Sunday, December 30, 2012

BPJS Merupakan “BUMN Khusus”


Silang pendapat seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mengemuka mengiringi jalannya pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) BPJS di DPR. Ada kalangan yang meminta BPJS sebagai suatu badan yang benar-benar baru? Ada pula yang mendorong bahwa BPJS sebagai hasil konversi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini bergerak di asuransi pegawai negeri dan asuransi kesehatan. UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai payung hukum BPJS tidak secara tegas menyatakan mengenai pengertian BPJS. Perihal bentuk BPJS, UU SJSN menyebutkan ciri-cirinya saja, antara lain berwujud wali amanah dan merupakan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja. Untuk menggali lebih jauh tentang BPJS, Majalah Jaminan Sosial mewawancarai secara khusus Ketua Umum KJI Drs. Achmad Subianto, MBA. Berikut petikannya secara lengkap:


Belakangan ini marak pemberitaan seputar desakan untuk segera disahkannya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tapi sejauh ini belum ada satu kata kesepahaman tentang BPJS. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan BPJS?

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah suatu Badan Usaha baru dalam sistem hukum di Indonesia. Merujuk pada “Rumah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” ala Indonesia yang coba saya dan KJI (Komunitas Jamsosnas Indonesia) susun, terdapat tiga kelompok BPJS, yaitu BPJS WARGANEGARA, BPJS PROFESI dan BPJS PENUNJANG.

Dari ketiga kelompok BPJS tersebut ada yang bersifat tunggal dan ada pula yang bersifat jamak. Melihat pengalaman di banyak negara, BPJS Warganegara bersifat tunggal. BPJS Warganegara (Basic Social Security) disebut pula BP Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda) mencakup jaminan sosial para pekerja non-formal dan harus melaksanakan 5 program jaminan sosial dasar, yakni jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Sekadar pengetahuan, di China, BP Jamsosnasda dinamakan National Social Security Fund (NSSF) yang didirikan pada tahun 1997 atas saran World Bank. Sedangkan di Korea Selatan, BP Jamsosnasda disebut Nation Pension System (NPS). Meskipun namanya Pensiun namun pelayanan yang diberikannya menyangkut berbagai program jaminan sosial.

Lantas, bagaimana dua kelompok BPJS yang lain?

Dalam pemikiran saya, BPJS Profesi dan BPJS Penunjang bersifat jamak. Sebagaimana kita ketahui bahwa profesi dalam kehidupan di masyarakat ini kan sangat beragam. Berapa banyak BPJS Profesi ini bisa saja dibuat menurut jenis profesi yang ada, misalkan pegawai negeri sipil, pegawai swasta, tentara, dan tenaga medis. Begitu pula BPJS Penunjang yang dapat saja sesuai bidang penunjang, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan dan jaminan perumahan.

Bila melihat pengertian ini, sebenarnya kita telah memiliki BPJS dan tinggal bagaimana menyesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku?

Anda benar. Kita ambil contoh BPJS Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS). BPJS ini melaksanakan lima program jaminan sosial, yakni jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. BPJS PNS disebut pula BP Jamsospen. Melihat badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada, BP Jamsospen dapat saja merupakan konversi dari PT Taspen (Persero). Kemudian BPJS Profesi TNI/Polri. BPJS ini pun melaksanakan 5 program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS TNI/Polri dinamakan juga BP Jamsosta dan bisa merupakan proses konversi dari PT ASABRI (Persero). Selanjutnya BPJS Karyawan Swasta yang juga melaksanakan lima program jaminan sosial (jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian). BPJS Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dengan nama lain BP Jamsostek dan bisa sebagai konversi dari PT Jamsostek (Persero).

Masih BPJS Profesi, perlu ditambahkan BPJS Karyawan BUMN yang juga mengemban amanah melaksanakan lima program jaminan sosial. BPJS Karyawan BUMN bisa kita sebut sebagai BP Jamsosbun (Jamsospeg). Lalu BPJS Guru Swasta yang melaksanakan lima program jaminan sosial dengan peserta para guru (pendidik) sekolah swasta. BPJS Guru Swasta bias kita namakan BP Jamsosdik. Selanjutnya BPJS Tenaga Medis Swasta yang bekerja menyelenggarakan program jaminan sosial dengan peserta para profesional medis. BPJS Tenaga Medis Swasta bisa kita sebut misalnya dengan nama BP Jamsosdis.

Sedangkan untuk BPJS Penunjang dapat meliputi BP Jaminan Sosial Kesehatan (Jamsoskes) sebagai hasil konversi dari PT Askes (Persero), BP Jaminan Sosial Kecelakaan Lalu-lintas (Jamsoslin) yang dibentuk sebagai konversi dari PT Jasa Rahardja (Persero), dan BP Jaminan Sosial Perumahan (Jamsosrum) yang didirikan dengan mengkonversi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) PNS. Untuk BPJS Penunjang ini perlu pula ditambahkan BP Jaminan Sosial Kematian (Jamsoskem).

Boleh jadi BPJS yang merupakan hasil konversi tidak akan mengalami persoalan dalam pengalihan bentuknya, bagaimana sebenarnya bentuk badan usaha BPJS itu?

Sebagai Badan Usaha baru, BPJS pertama kali dibentuk dengan modal Pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pengalihan kekayaan dari BUMN atau Badan Usaha lainnya. BPJS bukanlah merupakan Persero, Perum (Perusahaan Umum) ataupun Perjan (Perusahaan Jawatan). Karena terdapat modal pemerintah di dalamnya, BPJS merupakan “BUMN Khusus” dengan kekayaan negara yang dipisahkan, tidak ada dividen, tidak ada pajak dan tunduk kepada UU No.40 Tahun 2004 yang disempurnakan. Selanjutnya BPJS dibangun dengan iuran bersama antara peserta dan pemberi kerja dengan pola pendanaan penuh (fully funded system). BPJS merupakan usaha berbentuk wali amanat lantaran BPJS mengelola dana titipan peserta.

