* EMPAT
“Kami,
rakyat Aceh, Sumatra, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan
melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini menyatakan bahwa
kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang
asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan
independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan …”
Hasan Tiro pada Deklarasi
Kemerdekaan Aceh, tanggal 4 Desember 1976
BILA kita
membuka kembali sejarah perjalanan konflik Aceh, dapat disebut bahwa tanggal 26
Maret 1873 merupakan akar kemunculan problematika Aceh, yang masih terasa
imbasnya sampai sekarang. Kerajaan Belanda, melalui Nieuwenhuyzen, Komisaris
Gubernemen Belanda mengeluarkan maklumat dan pernyataan perang terhadap Kerajaan
Aceh tepat tanggal 26 Maret 1873 di atas sebuah kapal perang Citadel van Antwerpen
bersamaan dengan pendaratan perdana serdadu Belanda di sekitar Ulee Lhe, Banda
Aceh.
Pernyataan perang tersebut
dikeluarkan lantaran Kerajaan Aceh tidak mau tunduk di bawah dominasi Kerajaan Belanda
dan tidak mau melepaskan kewenangannya mengontrol Selat Malaka. Belanda, bahkan,
menuding pejuang Aceh telah melakukan perompakan di Selat Malaka tersebut, dan
melakukan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda. Tidak hanya sebatas itu,
tindakan Kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan Kerajaan Turki
serta dengan beberapa negara lainnya seperti Perancis, Italia dan Amerika mengakibatkan
Kerajaan Belanda sangat marah dan mendorong Belanda menyerang Aceh.
Pernyataan perang tersebut
memicu respon yang cukup keras dari Kerajaan Aceh. Dalam sebuah riwayat yang
beredar di dalam masyarakat Aceh diungkapkan bahwa Maklumat Perang Belanda tersebut
dijawab oleh Majelis Negara Aceh dalam bentuk pernyataan sindiran, “bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan
gigoe nyang na lam nanggroe Aceh bek ka teumueng raba” (Jangankan merebut negeri, ayam
tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh jangan coba-coba disentuh).
Apa yang terjadi kemudian
pasca Maklumat perang tersebut? Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan.
Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi martir, sedangkan di pihak Belanda
sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban. Ditambah lagi kerugian material yang
cukup besar.
Akibat banyaknya korban
yang jatuh di antara kedua belah, Belanda lalu mengevaluasi kembali
kebijakannya, mengingat perang ini sangat melelahkan dan Belanda menderita kerugiaan
yang sangat besar. Bahkan, seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang
memiliki kecakapan perang, tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu pertempuran
di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler
berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan
Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana
peperangan kedua secara besar-besaran.
Meski pada tahun 1942
Belanda keluar dari Aceh, namun Maklumat Perang tersebut tidak pernah dicabut.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan baru bagi rakyat Aceh. Tanggal
26 Maret pun selalu dikenang oleh rakyat-masyarakat Aceh sebagai babak kelam
sejarah Aceh. Rakyat Aceh selalu meminta agar Maklumat Perang tersebut dicabut.
Karena, selama Maklumat Perang terebut belum dicabut, berarti antara Aceh dan
Belanda masih terlibat peperangan. Dan klaim Aceh sebagai bagian dari Indonesia
sama sekali keliru.
A.
Pasca
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
Tanggal 17 Agustus 1945
Republik Indonesia (RI) diproklamasikan oleh duet proklamator Soekarno-Hatta di
Jakarta. Lalu, dari situ pula kisah gerakan menuntut kemerdekaan Aceh bermula.
Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan penuh terhadap
kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh yang
juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan,
mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan.
Kemudian, pada tanggal 23
Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah, ''Demi
Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai
titik darah saya yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh
dan ulama Aceh mengucapkan janji tersebut. Pukul 10.00 WIB pada waktu itu,
Husein Naim dan M. Amin Bugeh mengibarkan bendera di Gedung Shu Chokan (kini
kantor gubernur).
Ternyata tidak hanya
Mohammad Daud Beureueh yang tidak mengucapkan janji setia, juga mereka para
hulubalang, prajurit-prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka berkeyakinan,
tanpa RI, mereka mampu mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah
gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok, markasnya di daerah Bireuen.
Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur
El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini
dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan sekitar 1.500 orang
selama setahun hingga 1946.
