Sunday, January 6, 2013

Lima Program Jaminan Sosial Mesti Disempurnakan


Banyak orang asal bicara soal jaminan sosial (social security). Sebab itu, banyak terjadi kekacauan ketika kita sampai pada persoalan siapa yang harus bertanggung-jawab menyelenggarakan jaminan sosial: negara, lembaga masyarakat ataukah warga masyarakat itu sendiri. “Tanggung jawab utama penyelenggaraan jaminan sosial ada di tangan negara. Meski begitu kita harus memperjelas peristilahan jaminan sosial dan bantuan sosial agar jelas kelembagaan yang akan menyelenggarakannya nanti,” ujar pakar kebijakan publik Prof. Dr. Awaloedin Djamin MPA dalam satu kesempatan bedah buku Sistem Jaminan Sosial Nasional edisi penyempurnaan di Jakarta, awal Oktober 2011 di Jakarta. Untuk lebih memahami esensi jaminan sosial, Majalah Jaminan Sosial berkesempatan mewawancarai Prof. Awaloedin Djamin yang juga Ketua Dewan Pakar Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) ini. Berikut petikannya:

Apa pengertian dan berapa luas ruang lingkup jaminan sosial?
Jaminan sosial atau social security adalah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan ruang lingkup jaminan sosial sebagaimana yang berkembang di dunia luas sekali, termasuk di dalamnya antara lain asuransi pengangguran, asuransi manula, asuransi bersalin dan perawatan. Sementara di Indonesia baru memfokuskan lima program, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Keberadaan jaminan sosial telah merupakan bagian integral dari pembangunan suatu bangsa.
Sejak kapan sebenarnya jaminan sosial mulai berkembang?
Jaminan sosial telah berkembang di negara-negara maju kira-kira 100 tahun lalu. Negara tidak akan maju dan sejahtera tanpa jaminan sosial. Intinya kesejahteraan pekerja dan warga masyarakat. Bila kita membicarakan kesejahteraan pekerja dewasa ini mencakup gaji dan upah, keselamatan dan kesehatan kerja (occupational safety and occupational health) serta jaminan sosial.
Perkembangan social security dapat diikuti dari keberadaan International Social Security Association (ISSA) yang terkait dengan ILO (International Labour Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss. Kemudian dalam menghadapi penyelenggaraan General Assembly ISSA di Indonesia tahun 1995, lima perusahaan, masing-masing Jamsostek, Askes, Asabri, Taspen dan Jasa Raharja, membentuk Asosiasi Asuransi dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) sebagai tuan rumah General Assembly. Dalam General Assembly ISSA yang dihadiri 1.500 peserta, Indonesia memprakarsai pembentukan ASEAN Social Security Association (ASSA). ASSA telah berkembang dengan baik dan anggotanya mencakup delapan dari 10 negara anggota ASEAN. Sampai saat ini Myanmar dan Vietnam belum aktif.
Dari pengalaman ISSA dan ASSA, Indonesia tentu dapat memetik pelajaran untuk mengembangkan jaminan sosial di Indonesia, termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Bagaimana perkembangan penyelenggaraan jaminan sosial di negara kita?
Pada akhir Orde Lama, setelah peristiwa G30S/PKI dan permulaan Orde Baru 1966, keadaan negara sangat terpuruk, inflasi 650%, produksi perdagangan macet, politik luar negeri dengan poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan administrasi negara chaos, baik kelembagaan, kepegawaian maupun ketatalaksanaan. Kemudian, untuk memperbaiki keadaan, dilakukan penyempurnaan administrasi negara yang menyeluruh (overall administrative reform) kelembagaan negara, departemen, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintahan di daerah, dan perwakilan di luar negeri. Yang tidak kurang penting adalah penyempurnaan Perusahaan Negara (Public Enterprise) yang kemudian dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (State Owned Enterprise).
Setelah menginventarisasi semua perusahaan negara sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, perusahaan yang ada di Indonesia meliputi perusahaan negara warisan Hindia Belanda, yaitu perusahaan negara ICW dan perusahaan negara IBW. Kemudian perusahaan yang dibentuk setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia seperti Bank Industri Negara (BIN), Perusahaan Daerah sebagaimana diatur UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan daerah, Semen Gresik, Pupuk Sriwidjaja, dan lain-lain. Lalu, sejumlah besar perusahaan swasta Belanda yang dinasionalisasi yang semula digunakan sebagai ‘senjata’ untuk perjuangan merebut Irian Barat. UU Nomor 19 Tahun 1960 memecah perusahaan swasta besar bekas swasta Belanda dalam bidang-bidang seperti perbankan, perkebunan, perdagangan dan sebagainya.
Singkat kata, pada tahun 1966, pada umumnya Perusahaan Negara berada dalam keadaan yang tidak menggembirakan. Padahal, Presiden Soekarno mengharapkan Perusahaan Negara memegang “leading and commanding position” dalam perekonomian Indonesia. Perusahaan swasta nasional, karena pengaruh PKI (komunis) juga tidak berkembang. Sebab itu, setelah Tim Pembantu Administrasi Pemerintahan dan Proyek 13 mengadakan inventarisasi dan penelitian serta perbandingan dengan negara-negara demokratis, juga diperkuat hasil seminar PBB mengenai Perusahaan Negara yang diadakan di Rangoon (Birma) dan New Delhi (India), lalu dikeluarkan Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara.
