* DUA
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.”
QS An Nisaa’ [4]: 36
ADA
dua
perempuan yang amat dekat dan menjadi tempat berbagi Budiman Arifin di kala
senang ataupun susah. Kedua perempuan itu adalah bunda terkasih yang
melahirkannya dan isteri tercinta yang mendampinginya sejak tahun 1983.
Budiman Arifin sangat
memahami benar arti kehadiran sosok ibu sepanjang perjalanan hidupnya. Dan dia
senantiasa berbuat baik kepada ibunda. Bahkan, dia selalu meminta nasehat pada
ibunda manakala menemui noktah kehidupan yang memberi arti dan makna baru.
Di mata Budiman, ibu
adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Dapat dikatakan bahwa ibu merupakan
wanita yang lebih dari apapun, seorang wanita yang diciptakan oleh Allah SWT
yang sangat sempurna. Keikhlasannya akan diciptakan sebagai wanita seutuhnya
untuk bisa mengandung anaknya selama sembilan bulan sepuluh hari lamanya dengan
tidak merasa sedih, takut atau apapun itu. Justru hal itu membuat si ibu menjadi
seorang wanita seutuhnya.
Budiman meyakini benar
bahwa cinta ibu kepada anaknya tidak akan kurang apapun, lantaran seorang ibu
senantiasa menjaga anaknya --baik dalam kondisi tegak maupun dalam keadaan terpuruk.
Di benaknya, seorang ibu selalu menjaga anaknya sejak seorang ibu dinyatakan di
rahimnya bersemayam sebuah nyawa yang harus dirawat. Sejak saat itu pula
seorang ibu senantiasa menjaga baik-baik anak yang berada dalam kandungannya tersebut.
Bahwa kasih sayang
seorang ibu tidak sebatas hanya selama dia menjaga, melindungi, memelihara dan
mengandung anaknya dalam kurun sembilan bulan sepuluh hari. Ibu pun harus pertaruhkan
nyawanya hanya untuk anak yang belum tentu dia bisa mengerti seperti apa
anaknya kelak, tapi benak ibu selalu berpikir positif.
Ibu –dalam benak Budiman
Arifin-- merupakan sosok manusia yang sangat sempurna yang dicipakan oleh Allah
SWT. Ibu diperintahkan oleh Sang Maha Kuasa untuk melahirkan, melindungi, dan menjaga
anak yang dititipkan di rahimnya. Tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan
anaknya terpuruk dalam satu episode kehidupan.
Seburuk apapun seorang
anak, si ibu akan selalu menganggap “dia adalah anak saya“. Kata itu pasti akan
meluncur dari mulut seorang ibu yang akan senantiasa menyayangi anaknya. Ibu
merupakan orang yang paling dibutuhkan pada saat seorang anak merasa sendiri,
ibu lah yang akan selalu menemani kesendirian tersebut.
“Kasih ibu sepanjang
masa“ kata-kata itu memang tidak salah untuk disebutkan untuk seorang ibu.
Kata-kata itu pantas disematkan kepada seluruh ibu di seluruh dunia, karena
terbukti sudah kasih ibu memang tidak bisa dibandingkan dengan berapa tahun
bumi ini sudah dipijak oleh manusia. Cinta seorang ibu kepada anaknya akan
selalu ada dalam hatinya baik mulai dari hidup maupun sesampainya kelak ibu
kita tiada.
Menyambung pepatah “kasih
ibu sepanjang masa”, Budiman tak ingin “kasih anak sepanjang galah”. Dia ingin
“kasih anak sepanjang hayat”. Budiman Arifin benar-benar mencintai ibunya lebih
dari apa saja. Dia teringat pada kisah Jepang kuno yang cukup menggugah nurani
dan empati.
Konon pada zaman dulu, di
Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Alkisah,
ada seorang anak laki-laki yang membawa orang-tuanya (seorang wanita tua) ke
hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat renta dan tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibunya sampai ke tengah hutan belantara.
