Dalam catatan sejarah, telah
terekam jelas mengenai percakapan antara Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail
a.s. Dari sana lah kita belajar tentang ketulusan dalam menjalankan segala hal
yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada kita. Percakapan singkat antara
keduanya terekam sangat jelas dalam firman Allah SWT:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’
Ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim
itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu) Kesejahteraan dilimpahkan
atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Al-Shâffât
[37]: 102-111).
Di tengah kerasnya iklim gurun padang
pasir yang tandus nan panas, seorang ibu berlari-lari ke sana ke mari hanya untuk
mendapatkan beberapa tetes air demi putranya yang tengah menangis menahan haus;
seorang ibu yang terus berusaha mencari air demi putranya agar si anak tidak
mati kehausan di depan kedua matanya.
Dan di tengah ganasnya iklim
padang pasir inilah, Allah SWT memberikan rahmat-Nya dan menyelamatkan seorang
ibu tersebut beserta putranya. Atas izin Allah SWT, keluarlah sumber mata air
yang sangat jernih dari bekas injakan telapak kaki sang putra. Maka, keduanya
langsung meminum air tersebut untuk melepaskan rasa dahaga. Sang ibu kemudian memuji
Allah SWT dan mengucapkan syukur kepada-Nya atas mukjizat yang telah Dia
berikan kepada putranya. Di daerah yang tandus inilah seorang ibu berusaha
mati-matian menjaga agar anaknya tetap hidup. Dan di daerah ini pula sang ayah
mendapat ujian untuk menyembelih putra kesayangannya karena perintah Tuhannya yang
ia dapat dalam mimpinya.
“Wahai Tuhanku, Dzat Yang Maha
Suci. Atas kuasa-Mu, Kau telah menyelamatkannya dari rasa dahaga yang
menyiksanya. Dan di saat-saat aku begitu menyayangi dan mencintainya dari lubuk
hatiku yang paling dalam, Kau perintahkan aku untuk menyembelihnya? Ya Tuhan,
ini adalah ujian paling berat bagi kedua orang-tuanya yang sungguh-sungguh
sangat menyayangi anaknya, dan benar-benar peduli terhadapnya.”
“Dosa apakah yang telah dilakukan
oleh seorang anak yang tak bersalah ini?”
“Serta, adakah dosa ibunya
kepada-Mu, sehingga Kau perintahkan aku untuk menyembelih putranya?”
“Lalu kejahatan seperti apakah
yang telah dilakukan oleh ayah sang anak ini? Sehingga Kau tega merampasnya
dari tangan ayahnya.”
Di saat Nabi Ibrahim tengah bimbang
atas mimpinya itu, Allah SWT lalu memberinya kabar gembira bahwa sang anak akan
menjadi penerus kenabiannya dengan sifat kesabarannya. Karena kesabaran adalah
penguasa akhlak mulia. Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT:
“Maka Kami beri Dia kabar gembira
dengan seorang anak yang amat sabar.” (QS Al-Shâffât [37]: 101).
Dari penggalan kisah ini, kita
dapat memahami bahwa hikmah yang datang dari Allah SWT memiliki status yang
lebih tinggi dari hikmah apapun. Apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT jauh
lebih bijaksana dari apa yang diinginkan oleh manusia. Perintah melalui mimpi
adalah salah satu cara Allah SWT berinteraksi dan berkomunikasi dengan para Nabi-nabi-Nya,
serta memberikan pendidikan kepada mereka. Dan dari mimpi-mimpi inilah, Allah SWT
memberikan derajat khusus bagi mereka yang telah dipilih-Nya untuk mengawal
hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya:
¨
“Sesungguhnya Allah telah memilih
Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa
mereka masing-masing) sebagai satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari
yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Ali Ilmran: [3]: 33-34).
Inilah
kekuasaan Alllah SWT. Ia memiliki
hak mutlak untuk
memilih apa yang Ia
kehendaki. Ini berarti bahwa Allah SWT memiliki sifat Yang Maha Sempurna untuk
diri-Nya sendiri. Dan Allah SWT pun telah menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s., baik
jiwa maupun raganya. Sehingga Nabi Ibrahim dapat menuntaskan tugasnya dengan
penuh ketakwaan.
Dari ujian yang diberikan Allah SWT
pada Nabi Ibrahim ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa tidak
sepatutnya Allah SWT disekutukan dengan makhluk-makhluk-Nya, serta tidak
sepantasnya cinta kita kepada makhluk-Nya melebihi cinta kita kepada-Nya,
sekalipun dengan anak kandung yang sangat diharapkan kehadirannya di
tengah-tengah keluarga.
