Monday, January 7, 2013

ARAH KELEMBAGAAN BPJS PADA SJSN


Oleh: Ahmad Ansyori
Direktur Operasi dan Pelayanan
PT Jamsostek (Persero)

ASPEK PENTING DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL
Dari aspek teknis, akhir tahun 2009, sejumlah anggota DPR RI berinisiatif mengajukan usul pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian pada 10 Februari 2010, langkah ini ditindak-lanjuti dengan rapat dengar pendapat DPR dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Selanjutnya, pada tanggal 16 Februari 2010, DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan PTTaspen, PT Askes dan PT Jamsostek.
Lalu, pada 30 April sampai 2 Mei 2010 di Karawaci, Tangerang, Banten, DPR mengadakan konsinyering Panitia Kerja (Panja) RUU Pembentukan BPJS. Melalui Panja ini, DPR lantas melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat di Makassar (Sulawesi Selatan), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Surabaya (Jawa Timur). Berikutnya, Komisi IX DPR memutuskan untuk merumuskan draft RUU BPJS dan dilanjutkan dengan langkah harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR sampai sempurna memenuhi persyaratan menjadi sebuah RUU yang layak dikirimkan ke Pemerintah (Eksekutif).
Dari aspek politik, dengan selesainya draft RUU BPJS tersebut, selanjutnya, pada akhir Juli 2010, DPR menggelar sidang paripurna untuk memutuskan usul inisiatif RUU BPJS dari DPR. Dan kemudian, tanggal 9 Agustus 2010, draft RUU BPJS usul inisiatif DPR itu dikirimkan ke Presiden. Sebagai respon atas draft tersebut, pada tanggal 2, 16 dan 29 September 2010, Presiden mengirim surat ke DPR yang berisi penunjukan mitra yang akan terlibat dalam pembahasan RUU BPJS. DPR pun membentuk Panitia Khusus (Pansus) BPJS.
 Kemudian dari aspek fiskal, BPJS diarahkan sebagai BUMN Khusus dengan kekayaan negara dipisahkan, tidak ada dividen, tidak ada pajak dan tunduk kepada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

PRA-KONDISI SISTEM JAMINAN SOSIAL YANG RASIONAL,
EFEKTIF DAN BERKELANJUTAN
Untuk membentuk sistem jaminan sosial yang rasional, efektif dan berkelanjutan, mengacu pada arahan OECD, Promoting Pro Poor Growth – Social Protection, 2009; kita harus menyiapkan sebuah kondisi dan kondusif yang meliputi:
·         Perencanaan dan strategi jangka panjang yang didukung dengan komitmen politik yang kuat.
·         Kombinasi instrumen kebijakan sosial yang komprehensif agar dapat melindungi seluruh lapisan sosial di masyarakat.
·         Merefleksikan konteks sosial di negara yang bersangkutan.
·         Institusi/administrator penyelenggara memiliki kapasistas administrasi yang baik dan koordinasi antar-institusi/departemen yang efektif.
·         Sistem monitoring dan evaluasi yang tepat.

REFORMASI JAMINAN SOSIAL
Terdapat beberapa alasan mengapa kita harus membentuk sistem jaminan sosial, di antaranya:
·         Ageing population: tingkat harapan hidup manusia meningkat dan jumlah manusia semakin bertambah.
·         Krisis ekonomi: APBN tidak syariah, cadangan keuangan nasional rendah, dan rupiah tidak stabil.
·         Cakupan jaminan sosial selama ini relatif rendah: hanya meng-cover pekerja formal dan aparatur pemerintah.
·         Terjadi ketidak-adilan: pemerintah menerapkan standar ganda di mana mewajibkan swasta membayar iuran jaminan sosial sementara pemerintah tidak meng-iur.
·         Berkurangnya manfaat: masih terbatas pada asuransi sosial, belum sampai pada jaminan sosial.

DESAIN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Desain program jaminan sosial pada masa mendatang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
·         Seluruh lapisan penduduk berhak memperoleh perlindungan dasar sebagaimana dimanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2004.
·         Perlu definisi yang lebih jelas lagi mengenai desain program perlindungan dasar pada masing-masing kelompok penduduk sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 40 Tahun 2004.
·         Desain manfaat perlindungan sosial tidak harus setara untuk setiap kelompok/lapisan penduduk. Desain manfaat untuk kelompok penduduk yang bekerja di sektor formal, misalkan, dapat saja lebih tinggi dibandingkan pada kelompok penduduk miskin dan tidak mampu.

