Abu Qudamah al-Syami bercerita, "Aku menjadi pimpinan pasukan pada
beberapa peperangan. Aku masuki beberapa negeri, aku ajak orang-orang
berperang, aku semangati mereka dengan pahala, aku sebutkan keutamaan mati
syahid. Lalu orang-orang pulang. Aku kendarai kudaku,
aku pulang ke rumah.” Tiba-tiba Abu Qudamah melihat seorang wanita yang sangat cantik memanggilnya, "Wahai Abu Qudamah." Abu Qudamah berucap, "Ini
tipu daya syaitan." Abu Qudamah berlalu dan
tidak menjawab. Wanita itu berkata, "Begitukah sikap orang yang saleh?"
Abu Qudamah berhenti, lalu dia datang dan melemparkan
secarik kertas kepadanya dengan keras,
lalu pergi sambil menangis. Abu Qudamah melihat kertas
itu dan di dalamnya tertulis:
"Kau mengajak kami untuk berjihad, kau semangati
kami dengan pahala. Aku tidak memiliki kemampuan untuk itu. Lalu aku potong apa
yang terbaik dari tubuhku, yaitu dua jalinan rambutku. Aku berikan keduanya
padamu untuk kau jadikan tali untuk mengikat kudamu. Semoga Allah melihat
rambutku mengikat kudamu di jalan-Nya dan Dia mengampuniku."
Pada hari pertempuran, Abu Qudamah melihat seorang anak muda berjuang di barisan paling depan. Abu Qudamah maju ke arahnya dan berkata, "Hai
pemuda, kau pemuda yang tidak berpengalaman dan kau berjalan kaki. Tidak aman
kau menunggang kuda, kaki-kakinya akan menginjakmu. Kembalilah ke
tempatmu." Dia berkata, "Kau menyuruhku mundur? Allah SWT telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah,
dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfâl [8]:
15-16).
Lalu
Abu Qudamah membawanya dengan unta. Dia berkata,
"Wahai Abu Qudamah, pinjamkan aku tiga anak panah." Abu Qudamah bertanya,
"Apakah ini waktu untuk meminjam?" Dia terus mendesak Abu Qudamah sampai Abu Qudamah mengatakan satu syarat, “Kalau Allah SWT memberimu kesyahidan apakah aku akan mendapat syafa'atmu?" Dia
menjawab, "Ya." Lalu Abu Qudamah memberikan tiga anak panah, lalu dia meletakkan satu anak panah pada busurnya dan
berkata, "Semoga kau mendapat keselamatan, wahai Abu Qudamah." Lantas dia melepaskan anak panah itu dan mengenai seorang pasukan Romawi.
Kemudian dia melepas panah lainnya dan bertutur, "Semoga kau mendapat
keselamatan, wahai Abu Qudamah." Lalu dia membunuh seorang pasukan Romawi.
Kemudian dia melepas panah lainnya dan berujar, "Semoga kau mendapat
keselamatan, wahai orang yang melepasku."
Lalu
sebuah panah datang dan tepat mengenai antara dua matanya. Dia meletakkan
kepalanya di atas ujung pelana. Kemudian Abu Qudamah menghampirinya
dan berkata, "Jangan kau lupakan itu." Dia menjawab, "Ya, tetapi
aku mempunyai satu keperluan denganmu. Jika kau datang ke Madinah, datangi
ibuku, lalu serahkan peralatanku. Beritahu dia karena dialah yang memberimu
rambutnya untuk kau ikatkan pada kudamu. Dan berilah salam kepadanya karena ini
tahun pertama ayahku meninggal dan pada tahun ini giliran aku." Dia pun wafat. Abu Qudamah menggali liang lahat dan menguburkannya. Ketika Abu Qudamah ingin kembali
dari kuburannya, bumi melemparkannya dari punggungnya. Para sahabat Abu Qudamah berujar, "Dia anak yang belum
berpengalaman. Barang kali dia berangkat tanpa izin dari ibunya." Abu Qudamah bertutur, "Bumi menerima yang lebih
buruk daripada anak ini."
Lalu
Abu Qudamah berdiri dan melakukan shalat dua
rakaat, lalu berdoa kepada Allah dan dia mendengar suara, "Wahai Abu
Qudamah, tinggalkanlah wali Allah." Abu Qudamah
tidak beranjak sampai burung-burung putih datang lalu memakannya. Ketika Abu Qudamah datang ke Madinah, dia pergi ke rumah ibunya. Ketika Abu Qudamah
mengetuk pintu, saudarinya keluar menemuinya. Ketika dia melihat Abu Qudamah, dia kembali
dan berkata, "Ibu, ini Abu Qudamah. Dia tidak bersama saudaraku. Kita
telah mendapat musibah setahun yang lalu dengan gugurnya ayahku dan pada tahun
ini dengan gugurnya saudaraku."
