Thursday, January 17, 2013

MAKSI


Sebuah sanjungan datang dari sahabat lawas yang telah belasan tahun tak bersua. Kami berpisah karena aku menetap di sekitar Botabek sementara sahabat lawas ini memilih menekuni dunia kontraktor bangunan di satu tempat nun jauh di tanah seberang.

Suatu siang, tanpa kusangka, sahabat lawas ini mengabarkan dirinya sedang berada di Ibukota untuk suatu keperluan. Tanpa basa-basi dia mengundang aku untuk ritual makan siang (maksi) di resto sebuah hotel berbintang. Lantaran telah lama merasa tidak makan enak, tanpa basa-basi pula undangan itu langsung aku penuhi –apalagi aku sedang tidak ada aktivitas yang mendesak untuk diselesaikan atau hari itu tengah tidak berpuasa sunah.
Aku segera meluncur ke hotel berbintang tempat sahabat lawas menginap. Langsung aku menuju ke resto yang dijanjikan. Rupanya sahabat lawas sudah menunggu. Sedikit basa-basi saling tukar kabar, melepas kangen, kami pun memesan menu favorit di resto yang menyajikan masakan oriental itu.

Di meja agak jauh dari kami melepas kangen, seorang petinggi partai (yang jelas  bukan partai final Barca lawan Madrid atau partai eceran di Pasar Jatinegara) juga tengah menunggu pesanan menu makan siang. Beberapa orang pengawalnya berada di meja sebelah sang petinggi partai yang waktu itu terlihat sedang ngobrol dengan seseorang yang sepertinya seorang petinggi birokrasi. Terlihat sepintas menu yang dipesan amat sederhana, bahkan cenderung minimal. Maklum, sang petinggi sudah berumur, pandangan sudah lamur dan makan pun harus terukur. Aku kurang memperhatikan menu di meja para pengawal.

Usai menghabiskan santapan, sang petinggi partai, petinggi birokrasi dan para pengawalnya ngeloyor begitu saja. Tak ada warna prosesi memanggil si pramusaji untuk menghitung-hitung berapa rupiah yang harus dikeluarkan buat makan siang itu.

Lalu, aku iseng-iseng bertanya kepada pramusaji yang melayani mejaku, “Bang, memangnya resto ini gratis buat pada petinggi partai dan elit birokrasi?”

“Tidak Pak, kalau gratis, bisa-bisa resto ini bangkrut. Mereka sudah ada yang melunasi. Hari ini yang bayari seorang pokrol bambu terkenal yang tadi cuma duduk-duduk di ruang sebelah. Besok atau lusa bisa saja yang bayari pengusaha top negeri ini,” papar si pramusaji yang tak kusangka ternyata ia tetangga dekat di tempat tinggalku.

Ceritanya lebih jauh, “Memang tidak besar sih, si bos cuma habis Rp300 ribu. Tapi, pengawalnya tuh sampai hampir Rp20 juta. Saya kadang aji mumpung, saya keluarkan menu-menu unggulan buat para pengawal.”

Keisenganku pun berlanjut, “Siapa saja yang biasa maksi di sini, Bang?”

“Banyak sih pejabat, terutama dari birokrasi yang mengurusi keuangan negara, pengambil kebijakan publik, dan penyelenggara pelayanan publik. Yang berebut membayari juga macam-macam, ada pokrol bambu terkenal, ada pengusaha yang disebut-sebut mengemplang pajak, ada pengusaha yang sedang berurusan dengan prahara hukum, dan ada pengusaha yang proyeknya tengah menunggu kepastian beroperasi,” si pramusaji bercerita.

Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Lalu bergumam, “Oo ini ya yang namanya adagium tidak ada makan siang gratis.” Sebuah pepatah yang sudah demikian populer. *BN       

No comments:

Post a Comment