Oleh: M. Jazeri
Pendahuluan
Era modernisasi telah membawa perubahan yang besar dan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik aspek fisik-material maupaun perubahan pada pola hidupnya. Misalnya, dengan kemajuan sarana komunikasi dan berbagai media informasi telah mengantarkan kepada kemudahan terjadinya hubungan yang bersifat global, sehingga kejadian dan keadaan yang ada di belahan bumi mana pun dapat dengan mudah diakses dan ditiru. Kadaan seperti ini menjadikan dunia laksana desa buana (global village) (Amin Syukur dan Abdul Muhaya (ed), 2001:vii). Perubahan sebagai akibat dari modernisasi merupakan proses dinamis yang akan terus menyebar pada seluruh segmen dan lapisan kehidupan umat manusia, serta akan menentukan tingkat dinamika kehidupannya (La Ode Rauf, 1999:12).
Modernisasi telah memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas yang baik dalam bidang informasi, transportasi, dan sarana kehidupan lainnya. Bakan modernisasi telah membuat manusia terkagum-kagum pada penemuan baru dalam berbagai bidang dan terpukau dengan janji dan hasil yang diberikan yang berwujud fasilitas dan kemegahan hidup duniawi. Namun seiring perjalannya, manusia sadar bahwa dibalik perubahan yang cepat dengan segala fasilitas kemudahannya telah menghadirkan pengaruh negatif.
Neisbitt dan Philip (2001:25) mengemukakan bahwa di antara contoh dampak negatif modernisasi adalah adanya berbagai tindak kekerasan, kasus penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya, dekadensi moral, lenyapnya nilai-nilai moral sebagai acuan perilaku, munculnya sikap hidup materialistis, pragmatis, hedonis, kapitalis, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi) sebagai akibat dari dominannya teknologi dalam mengatur manusia, teralienasinya manusia dari kehidupannya,serta yang tidak kalah penting adalah terjadinya nestapa kemanusiaan, kehampaan spiritual pada manusia. Realitas yang demikian oleh Kapra (2000:3) disebut sebagai krisis global, yakni krisis kompleks dan multidemensial yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia, yaitu dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Hal yang demikian itu adalah konsekuensi logis dan merupakan dampak serta limbah negatif sebuah modernisasi dengan perubahan yang dibawanya.
Dengan bijaksana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, modernisasi pada satu sisi membawa berbagai kemudahan dan fasilitas, namun di sisi lain modernisasi juga mendatangkan “malapetaka” dan “kesengsaraan”, dan malapetaka serta kesengsaraan ini lebih pada perasaan “hampa batin” dan “sanubari” pada manusia.
Modernisasi teleh membawa manusia ke dunia keterasingan. Baik terasing secara sosial, kultural, maupun spiritual. Untuk menghadapinya, ada dua kecenderungan yang sering terjadi, yakni (1) melarutkan diri kedalam hiruk-pikuk dunia dan (2) lari ke pelukan agama. Karenanya, tidaklah heran jika di negara-negara maju justru subur berbagai macam kelompok agama (sekte) yang dalam beberapa kasus memiliki sikap radikal sebagai respon terhadap situasi yang ada. Dalam hiruk-pikuk dunia, manusia membutuhkan ketentraman jiwa, ketenangan batin, dan kesejukan spiritual.
Perubahan sikap mendekati agama ini juga terjadi karena pertambahan usia. Semakin tua usia biasanya manusia semakin sadar bahwa jalan menyelamatkan diri bukanlah mencari dunia seisinya, melainkan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan tulus menjalankan ajaran agama. Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai kelompok kegiatan agama peserta terbesar biasanya mereka yang termasuk berusia lanjut (manula). Akhir-akhir ini, muncul banyak kegiatan keagamaan dan gerakan spiritual seperti pengajian dan majlis taklim serta keberminatan kaum manula pada tasawsuf (tarekat) yang bersifat amali yang dianggap dapat menghadirkan suasana sejuk dan damai dalam jiwa. Fenomena ini tidak saja terbatas di desa yang mungkin lebih lamban menerima dampak modernisasi tetapi juga di kota-kota besar yang lebih mudah menerima dan mengakses segala bentuk perubahan. Keadaan yang demikian mendorong munculnya sebuah realitas di mana masyarakat membutuhkan tuntunan batin dan bimbingan jiwa serta kondisi khusus yang dapat menghadirkan kedamaian jiwa dan perubahan perilaku keberagamaan dari yang kurang sempurna menuju perilaku keberagamaan yang lebih baik dan sempurna. Munculnya pesantren manula merupakan salah satu jawaban terhadap kebutuhan tersebut.