Sepanjang perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Sampai di tengah
hutan, si anak lalu menurunkan ibunya.
“Bu, kita sudah sampai,” kata
si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia sampai tega
melakukannya.
Si Ibu, dengan tatapan
penuh kasih, berkata, ”Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu
kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan
tulus. Dan sampai detik ini kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang sedikit
pun. Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di
jalan. Sebab itu, Ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon agar bisa kamu
jadikan petunjuk jalan.”
Mendengar kata-kata
ibunya tersebut, sontak hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat
sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan merawatnya dengan baik
sampai ibunya meninggal dunia.
Satu lagi sosok perempuan
yang sangat berarti bagi kehidupan seorang Budiman Arifin adalah isteri
tercinta yang kini telah mendampinginya dalam suka dan duka. Dia berusaha
memimpin dan ngemong isterinya dalam
mengarungi bahtera rumah tangga. Tatkala masalah internal melanda rumah tangga,
dia berusaha menyelesaikan berdua sebagai suami-isteri, bukan
"mengundang" pihak ketiga.
A.
Merajut
Pernikahan dengan Isteri
Kota Tanjung Selor tahun
1978. Tersebutlah salah seorang siswi SMP di ibukota Kabupaten Bulungan itu
bernama Chairiah –anak Haji Encik Mohammad Hasan, seorang ustadz terpandang di
mata umat Muslim Bulungan. Dalam benaknya sebagai anak baru gedhe (ABG),
keseharian masih lah penuh dengan dunia main-main, belum terpikirkan bagaimana
merajut kasih, apalagi menuju pelaminan.
Tapi, di suatu waktu di
tahun itu, sang ayah Mohammad Hasan kedatangan tamu seorang lelaki muda yang
ketika itu sudah bekerja sebagai staf di Kantor Pemerintah Kabupaten Bulungan
dengan pangkat II-b. Lelaki muda bernama Budiman Arifin itu datang bersama
dengan seorang kerabat yang ternyata teman kuliah Budiman di Universitas
Mulawarman. Maksud kedatangan Budiman cuma satu: melamar Chairiah untuk
diperisteri.
Haji Encik Mohammad Hasan
menerima lamaran dengan tangan terbuka. Dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada
kemauan si anak, Chairiah. Si anak pun mengangguk setuju namun tidak langsung
(secepatnya) menindak-lanjuti lamaran tersebut dengan pernikahan.
“Saya dilamar Pak Budiman
tahun 1978, saat itu baru berumur 15 tahun. Perjodohan ini dicomblangi oleh
kerabat saya yang menjadi teman kuliah Pak Budiman di Universitas Mulawarman,”
tutur Chairiah.
Kendati menerima lamaran
tersebut, Chairiah masih ingin meneruskan sekolah. Ia tidak ingin cepat-cepat
memasuki bahtera rumah tangga.
Benar saja, Chairiah
tetap meneruskan sekolah di bangku SMP dan berlanjut ke SMA di kota Tajung
Selor. Selama sekitar lima tahun di sekolah menengah, Chairiah memelihara asa
untuk bisa tetap merajut kasih dengan lelaki yang umurnya 12 tahun lebih tua
dari dirinya. “Banyak kawan meragukan
apakah saya bisa mencintai lelaki yang usianya jauh di atas saya. Tapi, saya
tetap jalan dan yakin pada pilihan ayah yang menerima lamarannya ketika itu,” tutur
Chairiah yang pada periode 2014-2019 ini terpilih menjadi anggota DPRD
Kalimantan Utara (Kaltara) dari Partai Demokrat ini.
Lalu apa yang
dilakukannya buat merajut kasih waktu itu? Zaman itu belum familiar kehadiran
teknologi telepon seluler (ponsel). Sementara menginjak tahun 1980, Budiman
harus tugas belajar di Jurusan Studi
Pembangunan Ekonomi Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Mulawarman untuk menyelesaikan jenjang strata satu
(S-1). Jarak dari Tanjung Selor ke Samarinda bukanlah dekat secara waktu
ataupun panjang jalan. “Selama lima tahun, istilah orang sekarang pacaran, kami
hanya surat-menyurat saja,” ujar Chairiah mengisahkan sepenggal cerita cintanya
bersama Budiman Arifin..
