Dosa
terbesar adalah ketakutan. Rekreasi terbaik adalah bekerja. Musibah terbesar
adalah putus harapan. Keberanian terbesar adalah kesabaran. Dan guru terbaik
adalah pengalaman.
Nasihat Ali Bin Abi
Thalib
Harapan.
Secara morfologis, harapan mengandung makna keinginan akan tercapainya sesuatu.
Dalam bahasa yang lebih mudah, harapan berarti cita-cita atau tujuan yang ingin
digapai. Adalah musibah terbesar dalam hidup ini bilamana kita putus harapan
dalam menatap hari depan. Dengan secercah harapan, kita akan mampu menjalani
kehidupan penuh semangat karena ada sesuatu yang hendak atau ingin digapai. Tak
terkecuali, sebuah institusi yang berjalan tanpa harapan tentulah tak akan
berumur panjang. Hanya dengan merumuskan harapan (visi) yang jelas, sebuah
institusi –terutama perusahaan— akan mampu berkembang menuju kehidupan yang
lebih berkualitas dan berpengharapan.
Begitu pula PT Taspen
yang berharap segera ingin menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). Sebab itu, ketika memasuki tahun 2004, dalam
upaya meraih harapannya tadi, PT Taspen melakukan langkah transformatif secara
lebih esensial. Di antaranya, manajemen menetapkan visi dan misi baru PT Taspen
yang dirumuskan bersama dengan Komisaris, Direksi, Manajer Utama, seluruh
Kepala Cabang dan perwakilan karyawan. Sekaligus mencanangkan “Program
Transformasi Taspen “ (PTT) menuju World
Class pada tahun 2010.
Visi lama PT Taspen
menyebutkan: “Menjadi Perusahaan Asuransi dengan layanan dan produk yang
prima”. Kemudian visi lama tersebut dipertajam dalam bahasa yang lebih
implementatif, yaitu: “Menjadikan PT Taspen sebagai Pengelola Dana Pensiun dan
THT yang Bersih, Sehat dan Benar, dengan Pelayanan yang Tepat Orang, Tepat
Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi”. Sedangkan misinya,
yang lama menyebutkan: “Meningkatkan kesejahteraan Peserta (PNS dan Pegawai
BUMN-BUMD); Meningkatkan Pelayanan kepada Peserta; dan Menumbuh-kembangkan
Kepercayaan Peserta bahwa Perusahaan Berkemampuan dalam Memenuhi Kewajibannya”.
Misi itu lalu diperbarui dalam bahasa yang lebih simpel dan fokus pada sasaran,
yakni: “Mewujudkan Hari-Hari yang Indah bagi Peserta Melalui Pengelolaan Dana
Pensiun dan THT secara Profesional dan Akuntabel dengan Berlandaskan Etika
serta Integritas yang Tinggi”.
Kendati mengubah visi dan misi perusahaan, namun manajemen PT
Taspen tetap mempertahankan logo PT Taspen yang dianggap memiliki jiwa dan
sejarah yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen yang berwarna biru muda dalam
lingkaran, juga menunjukkan sebuah kematangan, langkah yang dinamis dan
performa yang lebih profesional. Tema dan makna logo itu jelas semakin sinergis
dengan pencanangan visi dan misi baru PT Taspen tadi.
Waktu itu,
penggantian logo PT Taspen tidak dinilai penting karena walau penggantian logo dapat
dilakukan dengan alasan dicari-cari seperti “budaya baru” dan tekad baru, sesungguhnya
merupakan langkah pemborosan (sisi negatif). Dan pemborosan merupakan perbuatan
tidak baik dan para pemboros adalah sekutunya setan. Berapa banyak uang keluar
untuk ongkos mengganti kop surat, stempel, baju dinas, papan nama, kartu nama
dan lain-lain. Manajemen PT Taspen di bawah kepemimpinan Achmad Subianto (waktu
itu) tetap mempertahankan logo PT Taspen yang mempunyai “daun lima” karena
dianggap sudah tepat.
Manajemen hanya
mengubah kaidah perusahaan yang semula empat prinsip dijadikan lima prinsip
menyesuaikan logo PT Taspen, dengan menambahkan “Tepat Administrasi” sehingga
menjadi “5 Tepat”, yaitu Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat
dan Tepat Administrasi. Sungguh, Achmad Subianto sebagai pemegang pucuk
pimpinan waktu itu tidak aji mumpung dengan serta merta mengubah logo
perusahaan. Bukan begitu. Yang ditempuh justru melakukan harmonisasi antara
logo, kaidah-kaidah, moto dan prinsip-prinsip yang sesungguhnya telah menjadi
keyakinan perusahaan dan para karyawannya. Itu, antara lain, yang kemudian
dikristalisasi dalam visi dan misi baru PT Taspen yang lebih tajam.
Visi dan misi baru PT
Taspen kian mempertegas titik sasaran bagi manajemen dalam bertindak. Ini
mengingatkan kami pada perkataan pakar manajemen korporat ternama Patricia
Jones dan Larry Kahaner dalam buku Say It
and Live It (1999). Mereka menyebutkan bahwa visi dan misi adalah sasaran
yang hendak dituju. Sebuah koridor bagi strategi dan program kerja perusahaan
dalam langkah menuju harapannya. Namun, agar tidak sekadar indah di atas kertas,
visi dan misi tersebut harus diterjemahkan ke dalam core values sebagai wujud nyata budaya perusahaan (corporate culture), dan ditindak-lanjuti
dengan serangkaian program kerja yang kongkret. Tentu saja, moto “Layanan dan
Kinerja Selalu Ditingkatkan” berdasarkan prinsip 5-T (Tepat Orang, Tepat Waktu,
Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi) yang dijadikan pedoman
manajemen, sungguh mencitrakan PT Taspen sebagai sebuah perusahaan modern yang
didukung oleh manusia (SDM) yang kompeten, profesional dan berintegritas tinggi,
sebagaimana yang digariskan pula dalam kaidah good corporate governance (GCG).
