Saturday, February 7, 2015

Soal Pasien yang Butuh Rp 1 Miliar untuk Cangkok Hati, Ini Tanggapan BPJS

Foto: Iqbal/detikcom

Permenkes 59 tahun 2014 berisi standar tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam permenkes tersebut telah diatur aneka tindakan dan biaya yang bakal ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jika biayanya tidak sesuai dengan aturan yang telah menjadi dasar, maka BPJS tidak bisa menanggungnya.

"Kami BPJS tidak memiliki biaya maksimal dan minimal. Semua biaya yang kami tanggung mengacu pada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2014. Semuanya akan kami jamin biayanya sesuai dengan yang ada di peraturan tersebut," kata Irfan Humaidi, Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Jumat (6/2/2015).


Termasuk pula cangkok hati untuk pasien dengan sakit tertentu, BPJS juga akan akan menanggung. Prosedur pencangkokan hati dibedakan menjadi tiga prosedur, yakni ringan, sedang, dan berat. Di RSU rujukan nasional, prosedur pencangkokan hati yang paling mahal adalah untuk yang termasuk kategori berat, di mana biayanya adalah Rp 223.795.100

Lantas bagaimana jika biaya cangkok hati ternyata di atas ketentuan itu? "Kalau RS yang bersangkutan menetapkan harga sesuai yang ada di Permenkes, kami pasti jamin. Minta konfirmasi rincian dana ke rumah sakit yang bersangkutan. Jadi kalau biaya riil dari RS berbeda dengan ketentuan di Permenkes 59 tahun 2014, maka intervensi selanjutnya ada di tangan pemerintah. Porsi BPJS hanya menjamin biaya di Permenkes," ucap Irfan.

Soal biaya cangkok hati yang dirasa mahal antara lain dirasakan oleh Ferry Yunizar, ayah dari Ryuji Marhaeni, bayi berusia 5 bulan. Ryuji mulanya didiagnosa mengalami atresia bilier akibat penyumbatan pada empedunya. Ryuji butuh cangkok hati yang mana biayanya disebut mencapai Rp 1,2 miliar.


Awalnya, Ryuji di bawa ke RS Pasar Rebo karena kulit dan matanya berwarna kuning. Di sana, bayi Ryuji dilakukan rawat inap selama 5 hari. Kala itu dokter mendiagnosis Ryuji mengalami hepatitis. Dokter memberikan vitamin sebagai penanganan setelah didiagnosa hepatitis.

"Setelah kurang lebih sebulan didiagnosa hepatitis, Ryuji mulai rewel, tidak berhenti nangis dan mulai mengalami diare. Saat diberikan ASI, Ryuji malah muntah," terang Ferry.

Hal tersebut membuat tubuh Ryuji menjadi kekurangan cairan. Ryuji juga mengalami kesulitan ketika bernapas. Ryuji pun dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 18 Januari 2015 dan diberikan ventilator. Pemeriksaan fisik pada bayi Ryuji didapatkan kulit dan matanya berwarna kuning, perutnya membesar dan terasa keras ketika disentuh.

"Dokter menyarankan untuk cek Ultrasonografi (USG), yang hasilnya ada penumpukan cairan di hati akibat penyumbatan empedu. Pemeriksaan USG ini memperlihatkan adanya pembesaran hati atau hepatomegali," papar Ferry.

Pemeriksaan biopsi hati disarankan oleh dokter di RSCM untuk lebih menguatkan mengenai diagnosis atresia bilier. Menurut pemaparan Ferry, dokter mengatakan penanganan untuk kasus atresia bilier ada dua yaitu portoenterostomy dan transplantasi hati. "Untuk penanganan portoenterostomy bisa dilakukan jika bayi berusia 2 minggu. Karena Ryuji sudah 4 bulan lebih usianya, disarankan untuk dilakukan transplantasi hati," jelas Ferry.

"Biaya yang diberitahu dokter RSCM adalah Rp 1,2 miliar. BPJS nggak bisa nanggung biayanya. Kalau sudah ada biaya ,baru bisa transplantasi hati," ucap Ferry.

Saat ini Ryuji menjalani rawat jalan. Biaya rawat jalannya masih dalam pembiayaan BPJS. "BPJS pasti jamin seluruh biayanya sesuai dengan prosedur yang ada di permenkes. Bayi Ryuji juga saat ini kami jamin biaya perawatannya. Jadi bukan prinsip BPJS tidak mau menjamin," kata Irfan saat dikonfirmasi mengenai kasus bayi Ryuji.

Lalu bagaimana solusi untuk bayi Ryuji? "Kemkes yang bertanggung jawab untuk hal tersebut. Mungkin misalnya Kemkes mau revisi dari biaya tindakan tersebut, atau mungkin Kemkes akan menanggung dari dana lain untuk tangani operasi," ucap Irfan. (http://health.detik.com)

No comments:

Post a Comment