Sunday, September 7, 2014

Menghormati Ibu dan Mencintai Isteri

* DUA


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
QS An Nisaa’ [4]: 36

ADA dua perempuan yang amat dekat dan menjadi tempat berbagi Budiman Arifin di kala senang ataupun susah. Kedua perempuan itu adalah bunda terkasih yang melahirkannya dan isteri tercinta yang mendampinginya sejak tahun 1983.
Budiman Arifin sangat memahami benar arti kehadiran sosok ibu sepanjang perjalanan hidupnya. Dan dia senantiasa berbuat baik kepada ibunda. Bahkan, dia selalu meminta nasehat pada ibunda manakala menemui noktah kehidupan yang memberi arti dan makna baru.
Di mata Budiman, ibu adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Dapat dikatakan bahwa ibu merupakan wanita yang lebih dari apapun, seorang wanita yang diciptakan oleh Allah SWT yang sangat sempurna. Keikhlasannya akan diciptakan sebagai wanita seutuhnya untuk bisa mengandung anaknya selama sembilan bulan sepuluh hari lamanya dengan tidak merasa sedih, takut atau apapun itu. Justru hal itu membuat si ibu menjadi seorang wanita seutuhnya.
Budiman meyakini benar bahwa cinta ibu kepada anaknya tidak akan kurang apapun, lantaran seorang ibu senantiasa menjaga anaknya --baik dalam kondisi tegak maupun dalam keadaan terpuruk. Di benaknya, seorang ibu selalu menjaga anaknya sejak seorang ibu dinyatakan di rahimnya bersemayam sebuah nyawa yang harus dirawat. Sejak saat itu pula seorang ibu senantiasa menjaga baik-baik anak yang berada dalam kandungannya tersebut.
Bahwa kasih sayang seorang ibu tidak sebatas hanya selama dia menjaga, melindungi, memelihara dan mengandung anaknya dalam kurun sembilan bulan sepuluh hari. Ibu pun harus pertaruhkan nyawanya hanya untuk anak yang belum tentu dia bisa mengerti seperti apa anaknya kelak, tapi benak ibu selalu berpikir positif.
Ibu –dalam benak Budiman Arifin-- merupakan sosok manusia yang sangat sempurna yang dicipakan oleh Allah SWT. Ibu diperintahkan oleh Sang Maha Kuasa untuk melahirkan, melindungi, dan menjaga anak yang dititipkan di rahimnya. Tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan anaknya terpuruk dalam satu episode kehidupan.
Seburuk apapun seorang anak, si ibu akan selalu menganggap “dia adalah anak saya“. Kata itu pasti akan meluncur dari mulut seorang ibu yang akan senantiasa menyayangi anaknya. Ibu merupakan orang yang paling dibutuhkan pada saat seorang anak merasa sendiri, ibu lah yang akan selalu menemani kesendirian tersebut.
“Kasih ibu sepanjang masa“ kata-kata itu memang tidak salah untuk disebutkan untuk seorang ibu. Kata-kata itu pantas disematkan kepada seluruh ibu di seluruh dunia, karena terbukti sudah kasih ibu memang tidak bisa dibandingkan dengan berapa tahun bumi ini sudah dipijak oleh manusia. Cinta seorang ibu kepada anaknya akan selalu ada dalam hatinya baik mulai dari hidup maupun sesampainya kelak ibu kita tiada.
Menyambung pepatah “kasih ibu sepanjang masa”, Budiman tak ingin “kasih anak sepanjang galah”. Dia ingin “kasih anak sepanjang hayat”. Budiman Arifin benar-benar mencintai ibunya lebih dari apa saja. Dia teringat pada kisah Jepang kuno yang cukup menggugah nurani dan empati.
Konon pada zaman dulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Alkisah, ada seorang anak laki-laki yang membawa orang-tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat renta dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibunya sampai ke tengah hutan belantara. Sepanjang perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Sampai di tengah hutan, si anak lalu menurunkan ibunya.
“Bu, kita sudah sampai,” kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia sampai tega melakukannya.
Si Ibu, dengan tatapan penuh kasih, berkata, ”Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang sedikit pun. Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Sebab itu, Ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan.”
Mendengar kata-kata ibunya tersebut, sontak hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.
Satu lagi sosok perempuan yang sangat berarti bagi kehidupan seorang Budiman Arifin adalah isteri tercinta yang kini telah mendampinginya dalam suka dan duka. Dia berusaha memimpin dan ngemong isterinya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tatkala masalah internal melanda rumah tangga, dia berusaha menyelesaikan berdua sebagai suami-isteri, bukan "mengundang" pihak ketiga.