Apa arti penting Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tersebut?
Berdasarkan Inpres ini, terdapat tiga bentuk Badan Usaha Negara, yaitu Perusahaan Negara Jawatan disingkat Perjan, Perusahaan Negara Umum (Perum) dan Perusahaan Negara Perseroan Terbatas (PT). Yang dimaksud Perusahaan Negara adalah semua bidang dan bentuk perusahaan yang modal seluruhnya atau sebagian milik negara. Perusahaan yang non-profit (nirlaba), seperti Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit milik negara juga termasuk Perusahaan Negara, tetapi karena pertimbangan psikologis, yang akhir ini belum ditangani waktu itu.
Inpres Nomor 17 Tahun 1967 kemudian dikukuhkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1969 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara. Menurut UU Nomor 9 Tahun 1969 itu, Perjan dimaksudkan perusahaan yang mengelola usaha yang mencakup public utility dan kepentingan rakyat banyak, seperti pegadaian dan angkutan umum (kereta api dan bus kota). Kemudian, Perum adalah Perusahaan Negara yang vital seperti pertambangan, asuransi sosial, dan sebagainya. Sedangkan Perseroan Terbatas, yang sekarang ditulis PT ... (Persero) atau dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam UU Nomor 9 Tahun 1969 jelas-jelas dinyatakan diperlakukan sebagai perusahaan swasta biasa dan sahamnya agar dijual kepada swasta nasional ataupun asing.
Dari semua langkah penyempurnaan administrasi negara yang menyeluruh tadi, yang paling kurang tepat pelaksanaannya dan penjabarannya adalah mengenai Badan Usaha Milik Negara bidang jaminan sosial.
Mengapa pelaksanaan dan penjabaran BUMN (terutama bidang jaminan sosial) kurang tepat?
Sebagaimana kita ketahui selama ini, yang dimaksud BUMN jaminan sosial adalah Perum Astek yang kemudian menjadi PT Jamsostek (Persero); Perum Askes yang berubah menjadi PT Askes (Persero); Perum Asabri yang berubah menjadi PT Asabri (Persero); PN Taspen yang kemudian menjadi PT Taspen (Persero), dan PT Jasa Raharja.
Perum Astek dibentuk tahun 1977 sebagai kelanjutan dan penyempurnaan Dana Jaminan Sosial yang merupakan unit dari Departemen Tenaga Kerja. Seluruh Dana Jaminan Sosial dipindahkan ke Perum Astek, termasuk semua karyawannya.
Kemudian Perum Askes adalah pengganti “kartu kuning” bagi pelayanan kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebelumnya dibayar dari APBN. Lalu Perum Asabri adalah asuransi sosial bagi anggota ABRI (TNI, Polri dan PNS di lingkungan ABRI).
Direksi dan Dewan Pengawas Perum diangkat Presiden, sedangkan Direksi dan Dewan Komisaris PT diangkat oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya, PT Taspen sejak semula berada di bawah Departemen Keuangan adalah asuransi sosial bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kemudian Taspen ditugaskan pula untuk mengurus pensiun.
Sebenarnya untuk Perum harus dibuat undang-undang baru dan “untuk sementara” menggunakan UU Nomor 19 Tahun 1960. Dalam UU Nomor 19 Tahun 1960, Perusahaan Negara diwajibkan membayar dana pembangunan semesta. Kenyataannya, undang-undang untuk Perum tidak kunjung keluar.
Keadaan dan permasalahan keempat BUMN asuransi dan jaminan sosial tersebut di atas berbeda-beda, khususnya Jamsostek yang membidangi tenaga kerja swasta. Walaupun kepesertaan Jamsostek bersifat wajib, kenyataannya sampai sekarang kepesertaannya masih jauh dari jumlah perusahaan yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Dengan demikian, apakah empat BUMN jaminan sosial tersebut kurang tepat pengelolaannya?
BUMN Jaminan Sosial seharusnya merupakan BUMN nirlaba, surplusnya dikembalikan untuk manfaat peserta. Kurang tepat kalau dikelola dengan model perseroan.
Walapun telah berjalan cukup lama, keempat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Indonesia (Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri) masih perlu melakukan penyempurnaan intern. Misalnya masalah organisasi dan kepesertaan Jamsostek, Asabri yang setelah Polri berpisah dari TNI (apakah menjadi Asuransi TNI dan Polri atau terpisah) dan juga penyempurnaan koordinasi antara keempat BUMN tersebut (seperti kepesertaan Askes di luar pegawai negeri sipil dan jaminan kesehatan Jamsostek, dan pensiun TNI dan Polri yang diurus Taspen).
Karena maksud dan tujuannya yang khusus, apakah BUMN Jaminan Sosial perlu undang-undang tersendiri?
Pengalaman dengan Pertamina yang semula berbentuk Perum, dengan pertimbangan politik waktu itu kemudian diatur dengan UU tersendiri. Dengan demikian walaupun keempat BUMN Jaminan Sosial adalah juga BUMN (yang seluruh modalnya milik negara), karena maksud dan tujuannya berbeda dengan BUMN lain, maka wajar diatur dengan UU tersendiri.
Dalam pembukaan Konferensi Regional Asia-ISSA tahun 1995, Presiden Suharto mengatakan pentingnya jaminan sosial di Indonesia dikelola oleh BUMN, yang seratus persen sahamnya milik negara, agar apabila terjadi kebangkrutan maka negara wajib memenuhi santunan peserta. Karena itulah, perlu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang tepat untuk Indonesia.