Mengingat namanya adalah Pondok Manula, maka para santri yang belajar dan mukim adalah mereka yang berusia lanjut. Pondok Manula memiliki peranan yang besar dalam membimbing para santri manula memanfaatkan sisa-sisa umurnya untuk belajar dan mengamalkan agama. Titik berat yang diberikan adalah masalah pengamalan agama, terutama ibadah dan tasawuf.
Berdasarkan paparan realitas di atas, penulis terinspirasi dan terilhami untuk melakukan kajian terhadap sebuah fenomena keagamaan kaum manula. Mereka tinggal di Pesantren, mencukupi kebutuhan sendiri, dan mendalami secara khusus keilmuan yang penulis pandang sebagai ilmu tasawuf melalui kegiatan wirid, mujahadah, dan riyadhah dalam bentuk yang lain. Keunikan dan kekhasan yang ditemukan pada santri manula, yaitu santri manula tersebut sibuk bergelut dengan aktivitas keilmuan yang berisi amalan-amalan dan aktivitas layaknya aktivitas ketasawufan yang lebih menekankan praktik daripada teori, yang memungkinkan mereka “tertidur dalam keasyikan spiritual”.
Pesantren; Pengertian dan Tujuannya
Pesantren, cikal bakal lembaga pendidikan Islam, merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia. Pondok Pesantren, ditilik dari namanya merupakan perpaduan (sinkritisme/sinthesa) dari dua kata, yaitu pesantren yang berasal dari kata santri yaitu nama yang diberikan kepada para penuntut ilmu agama Hindu-Budha dan kata pondok yang berasal dari kata funduq (bahasa Arab) yang datang ke tanah air bersamaan datangnya Islam (Depag, 1984)
Santri (Jawa) berarti abdi. Nyantri menurut adat keraton berarti mengabdi dalam rangka mempersiapkan diri untuk menjadi pengantin. Ini dilakukan oleh calon pengantin pria (Soemanto, 1986). Dari kata-kata itulah kita kenal pesantren adalah tempat berkumpulnya para santri dengan tujuan untuk mendapatkan plajaran agama Islam. Sedangkan menurut Zimek (1986:98) kata pondok (kamar, gubuk, rumah) dipakai dalam bahasa Indonesia yang menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga kata pondok diturunkan dari bahasa Arab findung (ruang tidur, wisma, hotel sederhana). Istilah pesantren berasal dari kata santri kemudian mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri (Dhofier, 1982: 18). C.C. Berg (dalam Dhofier, 1982) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang-seorang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata “shastra” yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Pengertian di atas dapat dijelaskan lagi oleh H.M. Arifin (1991: 240) bahwa:
Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang secara diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau kampus di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa kyai dengan ciri-ciri khasdari leadership seorang atau beberapa kyai dengan ciri-ciri khas bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu-ilmu agama Islam yang memiliki lima komponen dasar yaitu: (1) Masjid sebagai tempat aktivitas, (2) Santri yang belajar di pondok, (3) Kyai yang mengajar, (4) Pondok sebagai asrama santri, (5) Pengajaran kitab-kitab klasik Islam.
Mengenai tujuan pesantren, Asep (1991) mengatakan bahwa pendidikan di pesantren tidak menjanjikan kepada para muridnya (kalangan santri) untuk menjadi insan yang berorientasi kepada kemewahan duniawi, tetapi pesantren bertujuan untuk membekali kaum santri dengan seperangkat ilmu pengetahuan agama secara konvensional, sehingga kelak dapat membina masyarakat di daerahnya. Oleh karena itu dengan segala ajaran dan didikan kesederhanaannya kaum santri dituntut untuk bisa memberikan keteladanan di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian Rahardjo (1985: 15) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan pesantren kiranya berada di sekitar terbentuknya manusaia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam yang bersifat menyuruh dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya untuk mengadakan respons terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan dalam konteks ruang dan waktu yang ada: Indonesia dan dunia abad sekarang.
Urgensi Pesantren Manula di Era Modernisasi
Seirama dengan meningkatnya usia, minat terhadap agama semakin meningkat. Minat tersebut diwujudkan dalam bentuk pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama, juga terhadap peraturan-peraturan, serta falsafah hidup yang cenderung menjadi kuat bagi para manula. Para manula mewujudkan dan menunjukkan minat keagamaannya dengan melakukan ibadah seperti shalat wajib lima waktu berjamaah di masjid, mengikuti pengajian-pengajian (ceramah agama) serta acara ritual lainnya. Mereka lebih tekun menjalankan perintah agama (ibadah) pada usia lanjut dibanding di kala mereka masih muda (khususnya dewasa awal).