Akhir tahun 1982, Budiman
Arifin lulus dari prgram strata satu Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Mulawarman. Dia pun harus balik ke Tanjung Selor, kembali
mengabdikan dirinya di Kantor Pemerintah Kabupaten Bulungan. Usia merambat
memasuki 30 tahun, sebuah usia yang matang untuk mulai membangun biduk rumah
tangga.
Sebab itu, Budiman
kembali mendekat Ustadz Mohammad Hasan (ayahanda Chairiah) untuk meminta restu
agar secepatnya diizinkan menikahi perempuan pujaan hatinya. Namun, tetap saja
belum bisa cepat-cepat menikah mengingat saat itu (akhir 1982) Chairiah masih
duduk di bangku kelas 3 SMA.
Pertengah 1983, Chairiah
lulus dari SMA. Budiman Arifin pun terus mendekati. Lalu sampailah pada
kesepakatan antara keluarga orang tua Budiman dan keluarga orang tua Chairiah
bahwa kedua sejoli ini dinikahkan sekitar bulan November 1983. “Baru tahun 1983
kami menikah, ya kira-kira lima bulan setelah saya lulus SMA,” jelas Chairiah.
Usai menikah, karir
Budiman mulai memperlihatkan jalan terang ke masa depan yang lebih
berpengharapan. Di tahun 1983 itu, dia memperoleh kenaikan pangkat dari Pengatur
(II-c) ke Penata Muda (III-a). Pun di memperoleh amanah mengemban jabatan Kepala
Sub. Bagian Perekonomian Rakyat pada Bagian Kantor BKDH Kabupaten Bulungan.
B.
Arti
Peran Isteri bagi Karir Suami
Di awal-awal mengayuh
biduk rumah tangga, Chairiah mengambil peran seorang istri yang mengikuti suami
dari belakang yang lebih fokus mengurusi domestik rumah tangga. Dalam bahasa
konvensional, ia hanya berdandan, memasak dan melahirkan anak sebagaimana peran
isteri tempo dulu. Dan pada rentang waktu 1984-1987, ia melahirkan dua orang
anak masing-masing anak pertama (perempuan) Fitriah dan anak kedua (laki-laki) Adli
Anshari. Ia pun berkonsentrasi membesarkan kedua anak dengan nilai-nilai
kesederhanaan dan kebersahajaan.
Kendati cenderung
menjalankan peran (konvensional) isteri, agaknya keberadaan Chairiah membawa
berkah tersendiri bagi perjalanan karir Budiman Arifin. Jalan karir Budiman
Arifin semakin terang benderang begitu memasuki bahtera rumah tangga bersama
Chairiah. Hanya sekitar tiga tahun mengemban jabatan kepala sub-bagian, tahun
1987, dia dipromosikan menjadi Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten
Bulungan. Relatif lama dia berada di tangga kepala bagian ini. Bahkan ketika
tahun 1997 harus tour of duty, dia
tetap berada di tangga kepala bagian, yakni Kepala Bagian Penyusunan Program
Kantor BKDH Bulungan.
Seolah jalan di tempat.
Di tengah semacam kebuntuan karir itu, sebagai isteri, Chairiah berusaha
membesarkan hati Budiman Arifin. Selama manusia hidup akan selalu menghadapi
ujian, baik berupa kesenangan maupun kesulitan, baik kenaikan jabatan ataupun sekadar
pindah jabatan. Bahkan, tak sedikit orang yang mengalami turun pangkat atau
turun jabatan yang kadang tidak terlalu jelas alasan yang mengedepan. Allah
tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya, begitu Chairiah berusaha
membesarkan hati dan menguatkan ihktiar sang suami Budiman Arifin untuk terus
memperbaiki diri.
