Banyak orang asal bicara soal jaminan sosial (social security). Sebab itu, banyak
terjadi kekacauan ketika kita sampai pada persoalan siapa yang harus
bertanggung-jawab menyelenggarakan jaminan sosial: negara, lembaga masyarakat
ataukah warga masyarakat itu sendiri. “Tanggung jawab utama penyelenggaraan
jaminan sosial ada di tangan negara. Meski begitu kita harus memperjelas
peristilahan jaminan sosial dan bantuan sosial agar jelas kelembagaan yang akan
menyelenggarakannya nanti,” ujar pakar kebijakan publik Prof. Dr. Awaloedin
Djamin MPA dalam satu kesempatan bedah buku Sistem
Jaminan Sosial Nasional edisi penyempurnaan di Jakarta, awal Oktober 2011
di Jakarta. Untuk lebih memahami esensi jaminan sosial, Majalah Jaminan Sosial berkesempatan
mewawancarai Prof. Awaloedin Djamin yang juga Ketua Dewan Pakar Komunitas
Jamsosnas Indonesia (KJI) ini. Berikut petikannya:
Apa
pengertian dan berapa luas ruang lingkup jaminan sosial?
Jaminan sosial atau social security adalah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Sedangkan ruang lingkup jaminan sosial sebagaimana yang berkembang di
dunia luas sekali, termasuk di dalamnya antara lain asuransi pengangguran,
asuransi manula, asuransi bersalin dan perawatan. Sementara di Indonesia baru
memfokuskan lima program, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan,
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Keberadaan jaminan
sosial telah merupakan bagian integral dari pembangunan suatu bangsa.
Sejak
kapan sebenarnya jaminan sosial mulai berkembang?
Jaminan sosial telah berkembang di negara-negara
maju kira-kira 100 tahun lalu. Negara tidak akan maju dan sejahtera tanpa
jaminan sosial. Intinya kesejahteraan pekerja dan warga masyarakat. Bila kita
membicarakan kesejahteraan pekerja dewasa ini mencakup gaji dan upah,
keselamatan dan kesehatan kerja (occupational
safety and occupational health) serta jaminan sosial.
Perkembangan social
security dapat diikuti dari keberadaan International Social Security Association (ISSA) yang terkait dengan ILO (International Labour Organization) yang
berpusat di Jenewa, Swiss. Kemudian dalam menghadapi penyelenggaraan General
Assembly ISSA di Indonesia tahun 1995, lima perusahaan, masing-masing
Jamsostek, Askes, Asabri, Taspen dan Jasa Raharja, membentuk Asosiasi Asuransi
dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) sebagai tuan rumah General Assembly. Dalam
General Assembly ISSA yang dihadiri 1.500 peserta, Indonesia memprakarsai
pembentukan ASEAN Social Security
Association (ASSA). ASSA telah berkembang dengan baik dan anggotanya
mencakup delapan dari 10 negara anggota ASEAN. Sampai saat ini Myanmar dan
Vietnam belum aktif.
Dari pengalaman ISSA dan ASSA, Indonesia tentu
dapat memetik pelajaran untuk mengembangkan jaminan sosial di Indonesia,
termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Bagaimana
perkembangan penyelenggaraan jaminan sosial di negara kita?
Pada akhir Orde Lama, setelah peristiwa G30S/PKI
dan permulaan Orde Baru 1966, keadaan negara sangat terpuruk, inflasi 650%,
produksi perdagangan macet, politik luar negeri dengan poros
Jakarta-Peking-Pyongyang dan administrasi negara chaos, baik kelembagaan, kepegawaian maupun ketatalaksanaan. Kemudian,
untuk memperbaiki keadaan, dilakukan penyempurnaan administrasi negara yang
menyeluruh (overall administrative reform)
kelembagaan negara, departemen, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintahan
di daerah, dan perwakilan di luar negeri. Yang tidak kurang penting adalah
penyempurnaan Perusahaan Negara (Public
Enterprise) yang kemudian dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (State Owned Enterprise).