A.   Merajut Pernikahan dengan Isteri
Kota Tanjung Selor tahun 1978. Tersebutlah salah seorang siswi SMP di ibukota Kabupaten Bulungan itu bernama Chairiah –anak Haji Encik Mohammad Hasan, seorang ustadz terpandang di mata umat Muslim Bulungan. Dalam benaknya sebagai anak baru gedhe (ABG), keseharian masih lah penuh dengan dunia main-main, belum terpikirkan bagaimana merajut kasih, apalagi menuju pelaminan.
Tapi, di suatu waktu di tahun itu, sang ayah Mohammad Hasan kedatangan tamu seorang lelaki muda yang ketika itu sudah bekerja sebagai staf di Kantor Pemerintah Kabupaten Bulungan dengan pangkat II-b. Lelaki muda bernama Budiman Arifin itu datang bersama dengan seorang kerabat yang ternyata teman kuliah Budiman di Universitas Mulawarman. Maksud kedatangan Budiman cuma satu: melamar Chairiah untuk diperisteri.
Haji Encik Mohammad Hasan menerima lamaran dengan tangan terbuka. Dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan si anak, Chairiah. Si anak pun mengangguk setuju namun tidak langsung (secepatnya) menindak-lanjuti lamaran tersebut dengan pernikahan.
“Saya dilamar Pak Budiman tahun 1978, saat itu baru berumur 15 tahun. Perjodohan ini dicomblangi oleh kerabat saya yang menjadi teman kuliah Pak Budiman di Universitas Mulawarman,” tutur Chairiah.
Kendati menerima lamaran tersebut, Chairiah masih ingin meneruskan sekolah. Ia tidak ingin cepat-cepat memasuki bahtera rumah tangga.
Benar saja, Chairiah tetap meneruskan sekolah di bangku SMP dan berlanjut ke SMA di kota Tajung Selor. Selama sekitar lima tahun di sekolah menengah, Chairiah memelihara asa untuk bisa tetap merajut kasih dengan lelaki yang umurnya 12 tahun lebih tua dari dirinya. “Banyak kawan  meragukan apakah saya bisa mencintai lelaki yang usianya jauh di atas saya. Tapi, saya tetap jalan dan yakin pada pilihan ayah yang menerima lamarannya ketika itu,” tutur Chairiah yang pada periode 2014-2019 ini terpilih menjadi anggota DPRD Kalimantan Utara (Kaltara) dari Partai Demokrat ini.
Lalu apa yang dilakukannya buat merajut kasih waktu itu? Zaman itu belum familiar kehadiran teknologi telepon seluler (ponsel). Sementara menginjak tahun 1980, Budiman harus tugas belajar di Jurusan Studi  Pembangunan Ekonomi Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Mulawarman  untuk menyelesaikan jenjang strata satu (S-1). Jarak dari Tanjung Selor ke Samarinda bukanlah dekat secara waktu ataupun panjang jalan. “Selama lima tahun, istilah orang sekarang pacaran, kami hanya surat-menyurat saja,” ujar Chairiah mengisahkan sepenggal cerita cintanya bersama Budiman Arifin..
Akhir tahun 1982, Budiman Arifin lulus dari prgram strata satu Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Dia pun harus balik ke Tanjung Selor, kembali mengabdikan dirinya di Kantor Pemerintah Kabupaten Bulungan. Usia merambat memasuki 30 tahun, sebuah usia yang matang untuk mulai membangun biduk rumah tangga.
Sebab itu, Budiman kembali mendekat Ustadz Mohammad Hasan (ayahanda Chairiah) untuk meminta restu agar secepatnya diizinkan menikahi perempuan pujaan hatinya. Namun, tetap saja belum bisa cepat-cepat menikah mengingat saat itu (akhir 1982) Chairiah masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
Pertengah 1983, Chairiah lulus dari SMA. Budiman Arifin pun terus mendekati. Lalu sampailah pada kesepakatan antara keluarga orang tua Budiman dan keluarga orang tua Chairiah bahwa kedua sejoli ini dinikahkan sekitar bulan November 1983. “Baru tahun 1983 kami menikah, ya kira-kira lima bulan setelah saya lulus SMA,” jelas Chairiah.
Usai menikah, karir Budiman mulai memperlihatkan jalan terang ke masa depan yang lebih berpengharapan. Di tahun 1983 itu, dia memperoleh kenaikan pangkat dari Pengatur (II-c) ke Penata Muda (III-a). Pun di memperoleh amanah mengemban jabatan Kepala Sub. Bagian Perekonomian Rakyat pada Bagian Kantor BKDH Kabupaten Bulungan.

