Oleh:
Ahmad Ansyori
Direktur
Operasi dan Pelayanan
PT
Jamsostek (Persero)
ASPEK PENTING DALAM SISTEM
JAMINAN SOSIAL
Dari
aspek teknis, akhir tahun 2009,
sejumlah anggota DPR RI berinisiatif mengajukan usul pembentukan Rancangan
Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian pada 10
Februari 2010, langkah ini ditindak-lanjuti dengan rapat dengar pendapat DPR
dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Sakit
Daerah (Arsada) dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Selanjutnya,
pada tanggal 16 Februari 2010, DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan
PTTaspen, PT Askes dan PT Jamsostek.
Lalu,
pada 30 April sampai 2 Mei 2010 di Karawaci, Tangerang, Banten, DPR mengadakan
konsinyering Panitia Kerja (Panja) RUU Pembentukan BPJS. Melalui Panja ini, DPR
lantas melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat di Makassar
(Sulawesi Selatan), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Surabaya (Jawa Timur).
Berikutnya, Komisi IX DPR memutuskan untuk merumuskan draft RUU BPJS dan
dilanjutkan dengan langkah harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR sampai
sempurna memenuhi persyaratan menjadi sebuah RUU yang layak dikirimkan ke
Pemerintah (Eksekutif).
Dari
aspek politik, dengan selesainya
draft RUU BPJS tersebut, selanjutnya, pada akhir Juli 2010, DPR menggelar
sidang paripurna untuk memutuskan usul inisiatif RUU BPJS dari DPR. Dan
kemudian, tanggal 9 Agustus 2010, draft RUU BPJS usul inisiatif DPR itu
dikirimkan ke Presiden. Sebagai respon atas draft tersebut, pada tanggal 2, 16
dan 29 September 2010, Presiden mengirim surat ke DPR yang berisi penunjukan
mitra yang akan terlibat dalam pembahasan RUU BPJS. DPR pun membentuk Panitia
Khusus (Pansus) BPJS.
Kemudian dari aspek fiskal, BPJS diarahkan sebagai BUMN Khusus dengan kekayaan
negara dipisahkan, tidak ada dividen, tidak ada pajak dan tunduk kepada UU
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
PRA-KONDISI SISTEM JAMINAN SOSIAL YANG RASIONAL,
EFEKTIF DAN BERKELANJUTAN
Untuk
membentuk sistem jaminan sosial yang rasional, efektif dan berkelanjutan,
mengacu pada arahan OECD, Promoting Pro
Poor Growth – Social Protection, 2009; kita harus menyiapkan sebuah kondisi
dan kondusif yang meliputi:
·
Perencanaan dan strategi jangka
panjang yang didukung dengan komitmen politik yang kuat.
·
Kombinasi instrumen kebijakan sosial
yang komprehensif agar dapat melindungi seluruh lapisan sosial di masyarakat.
·
Merefleksikan konteks sosial di negara
yang bersangkutan.
·
Institusi/administrator penyelenggara
memiliki kapasistas administrasi yang baik dan koordinasi
antar-institusi/departemen yang efektif.
·
Sistem monitoring dan evaluasi yang
tepat.
REFORMASI JAMINAN SOSIAL
Terdapat
beberapa alasan mengapa kita harus membentuk sistem jaminan sosial, di
antaranya:
·
Ageing
population: tingkat harapan hidup manusia meningkat dan
jumlah manusia semakin bertambah.
·
Krisis ekonomi: APBN tidak syariah,
cadangan keuangan nasional rendah, dan rupiah tidak stabil.
·
Cakupan jaminan sosial selama ini
relatif rendah: hanya meng-cover
pekerja formal dan aparatur pemerintah.
·
Terjadi ketidak-adilan: pemerintah
menerapkan standar ganda di mana mewajibkan swasta membayar iuran jaminan
sosial sementara pemerintah tidak meng-iur.
