National
saving is the sum of personal, government and business savings. When nation
saves a great deal, its capital stock increases rapidly and its enjoy rapid
growth in its potential output. When nation’s saving rate is low, its equipment
and factories become obsolete and its infrastructure begin rot away.
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus,
penulis
buku Economics, 1st Edition, 1948
Kesejahteraan
untuk
semua dan keadilan sosial. Itulah sasaran yang ingin dituju oleh Ludwig Erhard,
Menteri Federal Urusan Ekonomi Jerman, pada waktu ekonomi pasar berorientasi
sosial diterapkan di Jerman pada akhir tahun 1950-an. Tata ekonomi “model
Jerman” ini kemudian menjadi kisah sukses dan dicontoh banyak negara. Salah
satu pilar utama kisah sukses itu adalah sistem jaminan sosial paripurna. Jaminan
sosial di Jerman termasuk yang paling rapat di dunia: 26,7 persen pendapatan
nasional bruto dipergunakan untuk belanja negara di bidang sosial. Sekadar
perbandingan, Amerika Serikat (AS) menginvestasikan hanya 15,9 persen di bidang
itu dan negara-negara anggota Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata 20,5 persen. Di
Jerman, sistem jaminan sosial lengkap yang mencakup asuransi kesehatan,
purnakarya, kecelakaan, perawatan dan pengangguran telah mampu melindungi warga
dari ancaman dampak finansial yang dapat mengganggu eksistensi diri. Jaminan
sosial itu juga meliputi tunjangan yang dibiayai oleh pajak, seperti dana
pengimbang untuk keluarga (tunjangan anak, potongan pajak) atau tunjangan yang
menutup pengeluaran buat kebutuhan pokok purnakaryawan atau orang cacat tetap. Dalam
konteks praktik kenegaraan, Jerman adalah negara sosial yang memprioritaskan
jaminan sosial bagi semua warganya.
Sistem yang berciri
negara kesejahteraan (welfare state)
itu telah dikenal di Jerman sejak zaman industrialisasi. Pada akhir abad ke-19,
Kanselir “Reich” Otto von Bismarck mengembangkan struktur dasar asuransi sosial
yang dikelola oleh negara. Di bawah bimbingannya kemudian lahir undang-undang
mengenai asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kesehatan, serta untuk jaminan
terhadap keadaan tidak sanggup bekerja akibat cacat dan jaminan hari tua. Di
masa itu hanya sekitar 10 persen di antara penduduk Jerman yang mendapat
keuntungan dari legislasi di bidang sosial, kini hampir 90 persen telah menikmati
perlindungannya.
Selama beberapa
dasawarsa berikutnya, jaminan sosial di Jerman diperluas dan sekaligus
dijadikan lebih spesifik. Pada tahun 1927 misalnya, ditambahkan asuransi
terhadap akibat finansial dari pengangguran. Dan pada tahun 1995, jenis
asuransi wajib bertambah dengan asuransi perawatan. Kini di abad ke-21 menuntut
diadakannya reorientasi yang bersifat mendasar dan struktural pada semua sistem
itu, terutama dalam hal kesinambungannya. Faktor-faktor seperti meningkatnya
jumlah orang lanjut usia yang disertai angka kelahiran yang relatif rendah, ditambah
perkembangan di pasaran kerja yang lamban, telah membawa sistem jaminan sosial
ke batas kemampuannya. Dengan mengadakan pembaruan secara menyeluruh,
lembaga-lembaga politik berupaya menghadapi tantangan itu dan mengamankan
jaring pengaman sosial bagi generasi mendatang secara solider.
Jerman boleh
dikatakan telah lama keluar dari persoalan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini dinilai belum mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara luas. Pembangunan yang selama ini justru semakin
meningkatkan kesenjangan dan kemiskinan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
pembangunan ekonomi sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun,
pembangunan ekonomi yang diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tidak
akan serta merta membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa kendati mekanisme pasar
mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja secara optimal, namun
ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) merupakan kelompok yang kerap
tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar.
Kelompok rentan ini terlempar dari fokus pembangunan gara-gara hambatan fisiknya
(orang cacat), kulturalnya (suku terasing), dan strukturalnya (penganggur).
Mereka tidak mampu merespon secepat perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya
lantas terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil. Itulah
salah satu dasar mengapa negara-negara maju (salah satunya Jerman) berusaha mengurangi
kesenjangan itu dengan menerapkan welfare
state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar
kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang
terencana, melembaga dan berkesinambungan.
Mengingat
ketidak-sempurnaan mekanisme pasar itulah, peranan pemerintah banyak ditampilkan
pada fungsinya sebagai agent of economic
and social development. Arti kata,
pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi melainkan juga
memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat.
Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi
penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia menyediakan pula alokasi
dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang
tercecer dari persaingan pembangunan.
Mengenai penguatan
peran negara dalam pemerataan pembangunan sosial tersebut, Dosen Lund
University, Swedia, Goran Adamson, menjelaskan, bagi negara kesejahteraan,
konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan negara dalam memberdayakan warga masyarakatnya.
Peran dan tanggung jawab negara menjadi begitu besar terhadap warga-negaranya
karena negara akan bersikap dan memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga-negaranya.
Makna kata teman di sini merujuk pada kesiapan dalam memberikan pertolongan
manakala warga-negaranya mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan. Birokrat
merupakan alat dan garda depan negara yang secara langsung melayani warga
negara. Birokrat “diharuskan” bersikap netral dengan cara tidak menjadikan
latar belakang politik dan sosial warga negara sebagai dasar pertimbangan
pemberian pelayanan. Penganut negara kesejahteraan percaya bila negara
memberikan banyak kepada warga negara maka akan terjadi penurunan demonstrasi,
kekerasan dan anarkisme yang dilakukan oleh warga masyarakat yang merasa
dipinggirkan atau merasa bahwa distribusi keuntungan negara tidak berjalan
secara proporsional. Terdapat minimal empat hal yang harus disediakan oleh
negara kesejahteraan kepada rakyatnya, yakni menciptakan keamanan, mensuplai
pelayanan sosial, mengurangi biaya sosial masyarakat dan mengontrol angka
reproduksi.
Dalam negara
kesejahteraan, pemecahan problematika kesejahteraan sosial –seperti kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran—tidak dilakukan melalui
proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara
terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), antara lain pelayanan sosial, rehabilitasi
sosial, dan berbagai tunjangan (seperti tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan,
tunjangan hari tua, dan tunjangan pengangguran).
