Monday, January 7, 2013

Pertumbuhan Ekonomi dan Jaminan Sosial



Oleh Razali Ritonga, Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah

Perekonomian di Tanah Air belakangan ini tampaknya menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal itu setidaknya dapat dicermati dari menguatnya nilai rupiah terhadap dolar AS dan rendahnya angka inflasi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini berada di bawah level 9.500 dan laju inflasi Januari-September 2009 sebesar 2,83%.

Fenomena membaiknya perekonomian itu diperkirakan berlanjut hingga 2010. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 akan mencapai 5%-6% dan inflasi sebesar 4,5%-5,5%.

Ketidakmerataan kesempatan

Namun, celakanya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengalaman selama 2004-2008, misalnya, menunjukkan bahwa ekonomi tumbuh cukup meyakinkan dengan besaran 5%-6%, namun angka kemiskinan hanya turun dalam kisaran 1%-1,5%.

Ditengarai, salah satu faktor penyebab belum optimalnya dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan adalah karena rendahnya kapabilitas penduduk. Perbaikan ekonomi memang memberikan peluang kepada penduduk untuk meningkatkan kesejahteraan, namun peluang itu tidak dapat dimanfaatkan secara merata oleh seluruh penduduk.

Persoalan mendasar yang mendistorsi ketidakmerataan peluang itu adalah soal kapabilitas penduduk, khususnya pendidikan dan kesehatan yang sangat bervariasi. Lebih setengah penduduk berpendidikan di bawah sekolah dasar. Hasil Sakernas Agustus 2008, misalnya, menunjukkan sekitar 53,9% penduduk yang bekerja berpendidikan SD ke bawah (BPS, 2009).

Sementara kesenjangan kesehatan antara lain ditunjukkan oleh angka kematian bayi (AKB) yang berbeda tajam antara penduduk kaya dan miskin. Hasil studi Bank Dunia (2001), misalnya, menunjukkan AKB dari 25% penduduk termiskin besarnya tiga kali lipat dibandingkan AKB dari 25% terkaya.
Pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan penduduk miskin sulit berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan ekonomi. Hal itu termanifestasi dari produktivitas yang rendah.

Keterkaitan antara pendidikan dan produktivitas itu antara lain dapat dicermati dari studi yang dilakukan di kalangan petani di Ghana, Malaysia, dan Peru, yang menunjukkan bahwa tambahan satu tahun sekolah bagi petani akan meningkatkan produk pertanian sekitar 2%-5%. Sementara keterkaitan antara kesehatan dan produktivitas antara lain dapat dicermati dari studi yang dilakukan di Sierra Leone dan Guatemala yang menunjukkan bahwa peningkatan pemenuhan kalori (calorie intake) bagi petani akan meningkatkan produktivitas hingga 47% (UNDP, 1996).

Ketidakmerataan kesempatan penduduk terhadap pembangunan menyebabkan kesenjangan pendapatan penduduk yang kian melebar. Hal itu dapat dicermati dari pengeluaran penduduk menurut kriteria Bank Dunia. Pada 1999, pengeluaran 40% penduduk terendah tercatat sekitar 21,50% turun menjadi 18,74% terhadap total pengeluaran pada 2007. Sedangkan pengeluaran 20% penduduk teratas meningkat dari 41,15% pada 1999 menjadi 44,75% terhadap total pengeluaran tahun 2007 (BPS, 2007). Fakta ini sekaligus mengisyaratkan bahwa pundi-pundi penduduk kaya kian menggelembung, sebaliknya pendapatan penduduk miskin kian terpuruk.

Jaminan sosial

Maka, dengan belum meratanya kemampuan penduduk memanfaatkan peluang pembangunan ekonomi, pemerintah perlu menyediakan jaminan sosial (social assurance) bagi mereka yang memiliki kapabilitas rendah. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa jaminan sosial dan pembangunan ekonomi merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Tanpa jaminan sosial yang memadai, penduduk dengan kapabilitas rendah tidak akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya untuk memutus mata rantai kemiskinan (UNDP, 2005).

Lebih jauh, jaminan sosial dapat dimaknai sebagai investasi sosial yang dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi pada masa mendatang. Produktivitas penduduk akan semakin optimal manakala pendidikan dan kesehatan penduduk kian meningkat. UNDP (2005) menyarankan kepada pemerintah di negara-negara berkembang untuk menyediakan paling tidak 20%-25% anggaran untuk jaminan sosial.

Jaminan pendidikan untuk saat ini memang sudah cukup memadai karena besaran dananya telah mencapai 20% dari APBN. Namun, untuk kesehatan ternyata masih jauh dari harapan. Tercatat, alokasi anggaran kesehatan yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar 2,8% dari APBN, sedangkan standar WHO 15%.

Maka, atas dasar itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa diserta dengan penyediaan anggaran jaminan sosial yang memadai. Berkaitan dengan ini pernyataan Barr (2004) barangkali patut digarisbawahi, yang menyebutkan bahwa upaya peningkatan ekonomi untuk membangun masyarakat yang maju tidak akan tercapai jika pemerintah gagal dalam menyediakan jaminan sosial yang memadai.

Bahkan, negara-negara maju sekalipun menyadari bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil mewujudkan peluang peningkatan kesejahteraan yang sama ke seluruh penduduk. Untuk itu, pemerintah di negara-negara maju secara rutin menyiapkan anggaran untuk jaminan sosial. Di negara-negara Eropa, misalnya, anggaran yang disediakan untuk jaminan sosial sekitar 25% dari produk domestik bruto (Barr, 2004).

Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan anggaran jaminan sosial memang tidak mudah dilakukan tanpa didasari kolaborasi yang kuat antara kabinet ekonomi dan kesra. Untuk itu, sangat diharapkan dalam pemerintahan SBY-Boediono mendatang, kerja sama antara kabinet ekonomi dan kesra semakin dapat ditingkatkan sehingga penduduk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara lebih merata.

------------------------ 
Sumber: Opini Media Indonesia 22 Oktober 2009.

No comments:

Post a Comment