Oleh Sri Murniatiningsih
Ketua Biro Hukum dan Pembinaan/
Pembelaan Anggota IDI Cabang Kebumen
Menjelang
era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), saat ini kalangan kesehatan dan
pihak yang terkait di Kabupaten Kebumen bersiap-siap menunggu penerbitan
perpres baru, Permenkes, atau peraturan tentang BPJS Kesehatan. Yang jelas,
permasalahan yang dihadapi secara nasional adalah masalah keminiman besaran
iuran, serta keterbatasan SDM dan fasilitas pelayanan.
Persoalan
itu sangat dirasakan oleh Kabupaten Kebumen dengan 1,3 juta penduduk
namun memiliki 649.282 peserta Penerima
Ban-tuan Iuran (PBI), di antaranya sekitar 77.000 dari PNS/ pensiunan dan
keluarganya. Belum lagi dari kalangan TNI/ Polri dan peserta Jamsostek.
Paling
tidak diasumsikan pada awal Januari 2014 peserta BPJS Kesehatan di kabupaten
itu 750.000, dan terus bertambah sampai menjadi 1,3 juta peserta karena per 1
Januari 2019 seluruh penduduk harus terjangkau pelayanan itu.
Konsekuensinya
per 1 Januari 2014 dibutuhkan 250-300 dokter umum, padahal di Kabupaten Kebumen
saat ini baru ada 167 dokter. Pada awal 2014 prediksi kebutuhan tempat tidur di
rumah sakit minimal 7.500. Saat ini dengan 15 rumah sakit (1 rumah sakit
pemerintah, dan lainnya swasta ), jumlah tempat tidur belum sampai 1.000.
Belum
lagi masalah premi/ iuran BPJS yang sangat minim, yakni Rp 15.500, dan berarti
’’jatuhnya’’ kapitasi pelayanan primer hanya Rp 3.000-Rp 6.000/ peserta/ bulan.
Melihat
realitas itu, hanya organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bisa
berjuang supaya pemerintah menaikkan premi BPJS Kesehatan.
Andai
BPJS Kesehatan jadi dilaksanakan per 1 Januari 2014, banyak masalah yang harus
diatur dan dibicarakan (selain besaran premi, SDM, dan ketersediaan fasilitas),
antara lain prosedur pelayanan kesehatan.
Persoalan
itu mengingatkan kita pada pelaksanaan dokter keluarga Askes di Ka1bupaten
Kebumen.
Ketua
IDI Cabang Kebumen dr H Pudjo Trimakno (SM, 22/4/13) berpendapat penataan
dokter untuk peserta Askes tidak sesuai dengan demografi dan topografi wilayah.
Tempat praktik beberapa dokter yang ditunjuk PT Askes berjarak jauh dari tempat
tinggal peserta. Akibatnya, banyak peserta enggan memanfaatkan layanan
kesehatan dokter itu sehingga juga merugikan peserta. Selain itu banyak peserta
Askes tidak mengetahui dokter mereka akibat keminiman sosialisasi yang diberikan
kepada masyarakat.
’’Sengsarakan’’ Dokter
Ke
depan, BPJS Kesehatan yang digawangi personel PT Askes supaya lebih arif
menyikapi masalah ini. Jauh-jauh hari perlu menyosialisasikan secara awal
kepada seluruh dokter anggota IDI untuk berpartisipasi sebagai dokter layanan
primer BPJS.
Selain
itu, penetapan peserta BPJS Kesehatan bagi masing-masing dokter/ fasilitas
pelayanan primer dilakukan secara adil dengan cara membagi jumlah peserta
dengan jumlah fasilitas pelayanan primer (dokter, klinik, dan puskesmas).
Kecuali
itu, pendaftaran peserta ke fasilitas pelayanan primer supaya mendasarkan pada
domisili peserta guna memberi kemudahan mendapatkan pelayanan. Perlu pula
memahami pada era BPJS tidak ada lagi PT Askes yang berarti tidak ada lagi
dokter keluarga Askes.
Hal itu
berarti semua dokter/fasilitas pelayanan primer harus secara bersama-sama
melayani semua peserta BPJS dalam ratio yang seimbang. Tidak dibenarkan bila
pada era BPJS ada yang mendalihkan sebagai dokter keluarga Askes dan ia tidak
mau dibebani dengan kewajiban melayani peserta Peneri-ma Bantuan Iuran (PBI)
dan sebagainya.
Tujuan
pembentukan BPJS adalah mulia, yaitu mewujudkan keterpenuhan jaminan kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi tiap peserta dan/atau keluarganya. Persoalannya
adalah dengan premi dan kapitasi yang terlalu kecil serta tidak sepadan dengan
tanggung jawab dokter sebagai pelaksana, berarti pemerintah menyejahterakan
rakyat tapi dengan ’’menyeng-sarakan’’ dokter, yang notabene rakyat. (*)
No comments:
Post a Comment