Di Amerika, besarnya minat para manula terhadap agama lebih didorong oleh alasan-alasan lain dibanding alasan keagamaan itu sendiri, misalnya alasan sosial (Mappiare, 1983:219). Akan tetapi, alasan-alasan sosial semacam itu yang menyangkut status sosial, atau rasa malu, tentu saja bukanlah satu-satunya alasan mengapa mereka sangat berminat pada agama. Boleh dikatakan bahwa alasan yang digambarkan seperti di atas hanyalah bersifat perorangan dan secara insidental. Karena banyak juga mereka yang sangat minat terhadap agama atas alasan-alasan murni keagamaan, atau karena taqwa yang timbul dari kesadaran hati nurani sendiri.
Persoalan psikologis yang menyertai minat keagamaan manula di Pondok manula terutama sekali dipengaruhi oleh latar belakang masa lalu (termasuk pendidikan agama lingkungan keluarga) dan kesehatan mereka di masa lalunya. Bagi mereka yang berasal dari lingkungan keluarga yang agamis, biasanya memiliki minat lebih tinggi dibanding mereka yang berasal dari keluarga biasa. Hal ini membuat keberadaan serta peran para ustadz selaku pengasuh sekaligus pembimbing para manula dalam mewujudkan minat agamanya sangat penting menngingat usia mereka yang rata-rata telah lanjut, ditambah dengan faktor heteroginitas latar belakang keagamaan yang mereka miliki pada masa mudanya.
Masalah lain yang membuat kehadiran pesantren manula menemukan signifikansinya adalah adanya kecenderungan masyarakat modern yang disibukkan oleh karir sehingga tidak sempat mengurus orang tua mereka di rumah. Untuk mengatasi masalah ini, di masyarakat modern orang tua biasanya dititipkan di panti jompo atau dirawat dirumah oleh pembantu. Di sinilah pesantren manula, menurut hemat penulis, memiliki nilai lebih karena di samping memenuhi kebutuhan anak yang sibuk berkarir sehingga harus menitipkan orang tuanya, juga memenuhi kebutuhan orang tua yang merindukan ketenteraman batin dan kesejukan spiritual.
Berdasarkan beberapa kondisi di atas, sepantasnyalah jika dikatakan bahwa masyarakat muslim modern sangat membutuhkan kehadiran pesantren manula. Namun, sejauh pengetahuan penulis, baru beberapa pesantren manula saja yang sudah berdiri, itupun belum dikelola dengan baik. Salah satu di antaranya adalah Pondok Jompo Kauman Payaman Secang Magelang. Mengingat namanya adalah Pondok Jompo, maka para santri yang belajar dan mukim adalah mereka yang berusia lanjut. Pondok Jompo Kauman Payaman memiliki peranan yang besar dalam membimbing para santri manula memanfaatkan sisa-sisa umurnya untuk belajar dan mengamalkan agama. Titik berat yang diberikan adalah masalah pengamalan agama, terutama ibadah dan tasawuf.
Pembinaan Agama di Pesantren Manula
Secara umum tujuan pembinaan di pesantren manula adalah agar para manula dalam menjalankan perintah agamanya lebih tekun dan khusyu’, dan yang lebih penting agar mereka terhindar dari kekeliruan dalam menjalankan praktik-praktik ibadah sehari-hari. Pembinaan di pesantren manula dilakukan melalui serangakian kegiatan keagamaan baik dalam bentuk pembinaan praktik ibadah maupun melalui pengajian-pengajian (ceramah agama) yang dilakukan secara rutin. Misalnya, kuliah subuh, pengajian umum, pengajian ibadah, pengajian thariqat, dan pengajian tasawuf. Upaya-upaya tersebut dapat dibedakan menjadi dua cara, yakni (1) pembinaan keagamaan yang bersifat teoritis dan (2) pembinaan secara praktis.