Negara kesejahteraan
pertama-tama dipraktikkan di Eropa dan Amerika Serikat pada abad 19. Penerapan
prinsip negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengubah kapitalisme menjadi
lebih manusiawi (compassionate capitalism).
Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat
dari gilasan mesin kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih
dianut oleh sejumlah negara maju dan berkembang.
Dilihat dari besaran atau
porsi anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam
empat model: pertama, model universal,
yang dianut oleh negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark
dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada
semua warga negara secara melembaga dan merata. Bahkan, negara menyediakan
berbagai layanan gratis kepada warga masyarakatnya. Anggaran negara untuk
program sosial mencapai lebih dari 60% dari total anggaran belanja negara. Untuk
mencapai porsi itu, Swedia misalkan, menetapkan angka pajak yang relatif
tinggi, yakni sampai 25%.
Kedua,
model institusional, yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model
pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Tapi,
kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yaitu
pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga,
model residual, yang dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan
Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok
lemah, seperti orang miskin, cacat dan pengangguran. Pemerintah menyerahkan
sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi
pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Sedikit kita tengok
praktik negara kesejahteraan di Selandia Baru. Penerapan negara kesejahteraan
di negeri ini boleh dikatakan lebih maju dibandingkan negara lain yang menganut
model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan
terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial,
pelayanan sosial dan bantuan sosial (income
support), misalkan, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo-liberal dan
kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
Penerapan negara
kesejahteraan di Selandia Baru dimulai tahun 1930, ketika negara ini mengalami
krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi,
kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah
mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat
keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang lantas menjadi
perdana menteri pada tahun 1935, menerapkan konsep negara kesejahteraan yang
masih dianut hingga sekarang. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan
Stenson (1995:71): “The main achievement
of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did
this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an
average level of comfort and security should be.”
Liberalisasi ekonomi
dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak
mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh,
sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi
organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat
departemen (ministry of social welfare)
yang mengatur urusan sosial. Anggaran untuk jaminan sosial dan pelayanan sosial
juga cukup besar, mencapai 36% dari total pengeluaran negara, melebihi anggaran
untuk pendidikan, kesehatan dan hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang
dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri
atau karyawan swasta. Orang cacat dan pengangguran, selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua
pekan, juga memperoleh pelatihan di pusat-pusat rehabilitasi sosial yang
profesional.
Kembali ke model
negara kesejahteraan, keempat, adalah
model minimal, yang dianut oleh negara-negara Perancis, Spanyol, Italia, Chili,
Brazilia, Korea Selatan, Filipina dan Srilanka. Anggaran negara untuk program
sosial sangat kecil, di bawah 10% dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial
dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya
hanya diberikan kepada pegawai negeri dan karyawan swasta yang mampu mengiur.
Konsep negara
kesejahteraan sebetulnya telah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun,
dalam kenyataan, konsep negara seperti ini belum sepenuhnya diaplikasikan di
Indonesia. Karena, persyaratannya cukup berat. Welfare state harus memiliki sistem pajak yang baik, social trust yang besar, serikat pekerja
yang kuat, penduduknya harus homogen, dan institusi sosial yang kuat. Institusi
sosial yang kuat akan membuat warga masyarakat terbiasa dengan rules of the game yang diciptakan oleh
pemerintah. Institusi sosial merupakan struktur dasar masyarakat yang berperan
dalam menciptakan keteraturan masyarakat.
Menurut Dosen Lund
University Goran Adamson, bahwa poin homogenitas menjadi persoalan tersendiri
di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi
yang tersebar di ribuan pulau. Tingkat heterogenitas ini menjadi penghalang
bagi terlaksananya konsep welfare state
sebagai landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak berjalannya
konsep welfare state di Indonesia, demikian
penjelasan Goran Adamson, juga diakibatkan oleh orientasi ideologi dan
kecenderungan pendidikan yang dimiliki oleh elit ekonom dan pengambil kebijakan
Indonesia. Para ekonom dan policy maker
tersebut disekolahkan di negara-negara yang menganut sistem perekonomian neo-liberal
melalui program beasiswa. Dampaknya adalah konsep negara dan perekonomian
Indonesia cenderung disesuaikan dengan perspektif ideologi dan keilmuan para
elit pengambil kebijakan dan ekonom.
***
Terlepas
dari
persoalan berjalan atau belum berjalannya konsep welfare state di Indonesia, data-fakta memperlihatkan bahwa Dana
Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) Indonesia per kapita amat rendah, kurang
dari Rp1 juta. Rendahnya dana Jamsosnas per kapita itu terutama disebabkan oleh
dua hal. Pertama, belum dibentuknya
lembaga Jaminan Sosial Nasional Dasar (Jamsosnasda) seperti yang telah
diterapkan oleh banyak negara, termasuk di Singapura dan Malaysia. Kedua, Pemerintah dan DPR belum menyelesaikan
kewajibannya untuk membayarkan kontribusi Jamsosnas kepada aparatur negaranya
yang telah tertunda-tunda sampai puluhan tahun. Seolah-olah dengan
dibayarkannya kontribusi Pemerintah cuma akan menguntungkan para aparatur
negaranya (PNS dan TNI/Polri). Padahal, dampak dari tidak dibayarkannya
kewajiban pemerintah ini sangat luar biasa, yaitu akan menyeret Pemerintah dan
Negara kepada jurang tragedi pengangguran dan kemiskinan nasional yang meluas
dan serius serta ketergantungan kepada pinjaman luar negeri.
Dampak dari rendahnya
dana Jamsosnas ini menjadikan Cadangan Keuangan Nasional pun rendah dan lebih
lanjut PDB per kapita juga rendah. Ketahanan keuangan nasional senantiasa
terganggu sehingga pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah. Akibat
Pemerintah dan DPR menunda-nunda keputusan pembayaran kewajiban Jamsosnas
kepada aparatur negaranya, maka Indonesia tertinggal 10-15 tahun dari negara-negara
tetangga ASEAN.
