Dalam rangka pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi diamanatkan untuk merancang sejumlah regulasi, salah satunya regulasi jaminan pensiun (JP). Proses penyusunan regulasi JP sudah berlangsung sejak tahun 2013 hingga saat ini.
Dalam sebuah acara seminar yang digelar Trade Union Rights Center, Rabu (23/7), Kepala Divisi Kepatuhan dan Hukum BPJS Ketenagakerjaan, Rilexya Suryaputra mengatakan pembahasan regulasi JP tergolong alot. Ekstremnya, Rilexya menyebut proses pembahasan regulasi JP ibarat sebuah pertarungan yang keras. Makanya, belum tuntas hingga detik ini.
Salah satu materi yang pembahasannya alot, kata dia, terkait besaran iuran. Menurut Rilexya, awalnya BPJS Ketenagakerjaan mengusulkan agar iuran program JP sebesar 15 persen dari upah yang diterima peserta dalam satu bulan. Besaran itu sudah dihitung secara matang oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan besaran 15 persen, Rilexya yakin ketahanan iuran yang disetor peserta dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan akan baik, sehingga manfaat yang diterima peserta mendekati harapan. Namun, usulan BPJS Ketenagakerjaan itu masih dibahas secara mendalam di Kemenakertrans.
Di acara yang sama, Anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Indra Munaswar menilai pemerintah tidak serius menyusun regulasi tentang JP. Ia memprediksi hal itu bakal mirip dengan tindaklanjut pemerintah dalam rangka mempersiapkan peraturan pelaksana untuk beroperasinya BPJS Kesehatan. Ujungnya, regulasi diterbitkan pada saat detik-detik akhir mendekati peluncuran beroperasinya BPJS Kesehatan.
Merujuk pada hasil Pilpres 2014, Indra berharap pemerintahan Jokowi-JK dapat segera menerbitkan regulasi JP. Menurut dia, pemerintahan SBY sebenarnya juga masih memiliki kesempatan untuk meninggalkan kesan baik sebelum menanggalkan jabatan, yaitu dengan merampungkan pembahasan regulasi JP.
“Kami tetap menginginkan besaran iuran JP 10 persen dengan rincian 8 persen dibayar pemberi kerja dan 2 persen pekerja. Itu sudah tidak bisa ditawar,” urai Indra menyebut usulan KAJS terkait besaran iuran.
Pengalihan PNS
Sementara, Direktur PT. Martabat Prima Konsultindo merangkap konsultan hukum dan manajemen jaminan sosial serta pelayanan kesehatan, Asih Eka Putri mengaku selama 10 tahun mengikuti pembahasan regulasi JP, prosesnya memang kerap mandek. Biasanya pembahasan mentok ketika menyinggung soal besaran iuran dan manfaat yang diterima peserta.
Faktor lain yang menyebabkan pembahasan regulasi JP mandek adalah terkait sulitnya mengalihkan skema pensiun PNS ke skema baru yang berarti digabung dengan non PNS. Selama ini, PNS, Polri dan TNI sudah menikmati lebih dulu manfaat dari program jaminan pensiun yang mendapat subsidi APBN. Makanya, program JP PNS baru bertransisi ke BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2029.
Selain itu, Asih menegaskan bahwa fungsi JP sebagai penopang hidup peserta, bukan digunakan untuk membeli rumah. Bahkan International Labour Organization mengamanatkan jaminan sosial itu memberi jaminan yang berkelanjutan mulai dari lahir sampai meninggal. Maka dari itu jaminan sosial yang perlu dijalankan di Indonesia tidak bisa dijalankan secara parsial.
Menanggapi hal tersebut anggota Presidium KPBI, Timboel Siregar, menjelaskan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan program JP memberikan manfaat pasti kepada pesertanya. Sementara program jaminan hari tua (JHT) untuk mempertahankan hak peserta untuk tetap bekerja. Misalnya, uang JHT digunakan untuk berwirausaha.