B.    Arti Peran Isteri bagi Karir Suami

Di awal-awal mengayuh biduk rumah tangga, Chairiah mengambil peran seorang istri yang mengikuti suami dari belakang yang lebih fokus mengurusi domestik rumah tangga. Dalam bahasa konvensional, ia hanya berdandan, memasak dan melahirkan anak sebagaimana peran isteri tempo dulu. Dan pada rentang waktu 1984-1987, ia melahirkan dua orang anak masing-masing anak pertama (perempuan) Fitriah dan anak kedua (laki-laki) Adli Anshari. Ia pun berkonsentrasi membesarkan kedua anak dengan nilai-nilai kesederhanaan dan kebersahajaan.
Kendati cenderung menjalankan peran (konvensional) isteri, agaknya keberadaan Chairiah membawa berkah tersendiri bagi perjalanan karir Budiman Arifin. Jalan karir Budiman Arifin semakin terang benderang begitu memasuki bahtera rumah tangga bersama Chairiah. Hanya sekitar tiga tahun mengemban jabatan kepala sub-bagian, tahun 1987, dia dipromosikan menjadi Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Bulungan. Relatif lama dia berada di tangga kepala bagian ini. Bahkan ketika tahun 1997 harus tour of duty, dia tetap berada di tangga kepala bagian, yakni Kepala Bagian Penyusunan Program Kantor BKDH Bulungan.
Seolah jalan di tempat. Di tengah semacam kebuntuan karir itu, sebagai isteri, Chairiah berusaha membesarkan hati Budiman Arifin. Selama manusia hidup akan selalu menghadapi ujian, baik berupa kesenangan maupun kesulitan, baik kenaikan jabatan ataupun sekadar pindah jabatan. Bahkan, tak sedikit orang yang mengalami turun pangkat atau turun jabatan yang kadang tidak terlalu jelas alasan yang mengedepan. Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya, begitu Chairiah berusaha membesarkan hati dan menguatkan ihktiar sang suami Budiman Arifin untuk terus memperbaiki diri.
Benar lah dorongan Chairiah kepada sang suami. Tak lama berselang, tahun 1996, Budiman memperoleh promosi menjadi kepala dinas. Di tahun itu, dia diberi amanah memangku jabatan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bulungan.
Karir Budiman terus bersinar. Tiga tahun memangku jabatan kepala dinas, dia kembali memperoleh promosi. Kali ini, 1999, dia promosi ke jabatan Sekretaris Daerah (Sesda). Namun, promosi ini tidak berhenti di Kabupaten Bulungan, dia mesti menapaki tangga Sesda di Kabupaten Nunukan –yang kini juga menjadi bagian Provinsi (baru) Kalimantan Utara.
Sebagai isteri, Chairiah tetap menemani serta mendampingi sang suami ke mana saja menjalankan tugas. Apapun yang terjadi, ia tetap setia mengikuti suami bertugas ke Kabupaten Nunukan yang berbatasan dengan Negeri Jiran Malaysia. Sampai-sampai ia mengorbankan dirinya. “Tanpa saya sadari, ketika itu saya rupanya hamil anak yang ketiga. Tahu-tahu saya mengalami pendarahan dan dari hasil pemeriksaan dokter, saya mengalami keguguran,” ujar Chairiah sedikit sedih mengenang peristiwa kehilangan janin yang diamanahkan oleh Tuhan kepada dirinya. Ia tak ingin berlama-lama dalam kesedihan. Dia berusaha cepat bangkit dan terus mendampingi Budiman Arifin.
Waktu terus melaju. Tanpa terasa, hampir lima tahun Budiman Arifin berada di tangga Sesda Pemerintah Kabupaten Nunukan. Terasa seolah sudah tamat karirnya. Di tengah kejenuhan Budiman berada di “puncak” karir PNS lingkungan pemerintah kabupaten, Chairiah terus memberi dukungan agar dirinya berbesar hati menerima suratan tangan. Memang, banyak PNS yang seakan menunggu masa pensiun ketika berada di kursi Sesda. Hanya ada dua pilihan ketika telah terlalu lama menjabat Sesda: memasuki masa pensiun atau dimutasi ke pusat.
Memasuki 2005, warga masyarakat Kabupaten Bulungan bersiap memilih kepala daerah (bupati) yang baru karena pejabat lama Anang Dachlan Djauhari telah habis masa baktinya. Budiman pun berpikir ingin maju mencalonkan diri. Lantaran sudah cukup lama meninggalkan Kabupaten Bulungan, tentu membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Minimal dia harus kembali memperkenalkan diri ke warga Bulungan –termasuk ke pelosok-pelosok nun jauh di pedalaman.