Tahun 1948, ketika
pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk
sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi provinsi
sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara yang terus labil dan Belanda merajalela kembali,
muncul gagasan untuk melepaskan diri dari RI. Ide ini datang dari dr. Mansur. Wilayahnya
tak sebatas Aceh, tetapi meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan,
Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau.
Daud Beureueh menentang
ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian dari
wilayah RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Setahun berselang, 1949,
Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat sebesar 500 ribu dolar AS. Uang itu
disumbangkan secara utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ke Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebesar 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk
perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian
pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada
pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk
membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India,
Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Ketika
itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlalu, Provinsi
Aceh dilebur ke Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dan marah-marah.
Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus
rumah-tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak jua dipenuhi. Intinya, Daud
Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh
tidak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat
Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia (NII)
pada bulan April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung oleh Kartosuwiryo
pada 1949 melalui Darul Islam (DI).
Lima bulan kemudian,
Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII versi Kartosuwiryo. Dari sinilah
lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung
sepenuhnya ide NII tersebut. Tentara NII juga dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenal lah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah.
Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 terjadi pembunuhan
massal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu
ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai
gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status provinsi daerah
istimewa.
Beureueh merasa
dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat
dan tidak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat
Aceh sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan, tapi Bung
Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya
El Ibrahimy agar menuruti Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Abdul Haris
Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan Undang-undang
(UU) Syariat Islam bagi rakyat Aceh (dan baru terwujud tahun 2001).
B.
Kelahiran
GAM
Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
lahir di era pemerintahan Presiden Soeharto. Waktu itu sedang terjadi
industrialisasi di Bumi Serambi Mekkah. Soeharto benar-benar mencampakkan adat
dan segala penghormatan rakyat Aceh. Industrialisasi membawa efek ikutan berupa
perjudian yang selanjutnya menjadi embrio prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan
segala macam yang bertentangan dengan syariat Islam dan adat rakyat Aceh.
Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang
asing melalui restu Pemerintah Pusat. Sementara rakyat Aceh tetap saja miskin.
Pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal tersebut,
Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali
untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam.
Pertemuan tokoh-tokoh digagas
tahun 1970-an. Mereka bersepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh
(RIA), yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Mereka pun menyadari,
tujuan itu tidak bisa tercapai tanpa senjata. Lantas diutuslah Zainal Abidin
menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972
dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tidak lain adalah
kakak Hasan Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal
dunia. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan
masih banyak lagi tokoh lainnya berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di
sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan
GAM.
Selama empat hari bersidang,
Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tidak
hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. Kabinet GAM terdiri
diri 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun berjuang
dan bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak
Soeharto.
Adapun susunan kabinet
GAM secara lengkap berikut: Teungku Hasan di Tiro sebagai Wali Negara, Menteri
Pertahanan, dan Panglima Agung; Dr. Muchtar Hasbi sebagai Wakil Presiden dan
Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe; Menteri
Kehakiman Teungku Ilyas Leube; Menteri Pendidkan dan Informasi Dr Husaini M.
Hasan; Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah; Menteri Sosial Dr Zubir Mahmud;
Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Asnawi Ali; Menteri Komunikasi Amir
Ishak; Menteri Perdagangan Amir Mahmud Rasyid; dan Menteri Luar Negeri Malik
Mahmud.
Versi paling sahih
menyebutkan bahwa Hasan Tiro menyatakan pendirian organisasinya sebagai Front
Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka,
pada tanggal 4 Desember 1976. Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh
dari Indonesia. Di Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM,
bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa
kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan
Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler
dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam
"Deklarasi Kemerdekaan", dia mempertanyakan hak Indonesia untuk
berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya
berdasarkan kekaisaran Kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara
sebelumnya yang terdiri dari banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan.
Dengan demikian, Hasan Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan
pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara
Indonesia.
C.
Dukungan
Rakyat Aceh
Setelah didirikan, GAM langsung
mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus pula dibangun.
Kekuatan bersenjata juga disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya,
jaringan internasionalnya, dan dananya?
Masih ingat deadline maklumat pemerintah bertanggal 12
Mei 2003? Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak jua mengeluarkan
keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu
pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana untuk menerapkan kebijakan Daerah
Operasi Militer (DOM). Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang
gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan
bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh.
Filosofinya begini: Jika rakyat terus
ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti
inilah yang terjadi di Bumi Serambi Mekkah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati
luar biasa dari rakyat-masyarakat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan
teraniaya.