Benar lah dorongan
Chairiah kepada sang suami. Tak lama berselang, tahun 1996, Budiman memperoleh
promosi menjadi kepala dinas. Di tahun itu, dia diberi amanah memangku jabatan Kepala
Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bulungan.
Karir Budiman terus
bersinar. Tiga tahun memangku jabatan kepala dinas, dia kembali memperoleh
promosi. Kali ini, 1999, dia promosi ke jabatan Sekretaris Daerah (Sesda). Namun,
promosi ini tidak berhenti di Kabupaten Bulungan, dia mesti menapaki tangga
Sesda di Kabupaten Nunukan –yang kini juga menjadi bagian Provinsi (baru)
Kalimantan Utara.
Sebagai isteri, Chairiah
tetap menemani serta mendampingi sang suami ke mana saja menjalankan tugas. Apapun
yang terjadi, ia tetap setia mengikuti suami bertugas ke Kabupaten Nunukan yang
berbatasan dengan Negeri Jiran Malaysia. Sampai-sampai ia mengorbankan dirinya.
“Tanpa saya sadari, ketika itu saya rupanya hamil anak yang ketiga. Tahu-tahu
saya mengalami pendarahan dan dari hasil pemeriksaan dokter, saya mengalami
keguguran,” ujar Chairiah sedikit sedih mengenang peristiwa kehilangan janin
yang diamanahkan oleh Tuhan kepada dirinya. Ia tak ingin berlama-lama dalam
kesedihan. Dia berusaha cepat bangkit dan terus mendampingi Budiman Arifin.
Waktu terus melaju. Tanpa
terasa, hampir lima tahun Budiman Arifin berada di tangga Sesda Pemerintah
Kabupaten Nunukan. Terasa seolah sudah tamat karirnya. Di tengah kejenuhan
Budiman berada di “puncak” karir PNS lingkungan pemerintah kabupaten, Chairiah
terus memberi dukungan agar dirinya berbesar hati menerima suratan tangan. Memang,
banyak PNS yang seakan menunggu masa pensiun ketika berada di kursi Sesda.
Hanya ada dua pilihan ketika telah terlalu lama menjabat Sesda: memasuki masa
pensiun atau dimutasi ke pusat.
Memasuki 2005, warga
masyarakat Kabupaten Bulungan bersiap memilih kepala daerah (bupati) yang baru
karena pejabat lama Anang Dachlan Djauhari telah habis masa baktinya. Budiman
pun berpikir ingin maju mencalonkan diri. Lantaran sudah cukup lama
meninggalkan Kabupaten Bulungan, tentu membutuhkan perjuangan dan kerja keras.
Minimal dia harus kembali memperkenalkan diri ke warga Bulungan –termasuk ke
pelosok-pelosok nun jauh di pedalaman.
Chairiah mendukung penuh
tekad sang suami yang hendak maju pada pencalonan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) Kabupaten Bulungan tahun 2005. Termasuk tatkala harus mendampingi
sang suami berkampanye ke wilayah-wilayah pelosok yang selama ini belum pernah
disentuh oleh pemimpin-pemimpin daerah di masa-masa sebelum 2005. “Sampai kampanye
ke Long Yin, saya ikut. Ke sana hanya bisa dengan kentinting, tidak bisa dengan
perahu yang besar, karena dasar sungai itu batu, kalau terlalu besar bisa
kandas. Saya ke sana, orang lain tidak ada yang masuk, baik pada Pilkada 2005
maupun Pilkada 2010. Kami sampai harus duduk dengan kaki menekuk selama sekitar
tiga jam untuk sampai ke sana,” tutur Chairiah ihwal suka-dukanya mendampingi
Budiman Arifin. Dan, Budiman Arifin pun terpilih pada Pilkada Kabupaten
Bulungan 2005 dan 2010.
Ketika Budiman Arifin
menapaki kursi Bupati Bulungan, tak pelak Chairiah aktif memberikan dukungan.