Mari kita lihat salah
satu program Jamsosnas, yakni Tunjangan Hari Tua (THT) dan Dana Pensiun PNS yang
kini dikelola oleh PT Taspen. Pemerintah atau negara selaku pemberi kerja sudah
semestinya wajib turut iur. Dengan Pemerintah turut mengiur, tentu saja THT dan
Dana Pensiun PNS yang dikelola oleh PT Taspen akan menjadi lebih besar. Dengan
demikian, secara korporat, Taspen akan pula menjadi perusahaan yang lebih
besar. Lebih dari itu, kesejahteraan PNS juga akan meningkat lebih signifikan
sehingga mereka betul-betul dapat menikmati kehidupan hari tua yang lebih
indah. Sungguh Taspen bisa menjadi prototipe “rumah kesejahteraan” pekerja
(PNS), sebagai bagian integral arsitektur Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Indonesia, yang merupakan salah satu pilar penyangga kemandirian bangsa-negara.
Repotnya, selama ini
ada kesan dari Pemerintah dan DPR bahwa jika Pemerintah mengiur untuk Program
Pensiun dan Jaminan Sosial aparatur negara maka hanya akan menguntungkan PNS,
TNI dan Polri karena berdampak terhadap angka-angka dalam APBN yang menjadi
sangat besar. Karena itu, Pemerintah dan parlemen tetap bersikukuh pada pola pay as you go, bukan pola fully funded. Hal ini jelas tidak benar.
Beban APBN menjadi sangat besar bukan lantaran besaran iuran yang seharusnya
dibayar pemberi kerja (Pemerintah), namun oleh sebab Pemerintah dan DPR selalu
menunda-nunda kewajibannya selama bertahun-tahun. Sampai dengan tahun 2009 pun
belum ada keputusannya. Jika diperhatikan secara seksama, maka dampak secara makro
justru lebih besar daripada mikro kepentingan aparatur negaranya itu sendiri.
Jaminan sosial, dana
pensiun dan asuransi sosial memiliki peran yang cukup besar bagi kesejahteraan
sosial peserta khususnya dan masyarakat umumnya. Secara mikro, pengumpulan
iuran (baik Peserta maupun Pemberi Kerja) berpengaruh meningkatkan
kesejahteraan Peserta dan tidak memberikan beban utang luar negeri kepada Pemberi
Kerja. Dan secara makro, pengaruh pengumpulan iuran sangat besar. Paling tidak
terdapat sembilan manfaat, yakni membangun kemandirian suatu bangsa, mewujudkan
ketahanan keuangan negara, membangun Cadangan Keuangan Nasional (National Reserve Fund), mewujudkan
pembiayaan jangka panjang, menggerakkan pasar modal, menciptakan lapangan kerja,
mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Jadi memang harus
menjadi kewajiban Pemerintah untuk membangun Jaminan Sosial dengan pola fully funded dengan iuran bersama
Pemberi Kerja (Pemerintah) dan Peserta (PNS, TNI, Polri dan aparatur negara
lainnya). Dengan pola fully funded,
baik Peserta maupun Pemberi Kerja harus sama-sama memberikan sumbangsih. Dampak
pengumpulan dananya tidak hanya menguntungkan bagi Peserta, tapi juga Pemberi
Kerja dan negara (sebagai Cadangan Keuangan Nasional). Maka pilihannya adalah
mau menggunakan pola pay as you go
ataukah fully funded?
Pada dasarnya,
ditilik dari sumber pendanaan, sistem pensiun mengenal dua pola. Pertama, pola pay as you go yang sepenuhnya menjadi beban APBN. Dan kedua, pendanaan sendiri atau pola fully funded dengan iuran bersama dari
Peserta dan Pemberi Kerja (Pemerintah).
Di seluruh dunia,
secara best practices, sistem pensiun
diarahkan kepada sistem fully funded.
Sistem pay as you go hanya diterapkan
pada awal pembentukan dana pensiun dan sebagai “sistem antara” yang kemudian
mulai banyak ditinggalkan setelah pendanaan untuk fully funded dibangun dan terpenuhi pendanaannya.
Perbedaan di antara
keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ambil tabel halaman
77 buku SJSN
Apabila digambarkan
dalam diagram, dapat disimak sebagaimana skema di bawah ini:
Ambil diagram halaman
78 buku SJSN
Mari kita kupas satu
per satu peran dan fungsi Jaminan Sosial, Dana Pensiun dan Asuransi Sosial bagi
terwujudnya negara kesejahteraan. Pertama
lita lihat dari sisi perputaran Sistem Jaminan Sosial dan Lapangan Kerja.
Perputaran Sistem Jaminan Sosial dan Lapangan Kerja, oleh Pemerintah, harus
senantiasa dipelihara dan dijaga secara terus-menerus keberlangsungannya.
Siklus ini berpacu dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang ada di masyarakat.
Semakin bertambah jumlah penduduk, maka negara harus menyediakan lapangan kerja
yang semakin banyak dengan memanfaatkan dana Jaminan Sosial Nasional yang
tentunya semakin besar selaras dengan bertambahnya jumlah penduduk dan
penghasilannya. Pun demikian dengan semakin cepat perputarannya, tentu semakin
baik karena akan berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Semakin lambat perputarannya akan menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang
tidak memperoleh pekerjaan akibat timbulnya pengangguran dan kemiskinan. Siklus
ini berlangsung secara kontinyu sepanjang kehidupan negara dan masyarakat.
Jaminan Sosial dan
penciptaan lapangan kerja itu ibarat dua sisi mata uang. Kedua sisi mata uang
itu akan mengikuti hukum keseimbangan, keduanya mempunyai dampak positif dan
bisa pula dampak negatif terhadap suatu
negara.
Bila Dana Jamsosnas
cukup tersedia dalam jumlah besar maka akan berdampak bagi terbangunnya
Cadangan Keuangan Nasional suatu Negara yang kuat sehingga penciptaan lapangan
kerja akan semakin besar pula. Walhasil, Produk Domestik Bruto (PDB) pun
niscaya akan meningkat. Sebaliknya, jika Dana Jamsosnas kecil maka Cadangan
Keuangan Nasional akan mengecil dan berakibat pada kemampuan suatu negara untuk
menciptakan kesempatan kerja menjadi rendah. Akibat selanjutnya dapat menambah
jumlah pengangguran dan meningkatkan kemiskinan; kesejahteraan masyarakat
menurun; serta PDB akan senantiasa dalam kondisi rendah.