Sambil berkelakar,
Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm)
sempat mengatakan, buat bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47
oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi
berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis
perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi: diplomatik dan bersenjata. Jalur
diplomasi langsung dipimpin oleh Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia
dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di
perbatasan Aceh Utara - Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat
ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa
negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan
Kazakhstan. Namun, kerapkali GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat
markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando
wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam,
dan Meureum. Masing-masing komando dipimpin panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977,
secara cepat GAM melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya.
Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di kamp militer di Libia.
Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi
gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan
nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil
masuk dalam latihan di Kamp militer di Kandahar, Afghanistan, pimpinan Osama
bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan
hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998
sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini
ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite
GAM (semacam Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat).
Jalur ke Libia memang
agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu
menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan
melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina
Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan
petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI Angkatan Laut.
Mulai dari era Abdullah Syafei
hingga dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri dari pasukan tempur,
intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades
(pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima
GAM Wilayah Pase Ahmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM mencapai
70 ribu orang. Anggota GAM berjumlah 490 ribu. Jumlah itu sudah termasuk jumlah
korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Markas Besar (Mabes) TNI cuma menyebut
sekitar enam ribu orang. Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Machfud MD menyebut
4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115
dilatih di Moro (Filipina). Persediaan senjatanya terdiri dari pistol, senapan,
GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan.
Jenis senapan antara lain AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.
Dari mana persenjataan
itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara
disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan
Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan
Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik
senjata, di antaranya di Kreung Sabee, Teunom (Aceh Barat), Lhokseumawe, Nisau
(Aceh Utara), dan di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom,
amunisi, senjata laras panjang dan pendek. Hebatnya, pabrik senjata tersebut
bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, maka pabrik
senjata dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke
Afghanistan dan Libia.
Yang juga penting
dicatat, sejumlah dokumen menyebutkan adanya pasar gelap senjata yang dilakukan
oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang
tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat
besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa mencapai triliunan rupiah.
Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi
sebesar Rp3 miliar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.
Jadi, senjata yang
dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tidak dimiliki GAM adalah senjata berat
karena sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas
tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. Bahkan GAM mengaku memiliki
senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki
para karades. Senjata otomatis berbentuk kecil mungil itu bisa tahan
berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota
dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu
dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka
memperoleh dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang
sukses di luar negeri. Di antaranya di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika,
dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari
perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun
2000, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku
Abu Bakar sebesar Rp100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara
Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima
GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp10 miliar ke GAM
untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bilamana tidak memperoleh
sumbangan wajib tersebut. Sebab itu, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para
pengusaha ''sahabat GAM'' tersebut.
Sistem komunikasi GAM
juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng
pertahanan dan media propaganda. Selain handytalky,
GAM juga memiliki radio trunking,
radar dan telepon satelit. GAM pun memiliki penyadap telepon. Acapkali gerakan
TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan semacam ini. Penggerebekan
seringkali gagal total.
Sistem organisasinya yang
disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive.
Tidak gampang menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang
ditangkap, antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak
berhubungan dan tidak saling mengenal.
Ketua Umum Forum
Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan,
sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Namun, rakyat Aceh
tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pemerintah
pusat tidak pernah menang. Tapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.
D.
Pejuang-pejuang
GAM yang Karismatik
Setelah deklarasi Aceh
Merdeka, kita cukup banyak mendengar kisah-kisah heroik pejuang GAM. Kita
mendengar kisah keberanian, kebal peluru dan ilmu bisa menghilang. Keahlian ini
yang membuat mereka sangat ditakuti oleh TNI dan disegani oleh rakyat-masyarakat.
Masyarakat menyebut para pejuang GAM sebagai awak ateuh atau orang dari gunung, yang menunjukkan bahwa para
pejuang GAM ini bergerilya di hutan-hutan Aceh. Beberapa tokoh GAM yang cukup
dihormati warga masyarakat antara lain:
Surya
Darma alias Robert. Tahun 1990-an, Surya Darma atau Robert
sangat terkenal di Aceh. Dia pejuang GAM yang sangat ditakuti dan diburu oleh
aparat keamanan saat itu. Foto-fotonya bersama para pejuang GAM lainnya begitu
mudah kita temukan di poskamling. Dia gencar beraksi pada 1989-1992 di kawasan
Aceh Timur dan Aceh Utara.
