Di
dunia di mana segalanya cepat berubah dan menghilang ini,
sang
pemimpin harus tampil untuk mendorong perubahan,
pertumbuhan
dan menunjukkan caranya.
John
C. Maxwell, Pakar Manajemen dan Kepemimpinan
Di penghujung tahun 2000, PT Taspen, perusahaan pengelola dana Tunjangan
Hari Tua (THT) dan Pensiun pegawai negeri sipil yang kala itu dipimpin Achmad Subianto
boleh dikatakan dalam kondisi sehat wal afiat. Waktu itu PT Taspen mampu membukukan pendapatan
Rp1,3 triliun dengan laba bersih sekitar Rp93 miliar. Perjalanan Taspen
dengan segenap prestasinya hingga sekarang ini, tidaklah terlepas dari jasa dan
pengabdian yang telah dirintis oleh para CEO terdahulu. Begitu pula para
karyawan yang saat itu berada di Kantor Pusat dan Kantor Cabang, maupun para
pendahulu yang kini bertugas di tempat lain, mereka yang sudah pensiun, dan
juga mereka yang telah tiada karena sudah lebih dulu dipanggil oleh Allah SWT.
Seiring dengan perubahan kondisi lingkungan yang begitu cepat sekarang ini,
tugas yang diemban PT Taspen terasa pula semakin penuh tantangan. Karena,
selain harus menunaikan fungsi pelayanan, Taspen pun harus memenuhi fungsinya
sebagai organisasi bisnis dengan mengelola dana yang dipercayakan kepadanya dalam berbagai
bentuk investasi guna membiayai operasional perusahaan sekaligus untuk
mengamankan dana itu bagi kepentingan pembayaran para Peserta (THT dan
Pensiun). Sejauh ini, kedua fungsi tadi telah berjalan secara baik. Para pimpinan Taspen
menyadari betul bahwa pegawai negeri sipil (PNS) selaku Peserta PT Taspen merupakan stakeholders
utama yang harus diperhatikan secara serius sehingga mereka dapat merasakan
bahwa pelayanan yang diberikan benar-benar dapat memberikan manfaat yang lebih
baik.
Namun, di benak Subianto waktu itu, kinerja dan performa PT Taspen yang
sudah berjalan bagus itu harus terus didorong agar menjadi lebih baik lagi. Hari ini sudah lebih baik daripada
kemarin, dan esok hari harus lebih baik daripada hari ini. Artinya, peran dan
fungsi PT Taspen bagi peningkatan kesejahteraan (THT dan Pensiun) PNS (Peserta) harus
diupayakan menjadi lebih optimal.
Sebagai BUMN yang berurusan dengan nasib jutaan PNS, eksistensi PT Taspen mesti terus diperbaiki. Terlebih lagi, PNS merupakan pilar
penting dalam perputaran roda birokrasi negara dan pemerintahan. Bayangkan, apa
jadinya jika kondisi PNS itu terus-menerus terkungkung dalam
keprihatinan? Tentunya, harapan akan kinerja dan performa birokrasi yang
profesional, bersih dan berwibawa, hanyalah akan menjadi sebuah mimpi belaka.
Sebab itu, sebagai anak bangsa yang kebetulan saat itu sedang dipercaya
memimpin PT Taspen, Subianto ingin agar keberadaan PT Taspen bisa menjadi salah
satu inspirator peningkatan kesejahteraan PNS. Baik semasa mereka masih aktif bekerja
maupun jaminan yang lebih baik ketika mereka sudah mencapai usia pensiun,
sekaligus mendorong PT Taspen menjadi salah satu entitas penting dalam kegiatan
perekonomian nasional.
Tak lama setelah menerima mandat sebagai pimpinan puncak PT Taspen, ada
beberapa hal penting yang dilakukan oleh Subianto guna meningkatkan kinerja dan
performa PT Taspen. Waktu itu, bersama jajaran karyawan madya, manajer, serta
Direksi dan Komisaris, dia melakukan reposisi korporat, termasuk memperjelas
visi dan misi PT Taspen agar menjadi lebih fokus pada kompetensinya.
Pencanangan reposisi PT Taspen itu, terutama menyangkut beberapa hal penting
seperti: Kembali kepada jati diri PT Taspen; Menata kembali PT Taspen;
Mendorong langkah PT Taspen menjadi perusahaan berkelas dunia; dan Mendorong PT
Taspen agar bisa memberikan kontribusi bagi Indonesia untuk keluar dari krisis; dan menempatkan PT
Taspen sebagai “oase” bagi Indonesia yang adil, jujur, bersih, sehat dan benar
serta sejahtera.
Yang jelas, sejak hari pertama duduk di kursi Direktur Utama PT Taspen,
akhir Mei 2000, dia langsung menyingsingkan lengan bajunya. Dan, sebagai
pemimpin, dia tak mau kalau cuma berdiri di depan sekadar memberi komando, tapi
dia pun turun dari kursi puncaknya, bergabung ke tengah-tengah awak PT Taspen,
untuk bersama-sama merajut masa depan PT Taspen. Yang sungguh membanggakan,
bahwa langkah Subianto itu memperoleh respon suportif dari jajaran Direksi dan
Komisaris. Khususnya jajaran Direksi, tak hanya terlihat lebih solid, tapi juga
lebih kompeten dan profesional. Jajaran Direksi telah menunjukkan dirinya
sebagai “orang-orang kunci” dalam memberikan keteladanan bagi segenap awak dan
manajemen PT Taspen. Suatu kondisi yang sangat positif buat modal PT Taspen dalam
melangkah menuju harapannya, ke depan, guna meraih kinerja dan performa yang
lebih baik.
Jarum jam terus berputar dan waktu terus melaju. Di tahun 2002, dalam
waktu sekitar dua tahun, telah dilakukan serangkaian langkah
evaluatif dan transformatif bagi eksistensi dan manajemen PT Taspen. Banyak
prestasi yang diraih PT Taspen, walau masih banyak pula pekerjaan yang harus
dilakukan oleh manajemen PT Taspen guna mewujudkan visi-misinya. Minimal, sampai tahun
2002 itu, kinerja dan performa ekonomis PT Taspen sudah menjadi lebih baik
dibandingkan kondisi di tahun 2000. Dalam hal pendapatan misalkan, meningkat dari
Rp1,3 triliun menjadi Rp2,9 triliun, serta laba
bersih naik dari Rp93 miliar menjadi Rp265,8 miliar. Aset PT Taspen
pun melonjak dari Rp1,6 triliun (2000) menjadi Rp9,9 triliun (2002).
Dengan kekuatan orang-orang yang telah berpengalaman malang-melintang
dalam roda usaha PT Taspen, langkah dalam mendorong perkembangan PT Taspen pun
terasa semakin tegap. Dengan mengusung prinsip “berjamaah” (begitu Subianto kerap
menyebut istilah kebersamaan, teamwork), dia mendorong manajemen PT
Taspen untuk secara intensif mengembangkan beberapa langkah strategis. Di
antaranya adalah: Meningkatkan Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendataan;
Optimalisasi Kompetensi SDM untuk berbagai bidang tugas; Optimalisasi Penagihan
Iuran; Optimalisasi Portofolio Investasi; Peningkatan Investasi Usaha;
Peningkatan sinergi Pemeriksaan dengan pihak Eksternal Auditor; dan Peningkatan
Pemahaman Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern pada setiap level manajemen.
Hingga kemudian, setelah setahun berjalan (2003), kinerja
dan performa Taspen juga tampak menjadi lebih baik lagi. Pendapatannya
meningkat menjadi Rp3,4 triliun. Laba bersih sedikit menurun menjadi
Rp176,6 miliar, lantaran biaya beban (antara lain
karena peningkatan beban klaim dan manfaat) yang mengalami kenaikan cukup
signifikan. Tahun 2004, laba bersih Taspen berada dalam posisi Rp164,9 miliar. Penurunan laba
bersih tahun 2004 itu selain disebabkan oleh bertambahnya biaya beban dan
manfaat, juga akibat turunnya suku bunga deposito. Waktu itu, sekitar 80 persen
investasi dana PT Taspen disimpan dalam bentuk deposito di bank-bank pemerintah
(karena peraturan yang ada mengharuskannya begitu).
Cuma sedikit penurunan laba bersih, tidak sampai merugi sebagaimana yang
pernah dituduhkan oleh IMF (International Monetary Fund). Dalam tempo
yang relatif berbarengan, di kala banyak perusahaan asuransi di Tanah Air
merugi akibat krisis moneter, PT Taspen masih tetap mampu membukukan
keuntungan. Sebagai gambaran bahwa selama badai krisis perekonomian menerjang
Indonesia, demikian banyak perusahaan asuransi yang nyaris kolaps. Ini terjadi karena posisi suku bunga
deposito yang hanya sekitar 6,5 persen, sedangkan cover asuransi sampai
9-11 persen, sehingga terjadi negative spread.
Dalam kondisi seperti itu, direksi PT Taspen di bawah komando
Subianto segera mengusulkan kepada pemerintah (selaku pemegang saham) agar
manajemen PT Taspen diperkenankan memperlebar penempatan investasi dananya.
Usulan itu disetujui. Maka, pilihan investasi dananya sebagian besar
ditempatkan pada obligasi pemerintah. Sejak saat itu, sekitar 70-80 persen dana
PT Taspen ditempatkan pada obligasi pemerintah (berupa Surat Utang Negara,
SUN). Lucunya, langkah PT Taspen itu kemudian diikuti oleh sejumlah lembaga
dana pensiun (perusahaan) yang lain, juga kalangan perbankan, dengan cara
menjadi pembeli SUN. Padahal, sebelumnya, penerbitan SUN seolah menemui jalan
buntu. Tapi, karena PT Taspen masuk dalam jumlah besar, nilai SUN meningkat dan peminatnya pun bertambah banyak. Jadi sebenarnya,
yang “menyelamatkan” negara pada waktu krisis yang berkepanjangan kala itu,
salah satunya adalah uang PNS yang dihimpun di PT Taspen. Sebuah
kenyataan yang sungguh luar biasa.
Namun, kebanggaan itu tidak lantas membuat direksi PT Taspen menepuk dada dan berpuas diri. Keinginan untuk berubah menjadi lebih baik terus menguat dalam spirit kerja. Terlebih lagi dengan adanya instruksi dari Menteri
Negara BUMN yang kala itu dijabat Sugiharto, agar setiap BUMN di negeri ini
bersiap-siap melakukan transformasi menuju perusahaan berkelas dunia. Toward
to the world class company. Juga dengan
adanya fenomena perubahan dunia usaha, PT Taspen harus tetap bertahan dan terus bertumbuh-kembang pada
masa yang akan datang agar sejalan dengan visi Kementerian
BUMN, yaitu “Menjadikan BUMN sebagai badan usaha yang tangguh dalam persaingan
global dan mampu memenuhi harapan stakeholders”.
Adalah sebuah
keniscayaan bila setiap perusahaan harus siap berkompetisi. Karena itu, segala
lini harus dikerahkan untuk meraih kemenangan dalam persaingan, guna meraih keuntungan
dan mendapat predikat World Class Company. Dan, upaya meraih predikat World
Class Company bukanlah hal yang mudah. Hanya perusahaan yang terus hidup,
tumbuh dan berkembang, bahkan membesar-lah yang mampu dan berhak meraihnya.
Perubahan. Barangkali kata itulah yang tepat untuk menggambarkan keinginan para direksi PT Taspen di pertengahan tahun 2003 tersebut. Perubahan
merupakan faktor yang pasti terjadi sehingga diperlukan antisipasi dan sikap
untuk menghadapi perubahan tersebut melalui berbagai tahapan transformasi atau
penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi.
John Kotter, seorang pakar
perubahan organisasi dari Harvard Business School, mengatakan bahwa untuk terus
menjaga daya tahan dan momentum perubahan dalam proses transformasi dibutuhkan
apa yang disebut short-term win. Jangka waktu transformasi yang relatif
panjang dibagi-bagi menjadi tahapan yang lebih pendek (setahun atau setengah
tahun), dengan short-term goal yang harus dicapai dan merupakan milestone
yang harus
dilalui serta diselesaikan agar keseluruhan transformasi dapat dituntaskan.
Dengan adanya milestone memungkinkan jeda yang cukup untuk dapat
digunakan buat mengumpulkan
energi dan kemudian menggulirkan langkah-langkah berikutnya.
Baru ketika memasuki tahun 2004, manajemen PT Taspen mulai melakukan
langkah-langkah strategis dalam rangka proses transformasi secara lebih
esensial. Dalam kerangka itu,
setelah mengamati, memahami, membuat pemetaan (mapping) serta
menganalisa tentang Kekuatan (Strong), Kelemahan (Weakness),
Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat) atau SWOT, Subianto
berkesimpulan bahwa organisasi beserta manajemen dan tata kelola perusahaan PT
Taspen harus diubah dengan konsep baru yang lebih sistematik, integratif dan
aplikatif. Mengingat masalahnya adalah sangat mendasar dan struktural, konsep yang
dicanangkan adalah Transformation atau perubahan mendasar (transformasi
atau reorganisasi).
Direksi PT Taspen pun tidak
main-main dalam merencanakan transformasi PT Taspen. Harianto Mangkusasono, salah
satu mantan direktur di perusahaan berkelas dunia IBM, diminta melakukan
pengkajian. Setelah melakukan introspeksi, pengkajian dan mawas diri, ternyata
dalam perjalanannya, PT Taspen belum selesai sebagaimana
keinginan para pendiri PT Taspen (yaitu perusahaan yang bersih, sehat dan benar)
serta belum sesuai dengan jati diri dan sasaran perusahaan. Karena itu, PT Taspen harus tetap eksis dengan 5
(lima) sasaran yang tertuang dalam program reposisi. Sasaran pertama adalah kembali kepada jati diri PT Taspen. Sebagai pengelola dana
pensiun PNS, PT Taspen berkewajiban mengelola Program Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) PNS serta kesejahteraan lainnya. Kedua, menyelamatkan PT Taspen dengan cara mewujudkan kecukupan dana yang memadai melalui pemenuhan
kewajiban Pemerintah sebagai pemberi kerja dan menghindarkan sistem yang tidak
sesuai dengan best practice. Ketiga, menata kembali PT Taspen. Penataan ini dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan pengelolaan
Dana Pensiun, THT dan kesejahteraan lainnya menjadi sistem pengelolaan Dana
Pensiun, THT dan kesejahteraan lainnya yang adil, bersih, sehat dan benar serta
transparan. Keempat, menjadikan PT Taspen perusahaan berkelas dunia dengan menjadi Senior
Citizen Centre sehingga para senior PNS dapat menikmati hari-hari indah di
masa purna bhakti. Kelima, memberikan
kontribusi bagi Indonesia untuk segera keluar dari krisis guna menuju Indonesia
yang adil, jujur,
bersih, sehat dan benar serta sejahtera.
Upaya mengubah dan membenahi PT Taspen menjadi
lebih baik ternyata bukanlah langkah mudah. Menjadikan PT Taspen perusahan berkelas
dunia, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, mengajak orang
untuk berubah, tidak terkecuali berubah menjadi lebih baik, bukanlah sebuah
perkara yang gampang. Banyak perusahaan yang telah melakukan
perubahan dan berhasil, namun lebih banyak lagi yang justru menuai kegagalan.
