* Jajak Pendapat
Endang Suprapti
Perjalanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan memasuki tahun kedua sejak diluncurkan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 sebagai transformasi PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Persero) dalam memberi jaminan kesehatan. Peserta BPJS adalah peserta PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, program Jaminan Kesehatan Masyarakat, program Penerima Bantuan Iuran, dan peserta mandiri.
Komposisi opini peserta BPJS juga tecermin dari jajak pendapat Kompas. Dari 592 responden jajak pendapat Litbang Kompas di 12 kota, 53,5 persen telah mengikuti BPJS Kesehatan. Komposisinya, lebih dari 60 persen pegawai negeri sipil dan pensiunan.
Namun, dari 317 responden yang menjadi peserta program JKN BPJS Kesehatan, hanya 39,1 persen yang menyatakan puas terhadap layanan BPJS. Sebanyak 42,9 persen responden pengguna layanan BPJS Kesehatan masih menyatakan tidak puas. Ketidakpuasan tersebut berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berbagai hal, mulai dari kerumitan prosedur untuk mendapatkan layanan sejak pendaftaran keanggotaan hingga saat pemeriksaan.
Peserta BPJS tak bisa bebas memilih fasilitas kesehatan (faskes) karena program JKN menggunakan pola rujukan berjenjang. Pasien diharapkan berobat terlebih dahulu ke faskes tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, ataupun dokter keluarga. Jika membutuhkan layanan lebih lanjut dari dokter spesialis, pasien akan dirujuk ke faskes yang tingkat layanannya lebih tinggi.
Masalah lain, masih sedikit faskes yang bekerja sama dengan BPJS. Hal ini kerap mengakibatkan antrean panjang pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Bahkan, antrean panjang pun terjadi ketika warga hendak mendaftarkan diri sebagai peserta di kantor cabang BPJS Kesehatan.
Fasilitas kesehatan
Data
BPJS Kesehatan menyebutkan, pada triwulan I-2015, ada 14.619.528
kunjungan di faskes tingkat pertama. Dari data itu, 2.236.379 kunjungan
dirujuk dari pelayanan primer (puskesmas) ke tingkat pelayanan sekunder
(rumah sakit). Sebanyak 214.706 kunjungan di antaranya merupakan rujukan
nonspesialistik. Itu berarti seharusnya kasus itu tak perlu dirujuk
dan bisa diselesaikan di faskes tingkat pertama atau primer.Salah satu penyebab munculnya kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia di faskes tingkat pertama belum memadai. Tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit sebagai tingkat layanan sekunder, yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu karena panjangnya antrean, sementara sumber daya manusia di rumah sakit terbatas.
Iuran
Kondisi
yang belum optimal dalam menjaring kerja sama dengan faskes dan banyak
peserta potensial yang belum dirangkul, ditambah kualitas layanan yang
belum memuaskan, membuat publik menilai iuran belum layak dinaikkan.
Dari 53,7 persen responden yang tidak setuju iuran BPJS Kesehatan
dinaikkan, 58,8 persen merupakan peserta dan 39,3 persen belum menjadi
peserta.Menyelesaikan masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan tidak cukup dengan menaikkan iuran peserta. Harus ada evaluasi komprehensif antara lembaga Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS Kesehatan. Yang perlu dilakukan saat ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan di faskes, baik di jenjang primer maupun lanjutan.
Perbaikan mutu layanan dan kualitas sumber daya manusia di faskes primer perlu diprioritaskan agar pengobatan dapat dilakukan lebih awal dan lebih cepat. Dengan demikian, faskes yang lebih tinggi tidak terbebani dan semua faskes diberdayakan secara optimal dan merata.
(Litbang Kompas)
No comments:
Post a Comment