Kedua,
sisi tabungan jangka panjang. Dana Jaminan Sosial yang merupakan kumpulan iuran
bersama antara warganegara/pegawai/pekerja dan pemberi kerja
(pemerintah/perusahaan/badan usaha) akan menjadi dana yang sangat besar sebagai
“tabungan nasional”. Dengan begitu, dapat dijadikan untuk sumber Dana Investasi
dalam suatu negara yang bersifat jangka panjang. Sistem yang membangun
terkumpulnya dana ini akan menjadikan suatu negara mempunyai kekuatan finansial
yang kuat. Dana yang terkumpul digunakan untuk dana investasi, baik di sektor
keuangan maupun di pasar modal; untuk membangun pabrik dan infrastruktur yang kemudian
diharapkan akan mendatangkan sumber keuangan bagi negara berupa pajak badan.
Sedangkan bagi setiap individu sebagai tenaga kerja akan memperoleh penghasilan
yang juga akan menghasilkan pendapatan bagi negara berupa pajak perseorangan.
Ketiga,
sisi Cadangan Keuangan Nasional. Dana Jaminan Sosial yang terkumpul dan
terakumulasi dari tahun ke tahun akan menciptakan suatu Cadangan Keuangan
Nasional bagi suatu negara. Dana ini dapat digunakan oleh negara untuk
menggerakkan perekonomian dan industrinya melalui pengeluaran obligasi negara.
Kebutuhan keuangan
negara dalam bentuk tunai dapat dipenuhi dengan adanya obligasi negara yang
pada saatnya nanti tentu akan dikembalikan melalui pembayaran kembali hutang-hutang
negara/pemerintah. Dengan begitu, kebutuhan tambahan dana tidak perlu meminta
bantuan dari IMF, World Bank, ADB atau lembaga donor luar negeri. Semua
kebutuhan pembiayaan dapat dipenuhi dari dalam negeri sendiri sehingga akan
memperkuat ketahanan keuangan nasional, yang karenanya juga memperkuat
ketahanan nasional negara.
Paul A. Samuelson dan
William D. Nordhaus dalam bukunya yang berjudul Economics (1st Edition, 1948) menyatakan: “National saving is the sum of personal, government and business savings.
When nation saves a great deal, its capital stock increases rapidly and its
enjoy rapid growth in its potential output. When nation’s saving rate is low,
its equipment and factories become obsolete and its infrastructure begin rot
away.” Negara dengan Cadangan Keuangan Nasional yang besar dan kuat itu
mencerminkan bahwa kesejahteraan bangsa dan negara tersebut semakin baik dan
makmur. Itulah yang terjadi pada Amerika Serikat dan negara-negara maju
lainnya.
Cadangan Keuangan
Nasional yang kuat harus pula ditunjang dengan nilai mata uang yang kuat. Untuk
Indonesia, jika nilai mata uangnya lemah, tentu Cadangan Keuangan Nasional-nya
menjadi lemah dan semakin susut karena nilai Cadangan Keuangan Nasional
tergerus oleh melemahnya nilai mata uang Rupiah. Peranan mata uang Rupiah
sangat menentukan dalam mengukur Cadangan Keuangan Nasional dan kesejahteraan
bangsa Indonesia.
Merujuk pada siklus
jaminan sosial, Cadangan Keuangan Nasional pun merupakan sisi mata uang dengan
wajah kesejahteraan suatu bangsa. Bila Cadangan Keuangan Nasional kuat, maka
akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan negara yang
menjadi kuat. Sebaliknya, jika Cadangan Keuangan Nasional lemah maka
kesejahteraan bangsa ini menurun dan melemah pula. Apapun alasannya, hal itu
telah dialami oleh Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu, dari mulai Orde
Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi kini. Dan bahkan hingga pemerintahan
berikutnya kalau tidak mau melakukan reformasi atas sistem Jaminan Sosial
masyarakat. Ini memang menjadi tugas bagi Pemerintahan periode 2009-2014 yang
tidak boleh ditunda-tunda tapi harus dituntaskan.
Keempat,
sisi Sumber Dana Pasar Modal. Dana Jaminan Sosial Nasional yang terakumulasi
dalam jumlah yang terus membesar dan agar bisa didayagunakan secara lebih
efektif, dapat dipergunakan untuk investasi di pasar modal (capital market) dengan menempatkannya di
saham atau instrumen keuangan lainnya yang ada di pasar modal. Kebutuhan para
pabrikan, pemegang saham yang menginginkan tambahan dana untuk modal kerjanya,
atau untuk meningkatkan kapasitas pabriknya, dapat dipenuhi dengan mengeluarkan
saham baru atau instrumen keuangan lainnya yang kemudian dibeli oleh Institusi
Pengelola Jaminan Sosial. Begitu pula dengan Pemerintah, jika memerlukan dana
untuk membangun sarana dan prasarana publik dapat memanfaatkan melalui
penerbitan obligasi yang dibeli oleh Lembaga Pengelola Jaminan Sosial Nasional.
Dengan meningkatnya kapasitas pabrik atau bertambahnya pabrik-pabrik di
masyarakat, dan juga semakin tersedianya prasarana yang dikelola oleh suatu
badan usaha, maka Pemerintah pun akan mendapatkan manfaat dengan memperoleh
pajak dari badan-badan usaha tersebut.
Investasi yang
terjadi dengan pemanfaatan dana Jaminan Sosial akan kembali melalui output yang
diterima oleh Pemerintah, antara lain berupa pajak penghasilan dari karyawan
perusahaan yang memanfaatkan dana Jaminan Sosial; pajak badan dari perusahaan
yang memanfaatkan dana Jaminan Sosial; penerimaan negara yang lain berupa Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), pajak ekspor (jika komoditi yang dihasilkan diekspor),
pajak-pajak lain dan cukai; peningkatkan daya beli masyarakat karena
berkurangnya pengangguran; dan inflasi terkendali.
Penerimaan negara dan
surplusnya (kalau tidak defisit) tentu akan digunakan oleh Pemerintah --dengan
persetujuan DPR-- untuk biaya pembangunan sarana dan prasarana
Pemerintah/Negara, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pembayaran gaji dan
emolumen aparatur negara dan pejabat negara, dan peningkatan daya beli aparatur
negara dan pejabat negara. Juga untuk membangun Jaminan Sosial bagi masyarakat
dan aparatur negara yang meliputi bantuan sosial dengan berbagai bentuknya
(bantuan sembako, bantuan kesehatan, bantuan perumahan dan bantuan pendidikan);
jaminan dan pelayanan kesehatan; pembayaran kontribusi Jaminan Sosial dari
Pemerintah berupa iuran sebagai kewajiban negara selaku pemberi kerja aparatur
negara; pembayaran kontribusi Jaminan Sosial dari Pemerintah Pusat berupa iuran
kepada Jamsosnasda, selaku penyelenggara negara yang wajib memberikan Jaminan
Sosial kepada warga negara; dan pembayaran unfunded
liability yang terkait dengan Jaminan Sosial.
Kelima,
sisi Penciptaan Lapangan Kerja. Dengan adanya peningkatan kapasitas pabrik dan
kehadiran pabrik-pabrik baru serta sarana dan prasarana baru, maka akan
memerlukan tambahan tenaga kerja dengan berbagai keahlian. Lapangan kerja baru
tersedia bagi warga masyarakat yang membutuhkan. Bagi angkatan kerja, baik yang
baru lulus dari sekolah umum maupun keahlian teknis tertentu, akan dapat tertampung
dengan terbukanya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran
dan kemiskinan. Jadi, sedari dulu sistem dan dana Jaminan Sosial itu sangat Pro-growth, Pro-poor dan Pro-job sebagaimana yang kini
dikampanyekan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Terlebih, lapangan
kerja baru tentunya juga untuk menampung mereka yang memiliki kemampuan dan
skill yang lebih tinggi sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) masyarakat. Penambahan tenaga kerja sebelumnya juga akan
dialami oleh perusahaan konstruksi yang membangun dan merancang fasilitas
pabrik-pabrik serta sarana dan prasarana baru, selain mereka yang bekerja di
pasar modal. Jadi, multiplier effects
pendayagunaan dana Jaminan Sosial terhadap penciptaan lapangan kerja memang
besar dan beragam.
Keenam,
sisi Mengatasi Pengangguran. Dana Jaminan Sosial Nasional yang masuk pasar
modal akan diserap oleh badan usaha yang mengelola sarana dan prasarana
masyarakat, termasuk jasa. Boleh jadi badan usaha itu membangun pabrik-pabrik
baru. Dengan berkembangnya pabrik-pabrik baru maupun peningkatan kapasitas dan perluasan
area pabrik, akan pula membuka pekerjaan dan jabatan baru yang dapat menampung
para pencari kerja sehingga dapat mengatasi terjadinya pengangguran di
masyarakat. Inilah yang kini populer disebut dengan strategi Pro-job, yakni membuka lapangan kerja
dan mengurangi angka pengangguran.
Ketujuh,
sisi Mengurangi Kemiskinan. Dana Jaminan Sosial yang terkumpul dalam jumlah
besar akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lantaran angkatan
kerja yang ada dapat tertampung dalam lapangan kerja yang semakin luas.
Sehingga, masyarakat dapat memperoleh penghasilan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Semakin banyaknya
dana Jaminan Sosial yang diinvestasikan dan mengalir ke pasar modal akan
menambah jumlah lapangan kerja dan mampu menyerap tenaga kerja yang ada
sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan di masyarakat. Di pihak
lain, akan pula tersedia produk dan jasa yang dibutuhkan warga masyarakat.
Tersedianya produk dan jasa yang cukup ini bisa mencegah laju inflasi.
Pendek kata, pengaruh
dana Jaminan Sosial terhadap upaya untuk mengurangi kemiskinan sangatlah besar.
Dalam kasus Amerika Serikat, pakar ekonomi Peter F. Drucker mengungkapkan bahwa
50-60 persen dana yang berputar dalam masyarakat berasal dari Jaminan Sosial
pekerja. Demikian pula dengan negara-negara yang tergolong negara maju, secara umum
kemakmuran masyarakatnya ditunjang oleh besarnya Cadangan Keuangan Nasional
yang berasal dari iuran dana Jaminan Sosial. Tapi, manakala output dana Jaminan Sosial tidak
dimanfaatkan sesuai maksud dan tujuan dibentuknya dana tersebut, maka akan
menimbulkan pengangguran dan kemiskinan seperti yang saat ini terjadi di
Amerika Serikat. Maklum, karena akumulasi dana Jaminan Sosial AS bukan
digunakan untuk kemaslahatan masyarakatnya, namun banyak digunakan oleh
Presiden George Bush untuk perang dan menjajah Kuwait, Irak, Afganistan dan
lainnya. Kini, Presiden Barack Obama terpaksa harus mencuci “piring kotor” yang
ditinggalkan oleh George Bush itu.
Kedelapan,
sisi Meningkatkan Kesejahteraan Bangsa. Dengan terakumulasinya dana Jaminan Sosial yang dapat disalurkan untuk
investasi maka dana masyarakat menjadi berputar. Selanjutnya, hal itu dapat
memberikan lapangan kerja bagi warga masyarakat sehingga pengangguran dan
kemiskinan pun berkurang serta wajah kesejahteraan secara makro akan membaik. Kesejahteraan
masyarakat dan bangsa secara makro ini pun mempunyai sisi lain dari suatu mata
uang dengan Cadangan Keuangan Nasional. Jika Cadangan Keuangan Nasional kuat maka
kesejahteraan dan kemakmuran negara itu akan meningkat pula. Sedangkan bila
Cadangan Keuangan Negara rendah maka kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
juga rendah. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, maka ada cukup dana
untuk menambah iuran dan Jaminan Sosial yang berupa tabungan untuk Jaminan
Sosial, dana pensiun atau program asuransi lainnya.
Kesembilan,
sisi Meningkatkan Kesejahteraan per Kapita Masyarakat. Secara perorangan,
kesejahteraan warga masyarakat pun akan meningkat. Dengan tersedianya
pekerjaan, seseorang bisa mengasah keahliannya sehingga penghasilannya akan
meningkat pula. Sebaliknya, bagi yang belum bekerja maka akan terbebas dari
menganggur karena memperoleh pekerjaan dan juga akan memperoleh penghasilan.
Dengan penghasilan orang-perorangan yang meningkat selanjutnya kesejahteraan
orang-perorangan pun akan meningkat. Pengaruh berikutnya, seseorang itu akan
meningkatkan kemampuannya dalam membayar pajak perserorangan serta
kontribusinya kepada Pemerintah dan masyarakat yang antara lain berupa zakat,
infaq, dan shadaqah (bagi warga masyarakat yang beragama Islam).