Salah satu penyebab kegagalan itu adalah resistensi atau penolakan dari para
karyawan yang cukup keras. Oleh karyawan, sebuah perubahan biasanya dianggap
mulai dari mengganggu kenyamanan (comfort zone) yang telah menjadi rutinintas
mereka sehari-hari, takut kehilangan hak-hak istimewa hingga takut kehilangan
pekerjaan. Sebab itu, perubahan dianggap “menyakitkan”.
Subianto sadar benar
akan hal itu. Karenanya, dia tidak mau gegabah. Dia berusaha sabar. Dia tetap
hati-hati dalam menggelindingkan program perubahan. Lalu, langkah awal yang
dilakukan bukan langsung mencanangkan konsep perubahan, namun terlebih dulu
dirinya “turun ke bawah” untuk menyambangi semua jajaran perusahaan dan segenap
karyawan guna mendengar keluh-kesah dan aspirasi mereka tentang kondisi
perusahaan selama ini, sekaligus mensosialisasikan program perubahan yang coba
digerakkannya. Untuk itu, sejak awal memimpin, dirinya sudah
harus menyingsingkan lengan baju. Dia datangi satu per satu karyawan. Dari
jajaran eksekutif, manajer hingga karyawan paling bawah. Pendekatan yang
digunakan juga bukan memaksa tapi lebih pada menggugah, mendorong dan
memberdayakan karyawan.
Subianto adalah sosok
pemimpin penggerak perubahan yang lebih banyak bertindak daripada mengedepankan
kedudukannya sebagai seorang CEO. Dia bukanlah tipikal seorang bos yang hanya
duduk di singgasana empuk CEO. Dalam bekerja dan menjalankan amanah, dia lebih
mengedepankan kewajiban daripada hak. Dia bekerja dan melaksanakan amanah bukan
hanya demi kebutuhan diri pribadi, tapi lebih pada konteks kepentingan orang
banyak: pemegang saham, karyawan, pelanggan, mitra kerja bahkan masyarakat dan
lingkungan sekitar. Subianto
merupakan sosok pemimpin penggerak perubahan yang tak hanya memberikan kepala
(pikiran), tangan dan kaki (bekerja keras pantang menyerah), namun juga hatinya
(melayani). Niatnya mantap-lurus, komitmennya tinggi dan konsisten,
keyakinannya kuat, dan selalu berdoa agar diberi petunjuk dan jalan oleh Tuhan,
serta ridha dari-Nya. Sebuah totalitas Subianto dalam memimpin. Itu semua
dilakukan agar pertumbuhan perusahaan terus meningkat secara berkesinambungan.
Subianto pun sangat menyadari bahwa tanpa dukungan, komunikasi yang efektif
dan komitmen dari segenap insan perusahaan, sehebat apapun konsepnya sebagai
pemimpin tentu hanya akan indah di atas kertas belaka. Dalam hal ini, Subianto
cukup beruntung karena sejak awal memimpin didampingi oleh jajaran direksi dan
komisaris yang seiring-sejalan dengan pemikiran, hati dan langkahnya.
Sebelum mencanangkan program transformasi, Subianto tak lupa mengumpulkan
para direksi, manajer, pemimpin di setiap departemen, divisi, bidang dan
wilayah. Dia sampaikan kepada mereka tentang kondisi PT Taspen yang
sesungguhnya tinggal menunggu waktu untuk perlahan-lahan jatuh jika tidak
segera dibenahi. Subianto gugah sense of belonging dan sense of
crisis mereka bagi perusahaan. Dan, Subianto benar. Para pemimpin di semua
lini perusahaan pun coba memahami jalan pikirannya. Mereka kemudian kompak
menggelorakan semangat: “Kami harus berubah” (We have to change). Subianto
bersyukur semua pemimpin di dalam perusahaan mau berubah sesuai dengan harapannya.
Bagi Subianto, para pemimpin (leader) harus memulai dan memimpin
perubahan. Mengapa? Dalam masyarakat dengan budaya paternalistik seperti
Indonesia, jelas membutuhkan figur pemimpin yang mampu mendorong perubahan
dengan nilai-nilai, contoh dan keteladanan nyata. Leadership by example.
Memberi contoh dalam memimpin. Pesan Guru Bangsa Ki Hajar Dewantara, “Ing
Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Bangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Di depan
memberi contoh dan keteladanan, di tengah memberi inspirasi dan di belakang
memberi dorongan dan dukungan. Percuma kalau pemimpin tidak memberi
keteladanan. Sebagai contoh, nilai kejujuran. Kalau tidak ingin ada
penyelewengan, maka pemimpin harus jujur dan memberi contoh dengan tidak
melakukan penyimpangan.
****
Boks 1:
Pentingnya Prinsip Good
Corporate Governance (GCG)
Prinsip, nilai-nilai dan perilaku serta etos kerja. Dalam mewujudkan visi
dan misi, organisasi perusahaan yang efektif adalah yang memiliki
prinsip-prinsip kerja yang baik, nilai-nilai perusahaan yang unggul dan
perilaku yang etis, serta etos kerja yang tinggi. Dalam hal ini, tujuan akhir dari
sistem manajemen adalah agar perusahaan mampu memelihara dan mengembangkan
penerapan sistem manajemen mutu secara efektif dan efisien, dan berjalan secara
berkelanjutan.
Dalam rangka menjalankan organisasi perusahaan yang efektif sebagai
konsekuensi pelaksanaan Program Transformasi Taspen (PTT), PT
Taspen telah menerapkan pengelolaan perusahaan yang sehat sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. GCG merupakan tata kelola perusahaan yang
tercermin dari adanya transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian
dan keadilan (fairness). Transparan, berarti ada keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan serta dalam mengemukakan informasi
materiil yang berhubungan dengan perusahaan. Akuntabilitas, artinya ada
kejelasan fungsi pelaksanaan dan pertanggung-jawaban organisasi sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Tanggung jawab, berarti ada
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan dengan norma dan peraturan serta
prinsip-prinsip korporasi (perusahaan) yang sehat. Kemandirian, maksudnya,
perusahaan dikelola secara profesional sesuai dengan norma dan peraturan yang
berlaku serta prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Tidak boleh ada benturan
kepentingan serta pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Keadilan, dalam
arti perusahaan bersifat adil dalam memenuhi hak-hak pemegang saham dan
pemangku kepentingan berdasarkan perjanjian dan/atau peraturan yang berlaku.
Secara sederhana, GCG dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
keputusan efektif yang bersumber dari struktur organisasi, nilai-nilai budaya
perusahaan, sistem manajemen, kebijakan dan proses bisnis. GCG mendukung dan
mendorong pengembangan perusahaan, pengelolaan sumberdaya dan risiko secara
efektif dan efisien, serta pertanggung-jawaban perusahaan kepada pemegang saham
dan pemangku kepentingan lainnya.
GCG merupakan syarat higienis dari lingkungan kerja dan mengarahkan
manajemen perusahaan agar tidak salah urus (mismanagement). GCG
merupakan seperangkat kaidah yang mengatur dan mengendalikan perusahaan dalam
rangka mencapai tujuan secara baik dan benar. Dengan GCG maka nilai
kreasi (value creation) perusahaan akan meningkat lantaran di semua lini
korporat ada keterbukaan, tanggung jawab, kemandirian, akuntabilitas dan
keadilan. Dengan GCG, good corporate values and culture juga akan
terimplementasi secara baik.
Nilai-nilai budaya perusahaan menjadi semacam pondasi, sedangkan GCG sebagai strukturnya.
Struktur tidak akan berdiri tegak tanpa ditopang pondasi. Sebaliknya, tanpa struktur yang
berjalan secara baik, nilai-nilai budaya perusahaan juga
tidak mungkin diterapkan secara baik. GCG yang berjalan selaras dengan
nilai-nilai budaya perusahaan tentu akan menciptakan kondisi yang saling bahu-membahu dan saling
memiliki persepsi yang sama. Dengan persepsi yang sama, akan tercipta pola
pikir (mindset) yang sama, yang tentunya akan menjadi lebih mudah untuk
mewujudkan visi dan misi perusahaan. Penerapan GCG itu sendiri harus diketahui,
dipahami dan dibudayakan kepada segenap orang di dalam perusahaan, mitra
bisnis, pelanggan dan stakeholders lainnya. Dengan begitu, akan terjalin
hubungan yang benar-benar harmonis tanpa harus “dikotori” oleh kepentingan
pribadi dan sejenisnya.
Dengan nilai-nilai unggul budaya perusahaan, sistem manajemen dan
tata kelola perusahaan yang baik dan benar, hal itu akan mampu mewujudkan
“organisasi pembelajar” (learning organization) di mana dalam bekerja
dan mengelola perusahaan semua karyawan selalu dilandasi dengan nilai-nilai
budaya kreasi, inovasi, pembaruan serta manajemen perubahan yang lebih
baik dan tidak kenal berhenti. Dengan landasan seperti itu, proses bisnis pun berjalan secara baik sebagaimana tercermin pada produk atau jasa
yang berkualitas, memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Dengan
landasan itu pula, nilai pelanggan yang dicerminkan dengan
kepuasan pelanggan akan terus membaik. Dan, kinerja serta performa keuangan
menjadi bertambah baik, lebih sehat dan bagus. Keuntungan terus meningkat dan
karenanya pertumbuhan perusahaan juga bakal berjalan secara berkesinambungan.
Dalam kerangka itu, tentunya sebuah perusahaan membutuhkan seorang pemimpin
(leader). Pemimpin yang mau dan mampu membangun sebuah “rumah idaman”,
dengan visi dan misi, nilai-nilai luhur, budaya unggul, serta tindakan dan
keteladanan nyata. Pemimpin yang mampu menjadi pembangun sistem manajemen dan
mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan benar. Pemimpin yang tampil
sebagai “panutan” (role model) dan “pelatih” (coach), bukan bos (boss
style) bagi para karyawan. Pemimpin yang dipercaya dan mempercayai (trust).
Pemimpin yang menerapkan prinsip: “Di depan memberi contoh, di tengah memberi
inspirasi (to inspire), dan di belakang memberi motivasi (to motivate).”
Pemimpin yang mau dan mampu memberdayakan segenap sumberdaya perusahaan,
baik SDM sebagai human capital, economic capital maupun modalitas
lainnya. Pemimpin yang manajer, manajer yang pemimpin (manager-leader).
Seperti dikatakan pakar manajemen dan SDM, Robert F. Kelly, pemimpin yang mampu
menjadikan segenap karyawan sebagai para “pekerja berkerah emas” (the gold
collar worker) yang selalu berkreasi dan berinovasi. Pemimpin dan karyawan
adalah kunci penggerak sistem manajemen sebuah organisasi perusahaan dalam
meraih kemajuan.
Pemimpin yang mampu menjadikan karyawan sebagai manusia manajemen (people-management)
dan manusia organisasi (people-organization) yang mempunyai kemampuan
berkreasi sehingga menjadikan perusahaan tiada pernah berhenti untuk berinovasi
(inovated company). Pemimpin yang berani memberikan penghargaan (reward)
terhadap setiap karyawan yang bekerja dengan prestasi, dedikasi, kerja keras
dan kerjasama tim. Begitu pun sebaliknya, pemimpin yang tegas memberikan
hukuman (punishment) kepada setiap karyawan yang berperilaku negatif
yang bisa berdampak buruk terhadap kinerja dan performa perusahaan.
Seorang pemimpin yang
secara obyektif, mau dan mampu membangun organisasi yang lebih efektif,
berfokus kepada pelanggan, SDM yang kompeten dan sistem manajemen yang bagus
(efisien dan efektif) sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen yang baik dan benar
(GCG). Sebuah “organisasi pembelajar” di mana dan kapan saja setiap orang yang
berada di dalamnya sudah cukup mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang
menjadi pekerjaan, wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan peran dan
fungsinya serta posisi dan jabatannya masing-masing. On the right man, on the right place.
Dengan cara seperti itulah nilai
perusahaan (corporate values) menjadi tinggi dan terus hidup sepanjang
masa sebagai living company. Para living companies, begitu sebutan bagi para
multinasional terbaik di dunia saat ini, ternyata memiliki satu kesamaan, bahwa
mereka sama-sama dinakhodai oleh para pemimpin yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pemimpin perusahaan/korporasi yang lain. Misalnya Konosuke
Matshusita dalam memimpin Matshusita, Jack Welch dalam GE, Lou Gerstner bagi
IBM, Bill Gates bagi Microsoft serta Lee Iacocca saat menyelamatkan dan kembali
membesarkan eksistensi Daimler-Chrysler. Mereka adalah para pemimpin “kelas
dunia” yang bernyali besar dan telah menyusuri berbagai perubahan, bahkan jauh
melampaui horizon.
Tata kelola perusahaan Taspen yang sehat memang begitu mudah untuk
diucapkan, tapi tidaklah gampang diterapkan. Banyak karyawan menyatakan belum
sesuai dengan tugas yang diberikan atau atasan menilai stafnya belum bisa
bekerja secara baik. Bahkan, prestasi seseorang dibandingkan dengan
lainnya tanpa terlebih dulu menilainya lebih dalam. Untuk mengatasi hal itu, PT Taspen pun membuat upaya
menilai dan mengevaluasi kompetensi dan kemampuan seseorang. Makanya, tata
kelola perusahaan harus memiliki kebijakan, strategi, SOP (Standard
Operation Procedure), instruksi kerja dan panduan perilaku agar mereka bisa
berinteraksi dan berperilaku kepada sesama karyawan atau pelanggan dengan baik.
Termasuk, membuat KPI (Key Performance
Indicator) untuk semua level karyawan. Dengan begitu, semua karyawan akan
merasa aman dan nyaman dalam bekerja, apabila semua terencana dengan baik dan
transparan, termasuk menyangkut struktur gaji, insentif dan promosi internal. Semua
karyawan juga harus patuh dan tunduk di bawah payung hukum dan aturan tentang
tata krama dalam melakukan pekerjaan secara profesional.
Dengan menjalankan tata kelola perusahaan Taspen yang sehat, tentu akan
memacu semangat kompetisi di antara para karyawan. Siapa yang memberikan value
lebih besar dalam pekerjaannya maka ia akan menerima reward yang lebih tinggi. Sementara bagi
pegawai yang tidak bagus karena value pekerjaannya buruk maka ia akan
menerima reward yang lebih rendah, bahkan dapat
dijatuhi punsihment. Jika perusahaan sudah menjalankan tata
kelola perusahaan yang sehat dan berbasis kinerja, tentu saja akan membuat
karyawan merasa yakin bahwa bekerja adalah untuk
kepentingan perusahaan, diri sendiri dan bermanfaat bagi orang lain.
Dengan visi dan misi yang jelas serta terarah, nilai-nilai budaya
perusahaan unggul, serta sistem-organisasi manajemen yang baik dan benar, tata
kelola perusahaan yang sehat beserta aturannya, Taspen diharapkan akan memiliki
landasan pengelolaan inovasi tiada henti, serta proses bisnis yang terbaik dan
nilai pelanggan yang tinggi (memuaskan). Dan, agar Taspen dapat merasakan serta
sesuai aspirasi karyawan sekaligus menata keberlangsungannya, maka perlu
dilakukan employee opinion survey guna mengukur kepuasan kerja karyawan
maupun manajemen dalam melakukan tugas sehari-hari. Sehingga, apabila terjadi
ketidak-puasan, diharapkan manajemen bisa segera mendapatkan solusi untuk
memperbaikinya. Berbagai studi membuktikan, perusahaan yang mampu mengelola
pegawainya dengan baik, kinerjanya bisa meningkat sekitar 30-40 persen
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mampu mengelola karyawannya secara baik.
Panduan harmonis kepemimpinan yang lugas dan visioner, manajemen yang
sistemik, nilai-nilai budaya yang unggul dan SDM yang mumpuni, akan
mengantarkan perusahaan menjadi korporat yang bernilai dan berdaya saing
tinggi. Semua SDM harus mau berendah hati untuk saling bergandeng tangan dalam
sebuah teamwork yang solid, serta bersama-sama menjadi pembelajar ulung.
Belajar dan bertindak, bertindak dan bekerja, adalah salah satu kunci sukses
perusahaan di jaman modern sekarang ini.
Banyak perusahaan
yang melakukan perubahan dan berhasil. Banyak pula perusahaan yang gagal dan malah
tersungkur dalam jurang kebangkrutan. Namun, yang pasti, perubahan
selalu memberikan sebuah harapan. Mengutip pendapat pakar manajemen Rhenald
Kasali (Kompas, 6 Mei 2010), “Memang perubahan itu belum tentu
menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa adanya perubahan tak akan pernah ada
pembaruan.” Untuk berubah atau diubah, seperti dikatakan pakar manajemen dan
kepemimpinan Stephen R. Covey (1997), pun butuh nyali yang besar, pembedolan
dan rasa sakit di semua bidang dan tingkatan. Sebab itu, dalam arus perubahan,
perusahaan membutuhkan seorang pemimpin penggerak perubahan dan tahu caranya
bagaimana menggerakkan perubahan menuju titik yang lebih baik itu. Tegas pakar
kepemimpinan terkemuka John C. Maxwell, ”Di dunia di mana segalanya cepat
berubah dan menghilang ini, sang pemimpin harus tampil untuk mendorong
perubahan, pertumbuhan dan menunjukkan caranya.” ***
BERDASARKAN pertemuan dengan para jajaran manajemen PT Taspen dan
analisa pakar seperti Harianto Mangkusasono, mantan
eksekutif IBM, diperkuat serangkaian program reposisi dan
evaluasi melalui analisa SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity, and Threat),
mereka bersepakat untuk segera mendorong PT Taspen sebagai entitas bisnis agar melakukan perubahan karena
adanya peluang yang harus diraih dan ancaman yang harus ditanggulangi dengan
memperhitungkan kekuatan dan kelemahan yang ada. Dari analisa SWOT, PT Taspen bisa
memahami secara benar atas kekuatan yang dimiliki, ruang untuk melakukan
perbaikan-perbaikan (room for improvement), memperhitungkan kemungkinan
ancaman yang timbul serta tajam melihat peluang bisnis ke depan baik dalam
bentuk pasar maupun produk baru. Berdasarkan hasil analisa SWOT inilah yang pada akhirnya semakin
mendorong PT Taspen untuk melaksanakan
Program Transformasi yang disebut dengan Program Transformasi Taspen (PTT).
Program Transformasi Taspen (PTT) merupakan suatu program perubahan mendasar
(fundamental) dan berjangka panjang (strategic) secara menyeluruh (holistic)
dan dilakukan perusahaan karena tuntutan bisnis yang mampu meningkatkan kerja
dan mewujudkan cita-citanya. Perubahan mendasar artinya perubahan yang berbasis
pada paradigma baru dan melaksanakan paradigma tersebut. Manajemen perubahan
fundamental tidak didasarkan pada pola perubahan sesaat dan reaktif melainkan
didasarkan pada pola antisipasi atas perubahan secara strategis.
Perubahan menyeluruh (holistic), artinya perubahan pada semua dimensi yang
dimulai dari perubahan cara berpikir manajemen dan cara mengelola perusahaan
yang disebut juga transformasi manajemen, diikuti transformasi strategi,
kemudian transformasi struktural yang mengubah dan memperbarui; proses bisnis,
sistem manajemen, struktur organisasi, kebijakan-kebijakan perusahaan dan
terakhir adalah transformasi budaya berbasis tata nilai yang telah disepakati. Perubahan
strategik, artinya perubahan yang dilakukan untuk
tujuan jangka panjang, demi masa depan perusahaan untuk mewujudkan visi dan
misi perusahaan.
Program
PTT ini memang sudah merupakan keniscayaan. Memasuki era milenium baru,
persaingan di hampir semua bidang terasa bertambah sengit. Kompetisi bebas
semakin terbuka. Semua tidak bisa melangkah mundur, apalagi melawan, jika tidak
ingin digilas oleh roda-roda globalisasi yang sudah menjadi kepastian. Sebuah perusahaan harus terus maju
agar bisa terus hidup dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan
(kompetensi) dan pola pikir mondial tanpa meninggalkan kearifan lokal. Kata
Profesor Akio Morita, kita harus berpikir global, bertindak lokal. Think
globally, act locally.
Transformasi itu sendiri biasanya dilakukan oleh
perusahaan yang sehat. Ia selalu melakukan transformasi secara terus-menerus
tanpa harus menunggu adanya sinyal-sinyal negatif yang datang. Dengan begitu,
keuntungan (pertumbuhan) perusahaan terus terjaga sehingga bisa terus hidup
secara berkelanjutan. Inilah sesungguhnya bentuk transformasi yang ideal. Transformasi
biasanya juga dilakukan oleh sebuah perusahaan yang sehat, namun mulai
menangkap sinyal-sinyal yang kurang menggembirakan. Perusahaan pun dapat
melakukan perubahan strategis tatkala harus berputar haluan untuk memperbaiki
kinerja dan performanya yang tengah menurun dan kurang bagus sehingga terjadi turnaround
dan rebound. Dalam hal ini, manajemen krisis bisa pula diterapkan
tatkala perusahaan sedang dalam kondisi pendarahan (masalah cash flow)
dan kehabisan energi (tumpulnya motivasi dan kreasi).
Pakar manajemen bisnis Rhenald Kasali
menjelaskan, ada dua jenis perubahan yang biasa dilakukan oleh sebuah
perusahaan. Pertama, perubahan operasional. Perubahan-perubahan kecil
yang pada umumnya tidak menimbulkan dampak yang luas dan luar biasa. Perubahan
yang dilakukan biasanya cukup menyangkut satu atau dua lini (sektor) saja.
Artinya, perubahan yang dilakukan bukanlah perubahan secara menyeluruh (total).
Kedua, perubahan strategis. Perubahan yang berdampak luas dan memerlukan
koordinasi serta dukungan dari berbagai unit terkait.
Perubahan strategis itu sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kategori (Platt, 2001): Transformasi Manajemen, Manajemen Krisis
dan Manajemen Turnaround. Transformasi manajemen biasanya dilakukan oleh
perusahaan yang sehat namun mulai menangkap adanya sinyal-sinyal negatif. Pada
saat itulah biasanya perusahaan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
misalnya apa kesalahan yang telah kita lakukan (what are we doing wrong) sekaligus
apa yang dapat membuat kita menjadi lebih baik (what could we do better). Tujuan
dari transformasi manajemen, antara lain, untuk mencegah kemunduran atau agar
keuntungan (pertumbuhan) perusahaan tidak menurun.
Kemudian, manajemen krisis, yang biasanya dilakukan
perusahaan tatkala sedang dalam kondisi krisis. Ketika perusahaan mulai
”kehabisan darah” (cashflow) dan energi (kreasi dan motivasi). Pada
titik itu perusahaan tampak kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
pembayaran jangka pendek yang sedang dan akan jatuh tempo. Mulai dari tagihan
dari para pemasok, kredit jangka pendek perbankan, hingga gaji para karyawan.
Untuk itu, langkah yang harus diambil adalah menghentikan ”pendarahan” (stop
the bleeding) melalui suntikan dana segar.
Lalu, manajemen turnaround. Manajemen turnaround
adalah perubahan yang dilakukan pada saat perusahaan sedang menghadapi berbagai
persoalan pelik dan melibatkan pihak-pihak yang luas. Meski begitu, pada
tahapan ini, perusahaan masih memiliki sumberdaya (aset) dan waktu yang
sesungguhnya memungkinkan dirinya melakukan manuver-manuver perbaikan (turnaround
dan rebound). Misalnya, dengan memperbaiki kinerja organisasi dan
sistem manajemen agar produk unggulan, reputasi dan aset-aset idle atau
kurang produktif yang masih dimiliki dapat ditingkatkan kualitas dan produktivitasnya.
Ketika harus melakukan perubahan strategis, terutama dalam kategori
manajemen turnaround, jelaslah bahwa perusahaan harus melakukan
perubahan (transformasi, restrukturisasi, re-engineering atau
re-organizing) secara menyeluruh (total). Beberapa perubahan mendasar yang
dapat dilakukan perusahaan, antara lain, pertama, menyempurnakan macro
business process. Kedua, menyempurnakan struktur organisasi. Ketiga,
melakukan workloads/jobs analysis, yaitu menghitung
ulang pekerjaan masing-masing karyawan dan competency model. Karyawan
dinilai per-tahun untuk reward atau punishment. Keempat,
menyempurnakan perfomance management system yang disertai key performance indicators (KPI) sesuai tujuan
perusahaan, melakukan assessment dan placement pada seluruh
karyawan. Kelima, penyempurnaan sistem pengelolaan SDM seperti people
planning, reward, rekrutmen, pelatihan dan jenjang karir. Termasuk,
membangun nilai-nilai budaya perusahaan yang unggul yang melandasi sikap dan
tindak perilaku karyawan.
Banyak perusahaan yang melakukan perubahan, termasuk saat
melaksanakan manajemen turnaround, dan berhasil. Banyak pula yang gagal
dan justru tersungkur gulung tikar (bangkrut). Perusahaan yang
berhasil melakukan perubahan adalah karena mereka benar-benar merencanakan dan
mempersiapkan perubahan secara baik dan matang. Semua lini dilibatkan dalam
proses perubahan. Begitu pula sebaliknya, perusahaan yang gagal dalam
melaksanakan perubahan adalah karena mereka tidak merencanakan dan
mempersiapkannya secara matang. Akibatnya, perubahan yang
bergulir menjadi tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Di antaranya, lantaran tidak semua (termasuk karyawan) dilibatkan
dalam perubahan. Sehingga, perubahan yang dilakukan mendapat perlawanan atau
resistensi dari para karyawan.
Jadi, sebuah perubahan memang harus direncanakan dan
dipersiapkan secara baik dan matang. Harus dilakukan secara
terstruktur dan sistematik. Dengan cara seperti itulah, besar kemungkinan akan berbuah keberhasilan. Dari keadaan biasa-biasa saja menjadi perusahaan
berkelas dunia, bahkan pertumbuhan perusahaan bisa terus meningkat sehingga
mampu hidup secara berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh pakar perilaku perusahaan Stephen Robbins (2000), bahwa perubahan yang
dilakukan perusahaan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang terencana,
disengaja dan berorientasi pada tujuan yang jelas. Tujuan dari sebuah perubahan
itu sendiri adalah, pertama, untuk meningkatkan kemampuan perusahaan
dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Kedua,
untuk mengubah mindset dan tingkah
laku para karyawan dalam menopang proses perubahan ke arah yang lebih baik
tersebut.
Dalam kerangka itu, yang harus diubah terlebih dulu
adalah pemimpinnya. Secara khusus adalah pemimpin puncak atau CEO-nya. Harus
dimengerti dan dipahami, pada saat perusahaan hendak tersungkur lantas berupaya
turnaround dan rebound, pergantian pimpinan memang menjadi kunci.
Di sini, John C. Maxwell dengan tegas mengatakan, ”Gantilah pemimpinnya, maka
organisasi akan berubah.”
Agar Program
Transformasi Taspen (PTT) dapat lebih dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
segenap insan PT Taspen, maka dibuatlah empat model transformasi.
Pertama, Strategic Transformation Process Management. Satu proses
manajemen transformasi yang menggambarkan urutan-urutan langkah dan kegiatan
logis yang harus diikuti agar sampai kepada cita-cita tujuan perusahaan. Kedua,
Business Success Model. Adalah satu model yang mampu menetapkan Key
Performance Indicators, ukuran atau indikator sukses kunci (kinerja)
perusahaan yang bersifat kuantitatif sebagai hasil “terjemahan” dari Visi,
Misi, Strategi dan Tata Nilai perusahaan yang deskriptif dan kualitatif. Ketiga, Key Factors
That Make The Differences
atau faktor pembeda yang harus diperhatikan oleh pimpinan agar PTT sukses dan
efektif dilaksanakan dengan dapat menjawab lima macam pertanyaan. Why, perusahaan
perlu punya alasan kuat mengapa melakukan perubahan. Who, manusianya harus
terlebih dulu berubah karena manusia sebagai pelaku perubahan lebih penting
daripada programnya. What, program perubahan apa saja yang harus dibuat.
How, bagaimana proses perubahan harus dilakukan. Dan
When, kapan proses perubahan harus dilakukan. Keempat, Transformation
Road Map-Strategic Path.
Yaitu, jalur dan langkah
strategis berbentuk agenda kegiatan yang berisi program atau action yang
harus dilakukan oleh siapa dan kapan serta dilaksanakan satu per satu sampai
terwujudnya cita-cita atau visi perusahaan.
Program Transformasi Taspen ini
dilakukan dalam empat tahapan yang dapat dilakukan secara paralel. Pertama,
Transformasi Manajemen. Transformasi ini merupakan perubahan cara berpikir
manajemen (pimpinan) sesuai dengan paradigma
perusahaan sebagai dasar dalam setiap pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah perusahaan. Selanjutnya,
paradigma baru tersebut disosialisasikan dan diinternalisasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari bagi manajemen dan insan Taspen agar dapat menjadi unsur budaya
kerja yang baru. Kedua, Transformasi Strategi. Transformasi ini berisi
tahapan menterjemahkan The Winning Formula yang meliputi Visi-Misi
Tata-Nilai dan strategi PT Taspen
menjadi sesuatu yang bisa diukur dengan Key Performance Indicators (KPI)
dengan menggunakan Balance Scorecards (BSC) atau Business Success Model agar mudah dilaksanakan. Dan
selanjutnya bisa menetapkan sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2010. Ketiga,
Transformasi Struktural. Transformasi ini merupakan
tahapan pengembangan dan pembangunan infrastruktur perusahaan yang meliputi
sistem, proses, dan struktur dengan bantuan teknologi melalui strategic
initiative. Infrastruktur tersebut termasuk sistem pengembangan karir SDM,
sistem pendidikan dan pelatihan SDM, sistem kompensasi, pengakuan dan
penghargaan SDM, sistem komunikasi, sistem informasi, dan struktur organisasi
serta hubungan atasan-bawahan. Transformasi ini bertujuan mempercepat
terwujudnya cita-cita perusahaan sesuai dengan The Winning Formula yang
telah diterjemahkan dalam The Business Success Model. Keempat, Transformasi
Kultural. Transformasi kultural adalah tahapan terbentuknya budaya kerja baru
yang mempunyai akselerasi tinggi sesuai dengan tuntutan eksternal daerah baru
ekonomi pengetahuan, sehingga akan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan dan
praktik-praktik manajemen terbaik kelas
dunia. Pada akhirnya Taspen diharapkan dapat menjadi rujukan perusahaan lain.