Setelah menginventarisasi semua perusahaan negara
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1960
tentang Perusahaan Negara, perusahaan yang ada di Indonesia meliputi perusahaan
negara warisan Hindia Belanda, yaitu perusahaan negara ICW dan perusahaan
negara IBW. Kemudian perusahaan yang dibentuk setelah pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia seperti Bank Industri Negara (BIN), Perusahaan Daerah sebagaimana
diatur UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan daerah, Semen Gresik, Pupuk
Sriwidjaja, dan lain-lain. Lalu, sejumlah besar perusahaan swasta Belanda yang
dinasionalisasi yang semula digunakan sebagai ‘senjata’ untuk perjuangan merebut
Irian Barat. UU Nomor 19 Tahun 1960 memecah perusahaan swasta besar bekas
swasta Belanda dalam bidang-bidang seperti perbankan, perkebunan, perdagangan
dan sebagainya.
Singkat kata, pada tahun 1966, pada umumnya Perusahaan
Negara berada dalam keadaan yang tidak menggembirakan. Padahal, Presiden
Soekarno mengharapkan Perusahaan Negara memegang “leading and commanding position” dalam perekonomian Indonesia.
Perusahaan swasta nasional, karena pengaruh PKI (komunis) juga tidak
berkembang. Sebab itu, setelah Tim Pembantu Administrasi Pemerintahan dan
Proyek 13 mengadakan inventarisasi dan penelitian serta perbandingan dengan
negara-negara demokratis, juga diperkuat hasil seminar PBB mengenai Perusahaan
Negara yang diadakan di Rangoon (Birma) dan New Delhi (India), lalu dikeluarkan
Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan
Negara.
Apa
arti penting Inpres Nomor 17 Tahun 1967 tersebut?
Berdasarkan Inpres ini, terdapat tiga bentuk Badan
Usaha Negara, yaitu Perusahaan Negara Jawatan disingkat Perjan, Perusahaan
Negara Umum (Perum) dan Perusahaan Negara Perseroan Terbatas (PT). Yang
dimaksud Perusahaan Negara adalah semua bidang dan bentuk perusahaan yang modal
seluruhnya atau sebagian milik negara. Perusahaan yang non-profit (nirlaba),
seperti Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit milik negara juga termasuk Perusahaan
Negara, tetapi karena pertimbangan psikologis, yang akhir ini belum ditangani
waktu itu.
Inpres Nomor 17 Tahun 1967 kemudian dikukuhkan
dengan UU Nomor 9 Tahun 1969 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1
Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara. Menurut UU Nomor 9 Tahun 1969
itu, Perjan dimaksudkan perusahaan yang mengelola usaha yang mencakup public utility dan kepentingan rakyat
banyak, seperti pegadaian dan angkutan umum (kereta api dan bus kota). Kemudian,
Perum adalah Perusahaan Negara yang vital seperti pertambangan, asuransi
sosial, dan sebagainya. Sedangkan Perseroan Terbatas, yang sekarang ditulis PT
... (Persero) atau dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam UU
Nomor 9 Tahun 1969 jelas-jelas dinyatakan diperlakukan sebagai perusahaan
swasta biasa dan sahamnya agar dijual kepada swasta nasional ataupun asing.
Dari semua langkah penyempurnaan administrasi
negara yang menyeluruh tadi, yang paling kurang tepat pelaksanaannya dan
penjabarannya adalah mengenai Badan Usaha Milik Negara bidang jaminan sosial.
Mengapa
pelaksanaan dan penjabaran BUMN (terutama bidang jaminan sosial) kurang tepat?