Lalu hikmah apakah yang dapat kita
ambil, jika dikatakan bahwa kita harus lebih mencintai Allah SWT daripada
makhluk-makhluk-Nya? Lalu hikmah apakah pula yang dapat kita petik manakala Nabi
Ibrahim dengan penuh ketakwaan berani menyembelih anaknya sendiri, dan tidak
ragu sedikitpun bahwa itu merupakan perintah dari Allah SWT? Bahkan, ia masih
menanyakan pendapat putranya tentang mimpinya itu? Sebagaimana dialog antara
Ibrahim dan putranya, Ismail, terekam dalam ayat-Nya:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu’.”
Pertanyaan Nabi Ibrahim kepada
putranya tersebut, sejatinya, adalah untuk mengetahui dan sekaligus menguji
sang anak; apakah ia akan patuh dan dengan rasa yakin akan taat ataukah
justru membangkang dan lari dari
perintah-Nya? Karena dari jawaban sang putra inilah mereka berdua akan mendapat
pahala yang sangat besar. Lalu bagaimanakah jawaban sang putra atas pertanyaan
dan mimpi sang ayah ini?
Nabi Ibrahim akhirnya bersyukur. Karena
putranya menjawab sebagaimana jawaban yang ia harapkan; tidak basa-basi, tidak
pula ragu-ragu. Dengan penuh keyakinan, sang putra menjawab:
“Ia (sang anak) menjawab, ‘Wahai
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.”
Maka sang putra akhirnya ikut
memasrahkan diri kepada Allah SWT dengan tetap mengharap ridha dan rahmat dari-Nya.
Ia pun menyadari bahwa mencintai apa yang menjadi kehendak Allah SWT jauh lebih
mulia daripada hanya mencintai antara hidup dan mati semata. Ketika Nabi
Ibrahim dan putranya sama-sama telah memasrahkan diri hanya kepada Allah SWT,
maka Allah SWT memanggilnya lalu mengganti putranya dengan seekor sembelihan
(kambing):
“Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (kambing)’.”
Sifat kepasrahan dan serah diri
kepada Alllah SWT yang dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il ini pada
akhirnya, dengan rahmat Allah SWT, Isma’il digantikan dengan seekor sembelihan
yang sangat besar. Atas dasar peristiwa sejarah yang penuh hikmah ini, Islam
mewajibkan umatnya untuk menyembelih hewan kurban kapan saja dan di mana saja.
Inilah agama Islamu, sebuah ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Dan dengan adanya penyembelihan kurban
ini pula, agama Islam mengajarkan kepada kita untuk berbagi antar-sesama.
Semuanya boleh dan berhak menikmati makanan yang disajikan dari daging hewan
kurban ini. Yang miskin dan kurang mampu akhirnya dapat menikmati makanan yang
kerap disantap oleh orang-orang kaya. Dengan demikian, mereka semua akan secara
tulus mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Karena memang hanya Allah SWT semata yang berhak
menyandang gelar Sang Maha Pemberi Rezeki. Dan ketika seseorang telah sanggup berserah diri
hanya kepada Allah SWT, maka inilah yang disebut dengan “Islam.”
Dalam hal ini, agama Islam
merupakan agama yang didesain untuk mendamaikan hati manusia. Kedermawanan
merupakan percikan dari cahaya ketuhanan yang sangat dianjurkan. Nikmat inilah
yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam pelaksanaan pesta penyembelihan hewan
kurban. Oleh karena itu, pesta ini tentu tidak hanya disebut dengan pesta
semata, namun dengan melihat kandungan hikmah di dalamnya –dengan kita
bersyukur maka kita dapat berbagi dan yang kita bagipun akan ikut bersyukur– maka ia layak disebut dengan pesta besar atau
hari raya besar.
Setiap insan Muslim dapat
merayakan status kemanusiaannya bila ia benar-benar telah mampu mengikhlaskan
segala hal yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepadanya. Karena hanya kepada Allah
SWT manusia meminta pertolongan. Sehingga ia dapat bersungguh-sungguh
senantiasa beribadah kepada-Nya.
Lalu dengan cara seperti apa agar umat Islam dapat segera sampai pada hari raya besar itu?
Dari sekian cara buat mencapainya,
cara yang paling cepat sampai pada hari raya besar adalah dengan melaksakan
ibadah haji. Tidak dapat diragukan lagi bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji,
seorang Muslim harus memiliki persiapan yang matang dan niat yang tulus.
Ketika semua umat Muslim di dunia
menyambut gembira kedatangan hari raya besar Idul Adha, maka itu hanyalah
sepercik kebahagiaan yang dapat ditampilkan sebagai wujud kesempurnaan
agamanya. Serta sebagai wujud nikmat yang patut disyukuri karena Allah SWT
telah menjadikan agama Islam sebagai agama yang mengajarkan tentang arti
penting kedermawanan.
Tentu ibadah haji di sini harus
diiringi dengan niat yang benar-benar tulus dan bertaubat secara total. Ketika
melaksanakan ibadah haji, sudah sewajarnya umat Islam berdoa dan menegaskan
diri bahwa ibadah hajinya hanya dipersembahkan untuk-Nya semata. Bila sudah
demikian, maka sejak saat itulah, segala sesuatu (dosa-dosa) yang telah dilalui
seorang Muslim di masa lalu akan terhapus, dan bersiap diri mulai menyambut
hal-hal baru di masa depan dengan penuh rasa kasalehan dan kemuliaan.
Ibadah haji dimulai dengan ihram. Umat
Islam haruslah mandi terlebih dulu dengan diiringi niat untuk menjalankan ihram.
Ketika batin sudah disucikan dengan bermandikan ketaubatan, maka mandi secara
lahir adalah simbol demi menjadikan badannya suci, dan senantiasa menjaga
dirinya agar tetap dalam keadaan suci.
Hal yang menandai bahwa segala
aktivitasnya di masa lalu akan terputus, dan semata-mata hanya akan beribadah
kepada Allah SWT dapat disimbolkan dengan menanggalkan pakaian yang berjahit,
lalu mengenakan pakaian ihram: pakaian putih dan tidak berjahit. Kemudian
berniat ihram untuk melaksanakan ibadah haji. Ini berarti bahwa ia akan menjadi
benar-benar tulus beribadah hanya kepada-Nya; memenuhi panggilan-Nya yang
mulia, dengan tidak berpaling kepada yang selain-Nya. Dengan demikian, sudah
sepantasnya ia mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ
لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ
لاَشَرِيْكَ لَكَ
“Aku memenuhi panggilan-Mu, ya
Allah aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,
aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya pujaan dan nikmat adalah milik-Mu,
begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Bila sudah demikian, umat Islam benar-benar telah menjawab panggilan Allah SWT. Ia tidak menyekutukan-Nya dengan para makhluk-makhluk-Nya; hanya memuja kepada-Nya semata, dan juga secara
tegas menetapkan bahwa segala kenikmatan yang didapatnya merupakan anugerah
dari Allah SWT semata. Sekaligus meyakini bahwa segala kerajaan atau apapun
yang ada di alam jagad raya ini semata-mata hanya milik Allah SWT, serta tiada
sekutu bagi-Nya.
Bacaan talbiyah ini merupakan
syiar sepanjang zaman. Ia akan tetap diucapkan ketika umat Islam dalam keadaan
jaya. Ia akan tetap pula digaungkan ketika umat Islam sedang dalam keadaan
jatuh. Saat naik dan turun pun akan tetap diucapkan selama-lamanya. Penyebutan
atau pengucapannya dalam setiap waktu adalah bentuk keyakinan yang sempurna.
Sampai-sampai ketika umat Islam
telah selesai melaksanakan perjalanan dan bersiap memasuki Masjidil Haram, kalimat
talbiyah ini senantiasa tetap dibaca meskipun dengan menggunakan redaksi yang
berbeda, seperti:
بِسْمِ اللَّهِ , وَبِاللَّهِ , وَمِنَ
اللهِ , وَإِلى اللهِ , وَفِي سَبِيلِ اللهِ , وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ.
Lalu setelah itu memulai melaksanakan
ibadah thawaf dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ وَ
اللهُ أَكْبَرُ
Ibadah thawaf yang dilaksanakan
dalam Masjidil Haram merupakan sebuah pengharapan agar Allah SWT sebagai Dzat
Yang Maha Memiliki berkenan membuka pintu-pintu rahmat-Nya. Dengan harapan supaya
segala bentuk aib dapat dihilangkan, segenap bujuk rayuan dapat dimusnahkan,
dan semoga semua kerahmatan diberikan serta diizinkan memasuki Masjidil Haram,
dan semoga keridhaan yang mulia dari Allah SWT dapat mengantarkan manusia ke
depan pintu gerbang ridha-Nya, serta semoga Allah SWT menerima apa yang kita
panjatkan:
“Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka .” (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Setelah itu, tibalah saat melaksanakan sa’i (lari-lari
kecil) di antara bukit Shafa dan Marwa. Prosesi ini dimulai dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ وَ
اللهُ أَكْبَرُ
“Dengan menyebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Besar.”