·
Berkurangnya manfaat: masih terbatas
pada asuransi sosial, belum sampai pada jaminan sosial.
DESAIN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Desain
program jaminan sosial pada masa mendatang harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
·
Seluruh lapisan penduduk berhak
memperoleh perlindungan dasar sebagaimana dimanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun
2004.
·
Perlu definisi yang lebih jelas lagi
mengenai desain program perlindungan dasar pada masing-masing kelompok penduduk
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2004.
·
Desain manfaat perlindungan sosial
tidak harus setara untuk setiap kelompok/lapisan penduduk. Desain manfaat untuk
kelompok penduduk yang bekerja di sektor formal, misalkan, dapat saja lebih
tinggi dibandingkan pada kelompok penduduk miskin dan tidak mampu.
KARAKTERISTIK PENDUDUK DAN
PENYELENGGARAAN
Universal coverage
menuntut adanya penyesuaian dengan karakteristik tiap-tiap kelompok penduduk
sesuai dengan konteks sosialnya yang secara teknis operasional tidak dapat
diabaikan begitu saja.
Dalam
hal asuransi sosial, pegawai negeri/TNI misalkan, kepesertaanya secara otomatis
dan bersifat wajib, pembiayaan secara otomatis dari alokasi anggaran APBN,
mekanisme penarikan iuran pun secara otomatis melalui APBN, dan tidak
diperlukan law enforcement secara
ketat.
Sedangkan
untuk kalangan pekerja swasta, meski kepesertaanya bersifat wajib namun tidak
secara otomatis si pekerja menjadi peserta (formal), pembiayaan berupa iuran
dari peserta yang ditanggung bersama peserta dan pemberi kerja, mekanismenya
ditarik langsung dari perusahaan, dan harus ada law enforcement bila ingin efektif menunmbuhkan kepesertaan.
Kemudian
untuk pekerja informal, biasanya kepesertaan bersifat sukarela dan tidak
otomatis, pembiayaan berupa iuran dari peserta yang ditanggung si pekerja
sendiri, mekanismenya ditarik langsung dari pekerja, dan tidak diperlukan law enforcement.
TANTANGAN MENYONGSONG SJSN
Sedikitnya
terdapat tiga tantangan dalam menyongong penerapan Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Pertama, tantangan
kepesertaan. Pada sektor formal, harus diusahakan optimalisasi cakupan
kepesertaan yang dapat dilakukan dengan sosialisasi secara intensif dan law enforcement secara rutin. Di sektor
informal, mesti dilakukan perluasan secara massif melalui sosialisasi dan
inovasi operasional. Selanjutnya juga harus dilakukan pembenahan administrasi
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang meliputi targeting, eligibilitas (kartu dan akses ke fasilitas kesehatan),
dan mekanisme pembayaran.
Tantangan
kedua adalah desain program dan
manfaat. Perlu desain program dan manfaat lima program jaminan sosial dengan
Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Perlu pula
integrasi program SJSN (UU Nomor 40 Tahun 2004), program bantuan sosial (UU
Nomor 11 Tahun 2009), otonomi daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) dan peraturan
perundangan terkait lainnya.
Tantangan
ketiga adalah kelembagaan. Di sini
diperlukan adanya koordinasi antar-instansi yang terlibat (Kementerian, DJSN
dan BPJS); kepastian bentuk badan hukum empat BPJS; dan penguatan kelembagaan
BPJS untuk masyarakat miskin dan informal (BPJS baru).
AMANAH UU SJSN MENGENAI BENTUK
KELEMBAGAAN BPJS
·
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
hanya mengatur dana amanat.
·
Bentuk badan hukum BPJS yang ada saat
ini tidak bertentangan dengan definisi dan prinsip dana amanat.
·
Bahwa keempat BPJS yang ada telah
menjalankan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 pasal 52 ayat 2 untuk melakukan
penyesuaian terhadap 9 prinsip SJSN sebagaimana datur oleh pasal 4.
