Silang pendapat seputar Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mengemuka mengiringi jalannya
pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) BPJS di DPR. Ada kalangan yang meminta
BPJS sebagai suatu badan yang benar-benar baru? Ada pula yang mendorong bahwa
BPJS sebagai hasil konversi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini
bergerak di asuransi pegawai negeri dan asuransi kesehatan. UU Nomor 40 Tahun
2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai payung hukum BPJS
tidak secara tegas menyatakan mengenai pengertian BPJS. Perihal bentuk BPJS, UU
SJSN menyebutkan ciri-cirinya saja, antara lain berwujud wali amanah dan
merupakan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja. Untuk menggali lebih
jauh tentang BPJS, Majalah Jaminan Sosial
mewawancarai secara khusus Ketua Umum KJI Drs.
Achmad Subianto, MBA. Berikut petikannya secara lengkap:
Belakangan
ini marak pemberitaan seputar desakan untuk segera disahkannya RUU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tapi sejauh ini belum ada satu kata
kesepahaman tentang BPJS. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan BPJS?
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
adalah suatu Badan Usaha baru dalam sistem hukum di Indonesia. Merujuk pada “Rumah
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” ala Indonesia yang coba saya dan KJI
(Komunitas Jamsosnas Indonesia) susun, terdapat tiga kelompok BPJS, yaitu BPJS
WARGANEGARA, BPJS PROFESI dan BPJS PENUNJANG.
Dari ketiga kelompok BPJS tersebut ada
yang bersifat tunggal dan ada pula yang bersifat jamak. Melihat pengalaman di
banyak negara, BPJS Warganegara bersifat tunggal. BPJS Warganegara (Basic Social Security) disebut pula BP
Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda) mencakup jaminan sosial para
pekerja non-formal dan harus melaksanakan 5 program jaminan sosial dasar, yakni
jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja
dan jaminan kematian. Sekadar pengetahuan, di China, BP Jamsosnasda dinamakan National Social Security Fund (NSSF)
yang didirikan pada tahun 1997 atas saran World
Bank. Sedangkan di Korea Selatan, BP Jamsosnasda disebut Nation Pension System (NPS). Meskipun
namanya Pensiun namun pelayanan yang diberikannya menyangkut berbagai program jaminan
sosial.
Lantas,
bagaimana dua kelompok BPJS yang lain?
Dalam pemikiran saya, BPJS Profesi dan
BPJS Penunjang bersifat jamak. Sebagaimana kita ketahui bahwa profesi dalam
kehidupan di masyarakat ini kan sangat beragam. Berapa banyak BPJS Profesi ini
bisa saja dibuat menurut jenis profesi yang ada, misalkan pegawai negeri sipil,
pegawai swasta, tentara, dan tenaga medis. Begitu pula BPJS Penunjang yang
dapat saja sesuai bidang penunjang, antara lain jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan dan jaminan perumahan.
Bila
melihat pengertian ini, sebenarnya kita telah memiliki BPJS dan tinggal
bagaimana menyesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku?
Anda benar. Kita ambil contoh BPJS
Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS). BPJS ini melaksanakan lima program jaminan
sosial, yakni jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan kematian. BPJS PNS disebut pula BP Jamsospen.
Melihat badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada, BP Jamsospen dapat
saja merupakan konversi dari PT Taspen (Persero). Kemudian BPJS Profesi TNI/Polri.
BPJS ini pun melaksanakan 5 program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan
hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS
TNI/Polri dinamakan juga BP Jamsosta dan bisa merupakan proses konversi dari PT
ASABRI (Persero). Selanjutnya BPJS Karyawan Swasta yang juga melaksanakan lima
program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) dengan nama lain BP Jamsostek dan bisa sebagai konversi dari PT
Jamsostek (Persero).
Masih BPJS Profesi, perlu ditambahkan
BPJS Karyawan BUMN yang juga mengemban amanah melaksanakan lima program jaminan
sosial. BPJS Karyawan BUMN bisa kita sebut sebagai BP Jamsosbun (Jamsospeg). Lalu
BPJS Guru Swasta yang melaksanakan lima program jaminan sosial dengan peserta
para guru (pendidik) sekolah swasta. BPJS Guru Swasta bias kita namakan BP
Jamsosdik. Selanjutnya BPJS Tenaga Medis Swasta yang bekerja menyelenggarakan
program jaminan sosial dengan peserta para profesional medis. BPJS Tenaga Medis
Swasta bisa kita sebut misalnya dengan nama BP
Jamsosdis.
Sedangkan untuk BPJS Penunjang dapat
meliputi BP Jaminan Sosial Kesehatan (Jamsoskes) sebagai hasil konversi dari PT Askes
(Persero), BP Jaminan Sosial Kecelakaan Lalu-lintas (Jamsoslin) yang dibentuk sebagai
konversi dari PT
Jasa Rahardja (Persero), dan BP Jaminan Sosial Perumahan (Jamsosrum) yang
didirikan dengan mengkonversi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan
(Bapertarum) PNS. Untuk BPJS Penunjang ini perlu pula ditambahkan BP Jaminan
Sosial Kematian (Jamsoskem).
Boleh
jadi BPJS yang merupakan hasil konversi tidak akan mengalami persoalan dalam
pengalihan bentuknya, bagaimana sebenarnya bentuk badan usaha BPJS itu?
