Tuesday, January 8, 2013

Ada Apa dengan UU Zakat?


Oleh M. Fuad Nasar, M.Sc

Tim Ahli Majalah Jaminan Sosial

Wakil Sekretaris BAZNAS



Tidak seheboh pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) dan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang keduanya telah disahkan oleh DPR-RI dalam waktu berdekatan. Ketika dalam pembahasannya, RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah yang merupakan usul inisiatif DPR-RI, nyaris tidak menyita perhatian publik di luar gedung Parlemen, kecuali hanya para penggiat zakat.
DPR-RI dalam rapat paripurna, Kamis 27 Oktober 2011, telah menyetujui RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah disahkan menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat (selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU Zakat). Sebuah tonggak perubahan telah dipancangkan untuk mengefektifkan pengelolaan zakat lewat perubahan sistem hukum dan perundang-undangan. UU Zakat tahun 2011 disusun untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
Sudut pandang Pemerintah dan DPR-RI bertemu pada titik koordinat yang sama dalam melihat keamanan dana zakat bahwa akan lebih terjamin apabila dikelola melalui lembaga yang memiliki otoritas dan kepastian hukum. Selain itu, pengelolaan zakat membutuhkan akuntabilitas dan profesionalitas yang tinggi, sehingga dapat mencapai tujuan zakat itu sendiri. Dalam UU yang lama, otorisasi terhadap organisasi pengelola zakat tidak tegas. Ketidak-tegasan regulasi berimplikasi pada lemahnya koordinasi BAZNAS dengan BAZDA serta dengan Lembaga-lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat.
Sesuai dengan ketentuan dalam syariat Islam, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha milik umat Islam untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya, terutama kepada orang-orang yang tidak mampu. Untuk itu, maka yang ditempatkan sebagai norma pokok (core norm) dalam undang-undang ialah zakat, sedangkan infaq dan shadaqah ditempatkan sebagai ketentuan tambahan (extra norm).
UU Zakat terdiri dari 11 bab dan 47 pasal bukan untuk kepentingan organisasi pengelola zakat saja, tetapi untuk memayungi kepentingan seluruh warga negara Indonesia, khususnya yang beragama Islam, baik selaku pembayar zakat maupun penerima zakat. UU Zakat ini akan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama.
Mengapa harus ada UU Zakat?
Dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kehadiran hukum positif dan sistem perundang-undangan yang mengatur tata kelola zakat berpijak pada alasan-alasan ideologis, konstitusional, filosofis dan sosio politik. Secara ideologis, UU Zakat meneguhkan tanggung jawab negara dan pemerintah untuk memajukan kehidupan beragama yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara lahir dan batin.
Dari sudut konstitusional, UUD 1945 memberi amanah kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Sedangkan alasan filosofisnya, UU Zakat bertujuan untuk memotong mata rantai kemiskinan lewat cara-cara yang terpadu dan tersistem. Pada dasarnya, zakat tidak dapat diserahkan kepada kesadaran individu semata, tetapi harus ada instrumen hukum supaya orang taat membayar zakat sama seperti ketaatan membayar pajak. Zakat bukan urusan individu dengan Tuhan semata, tetapi terdapat dimensi sosial kemasyarakatan yang bersentuhan dengan kebijakan publik (public policy). Ketika seseorang tidak mau menunaikan zakat yang mesti dikeluarkan dari hartanya, ada hak orang lain yang tertahan dan terabaikan, terutama hak fakir miskin.    
Berkaitan dengan hal itu, tidak sembarang orang boleh melakukan pemungutan atau pengumpulan zakat. Pengelolaan zakat mengharuskan adanya aturan tentang persyaratan, legalitas dan pengawasannya karena menyangkut pengelolaan keuangan. Dalam sejarah umat Islam, hanya petugas (amil) yang diangkat oleh pemerintah yang diberi kuasa untuk memungut zakat dari muzakki (QS At-Taubah [9]: 103). Jika dipandang perlu amil dapat bertindak memaksa muzakki yang menolak menunaikan zakat. Sebab, pemerintah adalah pihak yang akan diminta pertanggung-jawaban di hadapan Allah SWT berkenaan dengan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya. Untuk itu, pemerintah berkewajiban mengatur terselenggaranya urusan zakat di dalam masyarakat dan negara.
Selanjutnya, dari tinjauan sosio politik modern, UU Zakat adalah untuk mendorong terciptanya kesatuan sistem (unified system) dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggung-jawaban atas pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Pengaturan zakat dalam hukum positif di negara kita memang belum mencapai bentuk yang ideal, tetapi kehadiran UU Zakat sebagai produk politik patut disambut baik oleh seluruh umat Islam.
 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang banyak disebut dalam undang-undang, bukanlah lembaga superbody yang bertindak sebagai regulator, pengawas dan sekaligus operator. BAZNAS hanyalah operator, namun sekaligus diberi tugas sebagai koordinator. Regulator dan pengawas adalah tetap pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bersama Pemerintah Daerah. BAZNAS sebagai lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri, bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Oleh karena itu, tidak ada alasan mengkhawatirkan timbulnya kerancuan dan konflik kepentingan antara peran regulator, pengawas dan operator dalam pengelolaan zakat di negara kita.