Bentuk dukungan tersebut antara lain diwujudkan dengan menerima amanah menjadi Ketua
Dewan Kerajinan Daerah, Penasehat PKK, Penasehat Al Khairat Kabupaten Bulungan
dan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Bulungan.
Dalam mendukung karir dan
kinerja Budiman Arifin, satu catatan menarik, Chairiah tidak ingin sampai
mencampuri urusan dinas. Ia tetap berusaha memisahkan mana urusan yang dapat
dicampuri dan mana pula urusan yang cukup diselesaikan oleh sang suami selaku
pejabat publik.
Tutur Chairiah:
“Kalau ada kasus
tergantung pada keluarga. Alhamdulillah keluarga menjalani apa adanya. Kami
ingin di akhir jabatan Bapak, baguslah. Anak-anak tidak merongrong yang bisa
menjerumuskan ke kasus-kasus hukum. Saya sudah diwanti-wanti Bapak bahwa kalau
kamu tidak tahu banyak maka tidak perlu ikut ngomong, tidak ikut campur. Beliau
pengalaman bekerja dengan mantan Bupati (Pak Soetadji –Bupati Bulungan
1972-1977 dan 1977-1985 Kolonel H. Soetadji - pen), yang asli orang Jawa Timur. Kalau ada rapat, tiba-iba ibu
nongol maka beliau langsung marah. Jadi beliau ingat bahwa buat kebaikan
pemimpin, isteri nggak usah ikut
campur. Ranahnya berbeda.
Pak Budiman
termasuk tipe orang yang tidak ingin membawa pulang permasalahan kantor, cukup
diselesaikan di sana. Tapi begitu ada kasus, beliau langsung ambil tindakan,
tidak sampai ke rumah tangga. Satu cerita, waktu Pilkada 2010, beliau menang
tipis, beliau cuma menang 320 suara. Sementara kandidat lain sudah keluar modal
banyak. Kandidat lain itu pun penasaran. Lalu ada koran, maklum koran, memberitakan
dalam bahasa koran bahwa Pak Budiman ditangkap. Koran di-foto-copy langsung disebar-luaskan. Sebagai perempuan jelas ada
perasaan yang tidak rela. Tapi saat saya tanya langsung ke Bapak, beliau
katakan ya saya tidak seperti itu. Saya percaya Bapak tidak begitu.”
Pendek kata, suka adalah
milik bersama dan duka juga dihadapi bersama. Dalam diri Chairiah dan Budiman
Arifin tumbuh kesadaran untuk bahu-menbahu dengan menyadari posisi dan tugas
masing-masing sehingga mampu menciptakan sinergi yang sangat besar bagi sebuah
keluarga dalam mencapai keberhasilan yang dicita-citakan. Bukan saling menarik
untuk menjatuhkan satu sama lainnya, sampai-sampai tak pernah ada yang mencapai
puncak.
Apa yang dilakukan
Chairiah mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pencalonan presiden Amerika.
Di Negeri Paman Sam itu ada beberapa istri calon pesiden yang sangat menonjol
perannya selama masa kampanye pemilihan presiden. Tak sedikit pula yang tetap “bersinar” ketika akhirnya menjadi first lady di White House. Di antara deretan wanita tangguh tersebut
terdapat nama Hillary Rodham Clinton. Semua orang mengakui, perempuan yang satu
ini memberikan dukungan sangat signifikan saat pemilihan presiden Amerika tahun
1992, yang kemudian dimenangkan oleh sang suami, Presiden Bill Clinton.
Pun tatkala Presiden Bill
Clinton nyaris kehilangan jabatan gara-gara kasus perselingkuhannya dengan Monica
Lewinsky terungkap ke publik, Hillary kembali hadir. Secara mengejutkan, ia
menyampaikan pidato di hadapan media dan menyatakan bahwa dirinya memaafkan
perbuatan sang suami. Ujungnya, publik yang semula mengecam, berbalik ikut
memaafkan sang presiden, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh si ibu negara.
C.