Kemudian
ibunya keluar menemui Abu Qudamah dan
bertanya, "Apakah bersedih atau bergembira?" Abu Qudamah balik bertanya,
"Apa maksudnya?" Dia berkata, "Jika dia mati, berta'ziahlah
padaku. Jika dia mati syahid, berilah kabar gembira padaku." Abu Qudamah berucap, "Tidak, dia mati syahid." Dia berkata, "Dia
memiliki tanda, apa kau melihatnya?" Abu Qudamah
menjawab, "Ya, bumi tidak menerimanya, lalu turun burung-burung dan
memakan dagingnya serta meninggalkan tulang lalu kami menguburkannya." Dia
mengucap, "Alhamdulillah." Lalu Abu Qudamah menyerahkan padanya harta kharaj dan dia membukanya, kemudian
mengeluarkan kain kafan dan belenggu dari besi. Dia berkata, "Jika sudah
malam, dia memakai kain kafan ini dan mengikat dirinya dengan belenggu ini lalu
bermunajat pada Tuhannya dan berkata dalam munajatnya, "Sebarkanlah aku
lewat burung." Allah SWT telah mengabulkan doanya.[1]
Zajlah: Wanita Ahli Ibadah
Abu
Utbah al-Khawash bertutur, "Kami menemui Zajlah yang
ahli ibadah. Dia berpuasa sampai hitam tubuhnya, menangis sampai putih matanya,
shalat sampai bungkuk dan dia shalat dalam keadaan duduk. Lalu kami memberi
salam kepadanya, kemudian kami ingatkan dia dengan ampunan Allah. Kami ingin
meringankan urusannya.” Dia terisak lalu berujar, "Aku tahu akan diriku. Hatiku
telah luka. Demi Allah, aku tidak ingin Allah menciptakanku dan aku tidak
menjadi sesuatu yang diingat.” Lalu dia memulai shalatnya dan kami
pun pergi meninggalkannya.
Ahmad
bin Sahal al-Azadi bercerita, "Beberapa orang qari'
mendatangi Zajlah, lalu mereka berbicara agar dia menyayangi dirinya.” Kemudian Zajlah berkata, "Apa urusanku dengan menyayangi
diriku? Itu adalah hari-hari yang cepat berlalu, siapa yang kehilangan pada
hari ini, dia tidak akan mendapatkannya besok. Demi Allah, saudaraku. Aku
shalat untuk-Nya dengan anggota tubuhku yang kurang, aku berpuasa sepanjang hidupku
dan aku menangis sebanyak air mata yang ada di kedua mataku." Katanya lanjut, "Siapa di antara kalian yang menyuruh hambanya dengan sesuatu lalu hamba itu suka
menguranginya?!"[2]
Menolak Bahaya dengan
Ruqyah dan Doa
Abu Muhamad
Abdullah bin Abu Zaid al-Maliki berkisah, "Aku mempunyai seorang putri
yang matanya terkena satu penyakit dan terus betambah parah. Aku telah
mengobatinya dengan segala cara, namun tidak berhasil. Lalu aku ingat
kepada Abu Ishaq al-Sabai yang ahli ibadah, lalu aku meminta doanya.” Kepada Abu Ishaq, Abu Muhamad berujar,
"Aku tidak mau membawa anakku ke tabib untuk diperiksa.” Abu Ishaq berkata, "Bawalah dia padaku, aku akan meruqyahnya.” Selama tiga hari dia meruqyahnya dan sembuh seperti tidak pernah
terkena penyakit.[3]
Ummu Ja’far al-Barmaki
Abdurrahman
bin al-Hasyimi mengisahkan bahwa pada hari raya
Idul Adha, dia mendatangi ibunya. Abdurrahman melihat ada
seorang nenek yang berumur 99 tahun bersama mereka di
Athmar. Abdurrahman bertanya kepada ibunya, "Siapa nenek ini?" Ibunya
menjawab, "Ini bibimu Ayabah Ummu Ja'far bin Yahya." Abdurrahman menyalaminya, tetapi dia menolak. Lalu Abdurrahman bertanya, "Apakah waktu telah mengubahmu seperti ini?" Dia menjawab, "Ya, anakku. Kami telah
dimakan usia." Abaduurahman berkata,
"Ceritakan padaku sebagian kisahmu." Dia menjawab, "Telah lewat
tiga hari raya Idul Adha dan di atas kepalaku ada 400 uban. Aku mengira anakku
telah durhaka kepadaku. Hari ini aku datang kepada kalian untuk meminta kulit
dua kambing, satu kulit akan aku jadikan pakaian dan satu kulit lagi aku
jadikan bagian atas pakaian." Abdurrahman menangis
lalu memberinya bagian atas pakaian.[4]
No comments:
Post a Comment