Budaya perusahaan
yang kemudian dituangkan dalam moto “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” (Better Service Through Better Performance)
berdasarkan prinsip 5-T tadi, oleh segenap insan PT Taspen dilakoninya dengan
sopan, sabar, ramah dan manusiawi dalam melayani Peserta. Dengan sistem dan
prosedur yang sudah jelas, pelayanan dapat dilakukan secara mudah dan sederhana
(tidak berbelit-belit). Mengedepankan aspek profesionalisme sehingga mampu
mengelola aset perusahaan secara lebih baik. Dan memantik kemauan bersama dari
seluruh jajaran PT Taspen untuk meningkatkan pertumbuhan keuangan perusahaan. Itulah
corporate culture, sebagai landasan
perusahaan yang sarat dengan nilai-nilai utama (core values), dibahasakan secara sederhana dan mudah dipahami,
yakni “Tumbuh, Etika, Profesional, Akuntabilitas dan Integritas”. Artinya, bila
core values itu dijiwai secara baik,
rasanya tidak terlalu sulit bagi orang-orang Taspen untuk menjalaninya dalam
aktivitas kerja sehari-hari.
Dan berkat penyemaian
nilai-nilai utama tadi, Taspen pun mampu meraih harapannya melayani Peserta
dalam tempo yang sangat cepat dan singkat, tak lebih dari satu jam (one hour service). Kecepatan pelayanan
itu tak terlepas dari upaya Taspen memperbaiki sistem kearsipan dan DMS (Document Management System). Dengan kinerja
pelayanan yang memuaskan Peserta, Taspen juga menuai sertifikat ISO 9001 dan
ISO 9002.
ISO 9000 merupakan
standar internasional di bidang manajemen mutu. Suatu lembaga/organisasi yang
telah memperoleh akreditasi (pengakuan dari pihak lain yang independen) ISO
tersebut dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan internasional dalam
manajemen penjaminan mutu produk/jasa yang dihasilkannya. Dengan lain kata,
sertifikasi ISO menyatakan bahwa proses binis yang berkualitas dan konsisten
telah dilaksanakan oleh perusahaan atau organisasi tersebut. Standar ISO 9000 hasil
revisi terbaru tahun 2000 mensyaratkan: adanya satu set prosedur yang mencakup
semua proses penting dalam bisnis; adanya pengawasan dalam proses pembuatan
untuk memastikan bahwa sistem menghasilkan produk-produk berkualitas;
tersimpannya data dan arsip secara baik; adanya pemeriksaan barang-barang yang
telah diproduksi untuk mencari unit-unit yang rusah, dengan disertai tindakan
perbaikan yang benar apabila dibutuhkan; dan secara teratur meninjau
efektivitas tiap-tiap proses dan sistem kualitas itu sendiri. Kendati
standar-standar ini mulanya untuk pabrik-pabrik, kini telah pula diaplikasikan
ke berbagai perusahaan dan organisasi, termasuk perguruan tinggi dan
universitas.
PT Taspen bertekad
agar keterbukaan (transparansi) dalam manajemen dan administrasi menjadi bagian
integral dalam setiap kegiatan usaha perusahaan di semua bidang dan tingkatan
manajemen. Sebab itu, sistem dan manajemen PT Taspen berusaha bergulir atas
dasar prinsip-prinsip GCG. Tata kelola perusahaan yang tercermin dari adanya
transparansi, akuntabilitas, responsibility,
independent dan fairness. Prinsip
GCG mengarahkan PT Taspen untuk bertindak agar mencapai tujuannya dengan baik,
selain upaya manajemen PT Taspen tidak salah urus (mismanagement). Dalam kerangka penerapan GCG itu pula, secara
internal, PT Taspen membentuk Komite Audit yang diketuai oleh Karsono
Surjowibowo (Komisaris PT Taspen).
GCG dan corporate culture memang harus bergulir
seiring sejalan. Sebab, kalau budaya perusahaan menjadi semacam filosofinya,
maka GCG adalah strukturnya. Struktur tidak akan berjalan tanpa adanya perekat
(yakni budaya perusahaan). Tanpa budaya perusahaan, rasanya juga muskil bagi
orang-orang PT Taspen untuk bisa saling mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama.
Agar GCG dan corporate culture di PT
Taspen berjalan selaras dan sesuai harapan, manajemen melakukan serangkaian
sosialisasi dan internalisasi kaidah-kaidah GCG, Budaya Perusahaan dan
Nilai-nilai Utama (core values) bagi
pembentukan corporate mindset orang-orang
PT Taspen. Karena itu, manajemen PT Taspen menaruh kepedulian yang tinggi
terhadap peningkatan mutu SDM, sesuai dengan kompetensi dan fungsi kerjanya.
Pendidikan dan pelatihan bagi SDM secara simultan dilakukan. Sistem reward and punishment juga diterapkan,
bahwa karyawan yang berprestasi mesti diberi apresiasi dan yang melanggar
dikenai sanksi. Tingkat kesejahteraan karyawan terus pula diperbaiki.
Supaya karyawan
betul-betul memahami kebijakan manajemen PT Taspen, maka “Program Transformasi
Taspen” (PTT) yang telah digulirkan kemudian diluncurkan dan disosialisasikan
dalam bentuk buku yang berjudul Pedoman
Pelaksanaan Program Transformasi Taspen (2005). Dalam buku bersampul warna
biru simbol corporate color PT Taspen
itu, dilengkapi dengan berbagai instrumen kerja perusahaan modern seperti
Pedoman Pelaksanaan GCG, Code of Conduct
dan Etika Pelayanan yang secara bertahap juga semakin intensif disosialisasikan
kepada segenap insan PT Taspen untuk menggapai cita-cita perusahaan berkelas
dunia (world class company). Seiring
dengan peluncuran buku tersebut, manajemen PT Taspen meluncurkan pula website-nya: www.taspen.com. Hal ini
dilatar-belakangi oleh sebuah kebutuhan Peserta dan Pensiunan akan informasi
yang cepat dan tepat. Dalam website
PT Taspen, Peserta tidak hanya dapat mengakses informasi, melainkan juga
berkonsultasi seputar program ketaspenan.
Dengan langkah
transformasi tadi, “Tradisi Pelayanan” --yang selama ini telah tumbuh
berkembang dalam tubuh PT Taspen-- menjadikan orang-orang PT Taspen seolah
berlomba untuk terus mengasah pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bidang
kerja dan tugas masing-masing. Sehingga, setiap lini dalam manajemen dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada Peserta.
Unjuk kerja
orang-orang Taspen berhasil mengukir kinerja dan performa yang bagus.
