Sebuah sanjungan
datang dari sahabat lawas yang telah belasan tahun tak bersua. Kami berpisah
karena aku menetap di sekitar Botabek sementara sahabat lawas ini memilih
menekuni dunia kontraktor bangunan di satu tempat nun jauh di tanah seberang.
Suatu siang, tanpa
kusangka, sahabat lawas ini mengabarkan dirinya sedang berada di Ibukota untuk
suatu keperluan. Tanpa basa-basi dia mengundang aku untuk ritual makan siang (maksi)
di resto sebuah hotel berbintang. Lantaran telah lama merasa tidak makan enak,
tanpa basa-basi pula undangan itu langsung aku penuhi –apalagi aku sedang tidak
ada aktivitas yang mendesak untuk diselesaikan atau hari itu tengah tidak berpuasa
sunah.
Aku segera meluncur
ke hotel berbintang tempat sahabat lawas menginap. Langsung aku menuju ke resto
yang dijanjikan. Rupanya sahabat lawas sudah menunggu. Sedikit basa-basi saling
tukar kabar, melepas kangen, kami pun memesan menu favorit di resto yang
menyajikan masakan oriental itu.
Di meja agak jauh
dari kami melepas kangen, seorang petinggi partai (yang jelas bukan partai final Barca lawan Madrid atau
partai eceran di Pasar Jatinegara) juga tengah menunggu pesanan menu makan
siang. Beberapa orang pengawalnya berada di meja sebelah sang petinggi partai yang
waktu itu terlihat sedang ngobrol dengan seseorang yang sepertinya seorang
petinggi birokrasi. Terlihat sepintas menu yang dipesan amat sederhana, bahkan
cenderung minimal. Maklum, sang petinggi sudah berumur, pandangan sudah lamur
dan makan pun harus terukur. Aku kurang memperhatikan menu di meja para
pengawal.
Usai menghabiskan santapan,
sang petinggi partai, petinggi birokrasi dan para pengawalnya ngeloyor begitu
saja. Tak ada warna prosesi memanggil si pramusaji untuk menghitung-hitung
berapa rupiah yang harus dikeluarkan buat makan siang itu.
Lalu, aku iseng-iseng
bertanya kepada pramusaji yang melayani mejaku, “Bang, memangnya resto ini gratis
buat pada petinggi partai dan elit birokrasi?”
“Tidak Pak, kalau
gratis, bisa-bisa resto ini bangkrut. Mereka sudah ada yang melunasi. Hari ini yang
bayari seorang pokrol bambu terkenal yang tadi cuma duduk-duduk di ruang
sebelah. Besok atau lusa bisa saja yang bayari pengusaha top negeri ini,” papar
si pramusaji yang tak kusangka ternyata ia tetangga dekat di tempat tinggalku.
Ceritanya lebih jauh,
“Memang tidak besar sih, si bos cuma habis Rp300 ribu. Tapi, pengawalnya tuh sampai hampir Rp20 juta. Saya kadang
aji mumpung, saya keluarkan menu-menu unggulan buat para pengawal.”
Keisenganku pun
berlanjut, “Siapa saja yang biasa maksi di sini, Bang?”
“Banyak sih pejabat, terutama dari birokrasi
yang mengurusi keuangan negara, pengambil kebijakan publik, dan penyelenggara
pelayanan publik. Yang berebut membayari juga macam-macam, ada pokrol bambu
terkenal, ada pengusaha yang disebut-sebut mengemplang pajak, ada pengusaha
yang sedang berurusan dengan prahara hukum, dan ada pengusaha yang proyeknya tengah
menunggu kepastian beroperasi,” si pramusaji bercerita.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk.
Lalu bergumam, “Oo ini ya yang namanya adagium tidak ada makan siang gratis.” Sebuah
pepatah yang sudah demikian populer. *BN
No comments:
Post a Comment