KARAKTERISTIK PENDUDUK DAN PENYELENGGARAAN
Universal coverage menuntut adanya penyesuaian dengan karakteristik tiap-tiap kelompok penduduk sesuai dengan konteks sosialnya yang secara teknis operasional tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam hal asuransi sosial, pegawai negeri/TNI misalkan, kepesertaanya secara otomatis dan bersifat wajib, pembiayaan secara otomatis dari alokasi anggaran APBN, mekanisme penarikan iuran pun secara otomatis melalui APBN, dan tidak diperlukan law enforcement secara ketat.
Sedangkan untuk kalangan pekerja swasta, meski kepesertaanya bersifat wajib namun tidak secara otomatis si pekerja menjadi peserta (formal), pembiayaan berupa iuran dari peserta yang ditanggung bersama peserta dan pemberi kerja, mekanismenya ditarik langsung dari perusahaan, dan harus ada law enforcement bila ingin efektif menunmbuhkan kepesertaan.
Kemudian untuk pekerja informal, biasanya kepesertaan bersifat sukarela dan tidak otomatis, pembiayaan berupa iuran dari peserta yang ditanggung si pekerja sendiri, mekanismenya ditarik langsung dari pekerja, dan tidak diperlukan law enforcement.

TANTANGAN MENYONGSONG SJSN
Sedikitnya terdapat tiga tantangan dalam menyongong penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pertama, tantangan kepesertaan. Pada sektor formal, harus diusahakan optimalisasi cakupan kepesertaan yang dapat dilakukan dengan sosialisasi secara intensif dan law enforcement secara rutin. Di sektor informal, mesti dilakukan perluasan secara massif melalui sosialisasi dan inovasi operasional. Selanjutnya juga harus dilakukan pembenahan administrasi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang meliputi targeting, eligibilitas (kartu dan akses ke fasilitas kesehatan), dan mekanisme pembayaran.
Tantangan kedua adalah desain program dan manfaat. Perlu desain program dan manfaat lima program jaminan sosial dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Perlu pula integrasi program SJSN (UU Nomor 40 Tahun 2004), program bantuan sosial (UU Nomor 11 Tahun 2009), otonomi daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) dan peraturan perundangan terkait lainnya.
Tantangan ketiga adalah kelembagaan. Di sini diperlukan adanya koordinasi antar-instansi yang terlibat (Kementerian, DJSN dan BPJS); kepastian bentuk badan hukum empat BPJS; dan penguatan kelembagaan BPJS untuk masyarakat miskin dan informal (BPJS baru).

AMANAH UU SJSN MENGENAI BENTUK KELEMBAGAAN BPJS
·         UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN hanya mengatur dana amanat.
·         Bentuk badan hukum BPJS yang ada saat ini tidak bertentangan dengan definisi dan prinsip dana amanat.
·         Bahwa keempat BPJS yang ada telah menjalankan amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 pasal 52 ayat 2 untuk melakukan penyesuaian terhadap 9 prinsip SJSN sebagaimana datur oleh pasal 4.
·         UU Nomor 19 Tahun 2993 Tentang BUMN menyatakan bahwa “Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum”.
·         UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian menyatakan bahwa “Program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara”.

ASPEK KELEMBAGAAN
·         Praktik terbaik skema kelembagaan jaminan sosial menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan di berbagai negara sangat bervariasi. Ada yang berupa lembaga departemen pemerintah, ada pula yang berbentuk korporasi atau semi-korporasi. Yang terpenting adalah penyesuaian BPJS terhadap sembilan prinsip SJSN.
·         BPJS hendaknya memenuhi karakteristik sebagai berikut: di bawah tanggung jawab negara; regulasi jelas; mekanisme pengawasan yang jelas, terbukti dan transparan; dan telah memiliki keterwakilan tripartit.