Ironisnya, banyak pihak yang tidak sepakat dengan manfaat pasti sebagaimana amanat UU SJSN itu. Akibatnya, sampai saat ini pemerintah gamang untuk menerbitkan regulasi terkait manfaat pasti untuk program JP. “Manfaat pasti dituding bakal menggoyang anggaran negara,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
Dalam sebuah acara seminar yang digelar Trade Union Rights Center, Rabu (23/7), Kepala Divisi Kepatuhan dan Hukum BPJS Ketenagakerjaan, Rilexya Suryaputra mengatakan pembahasan regulasi JP tergolong alot. Ekstremnya, Rilexya menyebut proses pembahasan regulasi JP ibarat sebuah pertarungan yang keras. Makanya, belum tuntas hingga detik ini.
Salah satu materi yang pembahasannya alot, kata dia, terkait besaran iuran. Menurut Rilexya, awalnya BPJS Ketenagakerjaan mengusulkan agar iuran program JP sebesar 15 persen dari upah yang diterima peserta dalam satu bulan. Besaran itu sudah dihitung secara matang oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan besaran 15 persen, Rilexya yakin ketahanan iuran yang disetor peserta dan dikelola BPJS Ketenagakerjaan akan baik, sehingga manfaat yang diterima peserta mendekati harapan. Namun, usulan BPJS Ketenagakerjaan itu masih dibahas secara mendalam di Kemenakertrans.
Di acara yang sama, Anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Indra Munaswar menilai pemerintah tidak serius menyusun regulasi tentang JP. Ia memprediksi hal itu bakal mirip dengan tindaklanjut pemerintah dalam rangka mempersiapkan peraturan pelaksana untuk beroperasinya BPJS Kesehatan. Ujungnya, regulasi diterbitkan pada saat detik-detik akhir mendekati peluncuran beroperasinya BPJS Kesehatan.
Merujuk pada hasil Pilpres 2014, Indra berharap pemerintahan Jokowi-JK dapat segera menerbitkan regulasi JP. Menurut dia, pemerintahan SBY sebenarnya juga masih memiliki kesempatan untuk meninggalkan kesan baik sebelum menanggalkan jabatan, yaitu dengan merampungkan pembahasan regulasi JP.
“Kami tetap menginginkan besaran iuran JP 10 persen dengan rincian 8 persen dibayar pemberi kerja dan 2 persen pekerja. Itu sudah tidak bisa ditawar,” urai Indra menyebut usulan KAJS terkait besaran iuran.
Pengalihan PNS
Sementara, Direktur PT. Martabat Prima Konsultindo merangkap konsultan hukum dan manajemen jaminan sosial serta pelayanan kesehatan, Asih Eka Putri mengaku selama 10 tahun mengikuti pembahasan regulasi JP, prosesnya memang kerap mandek. Biasanya pembahasan mentok ketika menyinggung soal besaran iuran dan manfaat yang diterima peserta.
Faktor lain yang menyebabkan pembahasan regulasi JP mandek adalah terkait sulitnya mengalihkan skema pensiun PNS ke skema baru yang berarti digabung dengan non PNS. Selama ini, PNS, Polri dan TNI sudah menikmati lebih dulu manfaat dari program jaminan pensiun yang mendapat subsidi APBN. Makanya, program JP PNS baru bertransisi ke BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2029.
Selain itu, Asih menegaskan bahwa fungsi JP sebagai penopang hidup peserta, bukan digunakan untuk membeli rumah. Bahkan International Labour Organization mengamanatkan jaminan sosial itu memberi jaminan yang berkelanjutan mulai dari lahir sampai meninggal. Maka dari itu jaminan sosial yang perlu dijalankan di Indonesia tidak bisa dijalankan secara parsial.
Menanggapi hal tersebut anggota Presidium KPBI, Timboel Siregar, menjelaskan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan program JP memberikan manfaat pasti kepada pesertanya. Sementara program jaminan hari tua (JHT) untuk mempertahankan hak peserta untuk tetap bekerja. Misalnya, uang JHT digunakan untuk berwirausaha.
Ironisnya, banyak pihak yang tidak sepakat dengan manfaat pasti sebagaimana amanat UU SJSN itu. Akibatnya, sampai saat ini pemerintah gamang untuk menerbitkan regulasi terkait manfaat pasti untuk program JP. “Manfaat pasti dituding bakal menggoyang anggaran negara,” pungkasnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment