Wednesday, November 27, 2013

Rahasia di Balik Peristiwa Hari Raya Idul Adha



Dalam catatan sejarah, telah terekam jelas mengenai percakapan antara Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s. Dari sana lah kita belajar tentang ketulusan dalam menjalankan segala hal yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita. Percakapan singkat antara keduanya terekam sangat jelas dalam firman Allah SWT:

 
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu) Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Al-Shâffât [37]: 102-111).
Di tengah kerasnya iklim gurun padang pasir yang tandus nan panas, seorang ibu berlari-lari ke sana ke mari hanya untuk mendapatkan beberapa tetes air demi putranya yang tengah menangis menahan haus; seorang ibu yang terus berusaha mencari air demi putranya agar si anak tidak mati kehausan di depan kedua matanya.
Dan di tengah ganasnya iklim padang pasir inilah, Allah SWT memberikan rahmat-Nya dan menyelamatkan seorang ibu tersebut beserta putranya. Atas izin Allah SWT, keluarlah sumber mata air yang sangat jernih dari bekas injakan telapak kaki sang putra. Maka, keduanya langsung meminum air tersebut untuk melepaskan rasa dahaga. Sang ibu kemudian memuji Allah SWT dan mengucapkan syukur kepada-Nya atas mukjizat yang telah Dia berikan kepada putranya. Di daerah yang tandus inilah seorang ibu berusaha mati-matian menjaga agar anaknya tetap hidup. Dan di daerah ini pula sang ayah mendapat ujian untuk menyembelih putra kesayangannya karena perintah Tuhannya yang ia dapat dalam mimpinya.
“Wahai Tuhanku, Dzat Yang Maha Suci. Atas kuasa-Mu, Kau telah menyelamatkannya dari rasa dahaga yang menyiksanya. Dan di saat-saat aku begitu menyayangi dan mencintainya dari lubuk hatiku yang paling dalam, Kau perintahkan aku untuk menyembelihnya? Ya Tuhan, ini adalah ujian paling berat bagi kedua orang-tuanya yang sungguh-sungguh sangat menyayangi anaknya, dan benar-benar peduli terhadapnya.”
“Dosa apakah yang telah dilakukan oleh seorang anak yang tak bersalah ini?”
“Serta, adakah dosa ibunya kepada-Mu, sehingga Kau perintahkan aku untuk menyembelih putranya?”
“Lalu kejahatan seperti apakah yang telah dilakukan oleh ayah sang anak ini? Sehingga Kau tega merampasnya dari tangan ayahnya.”
Di saat Nabi Ibrahim tengah bimbang atas mimpinya itu, Allah SWT lalu memberinya kabar gembira bahwa sang anak akan menjadi penerus kenabiannya dengan sifat kesabarannya. Karena kesabaran adalah penguasa akhlak mulia. Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT:

“Maka Kami beri Dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS Al-Shâffât [37]: 101).
Dari penggalan kisah ini, kita dapat memahami bahwa hikmah yang datang dari Allah SWT memiliki status yang lebih tinggi dari hikmah apapun. Apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT jauh lebih bijaksana dari apa yang diinginkan oleh manusia. Perintah melalui mimpi adalah salah satu cara Allah SWT berinteraksi dan berkomunikasi dengan para Nabi-nabi-Nya, serta memberikan pendidikan kepada mereka. Dan dari mimpi-mimpi inilah, Allah SWT memberikan derajat khusus bagi mereka yang telah dipilih-Nya untuk mengawal hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya:
¨  
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing) sebagai satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Ali Ilmran: [3]: 33-34).
Inilah kekuasaan Alllah SWT. Ia memiliki hak mutlak untuk memilih apa yang Ia kehendaki. Ini berarti bahwa Allah SWT memiliki sifat Yang Maha Sempurna untuk diri-Nya sendiri. Dan Allah SWT pun telah menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s., baik jiwa maupun raganya. Sehingga Nabi Ibrahim dapat menuntaskan tugasnya dengan penuh ketakwaan.
Dari ujian yang diberikan Allah SWT pada Nabi Ibrahim ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa tidak sepatutnya Allah SWT disekutukan dengan makhluk-makhluk-Nya, serta tidak sepantasnya cinta kita kepada makhluk-Nya melebihi cinta kita kepada-Nya, sekalipun dengan anak kandung yang sangat diharapkan kehadirannya di tengah-tengah keluarga.
Lalu hikmah apakah yang dapat kita ambil, jika dikatakan bahwa kita harus lebih mencintai Allah SWT daripada makhluk-makhluk-Nya? Lalu hikmah apakah pula yang dapat kita petik manakala Nabi Ibrahim dengan penuh ketakwaan berani menyembelih anaknya sendiri, dan tidak ragu sedikitpun bahwa itu merupakan perintah dari Allah SWT? Bahkan, ia masih menanyakan pendapat putranya tentang mimpinya itu? Sebagaimana dialog antara Ibrahim dan putranya, Ismail, terekam dalam ayat-Nya:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu’.”
Pertanyaan Nabi Ibrahim kepada putranya tersebut, sejatinya, adalah untuk mengetahui dan sekaligus menguji sang anak; apakah ia akan patuh dan dengan rasa yakin akan taat ataukah justru  membangkang dan lari dari perintah-Nya? Karena dari jawaban sang putra inilah mereka berdua akan mendapat pahala yang sangat besar. Lalu bagaimanakah jawaban sang putra atas pertanyaan dan mimpi sang ayah ini?
Nabi Ibrahim akhirnya bersyukur. Karena putranya menjawab sebagaimana jawaban yang ia harapkan; tidak basa-basi, tidak pula ragu-ragu. Dengan penuh keyakinan, sang putra menjawab:
    
“Ia (sang anak) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”
Maka sang putra akhirnya ikut memasrahkan diri kepada Allah SWT dengan tetap mengharap ridha dan rahmat dari-Nya. Ia pun menyadari bahwa mencintai apa yang menjadi kehendak Allah SWT jauh lebih mulia daripada hanya mencintai antara hidup dan mati semata. Ketika Nabi Ibrahim dan putranya sama-sama telah memasrahkan diri hanya kepada Allah SWT, maka Allah SWT memanggilnya lalu mengganti putranya dengan seekor sembelihan (kambing):

“Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (kambing)’.”
Sifat kepasrahan dan serah diri kepada Alllah SWT yang dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il ini pada akhirnya, dengan rahmat Allah SWT, Isma’il digantikan dengan seekor sembelihan yang sangat besar. Atas dasar peristiwa sejarah yang penuh hikmah ini, Islam mewajibkan umatnya untuk menyembelih hewan kurban kapan saja dan di mana saja. Inilah agama Islamu, sebuah ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Dan dengan adanya penyembelihan kurban ini pula, agama Islam mengajarkan kepada kita untuk berbagi antar-sesama. Semuanya boleh dan berhak menikmati makanan yang disajikan dari daging hewan kurban ini. Yang miskin dan kurang mampu akhirnya dapat menikmati makanan yang kerap disantap oleh orang-orang kaya. Dengan demikian, mereka semua akan secara tulus mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Karena memang hanya Allah SWT semata yang berhak menyandang gelar Sang Maha Pemberi Rezeki. Dan ketika seseorang telah sanggup berserah diri hanya kepada Allah SWT, maka inilah yang disebut dengan “Islam.”
Dalam hal ini, agama Islam merupakan agama yang didesain untuk mendamaikan hati manusia. Kedermawanan merupakan percikan dari cahaya ketuhanan yang sangat dianjurkan. Nikmat inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam pelaksanaan pesta penyembelihan hewan kurban. Oleh karena itu, pesta ini tentu tidak hanya disebut dengan pesta semata, namun dengan melihat kandungan hikmah di dalamnya –dengan kita bersyukur maka kita dapat berbagi dan yang kita bagipun akan ikut bersyukur–  maka ia layak disebut dengan pesta besar atau hari raya besar.
Setiap insan Muslim dapat merayakan status kemanusiaannya bila ia benar-benar telah mampu mengikhlaskan segala hal yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepadanya. Karena hanya kepada Allah SWT manusia meminta pertolongan. Sehingga ia dapat bersungguh-sungguh senantiasa beribadah kepada-Nya.
Lalu dengan cara seperti apa agar umat Islam dapat segera sampai pada hari raya besar itu?
Dari sekian cara buat mencapainya, cara yang paling cepat sampai pada hari raya besar adalah dengan melaksakan ibadah haji. Tidak dapat diragukan lagi bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji, seorang Muslim harus memiliki persiapan yang matang dan niat yang tulus.
Ketika semua umat Muslim di dunia menyambut gembira kedatangan hari raya besar Idul Adha, maka itu hanyalah sepercik kebahagiaan yang dapat ditampilkan sebagai wujud kesempurnaan agamanya. Serta sebagai wujud nikmat yang patut disyukuri karena Allah SWT telah menjadikan agama Islam sebagai agama yang mengajarkan tentang arti penting kedermawanan.
Tentu ibadah haji di sini harus diiringi dengan niat yang benar-benar tulus dan bertaubat secara total. Ketika melaksanakan ibadah haji, sudah sewajarnya umat Islam berdoa dan menegaskan diri bahwa ibadah hajinya hanya dipersembahkan untuk-Nya semata. Bila sudah demikian, maka sejak saat itulah, segala sesuatu (dosa-dosa) yang telah dilalui seorang Muslim di masa lalu akan terhapus, dan bersiap diri mulai menyambut hal-hal baru di masa depan dengan penuh rasa kasalehan dan kemuliaan.
Ibadah haji dimulai dengan ihram. Umat Islam haruslah mandi terlebih dulu dengan diiringi niat untuk menjalankan ihram. Ketika batin sudah disucikan dengan bermandikan ketaubatan, maka mandi secara lahir adalah simbol demi menjadikan badannya suci, dan senantiasa menjaga dirinya agar tetap dalam keadaan suci.
Hal yang menandai bahwa segala aktivitasnya di masa lalu akan terputus, dan semata-mata hanya akan beribadah kepada Allah SWT dapat disimbolkan dengan menanggalkan pakaian yang berjahit, lalu mengenakan pakaian ihram: pakaian putih dan tidak berjahit. Kemudian berniat ihram untuk melaksanakan ibadah haji. Ini berarti bahwa ia akan menjadi benar-benar tulus beribadah hanya kepada-Nya; memenuhi panggilan-Nya yang mulia, dengan tidak berpaling kepada yang selain-Nya. Dengan demikian, sudah sepantasnya ia mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ
Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujaan dan nikmat adalah milik-Mu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Bila sudah demikian, umat Islam benar-benar telah menjawab panggilan Allah SWT. Ia tidak menyekutukan-Nya dengan para makhluk-makhluk-Nya; hanya memuja kepada-Nya semata, dan juga secara tegas menetapkan bahwa segala kenikmatan yang didapatnya merupakan anugerah dari Allah SWT semata. Sekaligus meyakini bahwa segala kerajaan atau apapun yang ada di alam jagad raya ini semata-mata hanya milik Allah SWT, serta tiada sekutu bagi-Nya.
Bacaan talbiyah ini merupakan syiar sepanjang zaman. Ia akan tetap diucapkan ketika umat Islam dalam keadaan jaya. Ia akan tetap pula digaungkan ketika umat Islam sedang dalam keadaan jatuh. Saat naik dan turun pun akan tetap diucapkan selama-lamanya. Penyebutan atau pengucapannya dalam setiap waktu adalah bentuk keyakinan yang sempurna.
Sampai-sampai ketika umat Islam telah selesai melaksanakan perjalanan dan bersiap memasuki Masjidil Haram, kalimat talbiyah ini senantiasa tetap dibaca meskipun dengan menggunakan redaksi yang berbeda, seperti:
بِسْمِ اللَّهِ , وَبِاللَّهِ , وَمِنَ اللهِ , وَإِلى اللهِ , وَفِي سَبِيلِ اللهِ , وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ.
Lalu setelah itu memulai melaksanakan ibadah thawaf dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ
Ibadah thawaf yang dilaksanakan dalam Masjidil Haram merupakan sebuah pengharapan agar Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Memiliki berkenan membuka pintu-pintu rahmat-Nya. Dengan harapan supaya segala bentuk aib dapat dihilangkan, segenap bujuk rayuan dapat dimusnahkan, dan semoga semua kerahmatan diberikan serta diizinkan memasuki Masjidil Haram, dan semoga keridhaan yang mulia dari Allah SWT dapat mengantarkan manusia ke depan pintu gerbang ridha-Nya, serta semoga Allah SWT menerima apa yang kita panjatkan:
  
“Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka .” (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Setelah itu, tibalah saat melaksanakan sa’i (lari-lari kecil) di antara bukit Shafa dan Marwa. Prosesi ini dimulai dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ
“Dengan menyebut nama Allah. Sesungguhnya Allah Maha Besar.”
Ibadah sa’i ini harus diiringi dengan niat hanya untuk menjalankan perintah Allah SWT. Dalam sa’i ini, kita diingatkan tentang kisah seorang ibu yang sangat mulia yang berlari ke sana ke mari menaklukkan kerasnya panas padang pasir, hanya untuk mencari setetes air agar ia dan anaknya bisa selamat dari rasa dahaga yang amat menyiksa. Dari peristiwa bersejarah itu, umat Islam ketika berlarian ke sana ke mari –dari Shafa ke Marwa–  sebenarnya simbol bahwa ia tengah diajarkan mencari sumber air kesucian yang terpancar dari lubuk hati sebagai bentuk kasih sayang dan keikhlasan kepada-Nya.
Umat Islam diajarkan berlarian ke sana ke mari untuk dapat meminum menggunakan cangkir-cangkir keadilan. Dan dari sini pula, umat Islam diajarkan meminum dari satu sumber yang sama yang berasal dari Allah SWT. Dengan melaksanakan ibadah sa’i ini, lubuk hati umat Islam akan memancarkan cahaya yang penuh dengan kasih sayang. Sebagaimana seorang ibu yang secara tulus menyayangi putranya. Dengan demikian, bersumber kesucian ilahiah inilah, umat Islam akan menemukan muara kasih sayang dari ajaran agama Islam yang dibawa oleh risalah kenabian. Sebagaimana firman Allah SWT:  

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Pada akhirnya nanti, umat Islam akan dapat menemukan kilatan cahaya hidayah dari Allah SWT kepada alam semesta ini. Dan jelmaan cahaya hidayah ini adalah Rasulullah Saw sebagaimana sabdanya, “Aku adalah rahmat yang diberi petunjuk oleh Tuhanku.”
Rasulullah Saw merupakan satu-satunya manusia yang dalam jiwa dan raganya memiliki gabungan antara sifat yang mulia ini, yaitu rahmat dan hidayah. Dari sifat ini akan membentuk satu kesatuan utuh yang senantiasa memberikan kemenangan kepada manusia, yaitu kemenangan yang berupa agama Islam. Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT:
  
“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS Al-Kahfi [18]: 10).
Ibadah haji juga bisa dikatakan sebagai Ibadah Arafah. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Dan di padang Arafah inilah semua ruh manusia akan dikumpulkan. Ruh-ruh itu telah disucikan oleh taubat, ihram, thawaf dan sa’i. Maka ruh-ruh tersebut akan memohon dengan penuh kerendahan diri lalu berdoa kepada Allah SWT untuk senantiasa diberikan rahmat yang melimpah serta keridhaan yang dapat menyelamatkannya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Tuhanku adalah sangat dekat dan Maha Yang Menerima. Dan sesungguhnya Tuhanku adalah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Menyayangi.” Hal ini selaras dengan firman-Nya:
  
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah [2]: 186).
Dari semua rangkaian ibadah haji ini akan berakhir pada suasana yang penuh keistimewaan. Yaitu, suasana komitmen diri yang diiringi dengan penuh keyakinan untuk senantiasa menjauhi segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat. Hal ini seperti disimbolkan dengan melempar jumrah (kerikil). Sebuah lemparan yang sengaja ditujukan pada Iblis di mana ia adalah sumber perbuatan keji dan dosa.
Pada puncaknya, akhir ibadah haji ini dapat dikatakan sebagai serangkaian ibadah dalam rangka membunuh iblis dengan menggunakan batu-batu suci (kerikil) tadi. Dengan pemahaman yang lebih dalam, ibadah haji ini diakhiri dengan membunuh segala sifat keji yang ada di dalam diri setiap insan sehingga ia tidak akan kembali lagi kepada jiwa-jiwa manusia yang telah suci.
Sebagai penutup, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang telah melaksanakan ibadah haji, lalu ia tidak berkata keji, dan juga tidak menjadi orang yang fasik, maka segenap dosa-dosanya akan diampuni. Ia akan kembali suci sebagaimana saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
Dengan demikian, ketika dosa-dosa seseorang telah dihapuskan dan diampuni, maka ia berhak merayakan hari raya. Hari kemenangan atas perlawanannya terhadap segenap nafsu-nafsu buruk.
Dari sini, kita dapat mengetahui secara pasti bahwa jalan untuk mencapai hari kemenangan adalah dengan senantiasa menjadikan ajaran agama Islam sebagai rute yang harus dilewati oleh semua umat Muslim. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [2]: 85).
Dan juga dalam ayat yang lain:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu. Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku.  Serta telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah [5]: 3).

No comments:

Post a Comment