Siapa sebenarnya Robert?
Dia merupakan putra Minang asli, yang lahir di Lampaseh, Banda Aceh, dengan
nama Surya Darma. Pada tahun 1985, prajurit satu dari Batalyon 113 Kota Bakti,
Pidie, ini pernah dikirim oleh kesatuannya ke Timor Timur (kini Timur Leste)
untuk memerangi pasukan Fretelin.
Konon, sepulang dari
Timor Timur, Robert membuat ulah memukul anggota Polisi Militer saat nonton di
Bioskop Beringin. Atas ulahnya tersebut, Robert dihukum oleh komandannya dan
sempat dititipkan di LP Sigli. Setahun kemudian, Robert kembali membuat heboh
dengan membobol kas berisi uang kontan bernilai ratusan juta rupiah milik PT
Arun. Karena terus bikin ulah, Robert akhirnya dikeluarkan dari dinas militer.
Sejak lama Robert bersimpati
pada perjuangan GAM. Ketika ditahan bersama tahanan GAM di sebuah sel di
Batalyon 113 Kota Bakti, Robert melihat para pejuang GAM tetap shalat walau hidup
di penjara. “ABRI yang digaji pemerintah malah berjudi dan minum minuman keras.
Sejak itu saya tertarik dan terlibat dalam GAM. Banyak anggota ABRI juga
bersimpati pada GAM,” kata Robert dalam sebuah wawancara dengan Majalah Forum Keadilan, 11 Januari 1999.
Suatu kali, setelah
memukul seorang Camat di Batee, Pidie, Robert bersama Arjuna berhasil
meloloskan diri dari kejaran aparat. Dia pun memilih lari ke Malaysia. Pada
Tahun 1993, Robert dihukum mati secara in
absentia oleh Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
Arjuna. Selain Robert, pejuang
GAM yang namanya berkibar sekitar 1989-1992 adalah Arjuna. Berbeda dengan
Robert, Arjuna adalah eks Libia (1988-1989), dan dikenal sangat berani serta
ahli merancang serangan. Dia pun termasuk intelektual GAM, jebolan dari
Fakultar Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala. Tak heran, setahun setelah
bergabung dengan GAM, Arjuna dipercaya menjadi komandan pasukan GAM Wilayah
Pidie.
Arjuna termasuk angkatan
terakhir (1989/1990) yang dikirim berlatih militer ke Libia bersama Ahmad
Kandang. Sementara angkatan pertama yang berlatih di Libia adalah Muzakkir
Manaf dan Ismail Syahputra, juru bicara ASNLF GAM yang diculik di Medan.
Di dalam pasukan GAM,
Arjuna dikenal dengan nama Rambo, tokoh film Hollywood dalam perang Vietnam.
Ini wajar karena lelaki brewok ini sangat lihai dalam taktik perang gerilya.
Dia masuk list aktivis GAM yang
paling diburu aparat keamanan. Merasa tak aman terus berada di Aceh setelah
terlibat pemukulan seorang Camat di Batee, Pidie, Arjuna meloloskan diri ke
Malaysia tahun 1992. Di sana dia bekerja serabutan.
Pada 1997, dia pulang ke
Aceh. Dia masuk lewat Pelabuhan Peureulak, Aceh Timur, yang relatif sepi dari
ingar bingar pergolakan. Dia kembali ke Bireuen sebentar, dan selanjutnya
hijrah ke Bekasi. Dia memilih menjadi pedagang kelontong dan sayuran di Pasar
Bekasi. Garis perjuangannya pun melunak. Terakhir, ketika pulang ke Bireuen
sekitar tahun 2001, Arjuna dieksekusi. Konon dilakukan oleh gerakan yang dulu
pernah dibelanya.
Ahmad
Kandang. Nama aslinya Muhammad Rasyid. Tapi dia lebih dikenal
dengan nama Ahmad Kandang. Pasalnya, dia lahir dan tinggal di Desa Meunasah
Blang Kandang, Muara Dua, Aceh Utara.
Akhir Desember 1998,
Ahmad Kandang menjadi pentolan GAM paling dicari aparat keamanan. Dia dituding
sebagai dalang pembunuhan sejumlah anggota ABRI. Hal itu pula yang mendorong
ABRI (kini TNI) melancarkan Operasi Wibawa ’99 yang menjadikan Aceh sebagai
medan perang. Sebagai operator lapangan, tak mudah bagi TNI menangkap Ahmad
Kandang. Dia dilindungi oleh pasukan dan warga masyarakat Kandang.