·
UU Nomor 19 Tahun 2993 Tentang BUMN
menyatakan bahwa “Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN
untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum”.
·
UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Perasuransian menyatakan bahwa “Program asuransi sosial hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara”.
ASPEK KELEMBAGAAN
·
Praktik terbaik skema kelembagaan jaminan
sosial menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan di berbagai negara sangat
bervariasi. Ada yang berupa lembaga departemen pemerintah, ada pula yang
berbentuk korporasi atau semi-korporasi. Yang terpenting adalah penyesuaian
BPJS terhadap sembilan prinsip SJSN.
·
BPJS hendaknya memenuhi karakteristik
sebagai berikut: di bawah tanggung jawab negara; regulasi jelas; mekanisme
pengawasan yang jelas, terbukti dan transparan; dan telah memiliki keterwakilan
tripartit.
KESIAPAN PT JAMSOSTEK (PERSERO)
PT
Jamsostek telah menyesuaikan diri terhadap sembilan prinsip SJSN sejak tahun
2009. Pertama, prinsip
kegotong-royongan, PT Jamsostek menerapkan subsidi silang antar-peserta melalui
risk pooling yang besar. Tenaga kerja formal wajib mengikuti jamsostek sesuai
dengan amanah UU Nomor 3 Tahun 1992. Dan sejak tahun 2006, PT Jamsostek
melindungi tenaga kerja di luar hubungan kerja sesuai Permenakertrans Nomor
24/MEN/VI/2006 berbasis sukarela.
Kedua,
prinsip nirlaba. PT Jamsostek telah melakukan penyesuaian Anggaran Dasar untuk
penerapan zero dividend. Sejak tahun
2007, sisa dana digunakan untuk meningkatkan manfaat dan pelayanan.
Ketiga,
prinsip keterbukaan. Laporan keuangan PT Jamsostek secara berkala diperiksa
oleh audit eksternal (Badan Pemeriksa Keuangan, Badang Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, KAP) dan audit internal (PI). Tahun 2006 laporan keuangan PT
Jamsostek memperoleh predikat sehat sekali, 2007 berpredikat sehat dan tahun
2008 berpredikat sehat. PT Jamsostek juga menyampaikan laporan keuangan secara
terbuka melalui media massa nasional.
Keempat,
prinsip kehati-hatian. Pengelolaan dana investasi PT Jamsostek dilakukan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan, berpedoman pada PP Nomor 2 Tahun 2005. PT
Jamsostek pun menerapkan manajemen risiko yang dikelola oleh Direktorat
Kepatuhan dan Manajemen Risiko.
Kelima,
prinsip akuntabilitas. PT Jamsostek telah menerapkan sistem akuntansi untuk
organisasi jaminan sosial dan memisahkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) dengan
dana non-JHT. Jamsostek menerapkan sistem akuntansi PAJASTEK sesuai dengan PSAK
yang dibangun bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dampak penerapan PAJASTEK
menuntut dilakukannya pemisahan antara dana JHT yang merupakan utang badan
penyelenggara kepada peserta dan dana non-JHT yang dikelola dengan mekanisme
asuransi.
Masih
seputar prinsip akuntabilitas, PT Jamsostek juga mengimplementasikan tata
kelola yang baik atau yang dikenal good
corporate governance (CGC). Tahun 2008 memperoleh nilai 86,15 dan naik
menjadi 90,91 pada tahun 2009. Jamsostek sebagai perusahaan terpercaya dengan
rating 80,77 penilaian CGPI (Corporate
Governance Perception Index). Jamsostek juga memperoleh penghargaan dari The Indonesian Institute for Corporate
Governance (IICG) atas penyajian makalah terbaik dalam acara Good Corporate Governance Award 2009. Implementasi
penerapan GCG yang baik pun memperoleh penghargaan dari Majalah SWA sebagai perusahaan yang terpercaya
atas tata kelola perusahaan yang baik. PT Jamsostek menerapkan pula sistem ISO
9001:2008 pada 7 Direktorat di Kantor Pusat, 2 Kanwil dan 30 Kantor Cabang.