Orang-orang Taspen pun memiliki daya hidup, daya juang dan daya dorong yang
kuat dan kokoh dalam mengarungi gelombang jaman yang penuh dengan
ketidak-pastian usaha dan krisis ekonomi yang menerjang negeri ini.
Tak dapat disangkal,
dengan berlandaskan GCG serta dukungan seperangkat hardware, software, brainware, organware, dan timeware, bahwa PT Taspen berhasil mencapai beberapa harapan yang
dicita-citakan. Setidaknya, eksistensi PT Taspen bertambah bagus. Beberapa
pilihan investasi, seperti deposito berjangka, saham, reksadana dan obligasi, menunjukkan
peningkatan. Aktiva lancar dan aktiva tetap pun meningkat. Ujung-ujungnya, laba
bersih PT Taspen naik cukup signifikan dari Rp164,9 miliar (2004), Rp381,8
miliar (2005), Rp126,89 miliar (2006), Rp147,368 miliar (2007), Rp386 miliar
(2008), Rp282 miliar (2009), dan Rp545,4 miliar (2010). Keberadaan PT Taspen
dirasakan pula semakin dekat dengan para Peserta yang nota bene para pegawai negeri itu. Demikian juga pelayanannya,
dirasakan semakin prima dan memuaskan Peserta.
PT Taspen berharap
mampu menuju predikatnya sebagai pengelola dana THT dan Pensiun PNS yang world class pada tahun 2010. Manajemen
PT Taspen berusaha mempercepat langkah mencapai harapannya itu melalui
serangkaian penguatan internal
performance dan perluasan external
network. Implementasi GCG sebagai prasyarat perusahaan modern
diteguhkannya, antara lain melalui peluncuran buku Pedoman Pelaksanaan GCG PT Taspen bertepatan dengan ulang tahun
Taspen yang ke-42 pada April 2005. Kualitas manusia (SDM) PT Taspen sebagai
kunci utamanya juga terus-menerus
dipupuk dan diasah kompetensinya melalui kerangka implementatif “Manajemen SDM
Berbasis Kompetensi” (MSDM-BK). Arti kata, manajemen PT Taspen memang tidak
main-main dalam melakukan “transformasi total” PT Taspen, khususnya berkenaan
dengan Penyemaian Nilai Budaya Perusahaan, Transformasi SDM dan Transformasi
Sistem dan Infrastruktur, serta Transformasi Bisnis.
Mengingat manfaat dan
kemaslahatannya, jaringan kantor Taspen pun terus meluas dan bertambah banyak,
seiring dengan meningkatnya pelayanan prima yang bisa diberikan kepada para
Peserta (PNS). Memasuki tahun 2006, manajemen PT Taspen terus mendorong setiap
kantornya untuk bertumbuh-kembang dengan lebih baik lagi dan memberikan
pelayanan kepada para Peserta secara lebih prima. Untuk itu, manajemen
menggulirkan berbagai rangcangan program perusahaan unggul bagi perjalanan PT
Taspen menuju harapannya yang lebih baik. Juga meneguhkan visi-misi PT Taspen
agar eksistensinya lebih bermanfaat dan bermaslahat bagi para Peserta serta
bagi viabilitas PT Taspen sendiri sebagai organisasi perusahaan.
Dalam perspektif
kemanfaatan dan kemaslahatan, Taspen telah menandatangani kerja sama dengan DPN
Korpri dan PB PWRI untuk memanfaatkan Dana UKM dan PKBL Taspen bagi PNS dan
pensiunan PNS yang ingin berwirausaha dan dialokasikan ke seluruh provinsi di
Indonesia. Kemudian melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dengan
melakukan antara lain penghijauan di DAS Ciliwung (Jawa Barat), Puncak Merapi
(Jawa Tengah), Mangro (Bali), Green
Campus di beberapa universitas dan beberapa cabang Taspen di sejumlah
daerah.
Lalu, manajemen juga
berusaha memperkuat fundamental PT Taspen dengan GCG, sistem dan mekanisme
perusahaan modern. Semua itu dilakukan dengan harapan agar pondasi PT Taspen
semakin kokoh, dengan kinerja dan performa yang bertambah bagus sehingga
keberadaannya kian memberikan nilai tambah yang lebih signifikan bagi para stakeholders dan perekonomian nasional
pada umumnya.
Karena manajemen
organisasi telah dikelola secara baik, bersih, benar dan sehat, setiap orang
Taspen menjadi semakin terlekati nilai-nilai yang unggul, prinsip, dan etos
kerja yang luhur. Dalam hal pelayanan, seluruh insan Taspen telah pula
menerapkan pelayanan paripurna yang mengedepankan prinsip zero defect, zero haram dan zero
mind process.
Kemudian, dari sisi
ekonomis, kinerja PT Taspen bertambah bagus pula. Minimal, sepanjang tahun
2007, PT Taspen berhasil membukukan laba bersih sekitar Rp147 miliar. Dengan
aset yang melejit ke angka Rp37 triliun, pondasi dan eksistensi PT Taspen
menjadi bertambah kokoh. Dan, pada akhir tahun 2007 itu kondisi PT Taspen masuk
dalam kategori “Wajar Tanpa Pengecualian”. Pembukuan laba bersih cenderung meningkat
sejak tahun 2007, yakni Rp386 miliar (2008), Rp282 miliar (2009), dan Rp545,4
miliar (2010).
Masih dari sisi
ekonomis, Taspen pun telah meraih harapannya, zero dividen. Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa dana yang ada di PT Taspen berasal dari akumulasi iuran
Peserta. Dengan begitu, seharusnya laba bersih yang diperoleh tidak dikenakan
pajak dan dividen seperti halnya yang berlaku di seluruh negara-negara ASEAN.
Hasil pengelolaan seluruhnya digunakan untuk meningkatkan manfaat bagi Peserta.
Tapi, sampai tahun 2003, Pemerintah masih menarik dividen yang sebetulnya
merupakan hak PNS.
Taspen terus
mendorong agar Pemerintah (selaku pemegang saham) membebaskan pembagian dividen.
Dan, baru tahun 2004, sesuai dengan rekomendasi Menteri Keuangan (waktu itu)
Budiono, Menteri BUMN (saat itu) Sofyan Djalil menetapkan berlakunya zero
dividen untuk Taspen sehingga hasil sisa laba dapat sepenuhnya digunakan untuk
memperbesar cadangan teknis.