Ada tiga tujuan yang sebenarnya ingin dihasilkan oleh PT
Taspen dalam menjalankan PTT ini. Pertama, untuk menghasilkan perusahaan
yang sustainable growth dengan pertumbuhan yang berkesinambungan guna
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan sehingga Visi-Misi perusahaan
secara terus-menerus dapat direalisasikan. Kedua,
agar perusahaan senantiasa menciptakan nilai dalam setiap kegiatan
operasionalnya, sehingga setiap tahun terjadi pembentukan nilai tambah yang
dirasakan oleh stakeholders. Ketiga, PT Taspen mampu
tampil sebagai
perusahaan berkelas dunia (World Class Company) pada tahun 2010. Sebuah
perusahaan berplat merah yang dikelola dengan cara-cara terbaik sesuai dengan best practices dan tumbuh secara terus-menerus sehingga
menjadi perusahaan terbaik di kelasnya atau sejajar dengan industri sejenis
berkelas dunia dalam kualitas produk dan pelayanan.
Selain itu, tujuan
utama PTT adalah agar perusahaan itu tampil sebagai “perusahaan idaman”. Sebuah perusahaan yang nyaman yang dapat menjadi kebanggaan
dan kehormatan bagi semua karyawan maupun pihak-pihak yang berhubungan
dengannya. Sebuah perusahaan yang memiliki pondasi yang kokoh, nilai-nilai yang
luhur (good core values), budaya yang unggul (good corporate culture);
sistem dan tata kelola manajemen yang baik dan benar (good corporate
governance); serta selalu dilandasi oleh kreasi (creation), inovasi
(innovation), pembaruan (renewal) dan manajemen perubahan (change
management) yang lebih baik dan tiada henti. Dengan begitu perusahaan tetap
kuat dan lebih sehat. A world class company.
Langkah dan tahapan
PTT sebenarnya dapat dipahami secara sederhana dengan tiga tahapan. Tahapan
sadar (awakening), tahapan proaktif dan tahapan terobosan (breaktrough).
Tahapan sadar adalah sebuah proses awal
yang dimulai dengan adanya pemahaman tentang Transformasi Taspen melalui Awareness
Session, adanya tuntutan perubahan dari jajaran manajemen, terbentuknya Tim
Transformasi Taspen (Task Force), perumusan paradigma baru dan perumusan
the winning formula. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam PTT
setelah berhasil melalui tahapan sadar, adalah tahapan Proaktif. Tahapan ini
ditandai dengan kebijakan perusahaan dan pelayanan yang berorientasi kepada
peserta iur, perumusan business success
model yang di dalamnya terkandung Key Performance Indicators (KPI),
penetapan posisi awal skor Baldrige dan pembangunan struktur, proses dan sistem
perusahaan yang kondusif. Tahapan ketiga adalah tahap terobosan (Breaktrough).
Tahapan ini ditandai dengan adanya budaya inovasi dalam perusahaan,
meningkatnya produktivitas perusahaan secara signifikan dan operasional
perusahaan yang mencerminkan kecepatan kesederhanaan dan tanggap terhadap
keinginan peserta. Tahapan terakhir adalah tujuan PTT itu sendiri, yaitu tahap
kelas dunia (world class company). Tahapan ini ditandai dengan
perusahaan menjadi yang terbaik di kelasnya dengan sistem kerja terbaik,
menjadi perusahaan idaman (the most admired company), perusahaan terus
tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable growth) dan
pencapaian skor Baldrige di angka 800.
Namun, sebelum perjalanan panjang menjadi world class
company dimulai, agar segenap insan dan pimpinan PT Taspen dapat bertindak
sesuai dengan standar yang berlaku dan sebelum digulirkan langkah-langkah
strategis transformasi, diperlukan suatu cara berpikir, berperilaku dan bekerja. Dari sini lahirlah apa yang
kemudian disebut dengan The Taspen Way.
The Taspen Way adalah cara berpikir,
bekerja dan berperilaku semua
insan PT Taspen yang berlandaskan Tata Nilai (Values) Taspen. Jadi, The Taspen Way merupakan budaya kerja insan Taspen yang
berlandaskan values atau Tata
Nilai Taspen. The Taspen Way adalah jati diri, yaitu PT Taspen
sebagai perusahaan yang mengelola program Pensiun, program THT dan program
Kesejahteraan lainnya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 1969
dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 dan 26 tahun 1981. The Taspen Way
sebagai budaya kerja perusahaan dapat dirumuskan sebagai kristalisasi
tata-nilai (values), kebajikan (virtues) dan harga diri (dignity)
yang dimiliki oleh segenap
insan Taspen dalam kapasitasnya melayani peserta program Pensiun, THT dan
kesejahteraan lainnya.
Gambar 1.1
--------- The Taspen Way, Buku PTT Halaman 12 -----------------
Rumusan Budaya PT Taspen dalam
format The Taspen Way diformulasikan sebagai Taspen 1-5-5, yaitu: 1 yang
berarti slogan dasar yang berisi layanan dan kinerja yang harus selalu
ditingkatkan (better service through better performance); 5 tata nilai yang
berisi tumbuh, etika, profesional, akuntabel, dan integritas; dan 5 perilaku
berupa lima sifat yakni dinamis, proaktif, peduli, kecepatan dan ketepatan.
The Taspen Way juga merupakan
suatu prinsip, paradigma, tata-nilai dan filosofi yang dipergunakan sebagai
dasar dalam membangun budaya kerja perusahaan. Prinsip ini mensinergikan cara
berpikir,
berkata dan bertindak secara jujur, baik dan benar sesuai dengan tata nilai
yang dianut, guna merealisasikan Visi dan Misi
perusahaan, yaitu mengantarkan PT Taspen menjadi perusahaan berkelas dunia dan
bekerja secara best practices dengan citra bisnis unggul berlandaskan
layanan prima.
Dengan demikian, The Taspen
Way ini sangat penting ditanamkan terlebih dulu kepada segenap insan PT Taspen
sebagai langkah awal transformasi. Karena
dengan tertanamnya Tata Nilai dan menyatu dalam berperilaku keseharian insan
Taspen pada akhirnya The Taspen Way
akan menjadi budaya perusahaan. Oleh sebab
itu, di awal tahun 2004, The Taspen Way ini tidak sekadar disosialisasikan
melainkan juga
diinternalisasikan untuk dijadikan cermin perilaku (cara berpikir, berkata dan
bertindak) segenap
insan PT Taspen.
Setelah The Taspen
Way berhasil dirumuskan, disosialisasikan dan ditanamkan di relung hati terdalam segenap insan Taspen, jajaran direksi PT Taspen
melakukan langkah selanjutnya dalam kerangka PTT, mentransformasikan visi dan misi
perusahaan PT Taspen. Visi adalah sebuah
potret masa depan organisasi yang realistik, kredibel dan atraktif. Visi
merupakan rumusan salah satu atau gabungan tiga hal: apa yang harus dicapai,
apa yang harus dipunyai, dan harus menjadi apa perusahaan pada masa datang.
Dan, visi tanpa tindakan adalah mimpi di siang hari bolong. Tindakan tanpa visi
adalah mimpi buruk. Sebab itu, dalam kerangka mewujudkan visi,
segenap SDM harus mengetahui, mengerti, memahami dan melaksanakannya.
Visi perusahaan
biasanya lahir dari sang pemimpin yang kemudian dikristalisasi
bersama segenap ”orang-orang kunci” menjadi visi perusahaan. Agar benar-benar
menjadi visi bersama, beberapa perusahaan bahkan harus melakukannya dengan cara
yang keras. Misalkan, GE di bawah kepemimpinan Jack Welch.
Sebelum menggulirkan masa depan perusahaan, Jack Welch terlebih dulu (pada awal
kepemimpinannya di GE) mengelompokkan karyawan menjadi empat kategori berdasarkan kemampuan
(kompetensi) dan sikap mereka terhadap visi perusahaan. Pertama, tidak kompeten dan tidak sevisi, mereka dipersilakan keluar
dari perusahaan. Kedua, tidak kompeten tapi sevisi, mereka diberi
pelatihan/pembelajaran. Ketiga, kompeten namun tidak sevisi, mereka dipersilakan keluar. Keempat, kompeten dan sevisi, mereka dipersiapkan menjadi pemimpim masa depan (future
leaders).
Pengelompokan
Karyawan Berdasarkan Kemampuan dan
Sikap
Terhadap Visi dalam Rangka Pemberdayaan
Model
General Electric (Jack Welch)
Kompetensi
|
Visi
|
Rencana pemberdayaan
|
Tidak
kompeten
|
Tidak
sevisi
|
Dipersilakan
keluar
|
Tidak
kompeten
|
Sevisi
|
Diberi
pelatihan/pembelajaran
|
Kompeten
|
Tidak
sevisi
|
Dipersilakan
keluar
|
Kompeten
|
Sevisi
|
Disiapkan
manjadi future leaders
|
Sumber: Arwin Rasyid, “180 Derajat: Inside Story Transformasi Bank
Danamon” (2006).
Model di atas rasanya terlalu keras apabila diterapkan di sini. Namun, poin
terpenting (reference point) dari model itu adalah betapa
pentingnya upaya menyamakan visi bersama. Visi adalah alat paling penting dan
utama guna melakukan penyatuan arah (alignment) terhadap semua SDM yang
dimiliki perusahaan. Seandainya SDM belum bisa disatu-arahkan guna mewujudkan
visi, tentu harus segera disesuaikan. Sebab itu, jangan buang-buang waktu apakah “kamu
bersamaku atau kamu tidak bersamaku” (are you with me or are you not with me)?
Dan, pemimpin harus meluangkan waktu sejenak untuk berbicara dengan staf dan
karyawan dalam rangka sharing vision. Jika semua SDM sudah memahami dan menghayati visi
perusahaan, maka mereka akan mudah digerakkan guna mencapai tujuan perusahaan. Bahkan, semakin tajam visinya maka membuat setiap orang
tertantang untuk bergerak maju (vision-driven instead of plan-driven).
Secara sederhana,
visi bisa diartikan sebagai sebuah impian atau cita-cita yang hendak
direalisasikan melalui serangkaian daya upaya dan langkah nyata. Pemimpin yang
tidak memiliki visi itu seperti seorang manusia yang tidak memiliki cita-cita.
Statis dan tidak mampu menghadapi tantangan dan
melihat suatu harapan. Karena tidak memiliki harapan, maka pelan tapi pasti
perusahaan yang dipimpin juga akan mati ditelan jaman.
Pakar
kepemimpinan bisnis Sylvia B. Odenwald merumuskan secara cukup menarik tentang
cakupan-cakupan tematis sebuah visi perusahaan yang unggul di masa depan. Menurutnya,
rumusan visi yang baik adalah berupa VISION (Visonary leadership; Innovative
strategic; Synthesis of culture; Integration of
team; Ongoing flexibility; dan Never-ending transformation). Rumusan itu menegaskan bahwa
bila tidak ada visi, maka manusia itu pun akan lenyap (where there is no
vision, the people perish). Namun, bila kompas visi seorang pemimpin bisnis
begitu jelas dan jauh jangkauannya, maka bisnis yang dipimpinnya benar-benar
akan berfungsi sebagai the economic stewardship, bahkan juga bisa
menjadi social stewardship. Jadi, pemimpin memang harus memiliki wawasan
yang jauh ke depan untuk mengantarkan perusahaan yang dipimpinnya kepada
tahap-tahap kemajuan sesuai dengan perubahan dan dinamika lingkungannya
(Andi Kirana, 1997).
Visi yang baik
itu sendiri harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya, adalah ringkas.
Visi harus ringkas sehingga bisa dikomunikasikan secara mudah melalui
beragam media komunikasi seperti poster, pamflet dan brosur. Visi juga harus
jelas. Kejelasan visi sangat mempengaruhi seberapa baik visi itu bisa
dimengerti dan diterima. Visi yang jelas akan membuat setiap orang dalam
perusahaan menjadi lebih mudah mengetahui ke mana arah dan masa depan
perusahaan. Visi pun harus bersifat abstrak. Bukan berarti bertentangan dengan
kejelasan. Maksudnya, visi harus
mewakili sebuah idealisme. Dan, idealisme itu bersifat abstrak. Kemudian, visi
harus memperlihatkan tantangan, yang mampu memotivasi orang banyak untuk
bekerja meraih suatu hasil yang didambakan dengan mengerahkan segenap kemampuan
terbaik yang dimiliki. Lalu, visi mesti berorientasi ke masa depan. Visi harus
memfokuskan pada perspektif jangka panjang dan menuntun organisasi untuk
memasuki masa depan.
Visi juga harus
stabil. Tidak sering berubah, atau tidak berubah secara drastis. Meskipun
begitu, terkadang dibutuhkan visi yang secara keseluruhan baru bila suatu
organisasi harus melakukan transformasi yang signifikan. Dan, visi harus
disukai. Disukai semua orang (dalam organisasi perusahaan) sebagai idealisme
yang harus dicapai. Apabila tidak disukai, tentunya mereka tidak akan pernah
memiliki komitmen untuk meraih visi itu. Walhasil, sehebat apapun pemimpin
tentunya tidak akan pernah mampu memimpin bila tidak memiliki visi.
Sudah banyak kita
melihat, membaca dan mendengar cerita tentang orang-orang yang sukses.
Kisah-kisah kesuksesan bisnis. Intinya, mereka selalu berangkat dari sebuah
mimpi (visi), cita-cita dan titik sasaran yang hendak dituju. Lantas mereka menelusuri
jalan yang kerapkali terjal-berliku, dengan bekerja keras dan berpikir cerdas untuk merealisasikannya. Penuh keyakinan dan
pantang menyerah. Energi dan kekuatan mereka melipatganda dan memusat pada
upaya dan langkah guna mewujudkan sebuah mimpi. Thomas Alva Edison
hanyalah satu contoh orang yang bermimpi, bercita-cita dan melahirkan lampu
listrik yang kini banyak digunakan sebagai penerangan rumah oleh masyarakat di
seluruh dunia. Sebelum meninggal dunia, Edison meninggalkan warisan besar
berupa perusahaan raksasa GE yang bergerak dalam beragam kegiatan bisnis. Kata
Edison, “Seandainya dulu saya tak punya mimpi ... maka saya hanyalah ... Sukses itu berawal dari imajinasi, mimpi. Mimpi itu
dapat menjadi kenyataan jika kita memiliki kemauan dan keberanian untuk
mengejarnya.”
Contoh yang lain adalah Soichiro Honda,
pendiri dan pemilik multinasional otomotif Honda. Kita juga bisa menyimak
kisah sang fenomena Bill Gates, pendiri Microsoft Corp, perusahaan pembuat software
komputer personal terkemuka di dunia. Mimpi yang menggerakkan hasrat, tekad,
energi dan langkah untuk meraihnya. Mimpi pula yang telah menggerakkan Shakespeare
yang lumpuh itu menjadi pengarang sandiwara terbaik dunia. Mimpi yang
menggerakkan Beethoven yang tuli menjadi seorang penggubah beberapa aransemen
musik klasik terindah dunia. Juga soal keteguhan visi seorang Walter Elias Disney,
melalui Walt Disney Productions, menjadi penguasa kerajaan bisnis dongeng.
Kekuatan
mimpi, kekuatan visi. The power of dream, the power of vision. Mimpi
yang menjadi kenyataan. The dream come true. Ada semerbak bunga dalam
mimpi. Ada buah sesudah bunga. Bermimpi menjadi bintang.
