merasakan ada makna-makna yang merupakan pemberian dari Allah SWT dengan keagungan surat al-Fatihah. Aku menangis dan terguncang. Saat thawaf aku merasa seakan-akan banyak malaikat di sekitar Ka'bah yang memandangku. Aku merasakan keagungan Allah yang belum pernah aku rasakan selama hidupku.
Kemudian aku melakukan shalat dua rakaat di Hijr Ismail, semua itu terjadi sebelum fajar. Ayahku mendatangiku agar aku pergi ke tempat wanita untuk shalat fajar. Saat itu, aku telah berganti dan menjadi manusia yang sama sekali lain. Beberapa orang wanita bertanya kepadaku, "Apakah kau akan memakai hijab?" Aku menjawab, "Dengan izin Allah." Sampai-sampai tekanan suaraku berubah, berubah sama sekali. Inilah yang terjadi padaku dan aku telah kembali. Setelah itu, tidak pernah melepas hijabku. Aku berdoa kepada Allah agar Dia memberiku husnul khatimah kepadaku, suamiku, keluargaku dan seluruh kaum Muslimin."[2]



[1]HR Al-Bukhari (7405), Muslim (2675), Tirmidzi (3603), Nasa’i (7730), Ibnu Majah (2822), Ahmad (2/251-413, 480) dan selain mereka dari Abu Hurairah.
[2]Dari buku: Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid, Al-'Aidûn Ila Allah, Jilid I. 

No comments:

Post a Comment