Lalu, Taspen cukup
berhasil memperjuangkan pengembalian iuran PNS yang berhenti sebelum waktunya. Di
waktu lalu ada persoalan pengelolaan dana pensiun berkaitan dengan para PNS
yang berhenti sebelum waktu pensiun atau diberhentikan secara tidak hormat.
Iuran pensiun mereka tidak dikembalikan sedangkan iuran THT-nya dikembalikan
berdasarkan nilai tunai asuransinya.
Di Malaysia, bagi
mereka yang berhenti tidak karena pensiun, iuran peserta dan hasil
pengembangannya dibayarkan kembali kepada peserta. Sedangkan iuran pemberi
kerja dan pengembangannya tetap diakumulasikan kepada Dana Pensiun. Taspen
berusaha mendorong Pemerintah melurukan kebijakan yang selama ini tidak sesuai
dengan best practice tersebut. Hasilnya,
di akhir tahun 2007 Menteri Keuangan menyetujui untuk mengembalikan iuran
pensiun PNS bagi PNS yang diberhentikan tanpa hak pensiun, di mana iuran
THT-nya selama ini telah dibayarkan. Atas rekomendasi Men-PAN, Menteri Keuangan
kemudian mengeluarkan Permenkeu Nomor 71/PMK.02/2008 tanggal 8 Mei 2008.
Dengan keluarnya
Permenkeu Nomor 71/PMK.02/2008 dan telah dilakukannya pembayaran kepada seluruh
mantan PNS yang berhak (kendati masih mengundang pertanyaan berapa sesungguhnya
jumlah mantan PNS yang berhak) ternyata tidak langsung menyelesaikan persoalan.
Ada hal-hal strategis terkait yang perlu ditindak-lanjuti, antara lain: dengan
Permenkeu ini berarti setelah 39 tahun berlangsung, Pemerintah baru mengakui
bahwa iuran PNS yang disimpan di Taspen itu dikembalikan kepada mantan PNS yang
tidak memperoleh hak pensiun. Selama bertahun-tahun upaya beberapa mantan PNS
untuk mendapatkan haknya ini selalu kandas di pengadilan. Kemudian pengembalian
uang iuran dana pensiun bahkan disertai bunga asuransi sebesar 9%. Dalam
membayarkan uang pensiunan bulanan, selama ini Pemerintah memanfaatkan dana
iuran PNS yang terkumpul. Dana yang telah dipakai sampai dengan tahun 2007
berjumlah sekitar Rp30 triliun. Penggunaan dana itu tidak pernah diberikan
bunga. Sejalan dengan Permenkeu tadi, maka sudah selayaknya disertai bunga
juga.
DPN Korpri dan PB
PWRI harus secara terus-menerus mengingatkan Pemerintah dan Taspen untuk
mengembalikan uang itu berupa pokok dengan bunganya kepada Dana Pensiun PNS
yang selama ini dikelola Taspen. Bentuk persero bagi Taspen yang mengelola dana
pensiun dan THT PNS sebetulnya tidak tepat karena bentuk persero dapat go public. Sedangkan dana Taspen berasal
dari Peserta sehingga Taspen sebenarnya milik PNS. Dana tersebut digabung
dengan dana yang ada di Taspen yang seluruhnya bernilai sekitar Rp50 triliun
dapat dijadikan modal awal Dana Pensiun PNS dengan sistem fully funded sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 11 Tahun
1969 dan PP Nomor 25 Tahun 1981.
Dari sudut pandang
kesejahteraan PNS dan pensiunan, Taspen mampu mewujudkan harapan pemberian
Tunjangan Hari Raya (THR) yang berupa gaji ke-13. Kendati sebelumnya sempat
dimarahi oleh Men-PAN yang saat itu merangkap sebagai Ketua Umum DPN Korpri,
dengan alasan Pemerintah tidak punya cukup dana. Tapi, berkat perjuangan
Korpri, Taspen dan Menko Kesra (kala itu) Yusuf Kalla, akhirnya Pemerintah
memberikan gaji ke-13 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dengan begitu kebijakan standar ganda Pemerintah untuk THR telah diperbaiki. Namun
perasaan kecewa kembali mencuat manakala pada tahun berikutnya THR ditiadakan
dan berubah menjadi tunjangan pendidikan karena pendidikan dianggap lebih
penting.
Secara korporat,
program transformasi Taspen yang telah menggapai beberapa harapannya itu pun
berujung pada berbagai pencapaian prestatif dan beroleh sejumlah apresiasi.
Pada tahun 2006 misalkan, Taspen termasuk salah satu dari tiga BUMN yang
memperoleh penghargaan dalam hal Pembinaan Sistem Kearsipan. Penghargaan
diserahkan pada acara Hari Kearsipan tanggal 18 Mei 2006 oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) bertempat Kantor Arsip Nasional RI,
Jakarta. Selain itu, Taspen juga berhasil menyabet Juara Harapan I Kategori
Laporan Tahunan dan Juara Harapan II untuk Kategori Penerbitan Internal BUMN
dalam Lomba Anugerah Media Humas.
Selain manajemen yang
semakin solid, pelayanan kepada Peserta (PNS)
bertambah bagus dan aset perusahaan terus membaik pula. Kualitas
pelayanan Taspen dinilai oleh Konsultan Kementerian BUMN (Konsultan DR
Padmodimuljo dari KDP Integrated Business
and Invesment Solution) sangat baik dengan nilai 6,47 (atau 92% dari nilai
tertinggi 7). Men-PAN juga menghadiahi penghargaan “Citra Pelayanan Prima”.
Tahun 2001, Taspen dianugerahi pula penghargaan “Abdi Satya Bhakti” yang
diserahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bulan November 2006, PT
Taspen berhasil meraih predikat Early
Results pada penghargaan Indonesian
Quality Award (IQA) berbasis Malcolm
Balridge Criteria dengan skor 354. Tahun berikutnya, 2007, PT Taspen mampu
meningkatkan diri dengan mendapatkan predikat Early Improvement dengan skor 402 dalam penghargaan IQA yang
diselenggarakan oleh IQA Foundation.
Dalam penilaian IQA,
digunakan Malcolm Balridge Criteria for
Performance Excellence (MBCfPE). Metode ini terbukti efektif meningkatkan
daya saing banyak perusahaan AS setelah terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an.
Hasilnya, selama lebih dari satu dasawarsa sampai kini, AS menjadi negara yang
memiliki saya saing tertinggi di dunia. Dari pengalaman AS itu, ketika krisis
perekonomian yang berkepanjangan melanda Indonesia, BUMN terus tampil menjadi
ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Nah, dalam rangka meningkatkan dan
mengapresiasi kinerja BUMN itu, IQA
Foundation berupaya menyemangati dan mendorong kalangan BUMN untuk terus
meningkatkan prestasinya.
Prestasi lainnya,
berdasarkan hasil Survei Integritas Sektor Publik (Agustus-Oktober 2007),
Taspen masuk dalam urutan terbaik kelima sebagai salah satu institusi pelayanan
publik di Indonesia versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK menetapkan
Taspen sebagai salah satu instansi dengan nilai Integritas Pelayanan Publik
yang tinggi (8,08).
***
DALAM
putaran
roda perjalanan waktu, selain mampu mencapai harapan-harapan yang telah
dicanangkan di masa lalu, kita pun tak mampu mengelak dari kegagalan dalam meraih
apa yang telah dicita-citakan dari mula. Selain berharap menjadi institusi
pengelola Dana Pensiun dan THT yang bersih, sehat dan benar, melalui pelayanan 5-T,
Taspen juga bercita-cita mewujudkan hari-hari yang indah bagi Peserta (PNS dan
Pensiunan). Apa sebenarnya makna hari-hari yang indah bagi Peserta itu?
Selain ingin
menikmati pelayanan 5-T tadi, Peserta menuntut pula Taspen lebih transparan dan
profesional dalam penyelenggaraan pensiun PNS. PNS sebagai peserta/nasabah
Taspen tidak jarang menuntut agar nilai pensiun mereka terus meningkat seiring
dengan tingkat inflasi ekonomi. Repotnya, banyak kebijakan pemerintah yang
kontra produktif dalam mengakomodasi keluhan PNS yang merasa nilai pensiun
mereka masih kecil.
Selama ini pemerintah
selaku regulator maupun pemberi kerja bagi aparatur negara telah memberlakukan
sistem yang berbeda antara program kesejahteraan untuk pekerja swasta dan BUMN
di satu sisi dan para aparatur negara di sisi yang lain. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa indikator: pertama,
Pemerintah menetapkan dana pensiun dan THT untuk pegawai swasta dan BUMN dengan
sistem pendanaan sendiri atau funded
system sedangkan untuk PNS diberlakukan sistem pay as you go (sepenuhnya dibiayai APBN). Bahkan, Pemerintah menerapkan
current cost financing system yang
sebetulnya tidak dikenal dalam sistem dana pensiun di negara manapun.
Kedua,
Gaji dan penghasilan PNS dipotong sebesar 10% untuk Dana Pensiun dan THT dan
dana kesehatan tapi Pemerintah selaku pemberi kerja tidak pernah mengiur.
Padahal, Pemerintah menetapkan kebijakan untuk perusahaan swasta dan BUMN bahwa
pemberi kerja harus mengiur. Akibatnya, THT yang diterima oleh PNS menjadi
kecil.
Ketiga,
Pemerintah selalu menekankan bahwa setiap perusahaan selaku pemberi kerja harus
membayar kewajiban berupa past service
liability dari setiap kewajiban menyetor yang belum ditunaikan. Tapi,
sampai sekarang kewajiban Pemerintah atas past
service liability PNS untuk program Pensiun belum pernah ‘diakui’ dan tidak
pernah dibayar.
Keempat,
Pemerintah memakai uang PNS untuk membiayai kewajibannya baik dana pensiun PNS
maupun THT. Dalam hal dana pensiun PNS, Pemerintah seharusnya menerapkan sistem
pay as you go secara penuh, yaitu
membayar pensiun sepenuhnya dari dana APBN, sebagaimana diamanatkan oleh UU
Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Namun kenyataannya, mulai tahun 1994 sebagian kewajiban pemerintah dibayar
dengan dana milik PNS. Dana itu sebenarnya belum boleh dipakai sebelum dana
pensiun menjadi fully funded.
Kebijakan menggunakan dana pensiun PNS ini sebenarnya “pintu darurat” karena
pada waktu itu Pemerintah mengalami kesulitan dana. Seharusnya kebijakan ini
segera dihentikan dan dana yang sudah dipakai Pemerintah harus dikembalikan
karena pada dasarnya dana ini milik PNS/pensiunan, bukan milik Pemerintah atau
bagian dari APBN. DPR, khususnya Panitia Anggaran, selaku pengawas eksekutif
seharusnya mengoreksi dan meluruskan kebijakan yang bertentangan dengan
kaidah-kaidah sistem dana pensiun dan asuransi sosial ini. Tapi, hingga kini, kebijakan
yang keliru ini masih dipertahankan oleh Panitia Anggaran DPR, kendati
Pemerintah telah menyadari kekeliruannya dan mulai mengusulkan untuk melakukan
koreksi. Kami berharap Panitia Anggaran dapat mempertimbangkan untuk meluruskan
hal-hal keliru selama ini dalam waktu-waktu mendatang.
Kelima,
Pemerintah memberikan gaji kecil kepada PNS dan TNI mengakibatkan mereka
kesulitan membiayai hidup dan kehidupannya. Ekses selanjutnya, mereka
memanfaatkan waktu untuk mencari tambahan penghasilan (sehingga terjadi korupsi
waktu yang berakibat melahirkan KKN) dan kesempatan yang semestinya tidak
dilakukan.
Untuk itu, Pemerintah
mesti meningkatkan penghasilan aparatur negara agar besaran subsidi yang
diberikan kepada ‘market’ dari hari
ke hari semakin berkurang. Subsidi terjadi karena perbedaan gaji/penghasilan
PNS yang rendah dibandingkan kondisi pasar. Sekadar contoh, berdasarkan
perhitungan tahun 2003 ketika penulis diminta menghadap Presiden Megawati
Soekarnoputri pada tanggal 10 November 2003 di Istana Negara, gaji seorang
Direktur Jenderal di Jakarta hanya Rp3,5 juta per bulan. Untuk kehidupan di
Jakarta tentu tidaklah cukup. Bila yang dianggap cukup adalah Rp15 juta, maka terdapat
beda (selisih) Rp15 juta – Rp35 juta sama dengan Rp11,5 juta. Angka Rp11,5 juta
itu merupakan bentuk subsidi sang Direktur Jenderal kepada market. Jika jumlah ini dikumpulkan dari seluruh PNS/TNI akan
berjumlah lebih dari Rp75 triliun per bulan.