Bercita-cita setinggi bintang di langit. Hidup tanpa mimpi, tanpa cita-cita,
rasanya membuat kita seperti tak punya arah ke mana hendak melangkah. Namun,
supaya kita tak hanya menjadi pemimpi, laksana pungguk yang merindukan bulan,
tentunya mimpi-mimpi (cita-cita) yang kita kibarkan harus terukur. Sesuai dengan
kemampuan maksimal kita. Kemudian kita bergerak dan bertindak merajut bentangan
anak tangga guna meraih apa yang kita impikan. Titik demi titik dirangkai hingga menjadi sebuah garis panjang. Begitulah cara
kita “membeli” mimpi, cita-cita. Mimpi yang mengukuhkan kompetensi, prestasi
dan reputasi. Mimpi yang mengkristal dalam visi, misi, strategi dan tahapan
program implementatif.
Dalam tataran organisasi
atau perusahaan, “mimpi-mimpi yang terbeli” atau cita-cita yang terukur,
biasanya memang dikibarkan sebagai visi. Pemimpin dengan visi bukan sekadar
menjadikan cita-cita yang luhur (visi) sebagai jargon belaka. Bukan pula
sebagai isapan jempol semata. Tapi, visi itulah yang dijadikan sebagai pedoman,
acuan dan landasan dalam mengelola perusahaan, baik dalam bekerja, mengatasi
berbagai masalah dan tantangan maupun dalam menggapai target, sasaran dan tujuan
yang diharapkan. Visi itu juga yang dijadikan pedoman dan tuntunan
bagi sistem manajemen-organisasi sehingga perusahaan benar-benar dikelola secara baik dan benar
serta dijalankan secara lebih efisien dan efektif. Pada pemimpin yang bervisi (vision-driven),
visi merupakan cara untuk menyatukan dan memberi inspirasi kepada orang-orang
yang dipimpinnya. Visi menunjukkan kepada mereka akan menjadi apa perusahaan
nantinya jika mereka bersatu dan menggambarkan keunggulan yang harus mereka
upayakan untuk dicapai pada suatu titik di masa mendatang. Para pemimpin yang
bervisi ingin orang-orangnya terilhami dan termotivasi oleh potensi kejayaan
yang dapat mereka capai bersama-sama di hari esok.
Hasil
pertemuan dewan direksi dan komisaris PT Taspen pada tanggal 24 dan 26 Maret
2004 yang kemudian disepakati melalui Komitmen Bersama antara komisaris, dewan
direksi, manajer utama, kepala/wakil kepala cabang utama dan kepala cabang pada
tanggal 12-15 April 2004 menetapkan visi baru PT Taspen dalam rangka PTT. Visi lama PT Taspen menyebutkan: “Menjadi
Perusahaan Asuransi dengan layanan dan produk yang prima”. Selanjutnya dipertajam dalam
bahasa yang lebih implementatif, yaitu: “Menjadikan PT Taspen sebagai Pengelola
Dana Pensiun dan THT yang Bersih, Sehat dan Benar, dengan Pelayanan yang Tepat
Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat dan Tepat Administrasi”.
Makna Tepat
Orang dalam 5T adalah manfaat dibayarkan kepada peserta yang berhak atau ahli
waris yang sah sesuai dengan identitas penerima yang dibuktikan dengan
KTP/SIM/Kartu Pegawai dan sesuai dengan identitas peserta yang meliputi Nomor
Induk Pegawai (NIP), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, status,
penghasilan, instansi dan domisili yang tercantum pada Kartu Peserta Taspen,
Kartu Identitas Pensiun, kartu pegawai dan dokumen kepegawaian lainnya.
Tepat
Waktu adalah manfaat dibayarkan kepada peserta atau ahli warisnya setelah
permohonan klaim diterima dan dinyatakan memenuhi syarat serta dibayarkan
kepada pemohon dalam waktu tidak lebih dari satu jam untuk surat permohonan
pembayaran (SPP) langsung dan tidak lebih dari dua jam untuk SPP tidak
langsung.
Tepat
Jumlah adalah nilai yang dibayarkan sesuai dengan jumlah yang tertera dalam
tanda penerimaan uang tanpa dikurangi biaya-biaya lain. Tepat Tempat adalah manfaat
dibayarkan pada peserta atau ahli waris pada kantor bayar sesuai dengan
keinginan pemohon klaim. Tepat Administrasi adalah setiap permohonan klaim
diterima, diperiksa, dibayarkan, dan diadministrasikan menurut prinsip-prinsip
kearsipan dan dokumentasi sehingga mudah dan cepat ditemukan, serta aman dari
bahaya kebakaran, kebanjiran dan kehilangan.
Supaya visi yang
digulirkan menjadi idealisme dan komitmen bersama, maka visi mesti dijabarkan
secara lebih rinci dalam bentuk misi (tujuan dan sasaran). Peter M. Senge (1990), mengungkapkan bahwa misi adalah the why,
yaitu alasan mengapa organisasi/perusahaan itu ada. Sedangkan Stephen R. Covey
(1997) menggariskan bahwa misi merefleksikan visi dan nilai-nilai bersama dari
organisasi/perusahaan. Sementara itu, Patricia Jones dan Larry Kahaner (1999)
mengungkapkan bahwa misi adalah manifesto, garis
besar, yang hendak dicapai dan bagaimana cara merealisasikan sebuah visi
perusahaan. Rumusan misi merupakan cara yang paling efektif untuk memastikan
bahwa karyawan bisa memahami visi dan menjadi alat paling kuat ketika harus
melakukan transformasi, reformasi dan perubahan fundamental bagi perusahaan.
Setelah visi
dibuat atau diubah (diganti), misi (tujuan dan sasaran) juga harus dibuat atau
diubah. Misi merupakan turunan implementatif dari sebuah
visi. Misi yang baik mesti mengandung alasan mengapa
sebuah perusahaan dibentuk atau didirikan. Bilamana dirumuskan secara benar
maka pernyataan misi memiliki pengaruh yang dapat membangkitkan inspirasi,
spirit dan motivasi bagi segenap SDM perusahaan, menerangkan apa yang mereka
perjuangkan dan memberi mereka suatu perasaan identitas (sense of identity)
bersama. Makanya, di dalam misi
harus terkandung nilai-nilai budaya perusahaan, tujuan dan sasaran yang hendak
direalisasikan yang dirumuskan secara jelas, yang dirumuskan berdasarkan
pengamatan empiris dan penelaahan yang mendalam.
Misi PT Taspen yang lama menyebutkan: “Meningkatkan
kesejahteraan Peserta (PNS dan Pegawai BUMN-BUMD); Meningkatkan Pelayanan
kepada Peserta; dan Menumbuh-kembangkan Kepercayaan Peserta bahwa
Perusahaan Berkemampuan dalam Memenuhi Kewajibannya”. Misi itu kemudian diperbarui dalam
bahasa yang lebih simpel dan fokus pada sasaran, yakni: “Mewujudkan Hari-Hari
yang Indah bagi Peserta Melalui Pengelolaan Dana Pensiun dan THT secara
Profesional”.
Kendati visi dan misi berubah, namun Subianto dan segenap insan PT Taspen
tetap mempertahankan logo PT Taspen yang dianggap memiliki jiwa dan nilai historis yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen yang berwarna biru muda dalam
lingkaran, juga menunjukkan sebuah kematangan, langkah yang dinamis dan
performa yang lebih profesional. Tema dan makna logo itu jelas semakin sinergis
dengan pencanangan visi dan misi baru PT Taspen tadi.
Namun, supaya tidak sekadar indah bagai fatamorgana, visi dan misi tersebut harus
diterjemahkan ke dalam core values sebagai wujud nyata budaya perusahaan
(corporate culture), dan ditindak-lanjuti dalam serangkaian program
kerja yang kongkret. Tentu saja, motto “Layanan dan Kinerja Selalu
Ditingkatkan” berdasarkan prinsip 5-T (Tepat Orang, Tepat Waktu, Tetap Jumlah,
Tepat Tempat dan Tepat Administrasi) yang dijadikan pedoman manajemen, sungguh
mencitrakan PT Taspen sebagai perusahaan modern yang didukung oleh manusia
(SDM) yang kompeten, profesional dan berintegritas tinggi, sebagaimana yang
digariskan pula dalam kaidah good corporate governance (GCG).
Budaya perusahaan yang kemudian dituangkan dalam motto “Layanan dan Kinerja
Selalu Ditingkatkan” (Better Service Through Better Performance)
berdasarkan prinsip 5-T tadi, oleh segenap insan PT Taspen dilakoninya dengan
sopan, sabar, ramah dan manusiawi dalam melayani Peserta. Dengan sistem dan
prosedur yang sudah jelas, pelayanan dapat dilakukan secara mudah dan sederhana
(tidak berbelit-belit). Mengedepankan profesionalisme sehingga mampu mengelola
aset perusahaan secara lebih baik. Tumbuhnya kemauan bersama dari seluruh
jajaran PT Taspen untuk meningkatkan pertumbuhan keuangan perusahaan. Itulah corporate
culture, sebagai landasan perusahaan yang sarat dengan nilai-nilai utama (core
values), dibahasakan secara lebih sederhana dan mudah dipahami, yakni
“Tumbuh, Etika, Profesional, Akuntabilitas dan Integritas”. Artinya, jika core
values itu dijiwai dengan baik, rasanya juga tidak terlalu sulit bagi segenap insan PT Taspen untuk menjalaninya dalam aktivitas kerja sehari-hari.
Setelah melakukan transformasi visi dan misi PT Taspen, langkah selanjutnya
yang dilakukan dalam rangka PTT adalah membenahi tata-kelola manajemen
perusahaan. Sebab organisasi
perusahaan yang efektif juga ditandai dengan adanya sistem manajemen dan tata
kelola perusahaan yang baik dan benar. Sistem manajemen dan tata kelola
perusahaan yang dilandasi dengan kaidah-kaidah GCG (Good Corporate Governance). Sistem manajemen itu sendiri pada
dasarnya menyangkut prinsip-prinsip manajemen, yakni perencanaan strategis,
pengorganisasian yang efektif, pengarahan yang jelas dan penilaian yang tegas.
Oleh karena itu, prinsip-prinsip manajemen harus
berjalan dengan baik dan benar. Sedangkan GCG merupakan tata kelola perusahaan yang tercermin dari
adanya transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability),
tanggung jawab (responsibility), kemandirian (independent) dan
keadilan (fairness).
Seiring dengan dibangun dan ditumbuh-kembangkannya
nilai-nilai budaya dan GCG, maka segenap sumberdaya PT Taspen (terutama SDM) harus pula diberdayakan secara optimal sehingga gerak organisasi berjalan
dinamis. Dalam kerangka itu, pola pikir SDM (corporate mindset) harus
diubah sejalan dengan nilai-nilai budaya perusahaan dan prinsip-prinsip GCG. SDM
yang kompeten, berkomitmen tinggi, yang bekerja sesuai peran dan fungsi serta
posisi dan kedudukannya. SDM yang memiliki prinsip dan etos kerja, antara lain,
yang memberikan pelayanan memuaskan (satisfaction), melaksanakan proses
bisnis yang terbaik (excellent), berintegritas, berjiwa kepemimpinan (leadership)
dan kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi. Segenap SDM PT Taspen yang kompeten dan
beretika yang berada dalam organisasi yang efektif.
Sistem komunikasi yang efektif: cepat,
cermat dan ringkas, harus diciptakan
dalam organisasi PT Taspen. The boundaryless collaboration. Kekakuan birokrasi semaksimal mungkin dihilangkan.
Tidak ada jurang pemisah antara pimpinan dan bawahan, bahkan dengan staf
paling bawah sekalipun. Semua pihak juga
harus senantiasa berprinsip “mengendalikan hati yang bersih”. Saling percaya
dan mempercayai (trust) mesti dikedepankan. Tidak boleh ada yang merasa lebih hebat, karena
kehebatan itu adalah milik bersama (superteam).
Dengan teamwork yang solid dan sistem komunikasi yang efektif, tentu ada
semangat yang besar untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan dengan baik
dan benar. Passion comes from the direct connection to purpose.
Tentu, semua itu harus disosialisasikan, diinternalisasikan dan
diakulturasikan oleh pimpinan dan direksi
PT Taspen kepada segenap
karyawan dan masyarakat peserta. Pemimpin harus selalu bersama para
karyawan. Pemimpin harus berada di depan, di tengah dan di belakang untuk
mendorong mereka. Apabila semua itu telah terbangun dalam pikiran, sikap tindak
dan unjuk kerja karyawan, tentu akan terjadi lompatan perubahan yang lebih baik
dalam pondasi, struktur dan kultur kerja perusahaan.
Ada beberapa cara
dalam melakukan sosialisasi, internalisasi dan akulturasi. Bisa menggunakan
cara yang agresif dan drastis, atau
istilahnya brainstorming (cuci otak). Di sini, karyawan dipaksa untuk
berubah sesuai visi dan misi serta nilai-nilai budaya dan strategi perusahaan.
Ini biasanya dilakukan oleh seorang bos yang otoriter. Ada pula melalui cara
indoktrinasi, yakni melalui pendidikan-pelatihan, memberikan panduan,
tulisan-tulisan dan contoh-contoh. Inilah model yang
diterapkan PT Taspen dalam mensosialisasikan perubahan. Karena, model indoktrinasi ini dianggap relatif tepat dan
efektif, sesuai esensi dan hakikatnya, yakni memberdayakan SDM perusahaan
sesuai dengan kompetensi masing-masing. Untuk itu, dalam setiap kesempatan,
harus selalu dijelaskan tentang nilai-nilai budaya perusahaan unggul yang
sedang dibangun oleh sang pemimpin.
Perubahan dengan
pendekatan indoktrinasi juga dianggap relatif “aman”. Karena, proses perubahan
yang tengah digulirkan dilakukan secara bertahap, mulai dari
pimpinan atas bertahap ke bawah secara berjenjang dan berkelanjutan. Untuk itu,
dalam setiap acara dan kesempatan, pimpinan perusahaan (CEO), pimpinan divisi,
pimpinan cabang dan lain-lainnya, harus senantiasa menjelaskan tentang
nilai-nilai unggul budaya perusahaan.
Mengajak insan PT Taspen untuk
melakukan perubahan itu sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Tidak bisa instan.
Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perubahan itu membutuhkan proses dan
waktu yang cukup panjang serta butuh kesabaran dan ketekunan. Karenanya,
pimpinan perusahaan dan pemimpin perubahan harus selalu merasa optimis dan konsisten
meskipun terkadang dalam hatinya bergumam “apa bisa ya”. Bahkan, terkadang,
dihinggapi oleh kelelahan dan kesepian dalam kesendirian lantaran belum banyak
orang yang memiliki pemikiran, perasaan dan tindakan yang sama.
Sebab itu, dalam langkah PTT
ini, semua karyawan PT Taspen harus mau berendah
hati untuk saling bergandeng tangan dalam sebuah teamwork yang solid dan
sama-sama menjadi para pembelajar yang andal dalam arus perubahan. Perusahaan
dan karyawan harus belajar dari pengalaman terdahulu agar tidak terperosok ke zona nyaman yang sama. Belajar dan belajar, bertindak dan bekerja, adalah
kunci sukses dalam proses perubahan. Manajemen juga selalu menerapkan corporate
awareness guna meningkatkan kesadaran karyawan bahwa dirinya mesti bekerja
dan berkontribusi lebih optimal kepada perusahaan sesuai dengan kemampuan
maksimalnya. Selain itu, karyawan selalu diingatkan tentang corporate care
dengan cara melakukan semacam upacara untuk mengingatkan visi-misi, tujuan dan
nilai-nilai budaya perusahaan yang dilakukan secara rutin.
