Duka-derita para TKI/TKW sejak dari keberangkatan sampai
kepulangan nyaris tiada habis. Untuk memberikan jaminan perlindungan bila
sewaktu-waktu celaka saat bekerja di negeri orang, sejauh ini, para TKI diwajibkan
membayar premi asuransi sebelum berangkat bekerja di luar negeri. Kewajiban ini
diatur pasal 83 UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di
Luar Negeri. Pasal ini menegaskan bahwa setiap calon TKI atau TKI yang bekerja
di luar negeri wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI.
Pemerintah lalu mengambil sikap melakukan perlindungan TKI
di luar negeri melalui program asuransi. Dalam lampiran Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 07/Men/VI/2010, setiap TKI dikenakan pembayaran premi
asuransi sebesar Rp400.000. Proteksi diberikan kepada pekerja agar mereka dapat
melaksanakan pekerjaannya dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusi pekerja
tersebut dapat tetap maksimal dari waktu ke waktu. Proteksi diberikan sejak
mulai proses pra-penempatan, penempatan sampai purna-penempatan (pasal 77 UU
Nomor 39/2004). Secara normatif, perlindungan semasa pra-penempatan menjadi
kewajiban PPTKIS, masa penempatan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri, dan saat kepulangan menjadi tanggung jawab PPTKIS.
Soal perlindungan TKI saat kepulangan boleh dikatakan amat
minim. Ketika mereka pulang dengan sejumlah persoalan, PPTKIS yang
memberangkatkan tak bisa mengklaim ke perusahaan asuransi yang dulu menerima
pembayaran premi TKI. Perusahaan asuransi yang ditunjuk tampak cuci tangan.
Sekadar contoh, Rochmat bin Harto Saji Karto. TKI asal Dusun Samirejo,
Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini harus menerima kenyataan
tenaganya diperas bekerja untuk 4 rumah di Jeddah dan dari masa kerja 16 bulan hanya
dibayar 8,5 bulan. Ke mana dia mesti mengklaim asuransi kerugian atas gaji yang
tidak dibayar oleh majikan? Setelah mengadu ke KJRI pada 16 Juni 2010,
majikannya (Aiman Abdul Rahim) cuma menebar janji akan membayar sisa gaji
Rochmat. Perusahaan asuransi juga tidak membayar klaim yang diajukannya.
Karena, perusahaan asuransi mitra PPTKIS Kemuning Bunga Sejati yang
memberangkatkannya tidak memiliki perwakilan di Jeddah.
Tampak bukan perusahaan asuransi yang berusaha menyelesaikan
dengan pembayaran klaim. Perusahaan asuransi dari dalam negeri tidak bisa
menuntaskan karena tidak memiliki perwakilan di negara-negara di mana para TKI
bekerja. Dalam penelusuran Himsataki, selama enam bulan pertama tahun 2010,
tercatat sekitar 900 TKI bermasalah di tempat kerja yang tidak memperoleh klaim
asuransi. Memang tidak masuk akal, penunjukan perusahaan asuransi dan broker
dari dalam negeri untuk memberikan perlindungan kepada TKI selama bekerja di
luar negeri. Akibatnya, mereka terpaksa menyelesaikan sendiri –baik dengan
bantuan KJRI, PPTKIS maupun asosiasi.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menakertrans RI Nomor
PER-18/MEN/IX/2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
Negeri, pemulangan dan penanganan TKI bermasalah tidak lagi menjadi tanggung
jawab gabungan antara Direktorat PTKLN Kementerian Nakertrans dan wakil-wakil
PPTKIS (asosiasi). Sejak tahun 2007 pemulangan TKI –baik habis kontrak maupun
bermasalah—ditangani oleh BNP2TKI. Namun karena ketidak-mampuannya dalam
menindak-lanjuti penyelesaian permasalahan TKI (khususnya klaim asuransi yang
menjadi hak TKI) maka mulai Februari 2008 BNP2TKI menyerahkan penanganan
bantuan hukum dan klaim asuransi TKI kepada LBH Kompar (lembaga swasta) dengan
biaya didasarkan pada DIPA dari Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI tahun 2008.
