Hampir
setengah tahun berjalan, sosialisasi program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dinilai belum dapat menyentuh seluruh masyarakat. Aduan mengenai
layanan ini terkait dengan penanganan di pasien yang berobat di rumah
sakit. Pasien mengeluhkan biaya pelayanan yang besar, padahal posisinya
tidak mampu.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah, Ahmad Zaid mengatakan, aduan
pasien itu banyak diterima pihaknya. Pasien yang tidak mampu kemudian
menyampaikan aduan. Tetapi pihaknya posisi pasien, sehingga tidak asal
menindaklanjuti.
"Kami prinsipnya ada malaadminisrasi atau tidak. Pasien kan diberi
waktu tiga hari bagi yang ingin mengurus BPJS saat sudah mendaftar di
rumah sakit. Kalau di luar itu, aduan soal malaadministrasi tidak ada,"
katanya usai seminar JKN yang digelar Forum Humas Rumah Sakit se-Jateng,
di Diklat RSUP dr Kariadi, Sabtu (24/5).
Zaid, panggilannya,
menambahkan pasien yang tidak paham itu, menjadi bukti terkait
sosialisasi JKN yang belum menyeluruh. Sosialisasi hendaknya juga
dilakukan pihak rumah sakit, khususnya di pendaftaran ruang rawat inap.
Pasien
ditawari menggunakan biaya atau menggunakan JKN. Apabila pasien akan
mengurus JKN, pelayanan diharapkan tetap dapat diberikan rumah sakit.
Kepala
Manajemen Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Divre 6 Jateng dan DIY,
Veronica Margo mengatakan warga kurang mampu yang tergabung dalam
Penerima Bantuan Iuran (PBI) kartunya akan dicabut apabila meminta
kenaikan kelas dalam pelayanan.
"Kalau awalnya di rawat di kelas III untuk pemegang PBI ya tetap di
situ. Kalau minta naik kelas, itu artinya mereka mampu. Kartunya harus
dicabut," ujarnya.
Kartu keanggotaan itu setelah dicabut
dikembalikan ke dinas kesehatan setempat atau kantor BPJS terdekat.
Langkah ini untuk menertibkan penyalahgunaan kartu PBI.
"Masih ada orang yang mampu, tapi masuk dalam kategori PBI. Itu data
dipasok dari dinas kesehatan, tetapi kami yang cetak," ungkapnya. (www.suaramerdeka.com)
No comments:
Post a Comment