Thursday, January 3, 2013

Asuransi yang Merepotkan TKI


Duka-derita para TKI/TKW sejak dari keberangkatan sampai kepulangan nyaris tiada habis. Untuk memberikan jaminan perlindungan bila sewaktu-waktu celaka saat bekerja di negeri orang, sejauh ini, para TKI diwajibkan membayar premi asuransi sebelum berangkat bekerja di luar negeri. Kewajiban ini diatur pasal 83 UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Pasal ini menegaskan bahwa setiap calon TKI atau TKI yang bekerja di luar negeri wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI.
Pemerintah lalu mengambil sikap melakukan perlindungan TKI di luar negeri melalui program asuransi. Dalam lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 07/Men/VI/2010, setiap TKI dikenakan pembayaran premi asuransi sebesar Rp400.000. Proteksi diberikan kepada pekerja agar mereka dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusi pekerja tersebut dapat tetap maksimal dari waktu ke waktu. Proteksi diberikan sejak mulai proses pra-penempatan, penempatan sampai purna-penempatan (pasal 77 UU Nomor 39/2004). Secara normatif, perlindungan semasa pra-penempatan menjadi kewajiban PPTKIS, masa penempatan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dan saat kepulangan menjadi tanggung jawab PPTKIS.
Soal perlindungan TKI saat kepulangan boleh dikatakan amat minim. Ketika mereka pulang dengan sejumlah persoalan, PPTKIS yang memberangkatkan tak bisa mengklaim ke perusahaan asuransi yang dulu menerima pembayaran premi TKI. Perusahaan asuransi yang ditunjuk tampak cuci tangan. Sekadar contoh, Rochmat bin Harto Saji Karto. TKI asal Dusun Samirejo, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini harus menerima kenyataan tenaganya diperas bekerja untuk 4 rumah di Jeddah dan dari masa kerja 16 bulan hanya dibayar 8,5 bulan. Ke mana dia mesti mengklaim asuransi kerugian atas gaji yang tidak dibayar oleh majikan? Setelah mengadu ke KJRI pada 16 Juni 2010, majikannya (Aiman Abdul Rahim) cuma menebar janji akan membayar sisa gaji Rochmat. Perusahaan asuransi juga tidak membayar klaim yang diajukannya. Karena, perusahaan asuransi mitra PPTKIS Kemuning Bunga Sejati yang memberangkatkannya tidak memiliki perwakilan di Jeddah. 
Tampak bukan perusahaan asuransi yang berusaha menyelesaikan dengan pembayaran klaim. Perusahaan asuransi dari dalam negeri tidak bisa menuntaskan karena tidak memiliki perwakilan di negara-negara di mana para TKI bekerja. Dalam penelusuran Himsataki, selama enam bulan pertama tahun 2010, tercatat sekitar 900 TKI bermasalah di tempat kerja yang tidak memperoleh klaim asuransi. Memang tidak masuk akal, penunjukan perusahaan asuransi dan broker dari dalam negeri untuk memberikan perlindungan kepada TKI selama bekerja di luar negeri. Akibatnya, mereka terpaksa menyelesaikan sendiri –baik dengan bantuan KJRI, PPTKIS maupun asosiasi.  
Padahal, berdasarkan Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/MEN/IX/2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, pemulangan dan penanganan TKI bermasalah tidak lagi menjadi tanggung jawab gabungan antara Direktorat PTKLN Kementerian Nakertrans dan wakil-wakil PPTKIS (asosiasi). Sejak tahun 2007 pemulangan TKI –baik habis kontrak maupun bermasalah—ditangani oleh BNP2TKI. Namun karena ketidak-mampuannya dalam menindak-lanjuti penyelesaian permasalahan TKI (khususnya klaim asuransi yang menjadi hak TKI) maka mulai Februari 2008 BNP2TKI menyerahkan penanganan bantuan hukum dan klaim asuransi TKI kepada LBH Kompar (lembaga swasta) dengan biaya didasarkan pada DIPA dari Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI tahun 2008. Penyerahan ini dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara BNP2TKI dan LBH Kompar Nomor B612/PL/II/2008 Tentang Bantuan Hukum TKI yang pulang dari luar negeri yang ditanda-tangani oleh Drs. Mardjono (BNP2TKI) dan Drs. Sumarno (Direktur Eksekutif LBH Kompar).