Sebagaimana kita ketahui selama ini, yang dimaksud
BUMN jaminan sosial adalah Perum Astek yang kemudian menjadi PT Jamsostek
(Persero); Perum Askes yang berubah menjadi PT Askes (Persero); Perum Asabri
yang berubah menjadi PT Asabri (Persero); PN Taspen yang kemudian menjadi PT
Taspen (Persero), dan PT Jasa Raharja.
Perum Astek dibentuk tahun 1977 sebagai kelanjutan
dan penyempurnaan Dana Jaminan Sosial yang merupakan unit dari Departemen
Tenaga Kerja. Seluruh Dana Jaminan Sosial dipindahkan ke Perum Astek, termasuk
semua karyawannya.
Kemudian Perum Askes adalah pengganti “kartu
kuning” bagi pelayanan kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebelumnya
dibayar dari APBN. Lalu Perum Asabri adalah asuransi sosial bagi anggota ABRI
(TNI, Polri dan PNS di lingkungan ABRI).
Direksi dan Dewan Pengawas Perum diangkat
Presiden, sedangkan Direksi dan Dewan Komisaris PT diangkat oleh Menteri
Keuangan.
Selanjutnya, PT Taspen sejak semula berada di
bawah Departemen Keuangan adalah asuransi sosial bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS), kemudian Taspen ditugaskan pula untuk mengurus pensiun.
Sebenarnya untuk Perum harus dibuat undang-undang
baru dan “untuk sementara” menggunakan UU Nomor 19 Tahun 1960. Dalam UU Nomor
19 Tahun 1960, Perusahaan Negara diwajibkan membayar dana pembangunan semesta.
Kenyataannya, undang-undang untuk Perum tidak kunjung keluar.
Keadaan dan permasalahan keempat BUMN asuransi dan
jaminan sosial tersebut di atas berbeda-beda, khususnya Jamsostek yang
membidangi tenaga kerja swasta. Walaupun kepesertaan Jamsostek bersifat wajib,
kenyataannya sampai sekarang kepesertaannya masih jauh dari jumlah perusahaan
yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Dengan
demikian, apakah empat BUMN jaminan sosial tersebut kurang tepat
pengelolaannya?
BUMN Jaminan Sosial seharusnya merupakan BUMN
nirlaba, surplusnya dikembalikan untuk manfaat peserta. Kurang tepat kalau
dikelola dengan model perseroan.
Walapun telah berjalan cukup lama, keempat Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Indonesia (Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri)
masih perlu melakukan penyempurnaan intern. Misalnya masalah organisasi dan
kepesertaan Jamsostek, Asabri yang setelah Polri berpisah dari TNI (apakah
menjadi Asuransi TNI dan Polri atau terpisah) dan juga penyempurnaan koordinasi
antara keempat BUMN tersebut (seperti kepesertaan Askes di luar pegawai negeri
sipil dan jaminan kesehatan Jamsostek, dan pensiun TNI dan Polri yang diurus
Taspen).
Karena
maksud dan tujuannya yang khusus, apakah BUMN Jaminan Sosial perlu
undang-undang tersendiri?
Pengalaman dengan Pertamina yang semula berbentuk
Perum, dengan pertimbangan politik waktu itu kemudian diatur dengan UU
tersendiri. Dengan demikian walaupun keempat BUMN Jaminan Sosial adalah juga
BUMN (yang seluruh modalnya milik negara), karena maksud dan tujuannya berbeda
dengan BUMN lain, maka wajar diatur dengan UU tersendiri.
Dalam pembukaan Konferensi Regional Asia-ISSA
tahun 1995, Presiden Suharto mengatakan pentingnya jaminan sosial di Indonesia
dikelola oleh BUMN, yang seratus persen sahamnya milik negara, agar apabila
terjadi kebangkrutan maka negara wajib memenuhi santunan peserta. Karena
itulah, perlu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang tepat untuk Indonesia.
Oleh
karena empat BUMN Jaminan Sosial tersebut telah lama berjalan, bagaimana saran
Profesor agar lebih baik di masa depan?