Oleh karena empat BUMN Jaminan Sosial tersebut telah lama berjalan, bagaimana saran Profesor agar lebih baik di masa depan?
Beberapa masukan saran yang dapat saya berikan. Pertama, keempat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tersebut adalah BUMN yang mengelola dana amanah peserta, karena itu perlu diatur undang-undang tersendiri. Dana amanah adalah titipan dari peserta BPJS agar dikelola secara tepat oleh BPJS untuk manfaat bagi peserta.
Kedua, Peserta adalah mereka yang telah membayar iuran, yaitu yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja (employer), termasuk pemerintah. Peserta Askes, Taspen dan Asabri adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI dan Polri, yang iurannya dipotong langsung dari gaji. Di sini Pemerintah selaku pemberi kerja juga harus membayar iuran. Sedangkan peserta Jamsostek adalah perusahaan dan karyawan swasta dan beraneka ragam.
Ketiga, soal Bantuan Sosial. UU SJSN tidak menyebut Bantuan Sosial (Social Assistance) yang menjadi tanggung jawab negara/pemerintah, seperti anak yatim, fakir miskin, dan juga tenaga kerja yang tidak mampu membayar iuran. Itu sebabnya UU menyebut “Bantuan Iuran” yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial. Istilah Bantuan Iuran berkonotasi bahwa Pemerintah menyediakan dana sebagai bantuan iuran yang diselenggarakan oleh BPJS. Akan lebih baik apabila Bantuan Iuran (seperti Askesmas yang dititipkan pada Askes) sebagai Bantuan Sosial yang diselenggarakan Kementerian Sosial yang dapat bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan lain-lain serta BPJS.
Keempat, sebagai badan hukum tersendiri, masing-masing BPJS sebaiknya melanjutkan dan meningkatkan yang sudah baik dewasa ini, seperti Jamsostek tidak lagi membayar deviden, tetapi jumlah kepesertaan wajib masih jauh dari potensi yang ada. Jamsostek masih harus mengkaji ulang susunan organisasi, saya menyarankan agar di setiap provinsi ada cabang Jamsostek sebagai counterpart Pemda, Kadinda, Apindo daerah, Serikat Pekerja di daerah dan lain-lain. Juga meski mengkaji ulang tentang pengawasan yang dulu dilakukan pengawas Depnaker, tentang sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Sanksi dalam RUU BPJS yang disiapkan oleh DPR perlu dikaji lagi agar benar-benar dapat mencegah pelanggaran dan penyimpangan oleh employer (pemberi kerja), terutama peserta Jamsostek.   
Kelima, program BPJS yang berlaku sekarang seperti Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian agar tetap dilanjutkan, disempurnakan dan ditingkatkan agar memberi manfaat yang optimal bagi peserta masing-masing BPJS.
Dari saran Profesor, kami menangkap bahwa keempat BUMN Jaminan Sosial harus tetap dipertahankan?
Dengan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi keempat BUMN Jaminan Sosial dewasa ini maka perlu dipertahankan keberadaan empat BPJS, yaitu Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri. Tidak perlu dimerger. Yang sudah baik hendaknya dilanjutkan dan ditingkatkan, namun perlu penataan kepesertaan, organisasi, koordinasi, pengawasan, penindakan bagi yang melanggar ketentuan yang berlaku serta sanksinya, investasi dan lain-lain.
Indonesia perlu mempercepat pengembangan jaminan sosial sekarang dan di masa datang karena langsung menyangkut kesejahteraan dan keadilan sosial. Namun, harus dengan cara yang baik dan tidak berputar-putar dengan ketidak-jelasan definisi bantuan sosial dan asuransi sosial. Jangan berdebat tentang hal yang tidak dipahami. ***

No comments:

Post a Comment