Pemerintah harus pula
kembali memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan sebagaimana yang sudah
dilakukan untuk pegawai swata dan BUMN di Indonesia. Bila tidak diberikan maka
Pemerintah telah menerapkan kebijakan standar ganda dan dirasa tidak adil. Selain
itu, Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk memberikan Tunjangan
Pendidikan sebulan gaji.
Pemerintah pun mesti
memberikan tunjangan cuti tahunan sebagaimana yang telah diberlakukan untuk
para pegawai swasta dan BUMN. Jika belum memungkinkan maka dapat dilakukan
dengan mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Malaysia, yaitu sebesar tiga
bulan penghasilan terakhir yang diberikan pada saat memasuki masa pensiun bagi
pegawai yang tidak mengambil hak cutinya selama tiga bulan kumulatif.
Pemerintah selaku
pemberi kerja harus secepatnya membayar iuran dalam program Purna Kerja bagi
PNS dan anggota TNI/Polri. Pemerintah masih memiliki kekurangan dana untuk
membayar program pensiun bagi PNS yang pensiun maupun mereka yang akan memasuki
masa pensiun. Setidaknya, sampai 31 Desember 2002, kewajiban Pemerintah yang
masih kurang mencapai Rp306,32 triliun. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP), kekurangan tersebut disebabkan Pemerintah menganut sistem
pembayaran pensiun yang dipenuhi secara langsung melalui APBN sebanyak 79% saat
PNS memasuki masa pensiun. Adapun pembayaran sisanya, 21%, dipenuhi oleh
Taspen.
Ke depan, Taspen
berharap dana pensiun PNS diarahkan dari pay
as you go menjadi fully funded. Langkah
ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memberikan kepastian tersedianya
dana untuk membayar pensiun PNS tersebut. Fully
funded adalah sistem pendanaan di mana besarnya dana yang dibutuhkan untuk
pembayaran pensiun di masa yang akan datang dipenuhi dengan cara diangsur
secara bersama-sama melalui iuran oleh masing-masing pegawai dan pemerintah
sebagai pemberi kerja selama pegawai masih aktif bekerja. Dengan sistem fully funded kita akan memupuk dana di
suatu badan khusus, bisa PT Taspen atau lembaga lainnya.
Sebaiknya, kita tidak
sepenuhnya menganut sistem fully funded.
Tapi, kombinasi antara fully funded
dan pay as you go. Kombinasinya: dana
pensiun PNS yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 berlaku sistem pay as you go sedangkan mereka yang
diangkat setelah 1 Januari 2005 diberlakukan sistem fully funded.
Tidak hanya sebatas
sistem pendanaan yang menjadi concern
Taspen yang ingin mewujudkan hari-hari indah para Peserta, asal-muasal dana
untuk pembayaran gaji PNS dan pensiunan pun harus jelas. Taspen sudah
menyampaikan kepada Pemerintah untuk tidak membayarkan gaji dan penghasilan PNS
serta para pensiunan dari dana subhat
(misalkan dari cukai rokok) dan sumber-sumber haram lainnya (contoh dari
retribusi rumah judi dan lokalisasi pelacuran). Karena, hal ini akan
mempengaruhi perilaku sehari-hari dan pola berpikir bagi para penerima gaji
tersebut maupun anggota keluarganya. Hal ini sudah berhasil diimplementasikan
di Negeri Jiran Malaysia. Dana-dana dari sumber subhat dan haram dipakai saja untuk membangun sarana umum seperti
got, jalan raya, listrik dan pabrik semen. Selain itu, dengan adanya fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan bunga bank, juga menjadi persoalan
tersendiri yang harus ditangani dengan sebaik-baiknya. Persoalan kesejahteraan
PNS-TNI-Polri memang tidak bisa ditangani secara tergesa-gesa dan asal jadi
untuk mengejar dead line. ***
Boks:
Hari
Ini Harus Lebih Baik Daripada Kemarin
Dunia ini selalu
berubah (berkembang). Sang waktu (jaman) senantiasa berganti. Sang waktu terus
melaju dengan kecepatan 3.600 detik per jam. Dalam hitungan 24 jam, hari pun
telah berganti. Hari ini berubah menjadi kemarin, dan kita pun harus mengisi
hari-hari yang baru lagi. Hari terus berganti, hari terus berlari.
Menurut kalangan
agamawan (rohaniawan), jaman memang terus berubah menuju masa depan. Dari masa
Nabi Adam (orang pertama di muka bumi), kemudian masa Nabi-Nabi berikutnya,
hingga hari ini dan hari esok, yang terus bergerak menuju hari akhir jaman
kelak. Sedangkan kata para pakar sejarah, jaman terus berubah dari jaman es,
jaman batu, hingga kini jaman teknologi informasi (TI). Dari jaman primitif,
pra-sejarah hingga jaman modern sekarang ini. Sementara itu, dalam kajian para
ahli ekonomi, jaman (peradaban) terus berubah dan berkembang dari peradaban
gelombang pertama, gelombang kedua hingga peradaban gelombang ketiga. Atau,
dari jaman yang masih tersekat dalam batas-batas masyarakat dan negara, hingga
kini menjadi dunia yang tanpa batas (bonderless
world). Era mondial atau jaman global.
Perubahan adalah
sebuah keniscayaan. Perubahan adalah sebuah hukum alam. The change is rule. Kata pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali
dalam bukunya yang berjudul Change! (2005),
“Yang berubah itu adalah perubahan itu sendiri.” Dalam kehidupan di dunia ini
memang tidak ada yang kekal. Yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Perubahan
bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja. Perubahan terjadi
karena (antara lain) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
mobilitas dan kebutuhan manusia, atau kepemimpinan yang visioner. Kepemimpin
yang memandang jauh ke depan melampaui horizon masanya.
Perubahan senantiasa
mengikuti gerak kehidupan. Perubahan adalah denyut dan gerak sebuah kehidupan.