Beberapa masukan saran yang dapat saya berikan. Pertama, keempat Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) tersebut adalah BUMN yang mengelola dana amanah peserta,
karena itu perlu diatur undang-undang tersendiri. Dana amanah adalah titipan
dari peserta BPJS agar dikelola secara tepat oleh BPJS untuk manfaat bagi
peserta.
Kedua,
Peserta adalah mereka yang telah membayar iuran, yaitu yang dibayar secara
teratur oleh peserta, pemberi kerja (employer),
termasuk pemerintah. Peserta Askes, Taspen dan Asabri adalah Pegawai Negeri
Sipil (PNS), TNI dan Polri, yang iurannya dipotong langsung dari gaji. Di sini
Pemerintah selaku pemberi kerja juga harus membayar iuran. Sedangkan peserta
Jamsostek adalah perusahaan dan karyawan swasta dan beraneka ragam.
Ketiga,
soal Bantuan Sosial. UU SJSN tidak menyebut Bantuan Sosial (Social Assistance) yang menjadi tanggung
jawab negara/pemerintah, seperti anak yatim, fakir miskin, dan juga tenaga
kerja yang tidak mampu membayar iuran. Itu sebabnya UU menyebut “Bantuan Iuran”
yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
sebagai peserta program jaminan sosial. Istilah Bantuan Iuran berkonotasi bahwa
Pemerintah menyediakan dana sebagai bantuan iuran yang diselenggarakan oleh
BPJS. Akan lebih baik apabila Bantuan Iuran (seperti Askesmas yang dititipkan
pada Askes) sebagai Bantuan Sosial yang diselenggarakan Kementerian Sosial yang
dapat bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan lain-lain serta BPJS.
Keempat,
sebagai badan hukum tersendiri, masing-masing BPJS sebaiknya melanjutkan dan
meningkatkan yang sudah baik dewasa ini, seperti Jamsostek tidak lagi membayar
deviden, tetapi jumlah kepesertaan wajib masih jauh dari potensi yang ada. Jamsostek
masih harus mengkaji ulang susunan organisasi, saya menyarankan agar di setiap
provinsi ada cabang Jamsostek sebagai counterpart
Pemda, Kadinda, Apindo daerah, Serikat Pekerja di daerah dan lain-lain. Juga
meski mengkaji ulang tentang pengawasan yang dulu dilakukan pengawas Depnaker,
tentang sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Sanksi
dalam RUU BPJS yang disiapkan oleh DPR perlu dikaji lagi agar benar-benar dapat
mencegah pelanggaran dan penyimpangan oleh employer
(pemberi kerja), terutama peserta Jamsostek.
Kelima,
program BPJS yang berlaku sekarang seperti Jaminan Kesehatan, Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian agar
tetap dilanjutkan, disempurnakan dan ditingkatkan agar memberi manfaat yang
optimal bagi peserta masing-masing BPJS.
Dari
saran Profesor, kami menangkap bahwa keempat BUMN Jaminan Sosial harus tetap
dipertahankan?
Dengan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi
keempat BUMN Jaminan Sosial dewasa ini maka perlu dipertahankan keberadaan empat
BPJS, yaitu Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri. Tidak perlu dimerger. Yang
sudah baik hendaknya dilanjutkan dan ditingkatkan, namun perlu penataan
kepesertaan, organisasi, koordinasi, pengawasan, penindakan bagi yang melanggar
ketentuan yang berlaku serta sanksinya, investasi dan lain-lain.
Indonesia perlu mempercepat pengembangan jaminan
sosial sekarang dan di masa datang karena langsung menyangkut kesejahteraan dan
keadilan sosial. Namun, harus dengan cara yang baik dan tidak berputar-putar
dengan ketidak-jelasan definisi bantuan sosial dan asuransi sosial. Jangan
berdebat tentang hal yang tidak dipahami. ***
No comments:
Post a Comment