Chairiah mendukung penuh tekad sang suami yang hendak maju pada pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bulungan tahun 2005. Termasuk tatkala harus mendampingi sang suami berkampanye ke wilayah-wilayah pelosok yang selama ini belum pernah disentuh oleh pemimpin-pemimpin daerah di masa-masa sebelum 2005. “Sampai kampanye ke Long Yin, saya ikut. Ke sana hanya bisa dengan kentinting, tidak bisa dengan perahu yang besar, karena dasar sungai itu batu, kalau terlalu besar bisa kandas. Saya ke sana, orang lain tidak ada yang masuk, baik pada Pilkada 2005 maupun Pilkada 2010. Kami sampai harus duduk dengan kaki menekuk selama sekitar tiga jam untuk sampai ke sana,” tutur Chairiah ihwal suka-dukanya mendampingi Budiman Arifin. Dan, Budiman Arifin pun terpilih pada Pilkada Kabupaten Bulungan 2005 dan 2010.
Ketika Budiman Arifin menapaki kursi Bupati Bulungan, tak pelak Chairiah aktif memberikan dukungan. Bentuk dukungan tersebut antara lain diwujudkan dengan menerima amanah menjadi Ketua Dewan Kerajinan Daerah, Penasehat PKK, Penasehat Al Khairat Kabupaten Bulungan dan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Bulungan.
Dalam mendukung karir dan kinerja Budiman Arifin, satu catatan menarik, Chairiah tidak ingin sampai mencampuri urusan dinas. Ia tetap berusaha memisahkan mana urusan yang dapat dicampuri dan mana pula urusan yang cukup diselesaikan oleh sang suami selaku pejabat publik.
Tutur Chairiah:
“Kalau ada kasus tergantung pada keluarga. Alhamdulillah keluarga menjalani apa adanya. Kami ingin di akhir jabatan Bapak, baguslah. Anak-anak tidak merongrong yang bisa menjerumuskan ke kasus-kasus hukum. Saya sudah diwanti-wanti Bapak bahwa kalau kamu tidak tahu banyak maka tidak perlu ikut ngomong, tidak ikut campur. Beliau pengalaman bekerja dengan mantan Bupati (Pak Soetadji –Bupati Bulungan 1972-1977 dan 1977-1985 Kolonel H. Soetadji - pen), yang asli orang Jawa Timur. Kalau ada rapat, tiba-iba ibu nongol maka beliau langsung marah. Jadi beliau ingat bahwa buat kebaikan pemimpin, isteri nggak usah ikut campur. Ranahnya berbeda.
Pak Budiman termasuk tipe orang yang tidak ingin membawa pulang permasalahan kantor, cukup diselesaikan di sana. Tapi begitu ada kasus, beliau langsung ambil tindakan, tidak sampai ke rumah tangga. Satu cerita, waktu Pilkada 2010, beliau menang tipis, beliau cuma menang 320 suara. Sementara kandidat lain sudah keluar modal banyak. Kandidat lain itu pun penasaran. Lalu ada koran, maklum koran, memberitakan dalam bahasa koran bahwa Pak Budiman ditangkap. Koran di-foto-copy langsung disebar-luaskan. Sebagai perempuan jelas ada perasaan yang tidak rela. Tapi saat saya tanya langsung ke Bapak, beliau katakan ya saya tidak seperti itu. Saya percaya Bapak tidak begitu.”
Pendek kata, suka adalah milik bersama dan duka juga dihadapi bersama. Dalam diri Chairiah dan Budiman Arifin tumbuh kesadaran untuk bahu-menbahu dengan menyadari posisi dan tugas masing-masing sehingga mampu menciptakan sinergi yang sangat besar bagi sebuah keluarga dalam mencapai keberhasilan yang dicita-citakan. Bukan saling menarik untuk menjatuhkan satu sama lainnya, sampai-sampai tak pernah ada yang mencapai puncak.
Apa yang dilakukan Chairiah mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pencalonan presiden Amerika. Di Negeri Paman Sam itu ada beberapa istri calon pesiden yang sangat menonjol perannya selama masa kampanye pemilihan presiden. Tak sedikit pula yang tetap “bersinar”  ketika akhirnya menjadi first lady di White House. Di antara deretan wanita tangguh tersebut terdapat nama Hillary Rodham Clinton. Semua orang mengakui, perempuan yang satu ini memberikan dukungan sangat signifikan saat pemilihan presiden Amerika tahun 1992, yang kemudian dimenangkan oleh sang suami, Presiden Bill Clinton.
Pun tatkala Presiden Bill Clinton nyaris kehilangan jabatan gara-gara kasus perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky terungkap ke publik, Hillary kembali hadir. Secara mengejutkan, ia menyampaikan pidato di hadapan media dan menyatakan bahwa dirinya memaafkan perbuatan sang suami. Ujungnya, publik yang semula mengecam, berbalik ikut memaafkan sang presiden, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh si ibu negara.