Ahmad Kandang dikenal
sebagai Robinhood-nya Aceh. Pelaku utama pembobolan Bank Central Asia (BCA)
Lhokseumawe pada Februari 1997 ini sangat dicintai masyarakat. Dia sering
membagi rezeki kepada penduduk di kampungnya. Ini pula yang membuatnya selalu
dijaga oleh masyarakat.
Pada pertengahan November
1998, misalkan, saat sepasukan Brimob telah mengepung rumah Ahmad Kandang,
mereka tak berani menembak panglima GAM Pasee tersebut karena di dalam rumah
tempat persembunyian Ahmad ada ibu dan bayi. Warga bahkan membentuk pagar betis
untuk melindunginya. Kesempatan itu digunakan oleh pejuang ini untuk kabur dan
melarikan diri.
Ahmad Kandang dikenal
ahli perakit bom. Banyak bom yang dipasang untuk menghadang laju operasi TNI
dibuat olehnya. Tapi, nasibnya tragis, karena dia meninggal gara-gara bom yang
dirakitnya meledak. Padahal, bom itu dia siapkan untuk menghadang iring-iringan
TNI.
Ishak
Daud. Selain Ahmad Kandang, nama tokoh GAM yang juga paling
diburu aparat keamanan adalah Teungku Ishak bin Muhammad Daud atau lebih
dikenal dengan Ishak Daud. Penglima GAM Wilayah Peureulak ini punya postur
tubuh tinggi-tegap. Wajahnya juga ganteng dan mirip bintang film India.
Ishak lahir di Desa Blang
Glumpang Kuala Idie, Kecamatan Idie Rayeuk, Aceh Timur, pada 12 Januari 1960. Dia
adalah anak pertama dari pasangan Muhammad Daud bin Tengku Basyah dan Nuriah.
Semasa kecil, Ishak tinggal di lingkungan desa yang rata-rata hidup di bawah
garis kemiskinan. Ayahnya bekerja sebagai nelayan sedang ibunya berjualan kue.
Merasa tidak pernah puas
dengan kondisi itu, pada awal tahun 1984, pada usia 24 tahun, Ishak memutuskan
merantau ke Malaysia. Di negeri jiran itu, Ishak Daud bekerja apa saja, sebagai
kuli bangunan atau penjaga restoran. Karena tak tahan hidup seperti itu di
Malaysia, Ishak Daud memutuskan merantau ke Singapura. Apalagi banyak orang
Aceh di negeri singa itu. Sama seperti di Malaysia, Ishak Daud juga bekerja
serabutan, dari buruh bangunan hingga sopir angkutan. Di Singapura pula Ishak
Daud mulai mengenal Gerakan Aceh Merdeka, apalagi saat itu banyak aktivis Aceh
Merdeka menggelar pertemuan politik. Praktis, selama bekerja di Singapura itu Ishak
sering mengikuti pertemuan tersebut. Ini pula yang membuka wawasannya tentang
sejarah Aceh.
Pada Juni 1987, Ishak
akhirnya disumpah oleh Tengku Abdullah Musa sebagai anggota GAM. Apalagi Hasan
Tiro yang mengendalikan GAM dari Swedia butuh pemuda Aceh untuk dilatih
pendidikan militer dan dikirim ke Libia. Ishak Daud termasuk dalam rombongan 40
orang pemuda Aceh yang dikirim ke Libia.
Sepulang dari Libia,
Ishak Daud singgah di Singapura. Hanya 12 hari di sana, Ishak Daud pun
memutuskan pulang ke Aceh melalui Pelabuhan Tanjung Balai. Dari sana dia naik
bus dan kembali ke kampung halamannya di Idi Rayeuk. Awalnya dia bekerja
sebagai pedagang ikan dan diam-diam merekrut pemuda untuk terlibat GAM.
Ishak termasuk tokoh
pertama yang mengibarkan bendera Aceh Merdeka di SMA Idi Rayeuk, Aceh Timur,
pada 4 Desember 1989 setelah pengibaran bendera di Gunung Halimun, Pidie, yang
dilakukan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.