KESIAPAN PT JAMSOSTEK (PERSERO)
PT Jamsostek telah menyesuaikan diri terhadap sembilan prinsip SJSN sejak tahun 2009. Pertama, prinsip kegotong-royongan, PT Jamsostek menerapkan subsidi silang antar-peserta melalui risk pooling yang besar. Tenaga kerja formal wajib mengikuti jamsostek sesuai dengan amanah UU Nomor 3 Tahun 1992. Dan sejak tahun 2006, PT Jamsostek melindungi tenaga kerja di luar hubungan kerja sesuai Permenakertrans Nomor 24/MEN/VI/2006 berbasis sukarela.
Kedua, prinsip nirlaba. PT Jamsostek telah melakukan penyesuaian Anggaran Dasar untuk penerapan zero dividend. Sejak tahun 2007, sisa dana digunakan untuk meningkatkan manfaat dan pelayanan.
Ketiga, prinsip keterbukaan. Laporan keuangan PT Jamsostek secara berkala diperiksa oleh audit eksternal (Badan Pemeriksa Keuangan, Badang Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, KAP) dan audit internal (PI). Tahun 2006 laporan keuangan PT Jamsostek memperoleh predikat sehat sekali, 2007 berpredikat sehat dan tahun 2008 berpredikat sehat. PT Jamsostek juga menyampaikan laporan keuangan secara terbuka melalui media massa nasional.
Keempat, prinsip kehati-hatian. Pengelolaan dana investasi PT Jamsostek dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, berpedoman pada PP Nomor 2 Tahun 2005. PT Jamsostek pun menerapkan manajemen risiko yang dikelola oleh Direktorat Kepatuhan dan Manajemen Risiko.
Kelima, prinsip akuntabilitas. PT Jamsostek telah menerapkan sistem akuntansi untuk organisasi jaminan sosial dan memisahkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) dengan dana non-JHT. Jamsostek menerapkan sistem akuntansi PAJASTEK sesuai dengan PSAK yang dibangun bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dampak penerapan PAJASTEK menuntut dilakukannya pemisahan antara dana JHT yang merupakan utang badan penyelenggara kepada peserta dan dana non-JHT yang dikelola dengan mekanisme asuransi.
Masih seputar prinsip akuntabilitas, PT Jamsostek juga mengimplementasikan tata kelola yang baik atau yang dikenal good corporate governance (CGC). Tahun 2008 memperoleh nilai 86,15 dan naik menjadi 90,91 pada tahun 2009. Jamsostek sebagai perusahaan terpercaya dengan rating 80,77 penilaian CGPI (Corporate Governance Perception Index). Jamsostek juga memperoleh penghargaan dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) atas penyajian makalah terbaik dalam acara Good Corporate Governance Award 2009. Implementasi penerapan GCG yang baik pun memperoleh penghargaan dari Majalah SWA sebagai perusahaan yang terpercaya atas tata kelola perusahaan yang baik. PT Jamsostek menerapkan pula sistem ISO 9001:2008 pada 7 Direktorat di Kantor Pusat, 2 Kanwil dan 30 Kantor Cabang.  
Atas berbagai prestasi penerapan prinsip akuntabilitas, Jamsostek sempat memperoleh apresiasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). PT Jamsostek termasuk ke dalam 15 unit layanan terbaik dengan skor integritas tertinggi pada sektor pelayanan publik. Kemudian laporan keuangan tahunan meraih penghargaan Peringkat II BUMN Keuangan Non Listed (2009) dan Peringkat I BUMN Keuangan Non Listed (2008 dan 2007). Juga memperoleh Good Practice Award dari International Social Security (ISSA) untuk Program Jaga Mutu Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tingkat I; Organisasi Asuransi Sosial dengan dengan inovasi pelayanan terbaik dari Majalah INVESTOR; Perusahaan Asuransi Kesehatan dengan pelayanan terbaik dari Majalah SWA; dan BUMN dengan pengadaan barang dan jasa terbaik.           
Keenam, prinsip portabilitas. PT Jamsostek telah memiliki akses kejaringan di seluruh Indonesia. Dengan demikian peserta dapat melakukan klaim dan memanfaatkan kantor pelayanan dan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia dan di luar wilayah domisilinya. Selain itu, sejak tahun 2006 PT Jamsostek pun sudah menerapkan Sistem Informasi Pelayanan Terpadu online di seluruh kantor dan real time data base.
Ketujuh, prinsip kepesertaan wajib. PT Jamsostek telah menerapkan prinsip kepesertaan wajib dengan mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 1992. Di sini berlaku bilangan besar (The Law of The Large Number) dan kepesertaan JPK wajib bersyarat.
Kedelapan, prinsip dana amanat. PT Jamsostek sudah menerapkan prinsip-prinsip Wali Amanah. Di antaranya tidak membayar dividen, pengelolaan dana JHT tidak dikenakan pajak dan mekanisme pengawasan yang diwakili oleh Dewan Komisaris sudah merupakan perwakilan Tripartit.
Dan kesembilan, prinsip pengelolaan dana yang berpedoman pada PP Nomor 22 Tahun 2005.
Di samping telah menyesuaikan diri terhadap sembilan prinsip SJSN, PT Jamsostek juga sudah mempersiapkan jaringan pelayanan pada satu Kantor Pusat, delapan Kantor Wilayah, 121 Kantor Cabang, yang terhubung dengan Kontrak Provider. Kontrak Provider tersebut terdiri dari 340 apotek, 529 rumash sakit, 2828 Pusat Pelayanan Kesehatan Ibu (Pusat Kesehatan Masyarakat, Klinik dan Rumah Bersalin), dan 283 optik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

USULAN BENTUK KELEMBAGAAN
Dengan mengacu pada sejumlah persiapan dan rangkaian waca yang berkembang di masyarakat, pemrasaran mengusulkan bentuk kelembagaan penyelenggara jaminan sosial sebagai berikut:
·         Untuk program jaminan sosial prajurit TNI dan Polri diselenggarakan oleh PT Asabri (Persero).
·         Program jaminan sosial bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Askes (Persero).
·         Program jaminan sosial untuk karyawan swasta diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero).
·         Program jaminan sosial bagi warga miskis dan tidak mampu dilaksanakan oleh badan baru yang dibentuk oleh Pemerintah.
Di luar keempat usulan tersebut, program jaminan sosial bagi tenaga kerja informal dapat dilindungi oleh BPJS yang telah ada atau oleh Badan Baru yang dibentuk oleh Pemerintah. ***

No comments:

Post a Comment