Setelah setahun berjalan, ternyata LBH Kompar tak juga mampu menangani persoalan klaim asuransi ini. Sebab itu, pada 26 Juli 2009 LBH Kompar menjalin kerja sama dengan Himsataki yang dituangkan ke dalam naskah kerja sama Nomor 102256/MoU/LBH/JKT/06/09. Salah satu butir perjanjian itu, LBH Kompar (pihak I) menyerahkan seluruh data TKI bermasalah yang telah dihimpunnya kepada Himsataki. Data yang dihimpun LBH Kompar selama enam bulan itu berisi 16.327 TKI bermasalah.
Langkah awal Himsataki adalah meneliti data fisik dan data yang tersimpan di flashdisk. Lalu, Himsataki mengambil sampel sekitar 1.000 TKI bermasalah dan mencocokkan dengan PPTKIS terkait mengingat data tersebut merupakan data lama dan besar kemungkinan telah melewati batas waktu klaim asuransi. Hal ini jelas merupakan kesalahan LBH dalam menanganinya serta tidak adanya pengawasan BNP2TKI. Dalam klausul kerja sama disebutkan LBH Kompar wajib memberikan laporan tiap triwulan ke BNP2TKI. Ternyata klausul ini dilanggar.
Selanjutnya, Himsataki meminta rekomendasi dari Depnakertrans Ciracas untuk pengajuan klaim asuransi sekitar 1.000 orang TKI. Setelah mengantongi rekomendasi, Himsataki mengirim surat kepada Menakertrans (saat itu) Erman Suparno. Setelah lima bulan berlalu, ternyata tidak ditanggapi. Himsataki tidak patah arang. Lalu, pada 27 Januari 2010, Himsataki mengirimkan surat senada (disertai data penunjang) kepada Direktur Jenderal Binapenta Kemnakertrans. Setali tiga uang, surat ini pun tak memperoleh tindak lanjut.
Oktober 2009, Menakertrans berganti dari Erman Suparno ke Menakertrans Muhaimin Iskandar. Pada 1 Maret 2010, Himsataki kembali mengirimkan surat yang pada intinya meminta kejelasan klaim asuransi TKI yang tidak pernah dibayar sejak jaman Menakertrans Erman Suparno. Lagi-lagi, gayung tak bersambut. Yang terjadi kemudian, pada pertengahan September 2010, Menakertrans Muhaimin Iskandar menunjuk satu konsorsium yang beranggotakan sekitar 10 perusahaan asuransi. Padahal, sebelumnya dia menyetujui pembentukan empat konsorsium. Tidak jelas apa alasan penunjukan satu konsorsium dan penolakan terhadap tiga konsorsium lainnya. Dan, ironisnya, satu konsorsium yang ditunjuk itu merupakan perusahaan asuransi dan broker yang tidak membayar klaim asuransi ribuan TKI di masa sebelumnya.
Langkah kebijakan Menakertrans Muhaimin Iskandar menunjuk satu konsorsium asuransi jelas sulit diterima akal sehat. Perusahaan asuransi yang ditunjuk Kementerian Nakertrans tidak dapat beroperasi di luar negeri karena mereka tidak memiliki perwakilan di sana. Akibatnya, asuransi itu tidak mampu berfungsi melindungi TKI di luar negeri karena baru bisa diklaim setelah si TKI pulang ke Indonesia. Memang, Menteri Tenaga Kerja juga mengatur mewajibkan perusahaan asuransi membuka perwakilan di negara-negara tempat bekerja para TKI. Alih-alih membuka perwakilan di mancanegara, kalau toh ada sekadar numpang bendera, perwakilan di kota atau kabupaten kantong-kantong TKI pun nyaris nihil. Banyak perusahaan asuransi yang hanya memiliki kantor di Jakarta dan kota-kota besar (Semarang dan Surabaya). Betapa merepotkan.  *
(Sumber: Majalah Suara TKI Edisi Nomor Perkenalan, 2011)

No comments:

Post a Comment