Pada 20 Mei 1990, Ishak
Daud menyerang pos ABRI di Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Dalam penyerangan itu,
dua tentara dan seorang pelajar SMP meninggal. Kelompok Ishak Daud juga
berhasil mengambil 22 pucuk senjata M-16 dan senjata jenis Minimi. Untuk
ulahnya tersebut, Ishak Daud divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri
Lhokseumawe. Sidangnya digelar di Sabang karena dalam beberapa persidangan
sebelumnya, Ishak Daud selalu dielu-elukan oleh simpatisannya. Saat itu, Ishak
disebut-sebut sebagai Kepala Biro Penerangan Aceh Merdeka.
Namun, Ishak Daud hanya
sempat menjalani hukuman dua tahun saja, karena pada masa kepemimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid, 21 Mei 2000, Ishak Daud dibebaskan. Ishak memutuskan kembali
bergabung dengan GAM, posisi terakhirnya sebagai Panglima GAM Wilayah
Peureulak-Teumieng. Ishak meninggal dalam sebuah penyergapan oleh TNI pada
akhir tahun 2003.
Abdullah
Syafie. Teungku Abdullah Syafie atau Teungku Lah adalah
Panglima GAM yang sangat karismatik, disegani kawan dan ditakuti lawan. Di
kalangan pasukannya, Teungku Lah dikenal sangat tegas namun sopan. Dia juga
santun dan bersahaja. Kebersahajaannya terasa ketika suatu kali di sebuah
kampung di Glumpang Baro, Pidie. Dia sangat ramah. Tidak segan-segan berabur
dengan rakyat-masyarakat Aceh. Dia juga aktif berceramah di masjid-masjid.
Teungku Lah adalah
pemimpin sayap militer GAM. Dia pernah menjabat sebagai Panglima GAM Wilayah
Pidie, dan terakhir sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka seluruh Sumatera.
Konon, lebih dari 20 tahun Teungku Lah memimpin gerilyawan GAM di kawasan
Bireuen.
Teungku Lah tidak
mendapat pendidikan militer di Libia, seperti Arjuna atau Ahmad Kandang. Inilah
yang membuatnya tidak begitu suka dengan penggunaan kekerasan dalam berjuang.
Kekuatan senjata hanya untuk mempertahankan diri. Hal ini pula yang membuat
Teungku Lah sangat dihormati oleh tentara musuh.
Dia lahir di Desa
Matanggeulumpang Dua, Bireuen. Dia hanya sempat bersekolah hingga kelas tiga di
Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Keluar dari sekolah tersebut, Teungku Lah
memilih belajar agama di sejumlah pesantren di Aceh. Teungku Lah mulai terlibat
GAM pada awal 1980 (ada juga kabar yang menyebutkan Teungku Lah bergabung
dengan GAM sehari setelah Hasan Tiro memproklamirkan GAM di Gunung Halimun).
Sebenarnya, masa muda
Teungku Lah termasuk unik. Dia banyak terlihat dalam dunia teater bersama grup
Jeumpa. Sangat jauh dari kesan militer. Tapi, belakangan, hal ini sangat
membantu Teungku Lah dalam hal penyamaran. Mobilitas Teungku Lah tak
terdeteksi. Orang Aceh menyebut Teungku Lah punya ileume peurabon (ilmu bisa menghilangkan diri). Teungku Abdullah
Syafie meninggal dunia pada 22 Januari 2002 di Jiem-Jiem, Bandar Baru, Pidie,
dalam sebuah penyergapan oleh TNI. Sang istri dan lima pasukannya ikut syahid
dalam penyerangan tersebut.
Sebelum meninggal,
Teungku pernah membuat wasiat, “Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar
berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah
semangat. Sebab, saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya
apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh
kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka.”
Abu
Arafah. Teungku Abdul Meuthalib atau yang lebih terkenal
dengan Abu Arafah adalah Panglima GAM Wilayah Meureuhom Daya. Wilayah
operasional GAM Meureuhom Daya dalam struktur wilayah Gerakan Aceh Merdeka
meliputi Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, hingga Arongan, Kecamatan Samatiga, Aceh
Barat.
Abu Arafah dikenal
militan lantaran kerapkali menyerang patroli TNI di Gunung Geureutee, Aceh
Jaya. Dia acap mengultimatun pasukan TNI agar tidak melintasi wilayah
kekuasaannya, mulai dari Lhoong, Aceh Besar hingga Arongan. Setiap penyerangan
yang terjadi terhadap TNI di lintasan pegunungan itu diklaim dilakukan oleh
pihaknya. Suatu kali, pasukannya menyerang pasukan pengamanan bahan logistik
TNI BKO Kecamatan Jaya yang mengakibatkan Prada Suprianto, anggota TNI dari Kesatuan
320/Siliwangi, luka parah.