C.   Mendorong Karir Isteri Terjun ke Politik
Dalam perjalanannya, Chairiah tidak sekadar menjadi “teman belakang” Budiman Arifin. Bila Chairiah cukup besar mengambil peran mendorong karir sang suami, pun demikian Budiman Arifin dalam mendukung si isteri untuk berkiprah lebih luas dari sebatas urusan domestik rumah tangga.
Di tengah kiprah Budiman Arifin sebagai kepala daerah di Kabupaten Bulungan, tawaran panggung politik juga datang ke diri Chairiah. Sejak 2006, ia terjun ke jagad politik yang mayoritas dihuni kaum Adam. Kisahnya lebih dalam:
“Saya ceritakan dari awal. Pertama datang kepada saya tawaran dari  Ketua DPD Demokrat Provinsi Kalimantan Timur ke Pak Budiman untuk menjadi Ketua DPC Demokrat Kabupaten Bulungan. Tapi, karena terbentur beliau PNS dan tidak boleh berpolitik, lalu ditawarkan lah ke saya. Saya pun tidak menerima begitu saja, berbulan-bulan mikirnya karena selama ini saya lebih banyak berhubungan dengan ibu-ibu, berkomunikasi dengan ibu-ibu. Berpolitik ini kan lebih banyak berurusan dengan laki-laki atau dunianya laki-laki. Kata Bapak, ya terima saja, saya di belakangmu. Maka saya terima jabatan Ketua DPC Demokrat Kabupaten Bulungan. Waktu itu 2006, sekarang saya sudah dua periode. Begitu pencalonan anggota legislatif 2009, saya ditawari untuk legislatif di tingkat provinsi. Sementara berkas saya sudah terlanjur masuk di KPU Kabupaten Bulungan, semua berkas semua sudah ada di sana. Tapi, oleh Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Timur, saya ditelepon, masa Bu Chairiah berlawanan atau berkompetisi dengan anak buah sendiri. Saya bilang bagaimana Pak berkas saya sudah masuk di KPU kabupaten. Ketua DPD langsung katakan, ‘tarik saja kembali, nanti kamu saya kasih nomor satu’. Saya ditempatkan di Daerah Pemilihan V (Tarakan, Nunukan, Malinau, Bulungan, dan Tana Tidung).
Sementara, saya ini orang yang suka mengikuti ke mana saja Bapak pergi. Jadi saat itu saya tidak mengharapkan menang tapi tetap mau berjuang. Alhamdulillah dapat suara lebih dari 8.000 dan berhak mendapat satu kursi. Duduklah saya di DPRD Provinsi Kalimantan Timur periode 2009-2014 dan tinggal di Samarinda, ibukota Provinsi Kaltim. Lalu ada ibu-ibu di Bulungan ini nyeletuk, ‘ibu itu jahat’. Kenapa? ‘Masa sih ninggalin Bapak’. Tapi, ya ini tugas, maka dua pekan sekali saya pulang ke Tanjung Selor, sejak dari 2009 itu. Tahun 2014, saya kembali terpilih, insyaallah kali ini saya duduk di DPRD Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Ya mulai 2014 di Kaltara, anggota DPRD Provinsi Kaltara periode 2014-2019. Di sini ada 35 kursi, Demokrat memperoleh lima kursi.”
Pada masa jabatannya yang akan berakhir pada 2015 nanti, Budiman Arifin tidak ingin ajimumpung. Kendati sempat berkembang suara-suara agar Chairiah tidak sekadar menjadi wakil rakyat tapi digadang-gadang maju Pilkada 2015, Budiman tidak serta merta memenuhi arus suara itu. Dan, Chairiah pun merasa tahu diri, cukup fokus di kursi wakil rakyat Kalimantan Utara.
Jelas Chairiah, “Ada suara-suara yang mendorong saya menggantikan Bapak. Tapi saya bilang tidak, saya cukup di Dewan, saya ingin fokus di situ. Karena sejauh ini belum kelihatan, siapa yang dikader Bapak. Untuk 2015 nanti, sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa calon kepala daerah yang akan diusung Partai Demokrat. Dari partai lain sih tampaknya sudah ada. Sementara dari kader Partai Demokrat hanya ngomong nanti sajalah Pak, kan masih lama. Barangkali banyak yang kurang percaya diri karena melihat prestasi Bapak selama dua periode ini.”
Budiman Arifin tidak ngotot betul bahwa Chairiah mesti menggantikan dirinya pasca 2015. Memang ada beberapa gejala isteri menggantikan suaminya menjadi bupati setelah sang suami tak lagi berhak mencalonkan diri. Tercatat misalkan suksesi Bupati Indramayu, Jawa Barat. Tampak ada kepatutan politik-sosial yang ingin tetap dijaga oleh sosok Chairiah yang mulai mengenal politik praktis relatif belum terlalu lama.