Mendorong
Karir Isteri Terjun ke Politik
Dalam perjalanannya,
Chairiah tidak sekadar menjadi “teman belakang” Budiman Arifin. Bila Chairiah
cukup besar mengambil peran mendorong karir sang suami, pun demikian Budiman
Arifin dalam mendukung si isteri untuk berkiprah lebih luas dari sebatas urusan
domestik rumah tangga.
Di tengah kiprah Budiman
Arifin sebagai kepala daerah di Kabupaten Bulungan, tawaran panggung politik
juga datang ke diri Chairiah. Sejak 2006, ia terjun ke jagad politik yang
mayoritas dihuni kaum Adam. Kisahnya lebih dalam:
“Saya ceritakan
dari awal. Pertama datang kepada saya tawaran dari Ketua DPD Demokrat Provinsi Kalimantan Timur
ke Pak Budiman untuk menjadi Ketua DPC Demokrat Kabupaten Bulungan. Tapi, karena
terbentur beliau PNS dan tidak boleh berpolitik, lalu ditawarkan lah ke saya.
Saya pun tidak menerima begitu saja, berbulan-bulan mikirnya karena selama ini
saya lebih banyak berhubungan dengan ibu-ibu, berkomunikasi dengan ibu-ibu.
Berpolitik ini kan lebih banyak berurusan dengan laki-laki atau dunianya
laki-laki. Kata Bapak, ya terima saja, saya di belakangmu. Maka saya terima
jabatan Ketua DPC Demokrat Kabupaten Bulungan. Waktu itu 2006, sekarang saya
sudah dua periode. Begitu pencalonan anggota legislatif 2009, saya ditawari
untuk legislatif di tingkat provinsi. Sementara berkas saya sudah terlanjur masuk
di KPU Kabupaten Bulungan, semua berkas semua sudah ada di sana. Tapi, oleh Ketua
DPD Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Timur, saya ditelepon, masa Bu Chairiah
berlawanan atau berkompetisi dengan anak buah sendiri. Saya bilang bagaimana
Pak berkas saya sudah masuk di KPU kabupaten. Ketua DPD langsung katakan, ‘tarik
saja kembali, nanti kamu saya kasih nomor satu’. Saya ditempatkan di Daerah Pemilihan
V (Tarakan, Nunukan, Malinau, Bulungan, dan Tana Tidung).
Sementara, saya ini
orang yang suka mengikuti ke mana saja Bapak pergi. Jadi saat itu saya tidak
mengharapkan menang tapi tetap mau berjuang. Alhamdulillah dapat suara lebih
dari 8.000 dan berhak mendapat satu kursi. Duduklah saya di DPRD Provinsi
Kalimantan Timur periode 2009-2014 dan tinggal di Samarinda, ibukota Provinsi
Kaltim. Lalu ada ibu-ibu di Bulungan ini nyeletuk, ‘ibu itu jahat’. Kenapa? ‘Masa
sih ninggalin Bapak’. Tapi, ya ini
tugas, maka dua pekan sekali saya pulang ke Tanjung Selor, sejak dari 2009 itu.
Tahun 2014, saya kembali terpilih, insyaallah kali ini saya duduk di DPRD
Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Ya mulai 2014 di Kaltara, anggota DPRD
Provinsi Kaltara periode 2014-2019. Di sini ada 35 kursi, Demokrat memperoleh lima
kursi.”
Pada masa jabatannya yang
akan berakhir pada 2015 nanti, Budiman Arifin tidak ingin ajimumpung. Kendati
sempat berkembang suara-suara agar Chairiah tidak sekadar menjadi wakil rakyat
tapi digadang-gadang maju Pilkada 2015, Budiman tidak serta merta memenuhi arus
suara itu. Dan, Chairiah pun merasa tahu diri, cukup fokus di kursi wakil
rakyat Kalimantan Utara.