Pembinaan yang bersifat teoritis adalah pembinaan melalui kegiatan pengajian (ceramah keagamaan) atau dakwah yang mempunyai sasaran pemantapan keimanan dan materi keagamaan lainnya yang menyangkut masalah ibadah. Upaya memantapkan keimanan, dalam hal ini, merupakan sasaran pokok dan sangat mendasar. Mengingat iman itu sendiri bersifat dinamis-evolusioner, berkembang serta berlanjut, dan pada kenyataannya kadar keimanan seseorang dapat mengalami pasang surut (yazidu wa yanqushu), maka pihak pengasuh pondok memandang bahwa masalah keimanan merupakan masalah yang sangat urgen.
Dengan segala kemampuan, para pengasuh dan para ustadz secara kontinyu memberikan bimbingan kepada para manula agar keimanan mereka bertambah kuat dan mantap. Yang lebih penting lagi, agar mereka mengisi usia senjanya didasari dengan kematangan iman, tidak merasa takut dengan datangnya kematian. Dengan kemantapan iman itulah mereka memasrahkan secara totalitas jiwa raganya kepada Allah SWT. Apapun yang menjadi kehendak-Nya mereka terima dengan ikhlas dan penuh tawakkal.
Upaya pembinaan yang kedua adalah pembinaan keagamaan yang bersifat praktis, yakni upaya pembinaan melalui pengamalan-pengamalan ajaran agama yang telah ia terima lewat pengajian-pengajian, dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan shalat berjama’ah, puasa wajib maupun sunnah, kegiatan thariqat, ibadah malam (qiyamu al-lail) serta ibadah lainnya. Hal ini pun tidak lepas dari pengawasan langsung dari para pengasuh.
Mengingat para penghuni pondok berusia lanjut, maka para pengasuh dengan sabar dan tekun membina mereka dalam mempercepat rangsangan mereka dalam menerima materi pengajian, menghilangkan hambatan yang mereka miliki, dan menghilangkan keraguan dalam hati mereka menuju para pribadi mukmin yang sejati. Untuk itu, sering kali dalam memberi materi bimbingan para pengasuh memberikan contoh atau memperagakan khususnya dalam memberi materi ibadah shalat.
Perubahan Perilaku Keagamaan di Pesantren Manula
Sebuah keimanan tidak dikatakan sempurna sebelum ia termanifestasikan dalam perilaku nyata. Perilaku keagamaan seseorang atau individu dapat dilihat dari gerak-gerik atau tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran keagamaan. Perilaku yang demikian itu merupakan efek dari adanya sikap penghayatan terhadap agama dan keimanan yang terealisir dalam bentuk peribadatan. Atau dengan kata lain, ibadah merupakan realiasasi dari keimanan.
Beribadah berarti melaksanakan perintah Allah SWT sesuai dengan kemampuan dan meninggalkan larangan-Nya dengan niat ikhlas. Unsur niat atau kesengajaan merupakan salah satu penentu diterima tidaknya suatu perbuatan atau tingkah laku. Tingkah laku keagamaan yang tidak disertai niat atau kesadaran beragama bukanlah merupakan perbuatan ibadah. Sebaliknya, tingkah laku sosial bila diniati karena Allah, maka termasuk ibadah.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Surur (2003) di Pesantren Jompo Kauman Payaman menemukan perubahan perilaku keagamaan para santrinya. Perubahan perilaku keagamaan manula di pesantren manula tersebut dilihat dari beberapa aspek, yakni:
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif (pengenalan) berhubungan dengan pemikiran, ingatan, hayalan, daya bayang, pengamatan, dan pengindraan. Fungsinya adalah menunjukkan jalan, mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku. Aspek kognitif ini tampak dalam keimanan dan kepercayaan (Ahyadi, 1991:37).
Keimanan dan kepercayaan dalam Islam terangkum dalam aqidah yang merupakan masalah prinsipil atau mendasar. Ia merupakan barometer permulaan bagi seorang muslim. Seperti halnya yang dilakukan oleh pimpinan pesntren manula dalam setiap penerimaan penghuni baru, langkah pertama yang dilakukan adalah pembaiatan. Setiap penghuni pesantren manula yang baru harus melalui baiat dengan membaca dua kalimat syahadat. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan keimanan mereka sebelum mengikuti segala aktivitas keagamaan lainnya. Mengucapkan dua kalimat syahadat juga mengandung konsekuensi bahwa seseorang menjadi muslim dan dibebankan padanya semua ajaran Islam. Para pengasuh juga menyampaikan bahwa dua kalimat syahadat laksana anak kunci untuk menuju syurga. Barang siapa yang mengucapkannya hingga akhir hayatnya maka ia pun akan selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Konsepsi tentang hidup menurut mereka adalah laksana suatu perjalanan menuju suatu tujuan. Hidup ini bagaikan sarana menuju ke alam kelanggengan yang tanpa batas. Hidup di dunia laksana “mampir ngombe” artinya hanya sebentar, apalagi mengingat usia sekarang sudah enam puluh tahun lebih, tinggal beberapa saat lagi dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kesadaran seperti inilah yang membuat para manula menjadikan pesantren manula sebagai tumpuan tempat beribadah dalam rangka mempersiapkan kehidupan yang kekal nanti.