Dengan peningkatan
kesejahteraan orang-perorangan yang berasal dari penghasilannya maka mereka
juga mempunyai kesempatan untuk meningkatkan iuran dan kontribusi jaminan
sosialnya. Orang itu bisa menempatkannya pada institusi yang sama atau pada
perusahaan atau institusi pengelola lainnya berupa iuran tambahan maupun produk
asuransi lainnya. Walhasil, akumulasi dana Jaminan Sosial terus pula membesar. ***
Boks:
Bercermin
pada Negara Lain, Pemerintah Turut Iur
Pada
kongres
ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun
2007, para ekonom yang tergabung dalam ISEI ini bersepakat memasukkan materi social security (jaminan sosial) sebagai
salah satu pokok bahasan. Kalangan anggota ISEI pun mulai bahwa memahami
Jaminan Sosial merupakan salah satu sumber pembiayaan potensial bagi
pembangunan nasional untuk mencapai dan membangun kemandirian bangsa. Sejalan
dengan UU Nomor 40 Tahun 2004, Pemerintah sebenarnya sudah mulai meretas jalan
Jaminan Sosial sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional. Namun, lantaran
yang duduk di Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah orang-orang yang
tidak memahami praktik sistem Jaminan Sosial secara utuh dan kurang memperoleh
dukungan dari Kementerian Keuangan maka realisasinya terkatung-katung.
Untuk itu ada baiknya
kita bercermin atau belajar pada negara-negara tetangga (ASEAN) yang telah
berhasil membangun negara dan ketahanan keuangannya melalui sistem Jaminan
Sosial. Kita mulai dari negeri jiran Malaysia.
Sebagai negara kerajaan berbentuk federasi yang berlandaskan kepada syariah
Islam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, Malaysia membangun keuangan
nasional dengan bertumpu pada sumber-sumber dana dalam negeri. Bahkan, peranan
Jaminan Sosial, donasi (zakat, infaq dan shadaqah) dan tabungan haji sangat
menonjol selain sumber konvensional seperti fiskal dan moneter.
Dana yang berhasil
dikumpulkan dari sumber Jaminan Sosial di tahun 2010 sudah mencapai sekitar Rp930
triliun atau Rp38,75 juta per kapita. Jelas, hasil pengumpulan yang sangat luar
biasa bagi negara berpenduduk sekitar 24 juta jiwa itu. Dana
inilah yang kemudian ikut mendorong investasi di berbagai proyek, dari lapangan
terbang, jalan tol, perumahan, industri, bursa saham sampai ke obligasi
pemerintah. Begitu besar peran dana jaminan sosial dalam pembangunan. Di
Malaysia sistem jaminan sosial dianggap sebagai "engine of development". Demikian juga di saat krisis ekonomi
tahun 1997, Malaysia telah tertolong dari badai krisis, antara lain dari
besarnya dana jaminan sosial yang dimiliki.
Malaysia memiliki
sistem Jaminan Sosial untuk warga negara (Social
Security Organization, Socso), untuk Pegawai Negeri Sipil (Kumpulan Wang Amanat Pencen, KWAP),
untuk Angkatan Bersenjata (Lembaga
Tabungan Angkatan Tentara, LTAT), dan untuk para pekerja swasta (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja, KWSP)
yang masing-masing merupakan lembaga tersendiri. Semuanya tertata dalam sistem
yang saling mendukung dan ditaati secara baik oleh peserta (PNS, Tentara dan
karyawan) dan pemberi kerja (pemerintah dan majikan/perusahaan).
Tahun 1951 Malaysia
memulai program wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Atas dasar
ordonansi itu, seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri wajib mengikuti
program ini. EPF semula merupakan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang
memberi jaminan hari tua/pensiun. Selain itu, Malaysia pun membangun sistem
jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (Socso)
atau Perkeso (Pertumbuhan Keselamatan Sosial) yang didirikan pada tahun 1971. Perkeso
memberi jaminan sosial untuk kecelakaan kerja, meliputi santunan medik dan
santunan di saat tidak bekerja, kecacatan permanen, santunan kematian, santunan
rehabilitasi dan santunan bagi keluarga. Perkeso juga memberi dana pensiun,
apabila pekerja mengalami kecacatan permanen. Perkeso bekerja berdasarkan
mekanisme asuransi sosial. Kini, cakupan program EPF sudah meluas, termasuk
untuk membiayai rumah sakit, pendidikan, pembelian rumah, sampai ke pinjaman buat
pembelian personal computer
(Sulastomo, 2004).
Filipina
bahkan lebih dahulu lagi dibandingkan Malaysia. Pengembangan program jaminan
sosial di negara ini sudah dimulai sejak tahun 1948. Tahun 1992 semua pekerja
informal sudah wajib ikut program jaminan sosial, dan di tahun 1993 pembantu
rumah tangga juga diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial, yang
disebut Social Security System (SSS)
dan dikelola oleh suatu badan di bawah Departemen Keuangan. Pada saat ini, SSS
mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari
angkatan kerja, termasuk di antaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal
(Purwanto dan Wibisana, 2002).
Lalu Singapura. Semula, Singapura merupakan
bagian dari Kerajaan Malaysia yang sebelumnya adalah daerah jajahan Inggris. Tahun
1965, Singapura memisahkan diri menjadi sebuah negara republik yang tetap
menerapkan administrasi Inggris. Demikian pula dalam kaitannya dengan Jaminan
Sosial, Singapura mengaplikasikan prinsip-prinsip yang dilakukan oleh Inggris.
Dengan jumlah penduduk yang relatif kecil, sekitar 4 juta jiwa, Singapura
memiliki Sistem Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) untuk seluruh warga negara
dengan menerapkan iuran bersama antara penduduk dan pemerintah. Program jaminan
sosial diselenggarakan oleh CPF (Central
Provident Fund). CPF memberi jaminan untuk pensiun/jaminan hari tua,
perumahan dan kesehatan (medisave),
perlindungan keluarga (family protection)
dan upaya peningkatan aset keluarga (asset
enhancement). Nilai dana yang dimiliki setiap anggota CPF adalah sesuai
dengan jumlah tabungan wajib ditambah hasil pengembangannya, yang selalu lebih
besar dibandingkan kalau dana itu disimpan sebagai deposito pribadi di bank.