Sebagai Badan Usaha baru, BPJS pertama
kali dibentuk dengan modal Pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan pengalihan kekayaan dari BUMN atau Badan Usaha lainnya. BPJS
bukanlah merupakan Persero, Perum (Perusahaan Umum) ataupun Perjan (Perusahaan
Jawatan). Karena terdapat modal pemerintah di dalamnya, BPJS merupakan “BUMN
Khusus” dengan kekayaan negara yang dipisahkan, tidak ada dividen, tidak ada
pajak dan tunduk kepada UU No.40 Tahun 2004 yang disempurnakan. Selanjutnya
BPJS dibangun dengan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja dengan pola
pendanaan penuh (fully funded system).
BPJS merupakan usaha berbentuk wali amanat lantaran BPJS mengelola dana titipan
peserta.
Secara
yuridis, sebelum terbentuk UU BPJS, apa landasan hukum pembentukan BPJS?
Landasan hukumnya jelas, yakni UU
Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 1 ayat
(6) UU itu merumuskan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Jaminan
sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak sebagaimana
disebutkan pasal 1 ayat 1 UU itu. Terkait dengan jaminan sosial, pasal 1 ayat 2
UU itu memperkenalkan Sistem Jaminan Sosial (SJSN) yang merupakan suatu tata
cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa BPJS. Lebih lanjut,
pasal 5 ayat 1 UU ini mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan undang-undang.
Dengan
berlakunya UU Nomor 40 Tahun 2004 ini, bagaimana nasib BPJS yang telah ada?
Menurut rumusan pasal 5 ayat (2) UU
itu, sejak mulai diberlakukannya UU No.40 Tahun 2004 maka
BPJS
yang telah ada dinyatakan sebagai BPJS menurut UU ini. BPJS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tadi adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (Taspen); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).
Semua ketentuan yang mengatur mengenai
keempat BPJS tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh pasal 52 ayat (2), harus
disesuaikan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 paling lambat lima tahun sejak UU itu
diundangkan.
Merujuk
pada penjelasan Bapak tentang BPJS Profesi dan Penunjang yang jamak tadi, tentu
dibutuhkan BPJS baru di masa depan. Apakah dimungkinkan pembentukan BPJS baru?
Dalam hal diperlukan BPJS yang baru selain
keempat BPJS tersebut maka dapat dibentuk BPJS yang baru dengan UU (pasal 5
ayat [4] UU No.40 Tahun 2004). Artinya, untuk membentuk BPJS Warganegara (jaminan sosial dasar, social security) misalnya, dibutuhkan UU tersendiri. Begitu
pula jika perlu membentuk Jamsosdik ataupun Jamsosdis, perlu UU tersendiri.
Siapa
saja peserta BPJS? Apakah hanya mereka yang memiliki profesi dan pekerja
formal?
Untuk kepesertaan, pasal 13 ayat (1)
UU Nomor 40 Tahun 2004 mengatur bahwa secara bertahap pemberi kerja wajib
mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan
program jaminan yang diikuti. Selain itu, pasal 14 ayat (1) UU ini mengatur
bahwa secara bertahap Pemerintah mendaftarkan penerima bantuan sosial sebagai
peserta kepada BPJS. Jadi tidak hanya kalangan profesional dan pekerja formal
yang bisa menjadi peserta BPJS.
BPJS
kan mengelola dana titipan peserta, seberapa besar porsi iuran peserta?
Mengenai besaran iuran, pasal 17 ayat
(1) UU No.40 Tahun 2004 merumuskan bahwa setiap peserta wajib membayar iuran
yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah
nominal tertentu. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyebut bahwa setiap pemberi
kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.
Mengenai
program jaminan sosial, apa saja yang wajib dilaksanakan oleh BPJS?
Tentang program jaminan sosial, pasal
18 UU Nomor 40 Tahun 2004 menegaskan bahwa setiap BPJS wajib melaksanakan lima
program jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS yang merupakan
hasil konversi tentu tidak akan menghadapi persoalan dalam melaksanakan kelima
program jaminan sosial tersebut. Persoalan akan terjadi pada BPJS yang baru dibentuk
sebagaimana diamanatkan oleh UU itu, misalnya BPJS Warganegara yang wajib
melaksanakan dan mengelola jaminan sosial nasional dasar (Jamsosnasda). BPJS
Warganegara yang juga dinamakan BP Jamsosnasda tentu belum memiliki dana yang
cukup untuk melaksanakan sekaligus kelima program jaminan sosial tersebut
secara bersamaan. Ada baiknya BPJS Jamsosnasda membuat skala prioritas program
yang hendak dilaksanakan, misalnya prioritas utama program jaminan kesehatan.
Sejauh
ini BPJS baru belum terbentuk dan UU BPJS belum pula disetujui oleh DPR, apa
yang dapat Bapak rekomendasikan agar ke depan BPJS dapat berjalan secara baik?
Dengan mengacu pada pengertian dan
pemahaman tentang BPJS sesuai dengan UU No.40 Tahun 2004, saya dapat memberikan
beberapa usul perbaikan, di antaranya, pertama,
rumusan pada Bab VII Ketentuan Peralihan pasal 52 ayat (1) yang menyebutkan
“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek) ... tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan
Undang-undang ini” perlu direvisi atau diperbaiki. Tidak perlu menyebutkan nama
PT Jamsostek, PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes karena keempatnya bukan
perusahaan dengan aktivitasnya di bidang Jaminan Sosial, tapi di bidang
asuransi. Dengan demikian sebaiknya bunyi rumusannya diubah menjadi sebagai
berikut: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang
bergerak di bidang Jaminan Sosial tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap menyesuaikan
sistem pengelolaan Jaminan Sosial dengan Undang-undang ini.” Di sini, DPR dan
Pemerintah harus segera menyempurnakan UU Nomor 40 Tahun 2004.
No comments:
Post a Comment