***
Boks 2:
Pelayanan Prima adalah Salah Satu
Kuncinya
Selama masa transformasi, salah satu nilai utama (core values) yang
juga dijalankan dan diterapkan PT Taspen adalah pelayanan yang prima. Sejak
awal Program Transformasi Taspen (PTT) digulirkan, PT Taspen memang telah
berkomitmen untuk menerapkan dan mengembangkan pelayanan “satu jam selesai”
yang kemudian disempurnakan dengan pelayanan proaktif. Pelayanan proaktif
adalah melayani pembayaran Pensiun pertama dan Tunjangan Hari Tua (THT) di
instansi peserta secara kolektif. Pelayanan tadi mesti memenuhi target mutu
pelayanan PT Taspen yang meliputi 5T (Tepat Waktu, Tepat Orang, Tepat Jumlah,
Tepat Tempat dan Tepat Administrasi).
Untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan kepada seluruh Peserta dan
Penerima Pensiun, PT Taspen terus berupaya mengoptimalkan kinerja dan performa
pelayanan di seluruh kantornya (Kantor Cabang Utama dan Kantor Cabang) serta
ribuan titik pelayanannya (melalui kerja sama dengan Bank dan Kantor Pos). Guna
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat, secara rutin PT
Taspen elakukan sosialisasi lewat dialog interaktif melalui siaran radio (RRI
dan Swasta) di setiap Kantor Cabang. PT Taspen juga menyelenggarakan
“pelayanan proaktif” dengan cara mendatangi instansi-instansi tempat Calon
Peserta atau Peserta bekerja, untuk melakukan komunikasi dialogis, pembayaran
iuran THT dan Pensiun pertama. Taspen membuka pula layanan telepon bebas pulsa
0800-1222-333.
Semboyan “Layanan dan Kinerja Selalu Ditingkatkan” (Better Service
Through Better Performance), benar-benar harus dijadikan pedoman bagi
seluruh insan dan manajemen PT Taspen dalam memberikan pelayanan. Sebuah
prinsip pelayanan prima dengan target mutu 5-T. Pelayanan
diberikan secepat dan seefektif mungkin (one hour service). Segenap awak
PT Taspen
harus memberikan pelayanan dengan sopan,
sabar, ramah dan manusiawi, serta mudah dan sederhana (tidak berbelit-belit).
Semua target pelayanan prima itu telah dapat dicapai berkat peningkatan
pemahaman Peserta dan masyarakat mengenai program-program PT Taspen; selain karena PT Taspen
sendiri terus berusaha memperbaiki standarisasi sistem dan prosedur, pengoptimalan
sistem informasi serta peningkatan dan produktivitas SDM-nya.
Guna
mendukung peningkatan mutu pelayanan dan kinerja perusahaan, melalui PTT, PT Taspen
memang secara kontinyu melakukan serangkaian upaya peningkatan profesionalisme
dan produktivitas SDM-nya, melalui berbagai pendidikan dan pelatihan. Terutama dalam bidang keahlian:
Asuransi/Aktuaria, Pengelolaan Keuangan/Investasi, dan Teknologi Informasi
(TI). Di luar itu, pun terus ditingkatkan beberapa program
pelatihan, misalkan Latihan Kerja Orientasi, Latihan Kerja Pemantapan, Latihan
Kepemimpinan (Muda, Madya dan Utama) dan Kursus Pelengkap. Ada pula Pendidikan
Khusus dan Kursus Pembekalan, untuk memberi bekal pengetahuan dalam menunjang
kemandirian karyawan buat berwirausaha manakala mereka sudah memasuki masa
pensiun. Selain itu, untuk meningkatkan keimanan karyawan,
setiap bulan PT Taspen mengadakan
Ceramah Keagamaan.
Menyadari bahwa pelayanan merupakan kunci pokok usaha, maka dalam PTT, PT
Taspen secara berkesinambungan juga menyelenggarakan Pendidikan Pelayanan Prima
Plus (Service Excellent Quotient, SEQ) bagi seluruh karyawannya. Program
pendidikan SEQ itu, antara lain, berisikan beberapa unsur utama, seperti
program Pelayanan Prima (Service Excellent), Emotional Spiritual
Quotient (ESQ, Manajemen Qalbu), dan Outbond atau Mind Tune-up.
Suatu perpaduan yang serasi, di mana outbond/outing dimaksudkan untuk
membentuk kemampuan teamwork yang diperlukan dalam kegiatan perusahaan
sebagai pondasinya, sedangkan manajemen dan pelayanan prima dimaksudkan sebagai
output-nya. Semboyan pelayanan prima yang ditanamkan kepada orang-orang
PT Taspen adalah “Saya akan berbahagia apabila karena saya orang lain
berbahagia.”
Manajemen PT Taspen pun ingin menegaskan bahwa pelayanan yang dilakukan
berlandaskan prinsip: “Tanpa Kesalahan (Zero Defect), Tanpa Pungutan (Zero
Haram), dan Tanpa Pamrih (Zero Mind Process)”. Zero Defect
memberi makna bahwa setiap orang PT Taspen memberikan pelayanan dengan tingkat
kualitas dan akurasi tinggi, sehingga tingkat kesalahannya berada pada titik
nol. Pedoman 5-T dalam pelayanan Taspen merupakan instrumen yang jitu guna
mencapai sasaran zero defect tadi. Zero Haram berarti semua
pelayanan yang diberikan Taspen kepada para Peserta tidak dipungut biaya. Di
sini, Taspen mau mengubah dirinya sebagai pengembang budaya “anti-pungutan
liar”. Sedangkan Zero Mind Process berarti, setiap orang PT Taspen harus
memberikan pelayanan dengan tulus ikhlas. Prinsip pemberian pelayanan dengan
sopan, sabar, ramah dan manusiawi, serta mudah dan sederhana, adalah instrumen
signifikan dalam meraih target zero mind process ini.
Pelayanan “tanpa pungutan dan kesalahan” yang selama ini dikembangkan PT
Taspen, pada akhirnya melahirkan sejumlah apresiasi dari banyak Peserta. Juga
pengakuan dan penghargaan dari sejumlah kalangan. Sertifikat ISO (ISO 9002 yang
kemudian dikonversi menjadi ISO 9001:2000) yang diterima oleh Kantor Taspen
Cabang Bogor tahun 1998 dan kemudian dijadikan sebagai acuan pelayanan bagi
semua Kantor PT Taspen di seluruh Indonesia, hanyalah salah satu bukti
pengakuan atas pelayanan mutu berstandar internasional yang diberikan oleh
pihak SGS Yarsley ICS Limited. Dari Presiden Republik Indonesia pun PT Taspen
memperoleh penghargaan Abdisatya Bhakti. Bahkan Pemerintah, dalam hal ini
Presiden, juga memberikan penghargaan di bidang pelayanan, berupa Piala dan Piagam
Citra Pelayanan Prima, kepada beberapa Kantor Cabang PT Taspen di sejumlah
daerah, sebagai Unit Pelayanan Percontohan.
Itulah PT Taspen, melalui PTT, mereka telah mengembangkan tradisi pelayanan
bermutu tinggi. Spirit dan implementasi pelayanan prima yang telah tumbuh dan
berkembang menjadi core values dan corporate culture PT Taspen
tersebut, para pimpinan PT Taspen kala itu pun menegaskan betapa “prinsip dan
jiwa melayani” itu penting bagi setiap orang dalam setiap kegiatan. Termasuk
bagi setiap pemimpin dalam organisasi apapun dan level manapun.
PT Taspen juga pernah menularkan prinsip dan jiwa pelayanan prima kepada
masyarakat. Pelatihan Pelayanan Prima PT Taspen ditularkan pula kepada pihak
eksternal perusahaan. Antara lain kepada kalangan mitra usaha, komunitas
pendidikan, instansi pemerintah (Pusat dan Daerah) dan BUMN-BUMN.
Misalkan pada 16-21 September 2002, PT Taspen menyelenggarakan Pelatihan
Manajemen Pelayanan Prima di Gedung Bidakara yang diikuti peserta dari Badan
Kepegawaian Negara, PT Pos Indonesia, Garuda Indonesia, Bank Mandiri, Bank
Tabungan Negara, Bank Rakyat Indonesia, PT Jamsostek dan PT Askes. Dengan tutor
andal Ary Ginanjar Agustian, Nurcahyo Adi Kusumo dan AA Aufar, pelatihan ini
mencoba menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran akal dan qalbu/hati yang
menyatu dalam perilaku atau amalan berupa pelayanan prima dengan mengaktifkan
fitrah dasar: kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), kejujuran dan
kasih sayang.
Pelatihan manajemen pelayanan prima itu pada pokoknya ingin membentuk
pribadi yang sempurna dan berkualitas. Pribadi yang memiliki kecemerlangan
pikiran dan qalbu/hati, kecermatan dan kecerdasan akal, dan keluasan wawasan,
dengan senyum dan ikhlas serta rendah hati. Akal dan iman tidak dapat
dipisahkan dalam agama. Bagi iman, akal adalah mata yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang ketika berjalan. Bila iman kehilangan akal, maka yang terjadi adalah
seperti orang buta yang berjalan di kegelapan malam.
Melalui pelatihan manajemen pelayanan prima ini keluarga besar Taspen
memperoleh pemahaman bahwa dalam diri Taspen terdapat potensi dan kekuatan yang
bisa dimanfaatkan dan didayagunakan buat pengembangan pelayanan prima sehingga
berdampak positif terhadap bisnis Taspen. Sebagai sebuah institusi,
PT Taspen mesti melihat kekuatan dan potensi itu untuk dikembangkan menjadi
keunggulan. Kekuatan PT Taspen adalah tradisi pelayanan yang kuat, SDM yang
andal dan jaringan kerja yang luas melingkupi hampir semua daerah di seluruh
Indonesia.
PT Taspen tidak hanya memberikan Pelatihan Pelayanan Prima kepada
masyarakat tertentu, tapi “prinsip berbagi” juga diwujudkan dalam program “ikut
memajukan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK)”. Setiap tahun, PT Taspen
mengucurkan sebagian dananya kepada UKMK dalam bentuk pinjaman modal usaha.
Hingga di awal tahun 2008, pinjaman modal usaha tadi sudah mencapai puluhan miliar rupiah dengan
jumlah mitra binaan yang mencapai ribuan unit UKMK yang bergerak di sektor jasa,
perdagangan, industri, pertanian, peternakan, perikanan dan koperasi. PT Taspen
berkeyakinan bahwa UKMK itu merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat
dan karenanya PT Taspen mesti memberi dukungan optimal sesuai dengan
kemampuannya.
***
Jakarta, September 2005. Proyek Program Transformasi PT Taspen (PTT) dicanangkan. Selaku pimpinan, Achmad Subianto sesungguhnya telah menggelindingkan angin perubahan sejak medio 2003, namun secara
korporat proyek PTT itu baru dimulai pada September 2005. Untuk itu, agar
proyek perubahan tersebut tidak mengalami kegagalan, Subianto telah mempersiapkan
segala sesuatunya. Mulai dari arah (visi, vision), tujuan dan sasaran
(misi, mission) hingga strateginya. Tujuan atau sasaran utama dari PTT itu sendiri adalah
terciptanya organisasi yang efektif dan fokus kepada kepuasan pelanggan yang
didukung oleh SDM yang kompeten dan tata kelola GCG (Good Corporate
Governance) yang berkelas dunia
(World Class Company). Sebuah “Organizing
for Business Excellence”. Sebuah “organisasi pembelajaran” (learning
organization) di mana dan kapan saja setiap orang yang berada di dalam
perusahaan bisa mengerti, memahami dan melaksanakan apa yang menjadi pekerjaan,
wewenang dan tanggung jawab mereka sesuai dengan peran dan fungsi serta posisi
dan jabatan masing-masing. On the right man on the right place.
Organisasi yang
efektif itu laiknya sebuah “rumah idaman”. Sebuah rumah (organisasi) yang nyaman
serta menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi para penghuninya maupun
pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Sebuah organisasi di mana manusia di
dalamnya dapat belajar menjadi manusia organisasi (people-organization)
dan manusia manajemen (people-management). Begitu pun sebaliknya,
organisasi dan manajemen yang belajar dari manusianya (learning-organization
and learning-management). Sudah menjadi “hukum bisnis” bahwa setiap
organisasi dan manajemen harus mau dan mampu menjadikan manusia di dalamnya
lebih berguna dan bermanfaat, baik untuk perusahaan, diri sendiri maupun orang
lain.
Untuk itu, struktur organisasi dan sistem kerja (SDM, keuangan, administrasi,
teknologi dan lain-lain), nilai-nilai utama dan kultur perusahaan
unggul (Taspen Way) coba disemai dan dijadikan jiwa (soul) dalam
mengelola PT Taspen. Prinsip-prinsip perusahaan modern yang
sesuai dengan kaidah-kaidah GCG ditegakkan. Kemalasan, ketidak-disiplinan dan
ketidak-jujuran diberangus. Model dan proses bisnis didaur ulang menjadi lebih
fleksibel dan tahan banting terhadap arus perubahan jaman serta sesuai dengan
tuntutan peserta. Intinya, semua modal dan kekuatan yang
dimiliki terus didorong, digerakkan dan diberdayakan agar bisa memberi
kontribusi optimal bagi PT Taspen.
----- Gambar Rumah Dimensi Masa Depan Taspen
Hal. 51 -----
Ruang lingkup proyek PTT tersebut meliputi: pertama, menyempurnakan macro business process.
Menjadikan proses bisnis yang terbaik (excellence) dan pelayanan
pelanggan yang memuaskan (customers satisfaction). Kedua, menambah kompetensi karyawan dan menyempurnakan struktur organisasi. Struktur
organisasi dibuat lebih “ramping” agar dapat bergerak “lincah” serta terdesentralisasi
sesuai dengan unit kerja, divisi, peran dan fungsinya. Ketiga, melakukan dan merumuskan the winning formula, workloads,
job analysis, job description dan competency model. Atau, menghitung ulang beban pekerjaan
masing-masing orang. Misalkan seorang karyawan mampu menyelesaikan seberapa
banyak pekerjaan. Dengan begitu, perusahaan menjadi tahu berapa banyak karyawan
yang dibutuhkan oleh setiap unit dan divisi. Lalu, dengan competency model,
karyawan akan dinilai selama setahun. Mereka yang berhasil dan berprestasi
diberi reward (penghargaan) berupa Taspen
Excelence Award dan mereka yang
melanggar aturan akan diberi punishment.
Keempat, menjabarkan dan menterjemahkan The Winning Formula
menjadi The Business Success Model yang terdiri dari dimensi finansial,
internal, eksternal, dan karyawan serta inovasi dan pertumbuhan. Setiap dimensi
memuat Key Performance Indicators (KPI) yang merupakan ukuran sukses
dari sasaran perusahaan. Dulu, memang telah ada performance management system yang disertai Key
Performance Indicators (KPI). Tapi, terjemahan
pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu. Kini, KPI disearahkan dengan
tujuan perusahaan. Kelima, karena terdapat
kesenjangan antara KPI yang telah dibuat dalam rangka menuju World Class
Company dan kondisi sekarang, maka untuk menutup gap tersebut dibuatlah Strategic
Initiatives (SI) berupa program-program kerja dengan tujuan untuk mendorong
terwujudnya sasaran strategis yang dinyatakan dalam The Business Success
Model.