2. Aspek Afektif
Aspek afektif, yaitu bagian kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan alam perasaan atau emosi. Keterlibatannya dalam perilaku tampak dalam pengalaman ketuhanan dan kerinduan kepada Tuhan (Ahyadi, 1991:37). Dengan kata lain, bahwa ciri dari kehidupan alam perasaan tersebut adanya rasa cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
Dalam hal ini, penulis sadari bahwa pembahasan mengenai kehidupan alam perasaan atau pengalaman ketuhanan sangat sukar untuk diukur atau dinilai secara ilmiah. Dengan demikian, penulis hanya dapat mengamatinya melalui tingkah laku yang tampak dalam kehidupan seseorang, yakni dengan cara mengamati bentuk sikap, perilaku, dan peribadatannya.
Para penghuni pesantren manula yang tinggal menetap (mondok) hanya bertujuan untuk beribadah dengan baik dan benar, khusu’, dan lebih mendekatkan diri dengan Allah, jika dibandingkan di rumah masing-masing. Pernyataan ini cukup beralasan, karena di pesantren ini mereka mendapat bimbingan serta arahan tentang praktik beribadah, baik pelaksanaan shalat berjamaah, puasa, membaca al- Qur’an, dzikir (kegiatan thariqat) maupun kegiatan keagamaan lainnya. Peribadatan seperti shalat berjamaah maupun shalat pada waktu malam (tahajud, witir dan sebagainya) dan dzikir ternyata merupakan suatu teknik atau metode psikoterapi yang dapat menghilangkan rasa dendam, frustasi, rasa gelisah dan gangguan ruhani lainnya.
3. Aspek Motorik
Aspek ini berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku manusia dalam wujud perbuatan dan gerakan jasmaniyah lainnya (Ahyadi, 1991). Fungsi ini tidak dapat terlepas dengan fungsi kognitif maupun fungsi afektif. Ketiga aspek atau fungsi tersebut saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain. Sedangkan pemisahan aspek-aspek tersebut digunakan untuk memperjelas masing-masing aspek. Seperti halnya masalah kehidupan perilaku keagamaan atau kehidupan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari masalah keimanan dan masalah peribadatan.
Pengakuan secara lisan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan tidaklah cukup. Pengakuan itu direalisasikan melalui hubungan aktif dengan Tuhan berupa shalat, zakat, berpuasa, berkurban, serta pelaksanaan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya sesuai dengan kemampuan kita. Tanpa ibadah, pengakuan iman dan hubungan dengan Tuhan hanyalah hayalan belaka.
Penutup
Modernisasi telah melahirkan perubahan diberbagai aspek kehidupan. Di antara perubahan tersebut adalah manusia semakin sibuk meniti karir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat. Hal ini membuat budaya keluarga berubah. Jika masyarakat tradisional mengasuh orang tuanya yang sudah manula di rumah sendiri, maka masyarakat modern cenderung menitipkan manula di panti jompo. Di sisi lain, semakin bertambahnya usia, para manula semakin sadar akan hakikat dan tujuan hidupnya sehingga mereka membutuhkan ketenangan dan ketenteraman batin. Para manula membutuhkan ketentraman jiwa, ketenangan batin, dan kesejukan spiritual. Bagi seorang muslim, hari-hari tua semestinya digunakan untuk lebih mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah. Di siniah kehadiran pesantren Manula dapat menjadi alternatif solusi terhadap dua problematika tersebut di atas. (http://jeryronggo.wordpress.com/)
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Abd. Aziz. 1991. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru.
Amin Syukur, M dan Abdul Muhaya (ed.). 2001. Tasawwuf dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berg, C.C. 1932. Indonesia, dalam HAR. Gibb (ed) Whiter Islam A. Survei of Modern Movement in the Muslim World. London: Victor Gollancs.
Departemen Agama. 1987. Pedoman Penyelenggaraan Pengajaran Kitab Di Pondok pesantren. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren.
Dhofier, Zamahsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES
No comments:
Post a Comment