Atas
berbagai prestasi penerapan prinsip akuntabilitas, Jamsostek sempat memperoleh
apresiasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). PT Jamsostek termasuk ke
dalam 15 unit layanan terbaik dengan skor integritas tertinggi pada sektor
pelayanan publik. Kemudian laporan keuangan tahunan meraih penghargaan Peringkat
II BUMN Keuangan Non Listed (2009) dan Peringkat I BUMN Keuangan Non Listed
(2008 dan 2007). Juga memperoleh Good
Practice Award dari International Social Security (ISSA) untuk Program Jaga
Mutu Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tingkat I; Organisasi Asuransi Sosial
dengan dengan inovasi pelayanan terbaik dari Majalah INVESTOR; Perusahaan Asuransi Kesehatan dengan pelayanan terbaik
dari Majalah SWA; dan BUMN dengan
pengadaan barang dan jasa terbaik.
Keenam,
prinsip portabilitas. PT Jamsostek telah memiliki akses kejaringan di seluruh
Indonesia. Dengan demikian peserta dapat melakukan klaim dan memanfaatkan
kantor pelayanan dan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia dan di
luar wilayah domisilinya. Selain itu, sejak tahun 2006 PT Jamsostek pun sudah
menerapkan Sistem Informasi Pelayanan Terpadu online di seluruh kantor dan real
time data base.
Ketujuh,
prinsip kepesertaan wajib. PT Jamsostek telah menerapkan prinsip kepesertaan
wajib dengan mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 1992. Di sini berlaku bilangan besar
(The Law of The Large Number) dan
kepesertaan JPK wajib bersyarat.
Kedelapan,
prinsip dana amanat. PT Jamsostek sudah menerapkan prinsip-prinsip Wali Amanah.
Di antaranya tidak membayar dividen, pengelolaan dana JHT tidak dikenakan pajak
dan mekanisme pengawasan yang diwakili oleh Dewan Komisaris sudah merupakan
perwakilan Tripartit.
Dan
kesembilan, prinsip pengelolaan dana
yang berpedoman pada PP Nomor 22 Tahun 2005.
Di
samping telah menyesuaikan diri terhadap sembilan prinsip SJSN, PT Jamsostek
juga sudah mempersiapkan jaringan pelayanan pada satu Kantor Pusat, delapan
Kantor Wilayah, 121 Kantor Cabang, yang terhubung dengan Kontrak Provider.
Kontrak Provider tersebut terdiri dari 340 apotek, 529 rumash sakit, 2828 Pusat
Pelayanan Kesehatan Ibu (Pusat Kesehatan Masyarakat, Klinik dan Rumah
Bersalin), dan 283 optik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
USULAN BENTUK KELEMBAGAAN
Dengan
mengacu pada sejumlah persiapan dan rangkaian waca yang berkembang di
masyarakat, pemrasaran mengusulkan bentuk kelembagaan penyelenggara jaminan
sosial sebagai berikut:
·
Untuk program jaminan sosial prajurit
TNI dan Polri diselenggarakan oleh PT Asabri (Persero).
·
Program jaminan sosial bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Askes
(Persero).
·
Program jaminan sosial untuk karyawan
swasta diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero).
·
Program jaminan sosial bagi warga
miskis dan tidak mampu dilaksanakan oleh badan baru yang dibentuk oleh
Pemerintah.
Di
luar keempat usulan tersebut, program jaminan sosial bagi tenaga kerja informal
dapat dilindungi oleh BPJS yang telah ada atau oleh Badan Baru yang dibentuk
oleh Pemerintah. ***
No comments:
Post a Comment