"Kita memang
mempersiapkan serangan itu, untuk mengingatkan mereka agar jangan menakali
masyarakat," kata Arafah kepada media ketika itu.
Dia juga mengajak TNI
berperang secara terbuka dengan pasukannya. Pasalnya, setiap selesai kontak
senjata dengan GAM, aparat TNI/Polri sering mengasari rakyat-masyarakat. Namun,
ajakan perang tersebut mendapat larangan dari ulama, apalagi seruan tersebut
dilakukan pada bulan Ramadhan. Para ulama cemas, karena Abu Arafah mengancam
akan menyerang pos TNI jika tak mau meladeni ajakan berperang di lokasi yang
jauh dari pemukiman penduduk.
"Kami menghormati
dan menghargai imbauan ulama dan tokoh masyarakat itu sepanjang pihak TNI/Polri
tidak mengganggu dan menindak masyarakat secara kasar," kata juru bicara
AGAM Wilayah Meureuhom Daya, Abu Tausi, mewakili Abu Arafah.
Abu Arafah meninggal
dunia dalam kontak senjata dengan pasukan TNI di Aceh Jaya, pada 10 Oktober
2002. Panglima legendaris GAM Meureuhom Daya ini dikebumikan di kampung
halamannya, Krueng Tunong, pada Jumat (11/10/2002) sore.
Sekalipun Abu Arafah
meninggal, namun GAM Wilayah Meureuhom Daya tetap menyembunyikan informasi
meninggalnya panglima yang sangat mereka hormati itu. Hal ini dilakukan agar
tidak meruntuhkan mental para pasukan di lapangan.
Saiful
alias Cagee. Amiruddin atau Saiful alias Cagee
bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1998. Ketertarikannya
bergabung dengan GAM setelah berkenalan dengan Mirik, saat Saiful alias Cage
masih sebagai prajurit biasa di Kamp 09 (Kosong Sikureung) Palu Beueh Awee
Geutah. Saat itu, petinggi GAM di kawasan itu adalah Husaini Franco, Razali dan
beberapa orang lainnya. Sekali pun masih baru dalam GAM, Cagee sudah dikenal
sangat berani dan nekat.
Cagee menjadi komandan
operasi khusus pada tahun 2002, karena sangat senang bertempur. Pasukan ini
dibentuk tahun 2001 oleh GAM Daerah III Batee Iliek. Pada tahun 2002 pula,
Cagee membentuk Kamp Gurkha di Gampong Darul Aman, Peusangan Selatan. Tapi
karena kondisi makin genting, dia memecah pasukannya menjadi tujuh regu, dua di
antaranya bernama regu Singa Bate (dengan komandannya Mirik) dan regu Geubina
yang dikomandani oleh Obeng. Setelah CoHA, Cagee menyatukan kembali pasukannya
di Gurkha, agar pasukan GAM tidak tersebar-sebar.
Cagee yang dikenal
pemberani ini pernah membanting stempel KPA Wilayah Bireuen di hadapan para
petinggi GAM setelah mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf sebagai calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2012. Entah karena sikapnya
tersebut, pada Jumat (22/07/2012) Cagee ditembak mati di depan tokonya, Gurkha,
di Matanggeulumpang Dua, Bireuen.
Selain nama-nama di atas,
sebenarnya, masih cukup banyak pejuang GAM yang legendaris dan ditakuti oleh
TNI, seperti Ayah Muni (panglima operasi wilayah GAM Aceh Besar), Abu Hendon,
panglima GAM Wilayah Deli yang meledakkan bom di kota Medan, atau Keuchik Umar,
panglima GAM di Pidie. Ada juga Udin Cobra, komandan operasi GAM di Pidie yang
dikenal sangat jago taekwondo, Pawang Rasyid yang namanya sangat dikenal di kawasan
Geumpang dan Tangse, Rahman Paloh di Pasee yang pernah menembak pesawat tempur
TNI dari pucuk pohon kelapa, Teungku Bari, komandan operasi GAM Batee Iliek,
dan masih banyak lagi. (*)
No comments:
Post a Comment