Jelas Chairiah, “Ada suara-suara
yang mendorong saya menggantikan Bapak. Tapi saya bilang tidak, saya cukup di
Dewan, saya ingin fokus di situ. Karena sejauh ini belum kelihatan, siapa yang
dikader Bapak. Untuk 2015 nanti, sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa
calon kepala daerah yang akan diusung Partai Demokrat. Dari partai lain sih
tampaknya sudah ada. Sementara dari kader Partai Demokrat hanya ngomong nanti
sajalah Pak, kan masih lama. Barangkali banyak yang kurang percaya diri karena
melihat prestasi Bapak selama dua periode ini.”
Budiman Arifin tidak
ngotot betul bahwa Chairiah mesti menggantikan dirinya pasca 2015. Memang ada
beberapa gejala isteri menggantikan suaminya menjadi bupati setelah sang suami
tak lagi berhak mencalonkan diri. Tercatat misalkan suksesi Bupati Indramayu,
Jawa Barat. Tampak ada kepatutan politik-sosial yang ingin tetap dijaga oleh
sosok Chairiah yang mulai mengenal politik praktis relatif belum terlalu lama.
D.
Doa
dan Restu Ibu
Di mata Chairiah, Budiman
Arifin merupakan sosok yang senang mempelajari ilmu agama melalui ihktiar bertanya
ke habib, ziarah ke makam-makam orang saleh (kemudian mengambil pelajaran/hikmah
dari tokoh) dan memperbanyak salawat. Tak ketinggalan pula, Budiman taat shalat
lima waktu dan beberapa shalat sunah utama.
Lalu ketika dia sedang
bersimpuh di antara rakaat-rakaat shalatnya di sajadah jauh di keheningan waktu,
Budiman senantiasa mendoakan buatu kesehatan dan keselamatan sang ibu yang
telah membesarkannya dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ikatan bathin yang
ada diantara dia dan Ibunya begitu indah terjalin dan menjadi sumber kebaikan
yang tak akan habis bagi keduanya.
Disamping itu, Sang Ibu telah mengajarkan sebuah filosofi hidup yang tak
akan pernah ia lupakan. Sang Ibu mengajarkan kepadanya, “Ingatlah bahwa kita
selalu hidup di antara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita
untuk melakukan segala aktivitas: Kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu,
beristirahat dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat
telah tiba, tinggalkan semua itu untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan
ikhlas.”
Budiman pun tidak pernah
lupa mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Rabb, begitu banyak kebaikan yang
telah diberikan oleh Ibuku. Ampuni segala dosanya, balaslah segala kebaikan
yang telah ia berikan kepadaku dengan balasan yang berlipat ganda dan tempatkan
ia di sisi-Mu bersama dengan hamba-hamba Engkau yang shaleh.”
Budiman Arifin memang
sangat dekat pada sang bunda, bahkan sejak masih kanak-kanak di Kota Tarakan.
Dia senantiasa meminta doa dan restu pada sang bunda setiap kali menemui noktah
perjalanan hidup yang penuh artidan makna. Misalkan ketika dia harus keluar
dari Tanjung Selor untuk menunaikan tugas belajar ke Samarinda. Saat mendapat
perintah tugas belajar dari atasannya, yang pertama kali dia lakukan adalah
pulang kampung ke Tarakan untuk bersimpuh di kaki sang bunda meminta doa dan
restu agar perjalanan tugasnya senantiasa diberkahi dan diridhoi oleh Allah
SWT.
“Beliau selalu pulang ke
Tarakan meminta doa dan restu kepada ibu saya sebelum menjalankan tugas yang
diberikan oleh atasannya. Terutama tugas-tugas yang mengharuskan ke luar daerah
dalam waktu yang relatif lama. Kalau ibu merestui, beliau akan kembali menghadap
atasannya dan berangkat menjalankan tugas,” tutur Ruslan Arifin, adik kandung
Budiman Arifin, yang kini menjadi Kepala Dinas Kominfo Kota Tarakan.
Apa pun yang terjadi
dalam kehidupan ini, Budiman Arifin selalu menomor-satukan sang bunda. Dia
selalu teringat pada hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, “Seseorang
datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab,
‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi
menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim) ***
No comments:
Post a Comment