Dalam UU Zakat, nama Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) secara konsisten digunakan sampai tingkat kabupaten/kota. Sebagai institusi yang diberi kewenangan berdasar undang-undang untuk  melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional, pola hubungan BAZNAS (pusat) dengan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota adalah bersifat hirarkis. Menurut fakta angka, dalam kerangka UU Zakat ini, pengumpulan zakat di Tanah Air selain oleh BAZNAS di tingkat pusat, juga dilakukan oleh BAZNAS di 33 provinsi dan BAZNAS di 502 kabupaten/kota, serta 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan atau desa di seluruh Indonesia, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam satu-kesatuan sistem pengelolaan dan pelaporan yang terintegrasi.
LAZ yang dibentuk oleh masyarakat mempunyai tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS. Dalam UU Zakat, pembentukan LAZ harus mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan pembinaan dan pengawasaan terhadap BAZNAS (pusat), BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, serta LAZ dilakukan oleh Menteri Agama dan Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya. Penguatan kelembagaan BAZNAS tidak akan mematikan aktivitas pengumpulan zakat di masjid-masjid dan di tempat lainnya, melainkan justru diwadahi dengan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sehingga lebih terkoordinir untuk kemaslahatan umat.
Dalam konteks otonomi daerah, ada empat klausul yang mengikat secara permanen hubungan BAZNAS dengan Pemerintah Daerah, ialah: (a) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri Agama atas usul Gubernur atau Bupati/Walikota; (b) BAZNAS kabupaten/kota dan BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pengelolaan zakat, infaq, shadaqah dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS setingkat di atasnya dan kepada Pemerintah Daerah secara berkala; (c) Dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (d) Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
UU Zakat berimplikasi positif terhadap operasionalisasi BAZNAS di daerah. BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dapat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), selain dari APBD. Jika terealisasi pengelolaan zakat yang dibiayai sepenuhnya dengan APBN atau APBD, di samping dana hak amil, maka seluruh bagian asnaf (selain amil) akan dapat diberikan kepada para mustahik. Berarti tidak akan ada lagi penggunaan hak asnaf fisabilillah ataupun infaq dan shadaqah untuk membiayai promosi dan pemasyarakatan zakat.   
Pada pasal penghimpunan zakat oleh BAZNAS, ditetapkan bahwa di lingkungan instansi pemerintah, BUMN, BUMD, perusahaan swasta dan perwakilan RI di luar negeri “dapat” membentuk UPZ, tetapi bukan mewajibkan pembentukan UPZ. Klausul pembentukan UPZ memerlukan penjelasan detil dalam Peraturan Pemerintah supaya tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan spirit regulasi. Pasal lain yang dianggap krusial, ialah  persyaratan harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam untuk mendapatkan izin sebagai LAZ. Hal itu tidak perlu disongsong dengan sikap skeptis dan apriori oleh para penggiat zakat dari kalangan civil society. Zakat bukanlah urusan kemerdekaan seseorang dengan hartanya. Dalam Islam, pemerintah punya hak untuk mengatur kewenangan pengumpulan zakat sebagai sistem redistribusi kekayaan di masyarakat supaya berjalan secara tertib, teratur dan akuntabel sepanjang tidak mendistorsi ketentuan dan nilai syariat. 
Jika dibaca seluruh pasal dalam UU Zakat, tidak ada kooptasi negara atau dominasi BAZNAS dalam pengelolaan zakat. UU Zakat bahkan lebih jauh mengakomodir kekhususan Provinsi Aceh yang memiliki lembaga Baitul Mal sesuai Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh. Dalam penjelasan undang-undang ditegaskan bahwa di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota dapat menggunakan istilah Baitul Mal.                         
Satu hal lagi, UU Zakat tidak merugikan umat beragama lain. Yang diatur ialah kemerdekaan tiap-tiap penduduk, dalam hal ini umat Islam, untuk beribadat menurut agamanya secara sempurna. Juga tak ada pasal yang layak diuji-materi ke Mahkamah Konstitusi oleh kalangan penggiat zakat, karena tidak ada pasal dalam UU Zakat tersebut yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Sebagaimana diketahui, zakat adalah pranata keagamaan dalam hal ini rukun Islam dan pranata ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan mengatasi masalah kemiskinan yang merupakan agenda kemanusiaan dan misi pembebasan yang terdapat pada hampir semua agama. Di dalam konsep dan implementasi zakat, terdapat esensi jaminan sosial atau social security yang harus diperjuangkan, yakni jaminan sosial bagi orang-orang yang tidak mampu dan tidak bisa bekerja.
Wallahu a’lam bisshawab.

No comments:

Post a Comment