Ibadah sa’i ini harus diiringi dengan niat hanya untuk menjalankan
perintah Allah SWT. Dalam sa’i ini, kita diingatkan tentang kisah seorang ibu
yang sangat mulia yang berlari ke sana ke mari menaklukkan kerasnya panas padang
pasir, hanya untuk mencari setetes air agar ia dan anaknya bisa selamat dari rasa
dahaga yang amat menyiksa. Dari peristiwa bersejarah itu, umat Islam ketika berlarian
ke sana ke mari –dari Shafa ke Marwa– sebenarnya
simbol bahwa ia tengah diajarkan mencari sumber air kesucian yang terpancar
dari lubuk hati sebagai bentuk kasih sayang dan keikhlasan kepada-Nya.
Umat Islam diajarkan berlarian ke sana ke mari untuk dapat
meminum menggunakan cangkir-cangkir keadilan. Dan dari sini pula, umat Islam
diajarkan meminum dari satu sumber yang sama yang berasal dari Allah SWT. Dengan
melaksanakan ibadah sa’i ini, lubuk hati umat Islam akan memancarkan cahaya
yang penuh dengan kasih sayang. Sebagaimana seorang ibu yang secara tulus
menyayangi putranya. Dengan demikian, bersumber kesucian ilahiah inilah, umat
Islam akan menemukan muara kasih sayang dari ajaran agama Islam yang dibawa
oleh risalah kenabian. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Pada akhirnya nanti, umat Islam akan dapat menemukan kilatan
cahaya hidayah dari Allah SWT kepada alam semesta ini. Dan jelmaan cahaya hidayah
ini adalah Rasulullah Saw sebagaimana sabdanya, “Aku adalah rahmat yang diberi
petunjuk oleh Tuhanku.”
Rasulullah Saw merupakan satu-satunya manusia yang dalam
jiwa dan raganya memiliki gabungan antara sifat yang mulia ini, yaitu rahmat
dan hidayah. Dari sifat ini akan membentuk satu kesatuan utuh yang senantiasa
memberikan kemenangan kepada manusia, yaitu kemenangan yang berupa agama Islam.
Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT:
“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami.” (QS Al-Kahfi [18]: 10).
Ibadah haji juga bisa dikatakan sebagai Ibadah Arafah.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Dan di padang Arafah inilah semua
ruh manusia akan dikumpulkan. Ruh-ruh itu telah disucikan oleh taubat, ihram,
thawaf dan sa’i. Maka
ruh-ruh tersebut akan memohon dengan penuh kerendahan diri lalu berdoa kepada Allah
SWT untuk senantiasa diberikan rahmat yang melimpah serta keridhaan yang dapat
menyelamatkannya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Tuhanku adalah sangat
dekat dan Maha Yang Menerima. Dan sesungguhnya Tuhanku adalah Dzat Yang Maha
Pemurah lagi Maha Menyayangi.” Hal ini selaras dengan firman-Nya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Hendaklah mereka itu
memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah [2]: 186).
Dari semua rangkaian ibadah haji ini akan berakhir pada
suasana yang penuh keistimewaan. Yaitu, suasana komitmen diri yang diiringi dengan
penuh keyakinan untuk senantiasa menjauhi segala bentuk perbuatan dosa dan
maksiat. Hal ini seperti disimbolkan dengan melempar jumrah (kerikil). Sebuah
lemparan yang sengaja ditujukan pada Iblis di mana ia adalah sumber perbuatan
keji dan dosa.
Pada puncaknya, akhir ibadah haji ini
dapat dikatakan sebagai serangkaian ibadah dalam rangka membunuh iblis dengan
menggunakan batu-batu suci (kerikil) tadi. Dengan pemahaman yang lebih dalam, ibadah
haji ini diakhiri dengan membunuh segala sifat keji yang ada di dalam diri
setiap insan sehingga ia tidak akan kembali lagi kepada jiwa-jiwa manusia yang
telah suci.
Sebagai penutup, Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang telah melaksanakan ibadah haji, lalu ia tidak berkata keji,
dan juga tidak menjadi orang yang fasik, maka segenap dosa-dosanya akan
diampuni. Ia akan kembali suci sebagaimana saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
Dengan demikian, ketika dosa-dosa
seseorang telah dihapuskan dan diampuni, maka ia berhak merayakan hari raya.
Hari kemenangan atas perlawanannya terhadap segenap nafsu-nafsu buruk.
Dari sini, kita dapat mengetahui secara
pasti bahwa jalan untuk mencapai hari kemenangan adalah dengan senantiasa
menjadikan ajaran agama Islam sebagai rute yang harus dilewati oleh semua umat Muslim.
Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [2]: 85).
Dan juga dalam ayat yang lain:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu
agamamu. Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku. Serta telah Aku ridhai Islam itu menjadi
agama bagimu.” (QS Al-Maidah [5]: 3).
No comments:
Post a Comment