Perubahan itu sendiri merupakan sebuah alur kehidupan yang harus dijalani oleh
semua makhluk hidup, terutama manusia. Sesungguhnya, banyak pilihan yang
diberikan oleh sebuah perubahan. Dan tergantung sikap dan tindak perilaku kita,
apakah kita mau berubah, apakah kita hanya berdiam diri, apakah kita melawan,
atau apakah kita yang harus diubah. Namun, yang pasti, siapa yang tidak mau
berubah (belajar) untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan roda-roda perubahan,
pasti akan tertinggal dan bahkan terlindas oleh perubahan jaman yang memang
terus bergulir. Seseorang yang tidak mau berubah atau belajar ketika jaman
menghendaki perubahan, mau tak mau orang itu bakal menjadi ”orang yang kalah”.
Ia bakal terseret oleh derasnya arus perubahan jaman. Ia akan tertinggal dan
bahkan terlindas oleh gelombang perubahan jaman.
Ketika perubahan
harus terjadi dan tak bisa dibendung lagi, maka tak ada gunanya untuk bergeming
menahan apalagi melawan arus perubahan. Sebab, seperti dikatakan oleh penulis
dan filsuf terkemuka Amerika Serikat, Elbert Hubbard, “Dunia bergerak begitu
cepat. Ketika seseorang berkata sesuatu tak bisa dilakukan, sebenarnya dia
sudah diinterupsi oleh orang lain yang telah bisa melakukan.” Makanya, yang harus
dilakukan adalah bagaimana menyiasati dan beradaptasi dengan arus perubahan
agar kita tidak terseret ke dalam jurang keterpurukan. Kita harus mau dan mampu
menyiasati serta beradaptasi dengan perubahan ke arah yang lebih baik agar kita
menjadi ”orang yang menang”.
Idealnya, tanpa harus
diubah, kita sendiri yang semestinya melakukan perubahan agar kita bisa tetap
eksis dan terus hidup secara lebih baik. Goethe, sastrawan kenamaan Jerman itu,
pernah mengatakan, “Kita harus selalu mengubah, memperbarui dan meremajakan
diri. Jika tidak, kita akan membatu.” Hal itu senafas dengan apa yang acap
dikatakan oleh Bill Gates, pendiri dan CEO Microsoft, “Siapa pun yang tidak mau
berubah akan dijungkir-balikkan oleh perubahan itu sendiri karena memang
demikianlah aturan dunia ini.” Senada dengan perkataan Jack Welch, sang
pemimpin legendaris General Electric (GE), “Berubahlah sebelum perubahan itu
sendiri yang akan memaksa Anda.”
Yang pasti, agama
juga telah mengajarkan, “Sesungguhnya Tuhan tidak akan pernah mengubah keadaan
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mau berubah.” Maksudnya, Tuhan tidak akan
pernah mengubah nasib seseorang, masyarakat, bangsa atau negara menjadi lebih
baik kecuali seseorang, masyarakat, bangsa atau negara itu sendiri mau dan
mampu mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Dan memang, hanya mereka yang
mau dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang dapat bertahan melewati gerak
roda-roda kehidupan.
Belajar dan terus
belajar untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik, itulah esensinya.
Orang-orang yang selalu melakukan perubahan dan berubah dalam hidupnya, pasti
mereka tidak akan terlindas oleh roda-roda perubahan jaman. Karena, sudah
menjadi semacam hukum alam kehidupan bahwa sesungguhnya semua manusia akan
merugi kecuali mereka yang menerapkan prinsip: Hari ini harus lebih baik daripada
hari kemarin, dan esok hari harus lebih baik daripada hari ini. Maknanya, bahwa
perubahan dan berubah adalah suatu keharusan agar kita menjadi lebih baik daripada
sebelumnya, agar`kita bisa menorehkan keberhasilan yang lebih baik lagi.
Mengasah diri agar
modal insani (potensi dan kompetensi) semakin terasah tajam dalam mengiringi
derap langkah perubahan (perkembangan) jaman. Itulah makna dan hakikatnya.
Istilahnya long life education.
Belajar tiada henti, sepanjang jalan kehidupan, sejak dalam buaian ibunda
hingga ajal menjemput. Baik formal maupun informal. Belajar kepada siapa saja,
kapan saja dan di mana saja. Termasuk belajar menafakuri segala yang ada dan
terjadi di alam kehidupan ini. Belajar seumur hidup ke arah yang lebih baik,
lebih bermanfaat dan lebih bermakna. Hal ini senafas dengan pendapat pakar
pengembangan diri Peter F. Olivia yang menyatakan bahwa change in both inevitable and necessary, for it is thought change than
life form, grow and develop (Soedarsono, 2005).
Memupuk ilmu dan
terus mengembangkannya merupakan sebuah upaya untuk belajar tiada henti. Itulah
yang dilakukan orang-orang Jepang, Amerika, Eropa dan negara-negara maju
lainnya. Kemajuan yang berhasil mereka torehkan sudah demikian jauh di depan
kita. Landasannya adalah ilmu pengetahuan yang terus dikembangkan melalui
kesungguhan dan ketekunan dalam belajar. Ketekunan merupakan wujud terpenting
dari disiplin dan karakter diri seseorang. Jika seseorang belajar dengan
semangat yang mengalahkan keadaan, niscaya kesulitan, kelelahan dan kesakitan
tidak akan dihiraukan lagi. Sebab, segala yang dilakukan diharapkan akan
menghasilkan suatu kesuksesan. Orang yang tekun akan melahirkan tahan uji dan
tidak mudah menyerah. Tidak goyah dengan komitmennya untuk terus berubah dan
berkembang menjadi lebih baik dalam menorehkan kemajuan dan keberhasilan.
Ketekunan itu sendiri
bisa dipelajari dan dilatih. Itulah prinsip orang-orang yang memiliki jiwa
pembelajar tiada henti. Sekadar contoh, Sarasate, pemain biola terbesar di abad
sembilan belas dari Spanyol. Dia sempat digelari sebagai pemain biola yang
jenius oleh para kritikus musik. Dan, menanggapi ”pujian” itu, Sarasate
menjawab, “Saya? Jenius? Bukankah mereka tahu bahwa selama tiga puluh tujuh
tahun saya berlatih empat belas jam dalam sehari, dan baru sekarang mereka
mengatakan saya ini jenius? Berlatih dengan tekun, belajar dan terus belajar
menjadi lebih baik, itulah sebenarnya yang senantiasa saya lakukan.”