Penyerahan ini dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara BNP2TKI dan LBH
Kompar Nomor B612/PL/II/2008 Tentang Bantuan Hukum TKI yang pulang dari luar
negeri yang ditanda-tangani oleh Drs. Mardjono (BNP2TKI) dan Drs. Sumarno (Direktur
Eksekutif LBH Kompar).
Setelah setahun berjalan, ternyata LBH Kompar tak juga mampu
menangani persoalan klaim asuransi ini. Sebab itu, pada 26 Juli 2009 LBH Kompar
menjalin kerja sama dengan Himsataki yang dituangkan ke dalam naskah kerja sama
Nomor 102256/MoU/LBH/JKT/06/09. Salah satu butir perjanjian itu, LBH Kompar
(pihak I) menyerahkan seluruh data TKI bermasalah yang telah dihimpunnya kepada
Himsataki. Data yang dihimpun LBH Kompar selama enam bulan itu berisi 16.327
TKI bermasalah.
Langkah awal Himsataki adalah meneliti data fisik dan data
yang tersimpan di flashdisk. Lalu,
Himsataki mengambil sampel sekitar 1.000 TKI bermasalah dan mencocokkan dengan
PPTKIS terkait mengingat data tersebut merupakan data lama dan besar
kemungkinan telah melewati batas waktu klaim asuransi. Hal ini jelas merupakan
kesalahan LBH dalam menanganinya serta tidak adanya pengawasan BNP2TKI. Dalam
klausul kerja sama disebutkan LBH Kompar wajib memberikan laporan tiap triwulan
ke BNP2TKI. Ternyata klausul ini dilanggar.
Selanjutnya, Himsataki meminta rekomendasi dari
Depnakertrans Ciracas untuk pengajuan klaim asuransi sekitar 1.000 orang TKI.
Setelah mengantongi rekomendasi, Himsataki mengirim surat kepada Menakertrans
(saat itu) Erman Suparno. Setelah lima bulan berlalu, ternyata tidak
ditanggapi. Himsataki tidak patah arang. Lalu, pada 27 Januari 2010, Himsataki
mengirimkan surat senada (disertai data penunjang) kepada Direktur Jenderal
Binapenta Kemnakertrans. Setali tiga uang, surat ini pun tak memperoleh tindak
lanjut.
Oktober 2009, Menakertrans berganti dari Erman Suparno ke Menakertrans
Muhaimin Iskandar. Pada 1 Maret 2010, Himsataki kembali mengirimkan surat yang
pada intinya meminta kejelasan klaim asuransi TKI yang tidak pernah dibayar
sejak jaman Menakertrans Erman Suparno. Lagi-lagi, gayung tak bersambut. Yang
terjadi kemudian, pada pertengahan September 2010, Menakertrans Muhaimin
Iskandar menunjuk satu konsorsium yang beranggotakan sekitar 10 perusahaan
asuransi. Padahal, sebelumnya dia menyetujui pembentukan empat konsorsium.
Tidak jelas apa alasan penunjukan satu konsorsium dan penolakan terhadap tiga
konsorsium lainnya. Dan, ironisnya, satu konsorsium yang ditunjuk itu merupakan
perusahaan asuransi dan broker yang tidak membayar klaim asuransi ribuan TKI di
masa sebelumnya.
Langkah kebijakan Menakertrans Muhaimin Iskandar menunjuk
satu konsorsium asuransi jelas sulit diterima akal sehat. Perusahaan asuransi
yang ditunjuk Kementerian Nakertrans tidak dapat beroperasi di luar negeri
karena mereka tidak memiliki perwakilan di sana. Akibatnya, asuransi itu tidak
mampu berfungsi melindungi TKI di luar negeri karena baru bisa diklaim setelah
si TKI pulang ke Indonesia. Memang, Menteri Tenaga Kerja juga mengatur
mewajibkan perusahaan asuransi membuka perwakilan di negara-negara tempat
bekerja para TKI. Alih-alih membuka perwakilan di mancanegara, kalau toh ada
sekadar numpang bendera, perwakilan di kota atau kabupaten kantong-kantong TKI
pun nyaris nihil. Banyak perusahaan asuransi yang hanya memiliki kantor di
Jakarta dan kota-kota besar (Semarang dan Surabaya). Betapa merepotkan. *
(Sumber: Majalah Suara
TKI Edisi Nomor Perkenalan, 2011)
No comments:
Post a Comment