Oleh
Razali Ritonga, Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah
Perekonomian di Tanah Air belakangan ini tampaknya
menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal itu setidaknya dapat dicermati dari
menguatnya nilai rupiah terhadap dolar AS dan rendahnya angka inflasi. Nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini berada di bawah level 9.500 dan laju
inflasi Januari-September 2009 sebesar 2,83%.
Fenomena membaiknya perekonomian itu diperkirakan
berlanjut hingga 2010. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan
ekonomi tahun 2010 akan mencapai 5%-6% dan inflasi sebesar 4,5%-5,5%.
Ketidakmerataan kesempatan
Namun, celakanya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
belum menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengalaman selama 2004-2008,
misalnya, menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh cukup meyakinkan dengan besaran
5%-6%, namun angka kemiskinan hanya turun dalam kisaran 1%-1,5%.
Ditengarai, salah satu faktor penyebab belum
optimalnya dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan adalah
karena rendahnya kapabilitas penduduk. Perbaikan ekonomi memang memberikan
peluang kepada penduduk untuk meningkatkan kesejahteraan, namun peluang itu
tidak dapat dimanfaatkan secara merata oleh seluruh penduduk.
Persoalan mendasar yang mendistorsi ketidakmerataan
peluang itu adalah soal kapabilitas penduduk, khususnya pendidikan dan
kesehatan yang sangat bervariasi. Lebih setengah penduduk berpendidikan di
bawah sekolah dasar. Hasil Sakernas Agustus 2008, misalnya, menunjukkan sekitar
53,9% penduduk yang bekerja berpendidikan SD ke bawah (BPS, 2009).
Sementara kesenjangan kesehatan antara lain
ditunjukkan oleh angka kematian bayi (AKB) yang berbeda tajam antara penduduk
kaya dan miskin. Hasil studi Bank Dunia (2001), misalnya, menunjukkan AKB dari
25% penduduk termiskin besarnya tiga kali lipat dibandingkan AKB dari 25%
terkaya.
Pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan
penduduk miskin sulit berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan ekonomi.
Hal itu termanifestasi dari produktivitas yang rendah.
Keterkaitan antara pendidikan dan produktivitas itu
antara lain dapat dicermati dari studi yang dilakukan di kalangan petani di
Ghana, Malaysia, dan Peru, yang menunjukkan bahwa tambahan satu tahun sekolah
bagi petani akan meningkatkan produk pertanian sekitar 2%-5%. Sementara
keterkaitan antara kesehatan dan produktivitas antara lain dapat dicermati dari
studi yang dilakukan di Sierra Leone dan Guatemala yang menunjukkan bahwa
peningkatan pemenuhan kalori (calorie intake) bagi petani akan meningkatkan
produktivitas hingga 47% (UNDP, 1996).
Ketidakmerataan kesempatan penduduk terhadap
pembangunan menyebabkan kesenjangan pendapatan penduduk yang kian melebar. Hal
itu dapat dicermati dari pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Pada
1999, pengeluaran 40% penduduk terendah tercatat sekitar 21,50% turun menjadi
18,74% terhadap total pengeluaran pada 2007. Sedangkan pengeluaran 20% penduduk
teratas meningkat dari 41,15% pada 1999 menjadi 44,75% terhadap total
pengeluaran tahun 2007 (BPS, 2007). Fakta ini sekaligus mengisyaratkan bahwa
pundi-pundi penduduk kaya kian menggelembung, sebaliknya pendapatan penduduk
miskin kian terpuruk.
Jaminan sosial
Maka, dengan belum meratanya kemampuan penduduk
memanfaatkan peluang pembangunan ekonomi, pemerintah perlu menyediakan jaminan
sosial (social assurance) bagi mereka yang memiliki kapabilitas rendah. Ini
sekaligus mengisyaratkan bahwa jaminan sosial dan pembangunan ekonomi merupakan
suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Tanpa jaminan sosial yang memadai,
penduduk dengan kapabilitas rendah tidak akan mampu meningkatkan kualitas
hidupnya untuk memutus mata rantai kemiskinan (UNDP, 2005).
Lebih jauh, jaminan sosial dapat dimaknai sebagai
investasi sosial yang dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi pada masa
mendatang. Produktivitas penduduk akan semakin optimal manakala pendidikan dan
kesehatan penduduk kian meningkat. UNDP (2005) menyarankan kepada pemerintah di
negara-negara berkembang untuk menyediakan paling tidak 20%-25% anggaran untuk
jaminan sosial.
Jaminan pendidikan untuk saat ini memang sudah
cukup memadai karena besaran dananya telah mencapai 20% dari APBN. Namun, untuk
kesehatan ternyata masih jauh dari harapan. Tercatat, alokasi anggaran
kesehatan yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar 2,8% dari APBN, sedangkan
standar WHO 15%.
Maka, atas dasar itu, pemerintah tidak cukup hanya
dengan berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa diserta dengan
penyediaan anggaran jaminan sosial yang memadai. Berkaitan dengan ini
pernyataan Barr (2004) barangkali patut digarisbawahi, yang menyebutkan bahwa
upaya peningkatan ekonomi untuk membangun masyarakat yang maju tidak akan
tercapai jika pemerintah gagal dalam menyediakan jaminan sosial yang memadai.
Bahkan, negara-negara maju sekalipun menyadari
bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil mewujudkan peluang peningkatan
kesejahteraan yang sama ke seluruh penduduk. Untuk itu, pemerintah di
negara-negara maju secara rutin menyiapkan anggaran untuk jaminan sosial. Di
negara-negara Eropa, misalnya, anggaran yang disediakan untuk jaminan sosial sekitar
25% dari produk domestik bruto (Barr, 2004).
Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
bersamaan dengan anggaran jaminan sosial memang tidak mudah dilakukan tanpa
didasari kolaborasi yang kuat antara kabinet ekonomi dan kesra. Untuk itu,
sangat diharapkan dalam pemerintahan SBY-Boediono mendatang, kerja sama antara
kabinet ekonomi dan kesra semakin dapat ditingkatkan sehingga penduduk dapat
menikmati hasil-hasil pembangunan secara lebih merata.
------------------------
Sumber: Opini Media
Indonesia 22 Oktober 2009.
No comments:
Post a Comment