Begitu pula aktor
besar Sylvester Gardenzio Stallone. Pria kelahiran New York (6 Juli 1946) yang
kerap dipanggil Sly itu termasuk bintang terpopuler di Hollywood dengan bayaran
tinggi. Apakah dia seorang aktor yang terlahir sebagai bintang? Tidak. Sly harus
belajar dan berjuang keras merajut perjalanannya menuju kesuksesan. Keluarganya
miskin karena ayahnya hanyalah seorang penata rambut, sedangkan ibunya adalah
seorang peramal. Mulanya, Sly mendaftar pada sebuah sekolah akting, ikut audisi
dan ditolak karena aktingnya yang kaku. Tapi, dia tidak pernah menyerah.
Suatu hari, Sly
terinspirasi oleh pertandingan tinju Muhammad Ali dengan Chuck Wepner, pada
tahun 1975, di Cleveland. Dia kemudian ”mulai belajar” menuliskan inspirasinya
itu sepanjang 84 jam tanpa henti hingga bisa menyelesaikan naskah Rocky. Namun,
naskah itu tidak laku dijual. Sekali lagi, Sly tidak patah arang. Sampai
akhirnya ada perusahaan film yang memberikan kesempatan kepadanya untuk
membintangi (sebagai aktor) film yang naskahnya ditulis sendiri tadi. Naskahnya
sendiri hanya dihargai US$35.000. Pada waktu Rocky diluncurkan dan berhasil
meraih box office, film ini mampu
menghasilkan uang US$171 juta. Kemudian, film Rocky dinominasikan untuk 10 Academy Awards dan memenangi The Best Picture Award 1976.
Sang petinju
legendaris Muhammad Ali sendiri dikenal dengan pernyataannya, “Hanya orang yang
pernah ‘dikalahkan’ yang akan menjadi orang yang lebih kuat dan akan memiliki
kekuatan ekstra untuk meraih kemenangan.” Mirip dengan Ali, pebasket kenamaan Michael
Jordan juga berprinsip, “Rintangan tidak harus menghentikan langkah Anda. Jika
Anda menabrak tembok, jangan berbalik dan menyerah. Terus berpikir dan
bertindaklah mencari cara untuk mendakinya, melompatinya, melaluinya, atau
memutarinya.” Para atlet memang harus terus mengasah dirinya dengan latihan
selama bertahun-tahun untuk bertanding hanya selama beberapa detik atau
beberapa menit saja.
Kalau kita cermati,
pemimpin-pemimpin sukses di bidangnya masing-masing seperti Henry Ford, Mahatma
Ghandi dan Bill Gates lantaran mereka juga merupakan sosok orang-orang yang
senantiasa belajar dan terus mengembangkan diri dalam merespon jalannya
perubahan jaman. Perubahan (menjadi lebih baik) bagi mereka adalah suatu
keharusan yang memang harus mereka lakukan. Henry Ford bisa sukses karena
melakukan perubahan dengan menyederhanakan proses produksi mobil dan menurunkan
biaya produksi secara signifikan. Mahatma Gandhi bisa meraih kesuksesan karena
dapat mengubah perjuangan yang penuh kekerasan menjadi perjuangan dengan
”damai”. Sementara Bill Gates bisa sukses lantaran merevolusi penggunaan
komputer dari komputer main frame yang
besar, berat, dan mahal, menjadi komputer personal yang kecil, ringan dan harga
yang jauh lebih murah.
Masalahnya, banyak
orang yang berkeinginan untuk berubah, tapi sedikit sekali yang menyikapinya
dengan semangat maju terus pantang mundur. Artinya, untuk meraih perubahan yang
lebih baik, kita memang tidak boleh mundur. Karena, ”pemenang” itu memang tidak
pernah mundur. Dan, orang yang mundur itu tidak pernah ”menang”. Tapi,
terkadang, banyak orang sering merasa ragu atau bahkan enggan untuk
melakukannya. Bukan berarti mereka resisten terhadap perubahan, tapi hasrat
untuk berubah (wilingness to change)
ternyata kurang mengedepan. Jadi, benarlah apa yang pernah dikatakan oleh pakar
manajemen korporasi Peter Senge, ”People
do not resist change, they resist being change.”
Alasan yang
mempengaruhi banyak orang enggan atau ragu untuk berubah biasanya adalah karena
adanya rasa takut. Rasa takut itu muncul lantaran mereka tidak tahu pasti hasil
yang menanti di depan sewaktu melakukan perubahan. Makanya, banyak orang
beranggapan bahwa melakukan perubahan layaknya melangkah memasuki lorong jalan
kegelapan. Mereka tidak tahu apa yang ada di depan, apakah lubang, batu atau
kerikil-kerikil tajam yang bisa melukai atau bahkan mematikan mereka.
Kemudian, risiko.
Risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perubahan. Sebagai
gambaran, seandainya kita memutuskan untuk membuka usaha sendiri menjadi wirausahawan.
Tentu, risikonya adalah kerugian, bahkan kebangkrutan dalam usaha. Sedangkan
apabila memilih melamar pekerjaan, maka risikonya adalah ditolak oleh
perusahaan. Contoh lainnya, guna meraih sebuah jenjang karir yang lebih tinggi,
biasanya kita dituntut untuk mempersembahkan sebuah prestasi bagi perusahaan.
Prestasi itu tentu dimulai dari ide perubahan yang kita sampaikan pada
pimpinan. Risiko yang mungkin muncul adalah ide kita ditolak sehingga karir
kita tidak beranjak naik.
Jadi, secara
psikologis, perubahan dan berubah itu memang dianggap begitu ”menyakitkan”.
Sebab itu, tak heran bila banyak orang yang kemudian sudah cukup merasa senang
dengan kondisi yang ”nyaman” (comfort
zone) yang telah menjadi rutinitas dan kebiasaan mereka setiap hari. Semuanya
dianggap baik-baik dan aman-aman saja. Everything
is fine and will be fine. Tapi, yang harus dimengerti, sudah menjadi
semacam kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa kalau kita menolak
perubahan dan tidak mau berubah maka kita akan dilindas oleh roda-roda
perubahan jaman. ***
No comments:
Post a Comment