-----------Tabel Strategic Iniatives
dan Penanggung-jawab Hal. 79-----
Keenam, dilakukan assessment
(penilaian) dalam bentuk Taspen
Scorecards. Ketujuh, setelah semua langkah dalam menuju perusahaan berkelas
dunia dilakukan, maka untuk mengukur seberapa baiknya kinerja yang dicapai
selama perjalanan tersebut dapat direkam melalui Baldrige Assessment dengan
mengevaluasi beberapa kriteria-kriteria, antara lain, efektivitas
kepemimpinan (leadership effectiveness), perencanaan strategis (strategic
planning), fokus kepada peserta dan pasar (customer and market focus),
pengelolaan informasi (information management), pengelolaan SDM (human
resources management), pengelolaan proses bisnis (business process
management) dan hasil kerja yang telah dicapai (business result). Dengan begitu, nantinya akan terwujud SDM
yang berintegritas, berjiwa kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan
(entrepreneurship) yang tinggi. Kedelapan, langkah terakhir di mana merupakan tujuan dari seluruh
proses yang ditandai dengan hasil Baldrige Assesment berupa skor yang
merupakan gambaran kekuatan dan kelemahan perusahaan PT Taspen untuk mengetahui
Opportunity for Improvement (OFI) sekaligus sebagai penilai posisi
perusahaan terhadap standar best practices dan perusahaan berkelas
dunia. Proses ini dilakukan berulang-ulang dengan cara melakukan perbaikan (improvement)
secara terus-menerus sampai pada tujuan akhir di mana visi-misi perusahan PT
Taspen dapat terwujud.
----Tabel Tahapan Pelaksanaan Strategic
Initiatives PT Taspen Hal. 90-99----
Dalam rangka PTT, PT Taspen
juga telah menyusun berbagai program strategis guna mendukung implementasi SDM
berbasis kompetensi untuk meraih world class company di tahun 2010.
Salah satunya adalah program
Sistem Manajer Kinerja (SMK). Program SMK ini diperlukan sebagai dokumen utama
pengelolaan SDM. Sebab, guna mewujudkan
visi-misi dan nilai–nilai perusahaan serta mendukung PTT diperlukan sumber daya
manusia yang berkualitas dan memiliki kompetensi tinggi. Untuk itu dipandang
perlu melakukan pembaruan dalam pengelolaan SDM. Selain menerapkan program SMK, Divisi Personalia juga telah mencanangkan
program Man Power Planning dengan pendekatan Analisis Beban Kerja (ABK).
Program ini kelak dapat menjadi nilai
tambah bagi pencapaian sasaran strategis perusahaan dan sebagai alat ukur
pengelolaan SDM yang mencakup, antara lain, mengukur jumlah kecukupan karyawan
dalam mendukung aktivitas
operasional perusahaan. Selain itu, program ini dapat pula untuk
mengukur
load dari masing-masing unit kerja, mengidentifikasi kelebihan dan
kekurangan jumlah pegawai pada suatu unit kerja yang bermuara pada kebijakan Employee
Exit Policy, serta mampu mentransformasikan perusahaan pada iklim bisnis
yang lebih kompetitif. Dalam rangka mengimplementasikan kegiatan Analisa Beban
Kerja (ABK) tersebut, PT Taspen telah menunjuk konsultan yang berkompeten di
bidang SDM,
yakni LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri) ITB.
Menurut Mantan Direktur SDM PT
Taspen, Djoko Daljono, pendekatan ABK ini dilaksanakan dengan melihat adanya
keluhan dari beberapa unit kerja yang bervariasi. “Ada unit kerja yang merasa kekurangan karyawan,
kelebihan karyawan, pekerjaan karyawan banyak tapi tidak tuntas atau progres kerja karyawannya tidak
kelihatan,” ujarnya.
--------------- Gambar Strategi
Pengembangan SDM PT Taspen 2007-2011 --------
Transformasi di Bidang SDM
Transformasi di Bidang IT
Begitu banyak yang harus dikerjakan. Tentu, buat mewujudkan semua
itu bukanlah perkara yang sederhana, mudah dan gampang. Mengingat masalahnya
mendasar dan besar, selaku pemimpin, tentu saja Subianto tidak bisa bekerja
sendirian. Harus dilaksanakan secara bersama-sama. Sebuah kearifan lokal telah mengajarkan tentang
filosofi sapu lidi. Jika hanya satu-satu lidi maka akan kurang memiliki
kekuatan dan manfaat. Namun, apabila menjadi sebuah ikatan sapu lidi, pastinya
akan mempunyai kekuatan dan manfaat yang besar. Makna dan artinya, bahwa dalam
kehidupan apapun dan di mana saja di dunia ini, seandainya dikerjakan dan
dilaksanakan dalam sebuah kebersamaan (kerjasama tim) tentu akan menjadi lebih
ringan, cepat dan efisien. Produktivitas menjadi lebih tinggi serta memuaskan
banyak pihak dibandingkan dengan dikerjakan sendiri-sendiri. Arah (visi) dan
tujuan (misi) yang hendak dicapai, atau kesuksesan dan keberhasilan pun menjadi
lebih mudah untuk diraih dengan kerjasama tim yang solid, handal dan tangguh.
Untuk meraih kesuksesan, kerjasama tim yang solid, handal dan tangguh
adalah sebuah keniscayaan. Kerjasama tim harus ada dalam organisasi bisnis
(perusahaan). Makanya, selain
menggandeng konsultan manajemen-organisasi, Harianto Mangkusasono, salah
satu mantan Direktur IBM, dan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri -
Institut Teknologi Bandung (LAPI-ITB), Subianto juga membentuk sebuah tim yang solid, tangguh dan andal
guna merencanakan, mengelola dan mengimplementasikan proyek PTT. Strateginya adalah
membentuk Tim Transformasi atau dikenal dengan sebutan Tim Task Force, yang beranggotakan SDM yang memiliki kompetensi unggul yang berbeda-beda
dan berada di lintas unit atau divisi yang bertanggung-jawab kepada Direksi.
Mulai dari yang unggul di bidang keuangan, komunikasi dan informasi, inovasi,
pengembangan, organisasi, hukum, pengawasan hingga statistik.
Subianto terlihat melangkah dengan penuh
perhitungan dalam membentuk tim. Hal ini tampak pada
komposisi Tim Task Force. Terlihat, di dalam Tim Task Force terdapat nama Ratih Kusumaningrini yang enerjik, penuh inspirasi dan
kompeten dalam bidang audit,
keuangan dan pengawasan. Ada lagi Pasek Suartha, sosok yang kompeten dalam bidang pengembangan dan
statistik. Ada pula Riswadha, pribadi yang cukup
piawai mengelola Information
Technology dalam perusahaan. Juga Dewi Widayanti dan Ahmad Muhtarom yang piawai di
bidang hukum serta Nur Supriyanto, sebagai tokoh senior yang cukup disegani
di PT Taspen sebagai penghubung antar-lini. Tim Task Force bersama jajaran direksi serta didampingi konsultan, kemudian merumuskan
dan meredefinisi struktur organisasi dan proses kerja baru serta mensosialisasikannya guna mendorong perubahan total dalam tubuh perusahaan.
“Tim 11 mendapat tugas mensosialisasikan, mengorganisasikan dan mengelola proses PTT. Kami bekerja ekstra
keras siang-malam. Kami memang harus berubah menjadi lebih baik agar masa depan
kami menjadi lebih berpengharapan,” ungkap Ratih Kusumaningrini yang ditunjuk
sebagai Ketua Tim Task Force.
Dalam sebuah perubahan yang lebih baik, tentu harus ada yang menjadi fokus,
alat (tool) sebagai arah navigasi, alat eksekusi, change management
dan change agents sebagai wahana perubahan, serta pondasi spiritual. Dan selaku pemimpin, bersama Tim Task Force dan konsultan, Subianto telah mempersiapkan
semuanya. Sebagai pemimpin, tentunya banyak hal penting (Important Goals)
yang harus dicapai. Ibarat seorang Air Traffic Controller (ATC) di
sebuah bandara yang begitu sibuk namun tetap harus cekatan dan cermat. Semua
pesawat yang akan berangkat atau lepas landas (take off) maupun
yang akan mendarat (landing), keduanya sama-sama penting. Tapi, tidaklah
mungkin seorang ATC memberangkatkan sekaligus mendaratkan semua pesawat pada
waktu yang bersamaan. Harus ada yang menjadi prioritas-prioritas utama. Wildly
Important Goals (WIGs): Pesawat yang sudah waktunya mendarat setelah
terbang jauh harus mendapat prioritas utama untuk mendarat, dan pesawat yang
sudah lama di-grounded harus segera diberangkatkan.
Dari sekian banyak yang ingin dicapai dan diraih, telah disepakati untuk
fokus memprioritaskan pada WIGs sesuai dengan indikator-indikator keberhasilan
bisnis jasa: kepuasan pelanggan dan pertumbuhan yang
meningkat. Subianto merasa yakin, apabila
usaha-usaha tersebut difokuskan ke WIGs tadi, maka Important Goals
lainnya juga akan tercapai. Fokus merupakan salah satu faktor sukses-tidaknya
perusahaan pada saat melakukan perubahan. Secara sederhana, fokus dapat
diartikan sebagai titik atau daerah kecil tempat berkas cahaya mengumpul atau
menyebar setelah menimpa sebuah cermin. Berkas cahaya yang terfokus itu bisa
menghasilkan energi yang luar biasa, sedangkan cahaya yang tidak terfokus kecil
kekuatannya. Seperti api yang berhasil dinyalakan dengan memfokuskan sinar
matahari pada sebuah titik sebuah lensa kaca pembesar (suryakanta). Kekuatan
fokus bisa menyalakan semangat, meraih mimpi dan membawa perubahan yang lebih besar. Pakar manajemen dan
kepemimpinan John C. Maxwell mengatakan, kunci untuk memiliki fokus, antara
lain, prioritas dan konsentrasi. Dalam perusahaan, fokus berarti sesuatu yang secara terus-menerus
diprioritaskan dan dikonsentrasikan kepada satu atau beberapa kegiatan. Masa
depan perusahaan sangat tergantung kepada fokus dari kegiatan. Perusahaan yang
fokus akan sangat kokoh. Dengan demikian akan memiliki masa depan.
Begitu pula sebaliknya, kalau tidak fokus, maka tidak akan memperoleh pencapaian
apa-apa. Keberhasilan Bill Gates (Microsoft) utamanya lantaran fokus menjadikan
Windows sebagai sistem operasi komputer yang dominan.
Untuk memastikan bahwa seluruh upaya yang dilakukan secara baik dan benar telah
memenuhi kebutuhan pelanggan dan stakeholders, pada masa proses organization
effectiveness cycle selama pelaksanaan Transformasi, maka sebagai alat
arah navigasinya dipilih konsep penilaian yang
mengadopsi Malcolm Baldrige Criteria for
Performance Excellent (MBCfPE) yang dimaksudkan untuk
melihat keterkaitan antara target-target keuangan (finansial), pelanggan (customers),
proses bisnis internal (internal business process) serta pembelajaran
dan pertumbuhan organisasi. Berdasarkan Dashboard MBCfPE, para pimpinan
dapat segera melihat target-target mana yang sudah atau belum tercapai sehingga
dapat diputuskan action plan yang paling tepat.
Nama MBCfPE yang diadopsi dari Malcolm
Baldrige National Quality Award adalah sejenis penghargaan
tahunan yang diberikan oleh Pemerintah Amerika Serikat (melalui Department of
Commerce) kepada setiap organisasi di negara Amerika Serikat (baik profit
dan non-profit) yang dianggap mencapai kinerja yang unggul nan
ekselen. Nama Malcolm Baldrige sendiri diambil dari nama mantan Menteri
Perdagangan AS yang menginisiasi kegiatan penghargaan ini. Sejak diperkenalkan
pada tahun 1988, penghargaan tahunan ini telah memberikan kontiribusi yang
signifikan bagi peningkatan mutu dan kinerja bisnis beragam perusahaan di sana.
Seiring dengan hal itu,
banyak negara di berbagai belahan dunia yang mengadopsi pendekatan dan kriteria
yang digunakan oleh Komite Malcolm Baldrige untuk mengukur keunggulan kinerja. Kriteria-kriteria
tersebut dijabarkan ke
dalam kurang lebih 350 pertanyaan yang dikelompokkan dalam 7 kriteria inti. Kriteria
yang mereka gunakan dikenal juga sebagai 7 Pilar Malcolm Baldrige. Dan jika
diamati, tujuh kriteria ini memang sangat berperan dalam menentukan maju-mundurnya sebuah
organisasi (baik organisasi bisnis maupun organisasi publik).
Pilar yang pertama adalah Leadership.
Kriteria ini ingin melihat bagaimana para leader di organisasi perusahaan
bisa menampilkan kapasitasnya, bagaimana mereka menetapkan visi dan tujuan
organisasi dan mengkomunikasikannya kepada setiap anggota atau karyawan di
bawahnya. Juga apakah leaders di organisasi memiliki kecakapan untuk
mengelola dan menginspirasi anak buahnya untuk mencapai keunggulan kinerja.
Pilar kedua, Strategic
Planning. Kriteria ini untuk melihat bagaimana proses perumusan strategi ditetapkan
di lingkungan perusahaan atau organisasi. Dan yang tak kalah penting, apakah
konten strategi itu secara tepat merespon dinamika perubahan lingkungan bisnis.
Pilar ketiga, Customer Focus. Ini adalah model penilaian tentang apakah
produk dan layanan yang disediakan oleh organisasi atau perusahaan di tempat
kita bekerja sudah bagus? Atau hanya bermutu alakadarnya? Apakah produk atau
layanan yang dibentangkan selalu segar nan inovatif dan membuat para pelanggan
bisa tersenyum riang? Atau malah sebaliknya selalu menebarkan ketidak-andalan
dan kualitas yang pas-pasan.
Pilar keempat, Performance
Measurement. Pilar ini untuk mengukur apakah setiap leader di
perusahaan atau organisasi sudah memiliki Key Performance Indicators
(KPI) yang jelas dan terukur. Juga agar KPI itu selalu di-review secara
periodik untuk melihat progress dan mengambil corrective action
(jika targetnya meleset). Pengelolaan kinerja dengan indikator yang jelas
merupakan salah satu tanda munculnya performance-based culture yang kuat
di sebuah organisasi.
Pilar kelima, People Focus.
Pilar ini untuk mengetahui seberapa jauh perhatian dan komitmen manajemen
organisasi Anda terhadap pengembangan mutu SDM-nya? Elemen ini juga mau melihat
apakah organisasi telah memberikan skema reward yang fair dan atraktif kepada segenap
anggotanya. Kontribusi angggota yang melejit hanya akan merebak jika sebuah
organisasi punya kebjiakan people focus yang solid dan konsisten.