Secara yuridis, sebelum terbentuk UU BPJS, apa landasan hukum pembentukan BPJS?

Landasan hukumnya jelas, yakni UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 1 ayat (6) UU itu merumuskan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak sebagaimana disebutkan pasal 1 ayat 1 UU itu. Terkait dengan jaminan sosial, pasal 1 ayat 2 UU itu memperkenalkan Sistem Jaminan Sosial (SJSN) yang merupakan suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa BPJS. Lebih lanjut, pasal 5 ayat 1 UU ini mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan undang-undang.

Dengan berlakunya UU Nomor 40 Tahun 2004 ini, bagaimana nasib BPJS yang telah ada?

Menurut rumusan pasal 5 ayat (2) UU itu, sejak mulai diberlakukannya UU No.40 Tahun 2004 maka BPJS yang telah ada dinyatakan sebagai BPJS menurut UU ini. BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tadi adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek); Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen); Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).

Semua ketentuan yang mengatur mengenai keempat BPJS tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh pasal 52 ayat (2), harus disesuaikan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 paling lambat lima tahun sejak UU itu diundangkan.

Merujuk pada penjelasan Bapak tentang BPJS Profesi dan Penunjang yang jamak tadi, tentu dibutuhkan BPJS baru di masa depan. Apakah dimungkinkan pembentukan BPJS baru?

Dalam hal diperlukan BPJS yang baru selain keempat BPJS tersebut maka dapat dibentuk BPJS yang baru dengan UU (pasal 5 ayat [4] UU No.40 Tahun 2004). Artinya, untuk membentuk BPJS Warganegara (jaminan sosial dasar, social security) misalnya, dibutuhkan UU tersendiri. Begitu pula jika perlu membentuk Jamsosdik ataupun Jamsosdis, perlu UU tersendiri.

Siapa saja peserta BPJS? Apakah hanya mereka yang memiliki profesi dan pekerja formal?

Untuk kepesertaan, pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 mengatur bahwa secara bertahap pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan yang diikuti. Selain itu, pasal 14 ayat (1) UU ini mengatur bahwa secara bertahap Pemerintah mendaftarkan penerima bantuan sosial sebagai peserta kepada BPJS. Jadi tidak hanya kalangan profesional dan pekerja formal yang bisa menjadi peserta BPJS.

BPJS kan mengelola dana titipan peserta, seberapa besar porsi iuran peserta?

Mengenai besaran iuran, pasal 17 ayat (1) UU No.40 Tahun 2004 merumuskan bahwa setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyebut bahwa setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.

Mengenai program jaminan sosial, apa saja yang wajib dilaksanakan oleh BPJS?

Tentang program jaminan sosial, pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 2004 menegaskan bahwa setiap BPJS wajib melaksanakan lima program jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS yang merupakan hasil konversi tentu tidak akan menghadapi persoalan dalam melaksanakan kelima program jaminan sosial tersebut. Persoalan akan terjadi pada BPJS yang baru dibentuk sebagaimana diamanatkan oleh UU itu, misalnya BPJS Warganegara yang wajib melaksanakan dan mengelola jaminan sosial nasional dasar (Jamsosnasda). BPJS Warganegara yang juga dinamakan BP Jamsosnasda tentu belum memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan sekaligus kelima program jaminan sosial tersebut secara bersamaan. Ada baiknya BPJS Jamsosnasda membuat skala prioritas program yang hendak dilaksanakan, misalnya prioritas utama program jaminan kesehatan.

Sejauh ini BPJS baru belum terbentuk dan UU BPJS belum pula disetujui oleh DPR, apa yang dapat Bapak rekomendasikan agar ke depan BPJS dapat berjalan secara baik?

Dengan mengacu pada pengertian dan pemahaman tentang BPJS sesuai dengan UU No.40 Tahun 2004, saya dapat memberikan beberapa usul perbaikan, di antaranya, pertama, rumusan pada Bab VII Ketentuan Peralihan pasal 52 ayat (1) yang menyebutkan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ... tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-undang ini” perlu direvisi atau diperbaiki. Tidak perlu menyebutkan nama PT Jamsostek, PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes karena keempatnya bukan perusahaan dengan aktivitasnya di bidang Jaminan Sosial, tapi di bidang asuransi. Dengan demikian sebaiknya bunyi rumusannya diubah menjadi sebagai berikut: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, BUMN, BUMD dan BUMS yang bergerak di bidang Jaminan Sosial tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya dengan kewajiban secara bertahap menyesuaikan sistem pengelolaan Jaminan Sosial dengan Undang-undang ini.” Di sini, DPR dan Pemerintah harus segera menyempurnakan UU Nomor 40 Tahun 2004.

Kedua, sembari menyempurnakan naskah UU Nomor 40 Tahun 2004 dan menuntaskan RUU BPJS menjadi UU BPJS, selain memproses konversi BPJS yang telah ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pemerintah juga harus segera membentuk BPJS baru. Ketiga, Pemerintah perlu segera membentuk tim kerja untuk mewujudkan BPJS baru. Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) siap membantu membentuk tim kerja tersebut. Dan keempat, DPR dan Pemerintah harus bisa memisahkan antara bentuk/status BPJS dan program jaminan sosial yang akan dilaksanakan. ***

No comments:

Post a Comment