Hasil pengembangan CPF adalah sebesar 2,5 persen per tahun, sementara bunga
deposito hanya 1 persen. Dengan demikian, meskipun bersifat wajib, peserta
dapat menarik manfaat yang besar dari kepesertaannya dalam CPF, oleh karena
hasil pengembangan dana CPF lebih besar daripada bunga deposito. Hal ini
dijamin oleh undang-undang, sehingga tidak ada keraguan bagi peserta CPF. Besarnya
tabungan wajib adalah sebesar 28 persen dari gaji/upah, 13 persen di antaranya merupakan
kewajiban Pemberi Kerja.
Dibandingkan
negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Sistem Jamsosnas Singapura adalah yang
terkuat. Akumulasi dana CPF dari sekitar 3,3 juta peserta telah mencapai S$166,8
miliar atau setara dengan Rp1.167 triliun. Dana Jaminan Sosial per kapita
mencapai lebih dari Rp350 juta, yaitu Rp368 juta. Hal ini berdampak terhadap tingginya PDB per
kapita Singapura, yang mampu meningkatkan kemandirian dan ketahanan ekonomi dan
keuangan “Negara Kota” ini.
Kemudian Vietnam. Salah satu negara anggota
ASEAN yang baru tumbuh membangun social
security-nya adalah Vietnam. Sistem Jaminan Sosial dibangun dengan iuran
bersama antara warga negara, pemerintah (pusat-daerah) dan pemberi kerja
(perusahaan dan majikan). Yang menarik, iuran peserta hanya 8%, sedangkan iuran
pemerintah (pusat-daerah) dan pemberi kerja sebesar 16% atau dua kali lipat
dari iuran peserta. Dapat dibayangkan, 10 tahun berselang nanti negara ini akan
lebih mandiri dan lebih maju kesejahteraan penduduknya dibandingkan Indonesia,
karena ditopang oleh kemandirian keuangan nasionalnya yang kuat dengan dana
Jaminan Sosial sebagai salah satu pilarnya.
Ada satu cerita
menarik saat penulis berada di Vietnam dalam rangka ASSA Boarding Meeting. Dulu, ketika Vietnam baru merdeka,
Pemerintah sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Sekadar contoh, begitu
merdeka semua anggota militer dikerahkan untuk memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada rakyat Vietnam. Setelah beberapa tahun berjalan dan keadaan
masyarakat dirasa cukup memperoleh pendidikan, para tentara itu diperbolehkan
tidak menjadi guru lagi. Mereka diberi kesempatan untuk memilih pekerjaan
sesuai dengan keinginannya, namun terlebih dulu dilakukan pelatihan untuk
kejuruan dan kompetensi yang akan dipilih.
Sepengetahuan
penulis, pola ini juga dilakukan Amerika Serikat. Bagi prajurit yang telah
selesai melakukan pengabdian militer dan memutuskan tidak melanjutkan karir
ketentaraan, mereka diperbolehkan memilih kompetensi tertentu pada pekerjaan
non-militer dengan terlebih dulu diberikan pendidikan umum dan spesialis di
berbagai universitas yang telah ada.
Dari Vietnam mari
kita melanglang ke negerinya Pangeran Charles, yakni Inggris. Ketika mengikuti workshop
Dana Pensiun yang bertema Pension
Schemes: Security Diversity and Choice, The UK Experience di Inggris pada
tanggal 27 September sampai 1 Oktober 2004 silam, penulis memperoleh informasi dari
sejumlah narasumber bahwa Inggris dalam Retirement
Plan mengembangkan kebijakan dengan program pensiun dengan empat strata
Dana Pensiun, yaitu: Basic Pension
(Compulsary), State Pension (Compulsary), Professional (Non-compulsary) dan
Individual Pension (Non-compulsary).
Inggris memulai
dengan mengembangkan pola pensiun yang wajib atau compulsary terlebih dulu yang merupakan pensiun dasar untuk seluruh
penduduk yang inisiatifnya datang dari Pemerintah sebagai Pilar Kesatu. Pilar
Kedua masih dikembangkan Pemerintah untuk aparatur negaranya. Pilar Ketiga
untuk para profesional yang bersifat non-compulsary.
Dan Pilar Keempat untuk pensiun individual yang diselenggarakan secara non-compulsary.
Sebelum belajar ke
China, ada baiknya kita menengok program jaminan sosial di Korea Selatan. Negeri Ginseng ini memulai program jaminan sosial
dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib pada tahun 1976. Pada saat ini
seluruh penduduk Korea sudah memperoleh jaminan kesehatan dan pensiun. Jaminan
kesehatan memang sering menjadi pintu masuk jaminan sosial untuk semua. Korea Selatan
juga telah mengembangkan jaminan sosial untuk guru-guru swasta. Korea memulai
program jaminan sosial di saat pendapatan per kapita sekitar US$100 dan kini
telah memiliki akumulasi tabungan dana pensiun sebesar US$240 miliar.
Selanjutnya mari kita
belajar ke Negeri China. Ada
pelajaran menarik dari Negeri Tirai Bambu itu. Bahkan, penulis senantiasa
menganjurkan hendaklah kita mencontoh Negeri China dalam membangun sistem
Jaminan Sosial Nasional. Janganlah kita berkiblat ke negara-negara Barat yang
telah dibangun sejak ratusan tahun silam. China merupakan suatu negara yang
masih awal melakukan pembangunan nasional. Yang menarik, dalam politik, China
menganut paham sosialis, sedangkan ekonominya berpaham kapitalis. Kedua paham
ini saling berlawanan. Tapi, tidak demikian halnya di China. Kedua sistem yang
dianggap saling berlawanan itu ternyata dapat berjalan seiring sejalan dalam
rangka membangun negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Negeri Panda ini
layak menjadi benchmark karena
beberapa alasan. Di antaranya, China menganut sistem negara kesatuan yang
terdiri dari provinsi sebagaimana praktik kenegaraan di Indonesia. Mereka
memiliki lebih dari 45 provinsi. Negeri berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu juga
melakukan kebijakan otonomi daerah. Ekonomi China merupakan gabungan sosialis
dan kapitalis yang mirip dengan ekonomi Pancasila. Dan China secara serius membangun
sistem Jaminan Sosial untuk warga-negaranya mulai tahun 1997 dengan mengikuti
pola dari Bank Dunia. Yakni, Three Pillar
System yang terdiri dari Pilar Kesatu Government
Run Basic Pension (State), Pilar Kedua
Individual Account Pension (Occupational), dan Pilar Ketiga Voluntary Employee/Individual Savings
(Private).