D.   Doa dan Restu Ibu
Di mata Chairiah, Budiman Arifin merupakan sosok yang senang mempelajari ilmu agama melalui ihktiar bertanya ke habib, ziarah ke makam-makam orang saleh (kemudian mengambil pelajaran/hikmah dari tokoh) dan memperbanyak salawat. Tak ketinggalan pula, Budiman taat shalat lima waktu dan beberapa shalat sunah utama.
Lalu ketika dia sedang bersimpuh di antara rakaat-rakaat shalatnya di sajadah jauh di keheningan waktu, Budiman senantiasa mendoakan buatu kesehatan dan keselamatan sang ibu yang telah membesarkannya dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Ikatan bathin yang ada diantara dia dan Ibunya begitu indah terjalin dan menjadi sumber kebaikan yang tak akan habis bagi keduanya.  Disamping itu, Sang Ibu telah mengajarkan sebuah filosofi hidup yang tak akan pernah ia lupakan. Sang Ibu mengajarkan kepadanya, “Ingatlah bahwa kita selalu hidup di antara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk melakukan segala aktivitas: Kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba, tinggalkan semua itu untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.”
Budiman pun tidak pernah lupa mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Rabb, begitu banyak kebaikan yang telah diberikan oleh Ibuku. Ampuni segala dosanya, balaslah segala kebaikan yang telah ia berikan kepadaku dengan balasan yang berlipat ganda dan tempatkan ia di sisi-Mu bersama dengan hamba-hamba Engkau yang shaleh.”
Budiman Arifin memang sangat dekat pada sang bunda, bahkan sejak masih kanak-kanak di Kota Tarakan. Dia senantiasa meminta doa dan restu pada sang bunda setiap kali menemui noktah perjalanan hidup yang penuh artidan makna. Misalkan ketika dia harus keluar dari Tanjung Selor untuk menunaikan tugas belajar ke Samarinda. Saat mendapat perintah tugas belajar dari atasannya, yang pertama kali dia lakukan adalah pulang kampung ke Tarakan untuk bersimpuh di kaki sang bunda meminta doa dan restu agar perjalanan tugasnya senantiasa diberkahi dan diridhoi oleh Allah SWT.
“Beliau selalu pulang ke Tarakan meminta doa dan restu kepada ibu saya sebelum menjalankan tugas yang diberikan oleh atasannya. Terutama tugas-tugas yang mengharuskan ke luar daerah dalam waktu yang relatif lama. Kalau ibu merestui, beliau akan kembali menghadap atasannya dan berangkat menjalankan tugas,” tutur Ruslan Arifin, adik kandung Budiman Arifin, yang kini menjadi Kepala Dinas Kominfo Kota Tarakan.
Apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini, Budiman Arifin selalu menomor-satukan sang bunda. Dia selalu teringat pada hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim) ***


No comments:

Post a Comment