Pilar keenam, Process
Management. Kriteria ini untuk mengukur bagaimana perusahaan atau
organisasi kerja mendesain dan mengelola proses kerja secara ramping dan
efisien. Organisasi kerja yang baik adalah proses kerja yang tidak terlalu
birokratis, saling terkoordinasi dengan baik dan tidak menimbulkan banyak
silang sengketa di antara berbagai bagian/departemen. Pilar yang ketujuh, Result.
Pilar yang terakhir ini untuk melihat bagaimana hasil akhir kinerja organisasi.
Apakah makin kompetitif, makin efektif, dan makin mengkilap kinerja seluruh
aspek organisasinya?
------------------ Gambar Skema
Proses Penilaian Malcome Baldrige Arbi ---------
Secara ringkas, konsep ini dapat dipahami sebagai upaya
untuk mengukur aktivitas operasional suatu perusahaan agar sejalan dengan
sasaran yang lebih besar sesuai dengan visi, misi dan strategi. MBCfPe membantu memberikan
pandangan lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada giliran selanjutnya akan membantu organisasi
untuk bertindak sesuai dengan tujuannya jangka panjang. MBCfPE membantu para
manajer untuk fokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran keuangan
dengan perspektif pelanggan, proses dan karyawan.
Selain itu, supaya perubahan lebih mulus di tingkat mayoritas karyawan, maka Tim Task Force didampingi para konsultan kemudian menunjuk sekitar 30 orang setiap tahun sebagai change agent yang terdiri dari karyawan setingkat Supervisor
atau Leader yang berkinerja dan mempunyai attitude baik serta
dianggap mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal positif bagi perusahaan. Salah satu kunci utama kesuksesan perusahaan
adalah kerjasama tim. Tidak ada yang merasa menjadi superman atau superwoman.
Yang ada hanyalah superteam. Hubungan kerja harus dilandasi prinsip
saling memberi pemahaman, kepedulian, saling membutuhkan dan mengedepankan
kepentingan bersama.
Tidak hanya menyentuh aspek bisnis-manajemen, Subianto pun berupaya menyentuh
aspek emosional-spiritual para karyawan sebagai benteng keimanan dalam bekerja
dan menghadapi perubahan. Melalui persetujuan para dewan komisaris dan direksi, telah dilaksanakan pelatihan ESQ (Emotional
Spiritual Quotient). Hal ini ditempuh agar pondasi keimanan untuk
menggerakkan perubahan perusahaan yang lebih baik menjadi sama dan seirama.
Tutur Subianto:
“Kita tidak hanya berbicara struktur
organisasi dan manajemen, namun juga pondasi keimanan dalam menghadapi
perubahan. Mental karyawan harus diperkuat dalam menghadapi perubahan yang akan
mereka alami. Dalam menghadapi perubahan, karyawan akan dihadapkan pada
pilihan: apakah ikut dalam arus perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik,
atau bersikap tidak peduli dengan segala perubahan yang dilakukan oleh
manajemen baru.
Untuk itu, seluruh karyawan, mulai dari
tingkat Direktur, tidak terkecuali jajaran Komisaris, manajer hingga karyawan
pada level terendah, dikirim ke pelatihan ESQ. Tujuannya adalah untuk
memberikan bekal rohani kepada semua karyawan dalam menghadapi perubahan. Itu
kami lakukan untuk memastikan bahwa ke depan karyawan akan bekerja secara
efektif dan efisien, serta lebih baik dalam melayani dan memenuhi kebutuhan
para pelanggan dan stakeholders lainnya.”
Dengan pelatihan ESQ, diharapkan semua karyawan akan memiliki sebuah
prinsip yang kuat bahwa bekerja keras adalah bagian dari ibadah. Sebagai bakti kepada Tuhan dan bermanfaat
atau diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak. Bekerja sebagai amanah yang
harus dilaksanakan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan yang dimiliki dengan
sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki daya saing berkelanjutan
dan menghasilkan nilai tambah (added value) yang tinggi. Sebuah prinsip
yang mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan bekerja
lebih kompeten serta profesional. Sebuah prinsip yang mengajarkan kepada semua
SDM bahwa dalam bekerja tidak boleh hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence
Quotient) semata. Lebih penting dari itu, adalah “kecerdasan hati dan
spiritual” (EQ, Emotional Quotient dan ESQ, Emotional Spiritual
Quotient). Sebab, IQ tanpa diimbangi oleh EQ dan ESQ dapat merusak
segalanya. Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya melahirkan SDM dengan
watak yang kurang beretika.
Tentu, hal ini tidak
dapat dilepaskan dari prinsip Subianto, baik dalam bekerja maupun melaksanakan
amanah sebagai seorang pemimpin. Dia selalu bekerja dengan sebaik mungkin, komitmen tinggi dan
bertanggung-jawab. Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah
Tuhan. Tuhan selalu
mengawasi setiap saat. Karena itu, pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan
ditujukan demi kebaikan diri sendiri dan orang banyak. Bekerja keras, berpikir cerdas dan beramal ikhlas
untuk melengkapi ibadahnya. Kalau ibadah ritualnya masih kurang, maka bekerja
ikhlas dimaksudkan sebagai pelengkapnya. Dengan bekerja dalam perasaan yang
tulus-ikhlas, seorang pemimpin dalam bekerja tak pernah kenal waktu. Apapun
hasilnya, selalu disyukuri.
Sebagai wujud nyata bahwa bekerja sebagai ibadah adalah nilai integritas.
Satu kata, satu perbuatan. Tanpa adanya integritas, yang tercipta adalah
manusia-manusia yang munafik atau hipokrisi. Ciri-ciri manusia yang munafik, di
antaranya, kalau berbicara bohong, kalau berjanji ingkar, dan kalau dipercaya
berkhianat. Tentu, Subianto tidak mau dan tidak ingin karyawan yang
dipimpinnya menjadi manusia yang munafik. Untuk itulah, dalam rangka perubahan
yang lebih baik, karyawan yang telah mengikuti ESQ “diwajibkan” untuk
menanda-tangani Pakta Integritas. Semua karyawan pada semua lapisan dan semua
lini usaha, tanpa kecuali, wajib membubuhkan tanda tangan di selembar kertas
berlabel Pakta Integritas. Dengan begitu ada tekad dan komitmen bersama dalam
kesungguhan hati untuk menjadi bagian dari proses perubahan.
Kesungguhan hati untuk mengutamakan kejujuran dalam bekerja, melaksanakan
tugas dengan penuh tanggung jawab, selalu berpikir positif jauh ke depan serta
disiplin. Kesungguhan hati untuk senantiasa menjunjung tinggi kebersamaan,
kerja sama, saling menghargai, dan saling menghormati. Dengan kesungguhan
nurani serta menjunjung profesionalisme dalam menjalankan tugas sehari-hari di PT Taspen. Dari lubuk hati
terdalam selalu memberikan pelayanan terbaik kepada peserta. Kesungguhan hati
untuk selalu menghormati dan menghargai pendapat, aspirasi dan kritik yang
bersifat membangun. Dengan kesungguhan sepenuh hati tidak akan menerima
pemberian uang, barang atau pemberian dalam bentuk apapun yang berhubungan
dengan pekerjaan atau dapat menyebabkan konflik kepentingan (conflict of
interest). Dan dengan sepenuh hati pula ikut serta secara aktif dalam
proses perubahan yang dijalankan oleh perusahaan.
Agar karyawan
benar-benar memahami kebijakan manajemen PT Taspen, maka ”Program Transformasi
Taspen” (PTT) yang telah digulirkan kemudian diluncurkan dan disosialisasikan
dalam bentuk buku yang berjudul Pedoman Pelaksanaan Program Transformasi
Taspen (2005). Dalam buku bersampul biru simbol corporate color PT
Taspen itu, juga dilengkapi dengan berbagai instrumen kerja perusahaan modern
seperti Pedoman Pelaksanaan GCG, Code of Conduct dan Etika Pelayanan
secara bertahap juga semakin intensif disosialisasikan kepada segenap insan PT
Taspen. Dalam buku itu pun tercantum tahapan-tahapan transformasi yang
dilaksanakan PT Taspen untuk mencapai cita-cita perusahaan berkelas dunia (world
class company). Seiring dengan peluncuran buku tersebut, manajemen PT
Taspen juga meluncurkan website-nya, www.taspen.com. Hal itu
dilatar-belakangi oleh sebuah kebutuhan Peserta dan Pensiunan akan informasi
yang cepat dan tepat. Dalam website PT Taspen, Peserta tidak hanya bisa
mengakses informasi, melainkan juga berkonsultasi seputar program ketaspenan.
Tahun berikutnya, 2006, PT Taspen bergabung pula dalam situs BUMN di
portal.bumn-ri.com/taspen.
Tak dapat disangkal bahwa eksistensi PT Taspen bertambah bagus. Beberapa
pilihan investasi, seperti deposito berjangka, saham, reksadana, dan obligasi,
menunjukkan peningkatan. Aktiva lancar dan aktiva tetap, juga meningkat.
Ujung-ujungnya, laba bersih PT Taspen naik cukup signifikan dari Rp164,9 miliar (2004) menjadi
Rp381,8 miliar (2005). Keberadaan PT Taspen dirasakan
pula semakin dekat dengan para Peserta yang nota bene para pegawai
negeri itu. Begitu juga pelayanannya, dirasakan semakin prima dan memuaskan
Peserta.
Memasuki tahun 2006 manajemen PT Taspen terus mendorong setiap kantornya
untuk terus bertumbuh-kembang dengan lebih baik lagi dan memberikan pelayanan
kepada para Peserta Taspen secara lebih prima. Untuk itu, manajemen
menggulirkan berbagai rangsangan program prestatif seperti Taspen Excellent
Award (TEA) yang berbasis Malcolm Baldrige
Criteria. Hasil penilaian
diumumkan setiap hari ulang tahun PT Taspen (17 April). Kantor Cabang terbaik akan menerima Taspen Platinum
Excellent Award, kemudian Taspen Gold Excellent Award, dan
seterusnya. Kegiatan ini bertujuan agar semua unit
kerja di Kantor Pusat maupun Kantor Cabang mampu melaksanakan program
transformasi dan mengukur keberhasilan tiap-tiap unit kerja. Terutama buat
Kantor Cabang agar “berlomba” dalam memberikan pelayanan secara lebih baik
serta berpacu dalam perbaikan kinerja dan performa masing-masing.
---------- Tabel Kantor Cabang Peraih TEA 2006 dan 2007 ------------
Selanjutnya, dalam
memasuki tahun 2007, untuk mendukung kelancaran operasi bisnis, manajemen PT
Taspen pun memberlakukan Standar Akuntansi Perusahaan (SAP), yang kemudian diikuti
dengan Joint Application Development (JAD) dan Document Management
System (DMS). Dalam tahun 2007 pula Subianto mencanangkan ”Tahun SDM
Taspen” yang dibarengi dengan dilakukannya Reklasifikasi Kantor Cabang dan
Restrukturisasi Organisasi.
Lengkap sudah transformasi
fundamental yang dilakukan oleh Subianto bagi keberadaan PT Taspen. Dia tidak
hanya telah menanamkan nilai-nilai utama dan budaya perusahaan unggul bagi
perjalanan PT Taspen menuju harapannya yang lebih baik, tapi dia juga telah
meneguhkan visi-misi PT Taspen agar eksistensinya lebih bermanfaat dan
bermaslahat bagi para Peserta serta bagi viabilitas PT Taspen sendiri sebagai
organisasi perusahaan. Dia pun telah memperkuat fundamental PT Taspen dengan
GCG, sistem dan mekanisme perusahaan modern. Semua itu dilakukan oleh Subianto
dengan harapan agar pondasi PT Taspen semakin kokoh, dengan kinerja dan
performa yang bertambah bagus sehingga keberadaannya kian memberikan nilai
tambah yang lebih signifikan bagi para stakeholders dan perekonomian nasional
pada umumnya.
Pendek kata, di bawah kepemimpinan Achmad Subianto, PT Taspen tampil lebih
apik. Wajarlah jika kemudian banyak kalangan memberikan apresiasi dan
penghargaan. Pada tahun 2006 misalnya, selain menerima penghargaan Tata Laksana
Kearsipan dari Arsip Nasional, PT Taspen juga meraih Juara I Lomba Kadarkum,
Juara I Perlombaan Satpam antar-perusahaan di wilayah DKI Jakarta, Juara
Harapan I Kategori Laporan Tahunan dan Juara Harapan II untuk Kategori
Penerbitan Internal BUMN dalam Lomba Anugerah Media Humas 2006. Di bulan
November 2006 PT Taspen pun berhasil meraih
predikat Early Results pada penghargaan Indonesia Quality Award (IQA)
berbasis Malcolm Baldrige
Criteria dengan skor 354.
Tahun selanjutnya (2007) PT Taspen mampu meningkatkan diri dengan mendapatkan
predikat Early Improvement dengan skor 402 dalam penghargaan IQA yang
diselenggarakan oleh IQA Foundation itu.
-----Tabel Scoring
Band Menurut MBCfPE Hal. 105 Arbi-----
Dalam penilaian IQA, digunakan Malcolm Baldrige Criteria for
Performance Excellence (MBCfPE). Metode ini terbukti efektif meningkatkan daya saing banyak perusahaan AS
setelah terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an. Hasilnya, selama lebih dari
satu dasawarsa sampai kini, AS menjadi negara yang memiliki daya saing
tertinggi di dunia. Dari pengalaman AS itu, ketika krisis perekonomian yang
berkepanjangan melanda Indonesia, BUMN terus tampil menjadi ujung tombak
pembangunan ekonomi nasional. Nah, dalam rangka meningkatkan dan mengapresiasi
kinerja BUMN itu, IQA Foundation
berupaya menyemangati dan mendorong kalangan BUMN untuk terus meningkatkan
prestasinya.
Sementara itu, dari sisi ekonomis, kinerja PT Taspen juga bertambah bagus.
Paling tidak, sepanjang tahun 2007, PT Taspen berhasil membukukan laba bersih
sekitar Rp147 miliar. Dengan aset yang melejit ke angka Rp37
triliun, pondasi dan eksistensi PT Taspen pun menjadi bertambah kokoh. Dan,
secara umum, pada penghujung tahun 2007 itu kondisi PT Taspen masuk dalam
kategori ”Wajar Tanpa Pengecualian”.
---------- Tabel
Taspen Transformation Road Map
-----------
Taspen Towards World Class By 2010
Hal. 88
Sebuah prestasi seorang Achmad Subianto dalam membangun dan membawa PT
Taspen pada kondisi peak performance. Hanya saja, sukses seorang
pemimpin itu tidak hanya diukur dari prestasi matematis-ekonomis semata. Namun
yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sang pemimpin itu mampu membuat
landasan yang kokoh bagi kepemimpinan berikutnya. Ya, Subianto pun telah
memperbaiki dan mengembangkan landasan yang lebih kokoh bagi manajemen dan
kepemimpinan PT Taspen selanjutnya. Dan, memasuki awal tahun 2008, Subianto
memang harus mengakhiri masa kepemimpinannya di PT Taspen. Tepatnya pada medio
Januari 2008, dia menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Agus Haryanto
selaku Direktur Utama PT Taspen yang baru. Kepada Agus Haryanto
lah, Program Transformasi Taspen (PTT) Menuju World Class Company di
tahun 2010 sesuai dengan agenda yang telah dibuat, diserah-terimakan dan bisa
dilaksanakan dengan baik dan maksimal.***
No comments:
Post a Comment