Ketika itu, mendekati
penghujung dasawarsa 1990-an, saat dunia tengah menghadapi krisis keuangan,
China memanggil beberapa orang pakar ekonominya dari Wallstreet Amerika Serikat
agar pulang kampung. Mereka diminta mengembangkan sistem Jaminan Sosial buat
seluruh penduduk dengan mendirikan lembaga non-departemen bernama National Social Security Fund (NSSF) di
tahun 2000. NSSF dimaksudkan untuk mengkoordinir kegiatan Social Security yang menyangkut Jaminan Sosial Dasar (Pilar Kesatu
dari konsep Bank Dunia). Kemudian tahun 2005 Bank Dunia merekomendasikan dua
pilar tambahan sehingga menjadi lima pilar. Tambahan dua pilar itu
masing-masing: Pilar Keempat Informal
Sources of Support Including Housing and Helath Care dan Pilar Zero Non-Contributory Poverty Alleviation.
Pelaksanaan Pension Reform di China diarahkan kepada
tiga tujuan, yaitu Reduce pension
expectation, Cost burden to be shared by emplorer and employee, dan Move towards prefunding. Dalam horizon
yang lebih jauh, reformasi di bidang kepensiunan itu bertujuan untuk memelihara
stabilitas di bidang ekonomi dan sosial di Negeri Panda itu.
Keseriusan China
mengembangkan sistem social security-nya
secara optimal juga tercermin pada pola kepemimpinan lembaga yang menangani
program tersebut. NSSF dipimpin oleh seorang mantan Menteri Keuangan RRC, Xiang
Huaicheng, sehingga lembaga ini cukup powerful.
Selain itu, Social Security Fund
diposisikan sebagai Strategic Reserve
Fund bagi Pemerintah dengan tugas utama untuk memberikan dukungan finansial
dalam membangun Social Security di
China. Keberadaan NSSF itu sangat berperan dalam mengembangkan Sistem Lembaga
Keuangan dan Pasar Modal di China serta membantu dalam proses reformasi
perbankan negara. Chairman NSSF Xiang
Huaicheng pernah menyampaikan bahwa ada sebagian dana lembaga itu yang dipakai oleh
Pemerintah dan ada kebijakan untuk mengembalikan.
Kesadaran bahwa dana
pensiun, asuransi sosial dan jaminan sosial merupakan National Reserve Fund telah melekat pada roda pemerintahan dan
jalan pikiran para pejabat China. Sosialisasi dan pelebaran operasionalnya ke seluruh provinsi di China dilakukan secara
bertahap. Di sini barangkali Indonesia bisa belajar dari China. Negeri sosialis
tapi ekonominya kapitalis, yang penting rakyatnya dapat menikmati kemakmuran.
Kuncinya adalah terselenggaranya social
security atau jaminan sosial yang baik untuk seluruh warga masyarakatnya.
Dana pensiun,
asuransi sosial dan jaminan sosial yang dikelola dengan funded system, compulsary dan pooling
menjadikan dana yang berasal dari akumulasi iuran dan premi dapat difungsikan
sebagai cadangan keuangan nasional (national
reserve fund). Selanjutnya dana yang bersifat jangka panjang tersebut dapat
digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang pada gilirannya akan
membuka lapangan kerja atau menimbulkan employment
creation. Dengan demikian akan mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta
akan meningkatkan kesejahteraan setiap pekerja atau warga negara yang terlibat
dalam proses pembangunan. Pada tahap selanjutnya akan meningkatkan pendapatan
warga dan sekaligus menambah iuran dan premi atau tabungan nasional.
Lembaga NSSF memiliki
peran sangat sentral dalam proses pembangunan di China dengan cara membiayai berbagai
proyek infrastruktur dan industri, baik dengan penyertaan langsung maupun
melalui Pasar Modal dengan pembelian saham serta obligasi pemerintah dan
perusahaan. NSSF bersama Pemerintah juga menyediakan berbagai sarana yang
diperlukan masyarakat/peserta social
security.
Setelah beberapa
tahun beroperasi, NSSF sudah berhasil mengelola dana yang cukup besar. Jumlah
akumulasi dana yang dikelola NSSF sampai tahun 2004 telah mencapai RMB 153,864
miliar atau setara dengan US$19,2 miliar atau Rp190,08 triliun, dengan peserta
sebanyak 150 juta orang. Akumulasi dana yang cukup besar itu minimal berasal
dari tiga sumber, yakni kontribusi peserta sebesar 8%, kontribusi pemberi kerja
sebesar 20%, dan subsidi pemerintah (pusat-daerah) masing-masing Y50 miliar
(Rp61,8 miliar) dan Y10 miliar (Rp12,37 miliar).
Kehadiran NSSF yang
baru beberapa tahun ternyata telah mampu menggalang dana Jaminan Sosial sebesar
US$20 miliar yang berasal dari dua provinsi dan beberapa kota besar. Bisa
dibayangkan bila seluruh 48 provinsi bergabung, tentu akan menghasilkan
tersedianya dana Jaminan Sosial yang besar luar biasa. Ketika mengikuti
Konferensi Jaminan Sosial di Beijing, penulis dengan seksama mendengarkan
penjelasan dan uraian langsung dari pengurus NSSF. Betapa penulis terhenyak, membayangkan
bahwa dalam tempo 10-25 tahun kemudian China akan tampil menjadi negara dengan
kekuatan luar biasa –baik dari segi keuangan maupun teknologi—dan akan
meninggalkan negara-negara maju manapun di dunia.
Apa yang penulis bayangkan kini telah terbukti. Saat
ini pula Amerika Serikat sudah merasa khawatir melihat kemajuan yang dicapai China,
termasuk semakin menguatnya mata uang China, Yuan. Bahkan, untuk memenuhi
kebutuhan pinjaman bagi anggotanya, Dana Moneter Internasional (IMF) mulai
meminjam dari China. Kehadiran NSSF juga telah menumbuhkan berbagai megaproyek
antara lain proyek jembatan di atas laut terpanjang di dunia, stadion sarang
burung, pembangunan sarana satelit dan menerbangkan roket beserta awaknya ke
angkasa luar. Kemandirian keuangan nasional telah meningkatkan kemampuan Negeri Tirai Bambu ini
untuk mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang, termasuk riset dan
teknologi, dari Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. ***
No comments:
Post a Comment